KONFLIK DAN KEKUASAAN
Suatu Studi Perjuangan Politik Datuk Badiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal (1872-1895)
D I S U S U N OLEH : Farid Mas Hadi
( 080906072 )
Dosen Pembimbing : Drs. Antonius Sitepu, M. Si Dosen Pembaca : Muryanto Amin, S. Sos, M. Si
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
ABSTRAK ...iv
KATA PENGANTAR ...v
UCAPAN TERIMA KASIH ...ix
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ...1
2. Perumusan Masalah ...8
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...9
3.1Tujuan Penelitian ...9
3.2 Manfaat Penelitian ...9
4. Studi Kepustakaan ...10
5. Pentingnya Penelitian ...10
6. Kerangka Teori ………...12
6.1 Teori Konflik ...12
6 .1.2 Penyebab Konflik ...14
6.1.3 Tipe-tipe Konflik ...16
6.1.4 Struktur Konflik ...17
6.1.6 Intensitas Konflik ...20
6.1.7 Pengaturan dan Pengendalian Konflik ...22
6.2 Kekuasaan ...23
6.2.1 Kekuasaan Menurut Harold D. Laswell ...24
6.2.2 Dimensi Kekuasaan ...25
6.2.3 Sumber Kekuasaan ...27
6.2.4 Unsur-unsur Saluran Kekuaan ...27
6.2.5 Kedalaman Pengaruh Kekuasaan ...30
6.2.6 Cara Mempertahankan Kekuasaan ...31
7. Metodologi Penelitian ………...……..32
7.1 Metode Penelitian ………..…………...32
7.2 Jenis Penelitian ………...34
7.3 Teknik Pengumpulan Data ………...36
7.4 Teknik Analisa Data ………...36
8. Sistematika Penulisan …………...………….………...37
BAB II BIOGRAFI DATUK BADIUZZAMAN SURBAKTI 2. Biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti ...40
2.1 Datuk Badiuzzaman Surbakti dan Kerajaan Sunggal ...45
BAB III KONFLIK DAN KEKUASAN YANG DICERMINKAN DALAM PERJUANGAN POLITIK DATUK BADIUZZAMAN SURBAKTI DALAM PERANG SUNGGAL (1872-1895)
3. Datuk Badiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal ...62
3.1 Perjuangan Lewat Perang dan Perundingan ...77
3.2 Kekuasaan Datuk Badiuzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal ...88
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ...101
4.2 Saran ...101
LAMPIRAN ...103
ABSTRAK
Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh rasa keingintahuan saya terhadap tokoh dan sekaligus pemimpin dalam Perang Sunggal (1872-1895), yaitu Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti. Beliau memiliki taktik dan strategi perang yang unik, seperti “politik bumi hangus”. Dengan perlengkapan senjata tradisional ia dan para pejuang pribumi lainnya tidak gentar melawan kolonialisme Belanda dengan perlengkapan senjata yang lebih canggih. Namun, faktanya pihak Belanda sangat kualahan dalam mengatasi perlawanan yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti tersebut.
Dalam penelitian ini saya menggunakan metode deskribtif, yaitu suatu langkah-langkah melakukan reinterpretasi obyektif tentang fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam masalah yang diteliti. Dengan menggunakan pendekatan konflik dan kekuasaan dalam menganalisis ketokohan selama ia menjadi Raja Kerajan Tradisional Sunggal dan pemimpin dalam Perang Sunggal.
Melalui penelitian yang telah saya lakukan ini akhirnya saya dapat mengetahiu bahwa beliau merupakan sosok penguasa yang bijak dan gigih yang benar-benar menjaga wilayah kekuasaanya dan memperjuangkan kedaulatan rakyatnya. Ia juga memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan berjiwa patriotik serta seorang raja yang mencintai dan dicintai rakyatnya.
ABSTRACT
Writing this thesis background by my curiosity to the character and also a leader in Sunggal War (1872-1895), namely Datuk Sri Indera Heroes of Kings Badiuzzaman Surbakti. He has the tactics and strategies of war are unique, such as the "scorched earth policy". With his traditional armor and other indigenous fighters did not flinch against Dutch colonialism with more advanced armor. However, the fact that the Dutch are very kualahan in overcoming resistance led by Datuk Bediuzzaman Surbakti it.
In this study I use deskribtif method, which is a step-by-step do reinterpretation objective social phenomena contained in the problem under study. By using this approach in analyzing conflict and power during his persona became King Traditional Sunggal chaplain and leader in Sunggal War.
Through research I have done this I can finally figure know that he was a wise ruler and persistent truly maintain their authority, territory and fight for the people's sovereignty. It also has a high sense of nationalism and a patriotic spirit and a king who loved and loved people.
KATA PENGANTAR
Bismillah itu permulaan kalam
dengan nama Allah Kholikul Alam
di permulaan kitab diperbuat nazam
supaya diingat sejarah yang tersulam
Tahun 1872 dalam kitab dicatatkan
sejarah perang Sunggal mulai dimulakan
tahun 1895 Batak Oorlog lain sebutan
akhir perang besar memakan banyak korban
Datuk Kecil pahlawan yang disebutkan
mempertahankan prinsip dan keyakinan
Datuk Jalil dan Sulong Barat menyambut sahutan
menjaga Sunggal dari kejahatan dan keserakahan
Datuk Kecil menyerang menerjang
bersama Datuk Jalil dan Sulong Barat berjuang
rakyat kecil menjadi semakin senang
jaga Serbanyaman dari amukan perang
Tuanku Mahmud Perkasa Alam namanya
berhubungan dengan pemerintah Belanda
menyerahkan tanah sebagai cinderamata
Syair tersebut menggambarkan awal mulanya terjadi Perang Sunggal.
Maka, perangpun telah dimulai, Korps ekspedisi lalu dipersenjatai, tiga kali
pengiriman Sunggal dibantai, khianat Van Stuwe, pahlawan kita terkulai.
Perjuangan tidaklah sampai di situ Datuk Sri Diraja ikut menjadi pemersatu
bersama adiknya, Datuk Alang, terus menyerbu menghancurkan Belanda,
menjadikannya abu Perlawanan rakyat semakin berapi-api gerilya Langkat di
Gunung Tinggi, jadilah bukti perang Tuan Rondahain, di Bedagai, semakin berani
gerilya Pak Netek, di Asahan, juga menjadi saksi Seperti Datuk Kecil dan Datuk
Jalil sebelumnya Datuk Sri Diraja dan Datuk Alang bernasib sama di bawah
rongrongan Belanda dan antek-anteknya, akhirnya wilayah Datuk Sunggal
porak-poranda.
Perlawanan terhadap kekuasaan Belanda sebagai advokasi atau pembelaan
kepentingan rakyat kecil, yaitu para petani atau pengusaha perkebunan
bumiputera, merupakan inti perjuangan Datuk Badiuzzaman Surbakti. Pemodal
asing atau pemerintah kolonial dilawan karena tindakan atau perbuatannya yang
tidak memenuhi rasa keadilan. Tentu saja, belum dapat dikatakan bahwa
perlawanan dan perjuangan rakyat itu menjadi satu-satunya sumber inspirasi dari
perjuangan itu. Akan tetapi, perlawanan-perlawanan yang muncul itu ada benang
merahnya, yaitu suatu gerakan emansipasi atau persamaan hak dan status
kekuasaan kolonialisme Belanda. Perang yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman
Surbakti dalam Perang Sunggal memang berakhir pada 1895, tetapi bukan berarti
perlawanan rakyat itu berakhir. Dengan berbagai cara dan tindakannya sendiri,
rakyat meneruskan perlawanan menentang kolonialisme dan ekspansi pemodal
asing yang mengisap kekayaan alam bumi Indonesia. Lewat gangguan pada
pemukiman para kuli dan pembakaran bangsal penggilingan tembakau, rakyat
menunjukkan bahwa perlawanan itu masih terus berlangsung. Perlawanan Datuk
Badiuzzaman Surbakti dapat dipatahkan lewat konspirasi dan kolusi pemodal
swasta asing dengan pemerintah Belanda, dibantu oleh elite tradisional yang tidak
memiliki jiwa nasionalistik. Meskipun berbeda kepentingan dan pandangan
politik dengan Sultan Deli, dalam rangka menjalin semangat perjuangan bangsa
atau kaumnya, Datuk Badiuzzaman Surbakti tetap meneruskan tali silaturahmi
dengan tetap mau diajak berunding. Perundingan sebagai niat baik sang datuk pun
bisa ditunggangi oleh kepentingan Belanda, tetapi datuk tetap tidak mundur.
Melihat kekuatan lawan, pasti Datuk Sunggal bisa memperhitungkan hasilnya,
bahwa perjuangan itu tidak mudah, namun dia tidak mau menyerah. Ia dengan
rela menanggung risiko atas prinsip perjuangan yang dipikulnya dengan hukuman
pembuangan hingga akhir hayatnya. Memang, perjuangan untuk masyarakat
mewujudkan keadilan, persatuan, dan kemerdekaan tidak mudah, bahkan pada
masa sekarang pun. Usaha itu memerlukan perjuangan panjang yang menuntut
pengorbanan besar, baik waktu, materi, bahkan pengorban jiwa. Perjuangan Datuk
Badiuzzaman Surbakti telah menjadi inspirasi dan semangat bagi masyarakat pada
emansipasi dan mewujudkan kesejahteraan bangsa ini tidak akan pernah selesai.
Dalam konteks itulah, bangsa Indonesia menghargai dan tetap menjunjung tinggi
semangat dan perjuangan Datuk dari Sunggal ini untuk diaktualisasikan pada
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas kehadiratnya.
Karena dengan hidayah, innayahnya serta karunianya saya dapat
melakukan penelitian ini dengan baik.
2. Tidak lupa pula saya ucapkan sholawat dan salam kepada junjungan besar
Nabi Muhammad SAW, semoga kita mendapat hikmahnya dihari kelak.
3. Ucapan terimaksih yang sangat besar terutama kepada ibu saya yang
selama ini memberikan doa, kasih sayang, perhatian dari kecil hingga
tumbuh dewasa seperti sekarang dan selalu memberikan semangat selama
perkuliahan sampai kepada penelitian ini.
4. Kepada kakak dan abang-abang saya, terima kasih sudah banyak
memberikan dukungan moral dan semangatnya.
5. Kepada Ibu Asmyta Surbakti yang telah banyak membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
6. Kepada Ibu Ani yang dulunya adalah wali kelas SMA saya sampai
sekarang ia merupakan motivator bagi saya.
7. Kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si. selaku Dekan FISIP USU.
8. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M. Si. selaku Ketua Departemen Ilmu
Politik FISIP USU
9. Kepada Bapak Drs. Anthonius Sitepu, M. Si. selaku dosen dosen
10.Kepada Bapak Muryanto Amin, S. Sos, M. Si selaku dosen pembacaya
saya.
11.Kepada Marco Bangun, Benson A. Kaban, Fernando Bangun dan kelurga
yang telah memberikan inspirasi dan informasi sehingga saya mengangkat
judul ini.
12.Kepada kawan-kawan khususnya jurusan Ilmu Politik angkatan 2008
khususnya dan semua mahasiswa Ilmu Politik umumnya yang telah
memberi masukan-masukan bagi kelancaran penelitian ini.
13.Kepada guru-guru SMA NEGERI 1 NGUNUT, Tulung Agung, Jatim.
Terima kasih sudah memberikan pelajaran dan pengalaman yang sangat
berharga dalam kehidupan saya.
14.Kepada guru-guru SMP NEGERI 1 MEDAN, terima kasih atas segala
pelajaran dan bimbingannya.
15.Kepada guru-guru TK dan SD, atas kesabaran dan ketekunanya dalam
mengajar dan membimbing saya, sehingga saya dapat membaca dan
ABSTRAK
Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh rasa keingintahuan saya terhadap tokoh dan sekaligus pemimpin dalam Perang Sunggal (1872-1895), yaitu Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti. Beliau memiliki taktik dan strategi perang yang unik, seperti “politik bumi hangus”. Dengan perlengkapan senjata tradisional ia dan para pejuang pribumi lainnya tidak gentar melawan kolonialisme Belanda dengan perlengkapan senjata yang lebih canggih. Namun, faktanya pihak Belanda sangat kualahan dalam mengatasi perlawanan yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti tersebut.
Dalam penelitian ini saya menggunakan metode deskribtif, yaitu suatu langkah-langkah melakukan reinterpretasi obyektif tentang fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam masalah yang diteliti. Dengan menggunakan pendekatan konflik dan kekuasaan dalam menganalisis ketokohan selama ia menjadi Raja Kerajan Tradisional Sunggal dan pemimpin dalam Perang Sunggal.
Melalui penelitian yang telah saya lakukan ini akhirnya saya dapat mengetahiu bahwa beliau merupakan sosok penguasa yang bijak dan gigih yang benar-benar menjaga wilayah kekuasaanya dan memperjuangkan kedaulatan rakyatnya. Ia juga memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan berjiwa patriotik serta seorang raja yang mencintai dan dicintai rakyatnya.
ABSTRACT
Writing this thesis background by my curiosity to the character and also a leader in Sunggal War (1872-1895), namely Datuk Sri Indera Heroes of Kings Badiuzzaman Surbakti. He has the tactics and strategies of war are unique, such as the "scorched earth policy". With his traditional armor and other indigenous fighters did not flinch against Dutch colonialism with more advanced armor. However, the fact that the Dutch are very kualahan in overcoming resistance led by Datuk Bediuzzaman Surbakti it.
In this study I use deskribtif method, which is a step-by-step do reinterpretation objective social phenomena contained in the problem under study. By using this approach in analyzing conflict and power during his persona became King Traditional Sunggal chaplain and leader in Sunggal War.
Through research I have done this I can finally figure know that he was a wise ruler and persistent truly maintain their authority, territory and fight for the people's sovereignty. It also has a high sense of nationalism and a patriotic spirit and a king who loved and loved people.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak asing lagi dengan apa yang biasa
kita sebut dengan istilah konflik. Konflik ini terjadi antar individu maupun antar
kelompok yang memperebutkan hal yang sama, mengingat sifat manusia yang
tiada batas akan sebuah kepuasan dan selalu ingin berkuasa. Begitu juga dengan
kekuasaan, disetiap jalinan hubungan disitu pula terdapat sebuah kuasa antara
yang satu dengan yang lain. Kekuasaan sebenarnya hanya menjadi salah satu
objek, tapi tidak pula bisa dipungkiri bahwa kekuasaan merupakan aspek yang
relatif penting dalam kehidupan. Konflik yan terjadi bukanlah tanpa sebab dan
tujuan, yang salah satunya adalah ingin memperebutkan sumber-sumber yang
sama (disatu pihak ingin merebut/memiliki, dan dipihak lain ingin
mempertahankannya. Kekuasaan yang dimaksud disini adalah pihak yang satu
mengusai pihak lain. Pada akhirnya konflik yang terjadi adalah dalam rangka
ingin memperebutkan sebuah kekuasaan (sumber-sumber kekuasaan yang sama)
yang terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama (meskipun tidak bisa kita
Melihat perjalanan sejarah bangsa Indonesia, terutama pada masa
penjajahan oleh Belanda dengan jangka waktu cukup lama, Belanda datang ke
Indonesia dengan berbagai alasan, diantaranya adalah karena tanahnya yang
sangat subur untuk di tanami rempah-rempah dan tanaman lainnya seperti
tembakau. Melihat hal yang demikian, setelah beberapa waktu menduduki
beberapa wilayah yang ada di Indonesia, maka pihak Belanda berinisiatif untuk
memperluas tanah kekuasaannya secara paksa di wilayah Indonesia. Kekuasaan
dalam hal ini berarti bagaimana para kolonialis Belanda ingin menguasai tanah air
penduduk pribumi dan bagaimana pula penduduk pribumi melakukan
perlindungan terhadap daerah kekuasaannya dengan berbagai bentuk perlawanan
atas usaha-usaha Belanda untuk memperluas daerah kekuasaannya.
Para pahlawan terdahulu telah bersedia mengangkat senjata,
mengorbankan segenap jiwa dan raganya dalam rangka menentang kolonial
Belanda yang ingin menduduki bumi pertiwi ini. Banyak peristiwa bersejarah
yang tidak sedikit merenggut nyawa para pahlawan kita yang membela akan
kesucian tanah air nenek moyang kita. Seperti misalnya Perang Diponegoro,
perang ini adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830)
yang terjadi di
De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran
Yogyakarta bernam
korban yang tidak sedikit baik korban harta maupun jiwa. Begitupula di
oleh Sisingamangaraja, ini adalah sebagian kecil dari sejarah perjalanan bangsa
Indosensia menuju kemerdekaannya.
Dan khususnya di tanah Sunggal, Medan, Sumatera Utara telah terjadi
perlawanan rakyat pribumi melawan Belanda, perang ini merupakan salah satu
peristiwa sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya.
Perang ini adalah perjuangan rakyat Sunggal dalam mempertahankan tanah
tumpah darahnyadari penguasaan tangan penjajahan Belanda. Wilayah Sunggal
(Serbanyaman) yang sangat subur ketika itu ingin dikuasai oleh perusahaan
perkebunan Belanda untuk ditanami tembakau. Penguasaan itutanpa seizin raja
dan rakyat Sunggal sehingga timbullah peperangan.Perang ini merupakan salah
satu perang yang terbesar sehingga pemerintah Hindia Belanda harus
mengeluarkan 'Medali Khusus' untuk menghargai para pemimpin perang ini dari
pihak mereka. Hal itu diketahui dari catatan yang terdapat di Museum KNIL,
Bronbeek(Belanda).1
Ada beberapa tokoh pejuang yang terlibat secara langsung dalam Perang
Sunggal ini. Mereka berusaha mempertahankan Sunggal (Serbanyaman), tanah
airnya, dari penjajahan Belanda. Tokoh- tokoh tersebut antara lain ialah Datuk
Badiuzzaman Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Mahini
Surbakti (Datuk Kecil), Datuk Jalil Surbakti, dan Datuk Sulong Barat Surbakti.
Pemicu terjadinya Perang Sunggal ini adalah masalah tanah. Ketika itu ada sistem
1 Tengku Lukman Sinar, SH. 1988. Perang Sunggal (1872-1895). Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
pemerintahan tradisional yang di sebut Urung (desa/perkampungan), dan di
daerah Deli sendiri terdpat 4 wilayah Urung anatara lain: Sunggal, Sepuluh Dua
Kuta Hamparan Perak, dan Sukapiring.2
Pada tahun 1872 Datuk Badiuzzaman Surbakti dan adiknya Datuk Alang
MuhammadBahar Surbakti dengan didukung rakyat Serbanyaman (Sunggal) dan
suku-suku lainnya mulai mengadakan perlawanan dengan mengangkat senjata
terhadap Belanda. Ketika itu, Belanda didukung oleh Sultan Mahmud Perkasa
Alam. Datul-datuk Sunggal tersebut menghendaki Sunggal merdeka dari
siapapun. Kedatukan Sunggal telah melihat bahwa di Deli terdapat pemberian
tanah tanah rakyat secara besar-besaran kepada maskapai-maskapai
perkebunan tembakau Belanda dan keuntungan-keuntungan yang besar serta
pajak yang masuk ke kantong Belanda memebuat Sunggal menentang perluasan Pada masa itu wilayah Sunggallah yang
memiliki tanah paling subur yang cocok untuk dijadikan perkebunan oleh
maskapai-maskapai perkebunan Belanda dan sekaligus wilayah Sunggal adalah
Urung yang terkuat di daerah Deli. Pada tahun 1870 Sultan Mahmud Perkasa
Alam (Sultan Deli) memberikan tanah yang subur di wilayah Sunggal untuk
dijadikan konsensi perkebunan perusahaan Belanda yang bernama De
Rotterdam dan Deli Maschapij. Pemberian tanah ini tanpa melalui perundingan
dengan penguasa serta rakyat wilayah Sunggal sehingga timbullah perlawanan
bersenjata.
2 Tengku Lukman Sinar, SH. 2009. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
perkebunan-perkebunan itu kedalam wilayah Sunggal, sedangkan Belanda dan
maskapai-maskapai perkebunan menganggap Sunggal itu adalah taklukan Sultan
Deli sehingga izin mendapat tanah cukup dengan persetujuan Sultan Deli saja.
Atas hal tersebutlah maka Datuk Kecil mengumpulkan dukungan rakyat Melayu
dan Karo dari hulu Sunggal yang juga takut bila tanah adat mereka akan diambil
Belanda begitu saja.
Perlawanan rakyat Serbanyaman (Sunggal) dilakukan rakyat dengan
bergerilya sambil membakar bangsal-bangsal tembakau diatas tanah rakyat yang
dikuasai oleh Belanda. Dalam perang ini, beliau, Datuk Badiuzzaman Surbakti
terlihat taktis dalam melakukan perlawanan terhadap pihak Belanda, ia
memecahbelah konsentrasi taktik penyerangan yang dilakukan Belanda,
meskipun para pejuang hanya memiliki senjata yang sederhana seperti pedang,
tombak, senapan locok melawan musuh yang dipersenjatai dengan senjata yang
lebih canggih, tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat juang para pahlwanan
untuk tetap maju dan perang demi perang alhasil sering dimenangkan oleh para
pejuang dengan tidak sedikit mengorbankan nyawa para pejuang yang ikut
didalam medan perang. Begitu juga dari pihak Belanda yang sering kualahan
melawan para pejuang dan sering meminta bantuan pasukan dari pusat yang
berada di Jawa ketika itu.
Yang pertama, tibanya Korps Ekspedisi Militer Belanda yang ke-1. Untuk
segera dibentuk secara tergesa-gesa dengan gabungan Angkatan Darat dan
Korps Marinir Angkatan Laut dari kapal-kapal perang Banka dan Den Briel.
Panglima Korps Ekspedisi I ini adalah Kapten W. Koops, dan langsung menuju Ke
Sunggal pada tanggal 15 Mei 1872. Bantuan Korps Ekspedisi Militer Belanda yang
ke-2, hal inipun tidak banyak memberikan bantuan terhadap pasukan Belanda
dalam peperangan. Dan yang terakhir tibanya Korps Ekspedisi Militer Belanda
yang ke-3. Panglima Angkata Darat Hindia Belanda menganggap bahwa pimpinan
Letnan Kolonel Von Hombracht tidak becus untuk mengatasi situasi di Deli,
karena tidak ada kemajuan apa-apa yang berarti yang dapat dicapainya. Pada
tanggal 24 September tibalah di Deli kapal perang Willem III membawa
anggota-anggota pasukan baru Belanda dalam Ekspedisi Militer ke-3 yang dipimpin oleh
Mayor N. W. C. STuwe.3
Dengan pimpinan Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti dan adiknya
Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, rapat-rapat rahasia dengan pemuka
rakyat sering diadakan untuk merencanakan strategi perang melawanpasukan
Belanda. Keadaan di Deli sendiri ketika itu sedang gawat karena bahaya
kelaparan mengancam yang disebabkan kaum tani turut bersimpati tidak
menjual beras kepada Belanda. Sehingga Belanda terpaksa mengimpor beras
secara besar-besaran dari Rangoon, Birma. Di samping itu perlawanan terus
terjadi dimana-mana yang dipimpin oleh Sri Diraja dengan bergerilya dan
membakar bangsal-bangsal tembakau milik Belanda. Kerena perlawanan yang
dipimpin Datuk Badiuzzaman Surbakti ini sulit dipadamkan oleh Belanda, maka
Belanda secara licik menipu belia dalam sebuah perundingan damai,beliau
tiba-tiba ditangkap oleh pasukan Belanda pada tahun 1895 dan kemudian beliau
bersama adiknya Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti di buang ke Tanah
Jawa seumur hidup.
Meskipun perang ini oleh pihak Belanda di sebut “Perang Batak “ karena
pertempuran yang sering terjadi berada di wilayah pegunungan yang didiami
suku Batak Karo, namun perang ini bersifat nasionalis, karena :
1. Tidak berunsur keagamaan (di sini suku Melayu Islam yang bersatu
dengan suku Batak Karo yang belum beragama pada masa itu).
2. Kerjasama dari berbagai suku bangsa, yaitu suku Melayu, suku Batak
Karo, Suku Aceh Gayo).
3. Menentang perampasan tanah-tanah rakyat oleh pihak perkebunan milik
Belanda.
4. Mempertahankan tanah air terhadap ekspansi kolonial Belanda.
5. Membentuk popular front untuk pembebasan dimana Belanda sudah
bercokol.4
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan ada beberapa masalah
menarik yang tentunya akan dibahas dalam bab selanjutnya. Yang pertama, apa
sebenarnya hal yang melatarbelakangi bahwasannya Sultan Deli yaitu Sultan
Mahmud Perkasa Alam memberikan tanah Sunggal yang subur kepada Belanda
untuk ditanami tembakau. Hal ini sangat menarik untuk diketahui jika melihat
kebelakang bahwa keturunan nenek moyang Kesultanan Deli berasal dari
seorang perempuan yang bersuku Karo bernama Nang Baluan Surbakti yang
dikawini oleh Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan, salah satu seorang
Panglima Dari Sultan Iskandar Muda Aceh di tahun 1612. Yang kedua, dalam
penelitian ini penulis juga akan memberikan penjelasan-penjelasan mengenai
sebuah permasalahan mengapa Kesultanan Deli lebih memilih untuk bersekutu
kepada Belanda. Yang ketiga, dalam perjalanan perang, mengapa pihak Belanda
dengan senjata yang lebih canggih sering kualahan dalam perang melawan para
pejuang dengan senjata yang bersifat tradisional. Pemimpin perang Sunggal
seperti Datuk Badiuzzaman Surbakti dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya ketika
itu tentunya mempunyai taktik khusus untuk melawan musuh sehingga ia dan
para pejuangnya sering mendominasi peperangan.
Melihat proses dan memakan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 23
tahun, dan banyak korban yang berjatuhan dalam medan perang (baik dari pihak
para pejuang maupun dari pasukan Belanda), serta kepiawaian Datuk
Badiuzzaman Surbakti dalam memimpin perang, hal ini juga menarik minat
penulis untuk melakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui dan
mengeksplorasi berbagai fakta yang sebenarnya terjadi dalam perang sunggal.
penelitian ini dengan judul KONFLIK DAN KEKUASAAN: Suatu Studi Perjuangan
Politik DatukBadiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal (1872-1895).
2. Perumusan Masalah
Dalam menganalisis bagaimana konflik dan kekuasaan yang terjadi
didalam Perang Sunggal yang di pimpin oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti, tentu
diperlukaan kajian yang mendalam tentang konsep konflik dan kekuasaan,
sehingga dapat membentuk sebuah pemaparan yang jelas mengenai kepiawaian
beliau dalam memimpin Perang Sunggal. Berbeda ketika perang yang dipimpin
langsung oleh pamannya, Datuk Muhammad Dhini Surbakti, Datuk Badiuzzaman
Surbakti terlihat lebih taktis dalam dalam merencanakan strategi perang dan
mengkoordinasi para pejuang lainnya. Kemudian kekuasaan yang ditunjukkan
oleh beliau sebagai Raja Sunggal yang begitu perhatian dan sangat bijaksana
dapat dirasakan oleh rakyatnya, sehingga rakyatnya sangat mencintai beliau dan
memberikan dukungan yang sangat besar, bahkan rakyatnya mau mengorbankan
jiwa, raga dan hartanya untuk membantu beliau dalam mempertahankan wilayah
Sunggal dari penjajahan Belanda. Berdasarkan latar belakang yang telah
dipaparkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 3.1 Tujuan Pemelitian
Adapun tujuan penulis mengadakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengeksplorasi kedudukan konflik dan perebutan kekuasaan
antara Datuk Badiuzzaman Surbakti melawan Belanda yang bersekutu
dengan Kesultanan Deli dalam Perang Sunggal.
3.2 Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis sendiri, melalui penelitian ini dapat mengembangkan
kemampuan berfikir serta mengekplorasi pemikirannya dalam karya
ilmiah ini.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
terhadap perkembangan dan pendalaman terhadap studi politik lokal,
khususnya kajian tentang teori konflik dan teori kekuasaan.
3. Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai khasanah
kekayaan ilmu politik di FISIP USU dan lembaga-lembaga atau
praktisi yang terkait dalam bidang penelitian ini.
4. Studi Kepustakaan
Mengenai penelitian ini yaitu tentang konflik dan kekuasaan yang
dicerminkan oleh Datuk Badiuzzaman surbakti dalam perang Sunggal
(1875-1895), belum ada penelitian sebelumnya yang menyinggung secara langsung
Datuk Badiuzzaman Surbakti tersebut. Tetapi karena dalam penelitian ini ada
Kesultanan Deli, yaitu tesis dari Asmyta Surbakti M. Si, Jurusan Ilmu Budaya
(Cultur Studies), Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Bali, 2004. Beliau
melakukan penelitian mengenai Istana Mimoon yang di kaji dari sudut pandang
kajian budaya dengan konsentrasi dalam bidang pariwisata industri. Berbeda
dengan penelitian ini yang dikaji melalui sudut pandang ilmu politik.
5. Pentingnya Penelitian
Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan keturunan dari Kedatukan
Sunggal. Kedatukan Sunggal itu sendiri merupakan merupakan suatu institusi adat
yang mempunyai pemimpin, dari sejarah berdirinya tidak pernah mereka berjuang
sendiri-sendiri tanpa berkoordinansi dengan yang lainnya. Apalagi dalam
perjuangan melawan Belanda, dan pemimpin perang ketika itu adalah Datuk
Badiuzzaman Surbakti yang dibantu dengan Datuk Mahini Surbakti (Datuk
Kecil), Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Jalil Surbakti, dan Datuk
Sulong Barat Surbakti. Yang ada hanya semangat perjuangan untuk menjadikan
mereka berjuang melampui batas dirinya dan keluarganya.
Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan sosok yang memiliki jiwa
patriotik dan berjuang tanpa pamrih serta diselimuti semangat nasionalisme yang
tinggi. Terbukti dalam membendung penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, ia
berjuang melalui diplomasi yaitu membentuk persekutuan agung dengan Suku
Karo, Aceh Gayo dan Suku Melayu untuk bersatu padu melawan Belanda. Beliau
Dalam hal strategi peperangan, ia membentuk suatu badan perjuangan
untuk memobilisasi rakyat pribumi melawan pasukan Belanda yang terorganisir
yang terletak di Desa Gajah. Badan perjuangan ini di pimpin oleh Datuk Kecil
Surbakti, Datuk Jalil Surbakti, dengan panglima perangnya Datuk Sulong Barat
Surbakti dan Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti dibantu dengan Nabung
Surbakti dan panglima dari Aceh yaitu Nyak Makam. Datuk Badiuzzaman
Surbakti merupakan sosok pemimpin yang pantang menyerah, meskipun ketika
pamannya yang bernama Datuk Kecil ditangkap oleh Belanda dan dibuang
seumur hidup ke Jawa, beliau tetap semangat dalam melawan Belanda dengan
mengubah pola perjuangan yang semula perang secara frontal dan terbuka
menjadi aksi-aksi sabotase dan perang gerilya. Dalam hal ini beliau mampu
membaca dan mencermati situasi politik yang berubah sekaligus sebagai taktik
untuk terus memupuk semangat perlawanan rakyat hingga titik darah terakhir.
Datuk Badiuzzaman Surbakti juga memiliki sikap non kompromi terhadap
penjajahan Belanda, karena hal itu adalah nilai dari leluhur bahwa pantang
menyerah dan tunduk terhadap penjajah Belanda. Dengan keuletan dan
kegigihannya dalam memimpin perang ia sangat berjasa pada masyarakat
Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sumatera pada khususnya, karena telah
melawan Belanda demi mempertahankan tanah airnya, selama kurang lebih 23
tahun ia berperang melawan Belanda. Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah
pejuang yang sangat berkonsisten tinggi karena hampir seluruh usianya yaitu
hampir 2/3 dari umurnya ia abdikan untuk berjuang dan berbakti demi
6.Kerangka Teori 6.1 Konflik
Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah percekcokkan,
perselisihan, pertentangan. Konflik berasal dari kata kerja bahasa latin yaitu
configure yang berarti saling memukul. Secara Sosiologis konflik diartikan
sebagai proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana
salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau
membuatnya tidak berdaya atau sikap saling mempertahankan diri
sekurang-kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda,
dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi,
bukan kerjasama. Konflik dapat berupa perselisihan (dissagreement), adanya
ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di
antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara
kedua belah pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat
memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya
kebutuhan dan tujuan masing-masing. Penyelesaian efektif dari suatu konflik
seringkali menuntut agar faktor-faktor penyebabnya diubah.5
Sosiolog besar, Ralf Dahendorf mengatakan bahwa konflik pada dasarnya
mempunyai dua makna. Pertama, konflik merupakan akibat dari suatu proses
integrasi didalam masyarakat yang tidak tuntas (tidak terselesaikan). Dalam
5Dikutip dar
konteks ini Dahendorf ingin mengatakan bahwa, konflik merupakan sebuah
gejala penyakit sosial yang dapat merusak persatuan dan kesatuan masyarakat.
Pada derajat intensitas yag tinggi, konflik semacam ini tentu dapat
meluluhlantakkan sebuah negara kesatuan hancur berkeping-keping. Kedua,
menurutnya lebih lanjut, konflik dapat pula dipahami sebagai sebuah proses
alamiah dalam rangka sebuah proyek rekonstruksi sosial. Dalam konteks ini
konflik dapat dilihat secara fungsional sebagai suatu strategi untuk
menghilangkan unsur-unsur disintegrasi didalam masyarakat yang tidak
terintegrasi secara sempurna.6
Konflik yang mengandung kekerasan, pada umumnya terjadi dalam
masyarakat-negara yang belum memiliki konsensus dasar mengenai dasar dan
tujuan negara, dan mengenai mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik Istilah konflik dalam ilmu politik acap kali dikaitkan dengan kekerasan,
seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik persaingan dan
pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok dengan
pemerintah. Masing- masing berupaya keras untuk mendapatkan dan/atau
mempertahankan sumber yang sama. Namun guna mendapatkan dan/atau
mempertahankan sumber yang sama itu, kekerasan bukan satu-satunya cara. Pada
umunya kekerasan cenderung digunakan sebagai alternatif terakhir. Dengan
demkian, konflik dibedakan menjadi dua, yaitu konflik yang berwujud kekerasan
dan konflik yang tak berwujud kekerasan.
6 Leo Agustino. 2007. PERIHAL ILMU POLITIK; Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik. Graha Ilmu.
yang melembaga. Huru-hara (riot), kudeta, pembunuhan atau sabotase yang
berdimensi politik (terorisme), pemberontakan, dan sparatisme, serta revolusi
merupakan sejumlah contoh konflik yang mengandung kekerasan.
Sedangkan konflik yang tak berwujud kekerasan pada umumnya dapat
ditemui masyarakat-negara yang memiliki konsensus mengenai dasar dantujuan
negara, dan mengenai mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang
melembaga. Adapun contoh konflik yang ak berwjud kekerasan adalah unjuk rasa
(demonstrasi), pemogokan (dengan segala bentuknya), pembangkangan sipil
(civil disobedience), pengajuan petisi dan protes, dialog (musyawarah), dan
polemik melalui surat kabar.
6.1.2 Penyebab Konflik
Pada dasarnya konflik politik disebabkan oleh dua hal. Konflik politik itu
mencakup kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertikal. Yang dimaksud
dengan kemajemukan horizontal ialah struktur masyarakat yang majemuk secara
kultural, seperti suku bangsa, daerah, agama, dan ras; dan majemuk secara sosial
dalam arti pekerjaan dan profesi, seperti buruh, petani, pedagang, pengusaha,
pegawai negeri sipil, militer, wartawan, dokter, alim ulama, dan cendikiawan, dan
arti perbedaan karakteristik tempat tingal seperti desa dan kota. Kemajemukan
horizontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing kultural
berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budaya dari ancaman kultur
nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik politik karena benturan budaya
akan menimbulkan perang saudara atau gerakan sparatisme.
Kemajemukan vertikal ialah sttruktur masyarakat yang terpolarisasikan
menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasan. Kemajemukan vertikal
dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat yang tidak memilki
atau hanya memiliki sedikit kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan memiliki
kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang
mendominasi ketiga sumber pengaruh tersebut. Jadi, distribusi kekayaan,
pengetahuan, dan kekuasaan yang pincang merupakan penyebab utama timbulya
konflik politik.
Konflik terjadi manakala terdapat benturan kepentingan. Dalma rumusan
lain dapat dikemukakan konflik terjadi jika ada pihak yang merasa diperlakukan
tidak adil atau manakala pihak berperilaku menyentuh “titik kemarahan” pihak
lain. Dengan kata lain, perbedaan kepentingan karena kemajemukan vertikal dan
kemajemukan horizontal merupakan kondisi yang harus ada (necessary condition)
bagi timbulnya konflik, tetapi perbedaan kepentingan itu bukan kondisi yang
memadai (sufficien condition) untuk menimbulkan konflik.
6.1.3 Tipe – tipe Konflik
Konflik politik dikelompokkan menjadi dua tipe. Kedua tipe ini meliputi
konflik positif dan konflik negatif. Yang dimaksud dengan konflik positif ialah
konflik yang tak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan
Mekanisme yang dimaksud adalah lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai
politik, badan-badan perwakilan rakyat, pengadilan, pemerintah, pers, dan
forum-forum terbuka yang lain. Tuntutan akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah
kelompok masyarakat melalui lembaga-lembaga itu merupakan contih konflik
positif. Sebaliknya, konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam
eksistensi sitem politik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara
nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme, terorisme dan revolusi. Kategori
ini mengandung kelemahan. Apabila mayoritas masyarakat memandang lembaga
dan struktur yang ada tidak mencerminkan kepentingan umum, konflik yang
disalurkan melalui mekanisme politik justru dipandang sebagai konflik yang
negatif. Sebaliknya, tindakan yang menentang sistem yang tidak mencerminkan
kepentingan umum dipandang sebagai konflik positif.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mentukan
suatu konflik bersifat positif atau negatif sangat bergantung pada persepsi
kelompok yang terlibat dalam konflik, terutama pada sifat masyarakat umum
terhadap sistem politik yang berlaku. Dalam hal ini, yang menjadi patokan untuk
suatu konflik yang bersifat positif atau negatif, yakni tingkat legimitasi sistem
politik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari dukungan masyarakat umum terhadap
sistem politik yang berlaku.7
Menurut Paul Conn, situasi konflik pada dasarnya dibedakan menjadi
konflik menang-kalah (zero-sum conflic) dan konflik menang-menang (
non-zero-sum conflic).
Konflik menang-kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik
sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi diantara pihak-pihak
yan terlibat dalam konflik. Ciri struktur konflik ini adalah tak mungkin
mengadakan kerjasama, hasil kompetisi akan dinikmati oleh pemenang saja
(pihak pemenang akan semuanya), dan yang dipertaruhkan biasanya menyangkut
hal-hal yang dianggap prinsipiil, seperti harga diri, iman kepercayaan, masalah
hidup atau mati, dan jabatan penting pemerintahan. Konflik antara penganut iman
dan kepercayaan tertentu dengan partai atau kelompok yang menganut ideologi
komunis merupakan konflik menang-kalah. Hal ini disebabkan keduanya tidak
mungkin mengadakan kompromi dan bekerja sama secara utuh. Sementara itu,
pemilihan umum, misalnya pemilihan presiden dan anggota kongres secara
langsung di Amerika Serikat yang menggunakan formula pluralitas dalam
menentukan siapa yang menjadi pemenang merupakan salah satu contoh tentang
konflik menang kalah.
Konflik menang-menang ialah suatu situasi dalam mana pihak-pihak yan
terlibat dalam konflik masih mungkin mengadakan kompromi dan bekerja sama
sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. Yang
dipertaruhkan dalam situasi konflik biasanya bukan hal-hal yang prinsipiil, tetapi
bukan pula hal yang tidak penting. Namun justru hal itu dianggap penting, maka
Ciri struktur konflik ini, yakni kompromi dan kerja sama, hasil kompetisi akan
dinikmati oleh kedua pihak tetapi tidak secara maksimal. Konflik yang terjadi
dalam proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara antara
pemerintah dan fraksi-fraksi di badan-badan perwakilan rakyat biasanya
diselesaikan secara kompromi. Akibatnya, semua pihak berhasil memperjuangkan
usulannya, walaupun tidak secara maksimal.
6.1.5 Tujuan Konflik
Secara umum ada dua tujuan dasar setiap konflik, yakni mendapatkan
dan/atau mempertahankan sumber-sumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan
sumber-sumber merupakan ciri manusia yang hidup bermasyarakat karena
manusia memerlukan sumber-sumber tertentu baik yang bersifat
materiil-jasmaniah maupun spiritual-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan
terhormat dalam masyarakat. Yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang
sesuai dengan kehendak dan kepentingannya.
Tujuan konflik untuk mempertahankan sumber-sumber yang selama ini
sudah dimiliki juga merupakan kecenderungan hidup manusia. Manusia ingin
memelihara sumber-sumber yang menjadi milikya, dan berupaya mempertahan
dari usaha pihak lain untuk merebut atau mengurangi sumber-sumber tersebut.
Yang ingin dipertahankan bukan hanya harga diri, keselamatan hidup, dan
keluarganya, tetapi juga wilayah/daerah tempat tinggal, kekayaan, dan kekuasaan
yang dimiliki. Tujuan mempertahankan diri tidak menjadi monopoli manusia saja
Perbedaan tujuan konflik ini merupakan perbedaan yang bersifat analitis
sebab dalam kenyatan jarang terjadi konflik yang bertujuan mendapatkan atau
mempertahankan saja. Yang sering terjadi berupa perpaduan keduanya. Dalam hal
ini, baik yang berupaya mendapatkan ataupun beupaya mempertahankan. Itu
sebabnya mengapa tujuan konflik dirumuskan sebagai mendapatkan dan/atau
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Dalam setiap kasus konflik, pihak-pihak yang terlibat biasanya membuat
perhitungan untung dan rugi. Maksudnya untuk memaksimalkan perolehan dan
meminimalkan risiko yang akan terjadi. Artinya setiap pihak berusaha untuk
mendapatkan sebanyak mungkin sumber-sumber tetapi dengan kerugian sekecil
mungkin. Yang terakhir ini sesungguhnya menjadi motif atau tujuan
mempertahankan sumber yang selama ini ingin dikuasai.
Berdasrkan deskripsi diatas, disimpulkan dalam setiap situasi konflik
selalu akan bertemu pelbagai tujuan. Dengan asumsi ini, dibuat kategorisasi
tujuan konflik sebagai berikut.
1. Pihak-pihak yan terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang sama,
yakni sama-sama berupaya mendapatkan.
2. Di satu pihak, hendak mendapatkan, sedangkan dipihak lain, berupaya
keras mempertahankan apa yang dimiliki.8
6.1.6 Intensitas Konflik
Konflik yang inten tidak selalu sama artinya denga konflik yang
mengandung kekerasan. Intensitas konflik lebih merujuk pada besarnya energi
(ongkos) yang dikeluarkan dan tingkat keterlibatan partisipan dalam konflik.
Sebaliknya, konflik yang mengandung kekerasan lebih merujuk pada akibat
konflik dari pada sebab-sebabnya. Dalam hal ini, menyangkut senjata yang
digunakan oleh pihak-pihak yang berkonflik untuk menyatakan permusuhannya.
Sementara itu, dimensi lamanya konflik (duration) dapat saja terjadi baik pada
konflik yang intens maupun konflik yang mengandung kekerasan karena
kekerasan akan dibalas dengan kekerasan sehingga konflik akan terjadi
berkepanjangan.
Pertanyaan yang muncul, apakah faktor-faktor yang mempengaruhi
intensitas dan violent (mengandung kekerasan) tidaknya suatu konflik politik?
Jawaban atas pertanyaan ini ada dua aspek. Pertama, segi eksternal. Apek ini
meliputi kondisi organisasi, stratifikasi sosial, kelas, dan kemunginan perubahan
status.
Apabila kondisi organisasi kelompok yang berkonflik secara sah
terorganisasikan, konflik terjadi cenderung tanpa kekerasan. Sebaliknya, apabila
kelompok yang berkonflik tidak terorganisasikan secara sah, kemungkinan
konflik yang mengandung kekerasan semakin besar. Apabila dari segi stratifikasi
mencakup ekonomi, pertentangan antara pihak-pihak yang berkonflik mencakup
pelbagai jenis, seperti orang desa, wong cilik, dan abangan yang berhadapan
dengan orang kota, priayi, sedangkan yang lain wong cilik tetapi kedua pihak
Selain itu, apabila dari segi kelas yang mendominasi dan yang
didominasikan, pertentangan itu mencakup pelbagai sektor, seperti kels yang
dominan di dalam negara, industri, partai, dan agama berhadapan dengan kelas
yang mendominasi di dalam negara, industri, partai, dan agama, konflik
cenderung mengandung kekerasan. Sebaliknya, pertentangan yang bersifat kelas
itu terjadi pada satu sektor saja, misalnya disatu pihak menjadi kelas domonan di
dalam suatu negara tetapi menjadi kelas yang didominasi di dalam negara namun
menjadi kelas yang dominan dalam agama, konflik tidak mengandung kekerasan.
Lalu, apabila kelas dominan dalam industri, konflik cenderung bersifat intens.
Selanjutnya, apabila pihak yang berkonflik memandang kemungkinan
perubahan status tidak hanya terjadi bagi keturunannya (mobilitas
intergenerasional), tetapi juga bagi diri sendir (mobilitas intragenerasional),
konflik tidak akan intens. Sebaliknya, apabila yang bersangkutan menilai tidak
mungkin terjadi peningkatan status bagi dirinya dan keturunannya, konflik tidak
saja cenderung intens, tetapi juga mengandung kekerasan.
Kedua, segi internal atau yang dipertaruhakn dalam konflik terdapat dua
faktor yang mempengaruhi intensitas suatu konflik, yakni besar-kecilnya
sumber-sumber yang diperebutkan, dan besar-kecilnya risiko yang timbul dari konflik
tersebut. Apabila kontestan/pihak yang terlibat dalam konflik memandang
sumber-sumber yang diperebutkan begitu besar artinya bagi dirinya, kemungkinan
terjadi konflik yang intens bukan hal yang mustahil. Persepsi kontestan mengenai
bertambah tidaknya sumber yag diperebutkan, dan kegunaan
mempengaruhipandanga kontestan mengenai besar-kecilnya sumber-sumber yang
diperebutkan. Artinya, kalau kontestan menganggap jumlah sumber yang
diperebutkan tidak bertambah/tetap, kemungkinan timbulnya konflik yang intens
semakin besar.
Demikian pula, manakala kontestan menilai sumber yang diperebutkan itu
bermakna mendalam dan sangat penting bagi kehidupannya, konflik yang intens
akan terjadi. Sementara itu, kalau pihak yang terlibat didalam konflik menilai
risiko yang bakal terjadi lebih kecil dari pada keuntungan (yang tak selalu dalam
arti materil, tetapi juga nonmateril) yang akan diperoleh dari konflik, konflik yang
intens bukan tidak mungkin terjadi.9
Di dalam studi perdamaian (peace studies) terdapat tiga istilah yang perlu
dipahami secara baikguna tidak mengacaukan pemahaman, yakni: pertama,
penyelesaian konflik (conflic resolution) merujuk pada sebab-sebab konflik
daripada manifestasi konflik. Logika yang bekerja pada pemahaman ini ialah
konflik selalu akan ada didalam kehidupan manusia. Kedua, pembasmian konflik,
merujuk kepada manifesatasi konflik dari sebab-sebb konflik. Logika yang
bermain dalam konteks pembasmian konflik adalah dalam jangka pendek konflik
dapat dibasmi dengan kekerasan, tetapi untuk jangka panjang tidak akan mungkin
menggunakan konflik karena semakin dibasmi dengan konflik, maka konflik itu
sendiri akan semakin muncul berkobar dan membesar. Selanjutnya, ketiga,
6.1.7 Pengaturan dan Pengendalian Konflik
pengaturan konflik berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih diarahkan pada
manifestasi konflikdari pada sebab-sebab konflik. Dengan asumsi konflik tidak
akan dapat diselesaikan dan dibasmi, maka konflik dapat diatur saja. Oleh karena
itu, dalam bagian akhir ini dipaparkan beberapa kajian kebijakan yang berupaya
untuk mengatur dan mengendalikan konflik.
6.2 Kekuasaan
Kekuasaan pada dasarnya melekat secara inheren pada diri manusia
sebagai manusia politik (zoon politicon). Jadi setiap manusia secara mendasar
akan memiliki keinginan yang mutlak tentangn kekuasaan. Paling tidak seseorang
akan menjadi penguasa bagi dirinya sendiri, keluarga, organisasi sederhana
sampai pada tataran organisasi yan sangat dominan dalam cakupan kekuasan
yakni negara.
Kekuaan secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan yang
terdapat dalam diri manusia atau sekelompok manusia yang dapat mempengaruhi
tingkah laku orang atau sekelompok orang lain dalam interaksinya sehingga hasil
dari interaksi yan dilakukan secara aktif ini dapat menimbulkan hasil yang sesuai
dengan tujuan dan keinginan yan terdapat pada orang atau kelompok orang yang
berkuasa itu. Jadi ini pada intinya merupakan gejala masyarakat yang muncul
dalam berbagai bentuk yang kondusif dalam kehidupan bersama.10
Ketertarikan seseorang akan kekuasaan berasal dari keinginan dan tujuan
yang dengan konsisten ingin dicapainya. Sebagai konskuensinya dia atau mereka
10
berusaha memaksakan kemauannya itu kepada pihak lain. Daya paksa ini
dilakukan dengan cara mengendalikan oran lain dengan mengutamakan
keselamatan dirinya. Demikian pentingnya kekuasaan itu sehingga simbolnya
menjadi simbol sosial. Artinya kekuasaan ini menjadi kekuasaan sosial yang akan
selalu muncul dalam hubungan-hubungan sosial dalam semua lini organisasi yang
tumbuh dan berkembang sebagai fasilitasnya.11
Ia berasumsi bahwa kekuasaan adalah suatu hubugan di mana seseorang
atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain
ke arah tujuan dari pihak pertama (power is relationship in wich one person or
group is able to determine the action of another in the direction of t she former’s
own ends). Berkaitan dengan hal ini ia juga merumuskan kekuasaan itu adalah
sebagai who gets what, when and how.
6.2.1 Kekuasaan Menurut Harold D. Laswell
12
Defenisi tentang kekuasaan yang dikemukakan diatas, setidaknya telah
membantu kita dalam memahami konsep kekuasaan, meskipun tidak bisa
dipungkiri pula bahwa interpretasi tiap orang tentang kekuassan mungkin berbeda
antara yang satu dengan lainnya. Tapi setidaknya defenisi-defenisi tesebut telah
bisa mengantarkan kita untuk sedikit mengerti tentang kekuasaan. Selanjutnya
untuk lebih memahami konsep kekuasaan dalam ilmu politik secara lebih
komprehensif, berikut ini dikemukakan beberapa dimensi kekuasaan, antara lain;
6.2.2 Dimensi Kekuasaan
1. Potensial - Aktual
Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan potensial apabila dia memiliki
sumber-sumber kekuasaan seperti, kekayaan, senjata, status sosial yang tiggi,
popularitas, pengetahuan dan informasi, massa yang terorganisi, serta jabatan.
Selanjutnya, seseorang dikatakan memiliki kekuasaan aktual jika dia mampu
menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan politik secara
efektif.
2. Konsensus – Paksaan
Aspek konsensus dari kekuasaan adalah ketika kekuasaan dijadikan alat
untuk mencapai tujuan dari masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan aspek
paksaan dari kekuasaan adalah sekelompok kecil orang menggunakan kekuassan
sebagai alat untuk mencapai tujuan tanpa menghiraukan masyarakat secara
keseluruhan dan dengan menggunakan kekerasan baik secara fisik maupun secara
psikis.
3. Positif – negatif
Aspek ini melihat kekuasaan dari tujuannya. Dikatakan kekuasaan positif
jika kekuasaan digunakan untuk mencapai tujuan yang dipandang penting dan
diharuskan. Sebaliknya dikatakan kekuasaan negatif apabila kekuasaan digunakan
untuk menghalangi orang atau pihak lain mencapai tujuannya yang tidak hanya
diandang tidak perlu, tetapi juga merugikan pihak yang berkuasa.
Aspek ini lebih melihat kekuasaan pada pihak yang memegang kekuasaan.
Kekuasaan jabatan dimaksudkan apa bila seseorang memiliki kekuasaan karena
jabatan yang didudukinya tanpa memperhatikan kualitas pribadi dari oroang
tersebut. Sedangkan kekuasaan pribadi dimaksudkan apabila sesorang memiliki
kekuasaan karena kulitas pribadi (kharisma, kekayaan kecerdasan, status sosial
yang tinggi, dsb) yang dimilikinya.
5. Implisit – Eksplisit
Kekuasaan Implisit adalah pengaruh yang tidak dapat dilihat tatapi dapat
dirasakan, sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang secara jelas
dilihat dan dirasakan.
6. Langsung – tidak langsung
Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk
mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan
hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Sedangkan kekuasaan tidak
langsung adalah penggunaan sumber-sumber untuk mempengaruhi pembuat dan
pelaksana keputusan politik melalui perantara pihak lain yang dianggap memliki
pengaruh yang lebih besar.13
Yang termasuk dalam kategori sumber kekuasaan ialah sarana paksaan
fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi), normatif, jabatan, keahlian, informasi,
6.2.3 Sumber Kekuasaan
13
Soemardji, Soelaiman. 1984, ”Cara -cara Pendekatan Terhadap Kekuasaan Sebagai Suatu Gejala Sosial”,
status sosial, popularitas pribadi, dan massa yang terorganisasi. Senjata
tradisional, senjata konvensional, senjata modern, penjara, kerja paksa, teknologi,
dan aparat yang menggunakan senjata-senjata ini merupakan sejumlah contoh
sarana paksaan fisik.14
1. Rasa Takut
6.2.4 Usur-Unsur Saluran Kekuasaan
Kekuasaan yang dapat dijumpai pada interaksi soisial antara manusia
maupun antara kelompok mempunyai beberapa unsur pokok, yaitu sebagai
berikut.
Perasaan takut pada seseorang (yang merupakan penguasa, misalnya)
menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tindakan orang yang
ditakuti tadi. Rasa takut merupakaan perasaan negatif karena seseorang tunduk
kepada orang lain dalam keadaan terpaksa. Orang yang mempunyai rasa takut
akan berbuat segala sesuatu yang sesuai dengan keinginan orang yang ditakutinya
agar terhindar dari kesukaran-kesukaran yang akan menimpa dirinya, seandainya
ia tidak patuh. Rasa takut juga akan menyebabkan orang yang bersangkutan
meniru tindakan-tindakan orang yang ditakuinya. Gejala ini yang dinamakan
matched dependent behavior,15
14
Kartodirdjo, Sartono. 1984, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta.
15 Soerjono Soekanto. 2006. SOSIOLOGI; Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 233.
yang tak mempunyai tujuan kongret bagi yang
melakukannya. Rasa takut merupakan gejala universal yan terdapat di mana-mana
dan biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat pemerintahan
2. Rasa Cinta
Rasa cinta menghasilkan perbuatan yang pada umumnya positif.
Orang-orang lain bertindak sesuai dengan kehendak pihak yang berkuasa untuk
menyenangkan semua pihak. Artinya ada titik-titik pertemuan antara pihak-pihak
yang bersangkutan. Rasa cinta yang biasanya yang telah mendarah daging
(internalized) dalam diri seseorang atau sekelompok orang. Rasa cinta yang
efisien seharusya dimulai dari pihak penguasa. Apabila ada suatu reaksi positif
dari masyarakat yang dikuasai, kekuasan akan dapat berjalan dengan baik dan
teratur.
3. Kepercayaan
Kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung antara dua
orang atau lebih yang bersifat asosiatif. Misalnya, B sebagai orang yang dikuasai
mengadakan hubungan langsung denga A sebagai pemegang kekuasaan. B
percaya sepenuhnya A kalau A akan selalu bertindak dan berlaku baik. Dengan
demikian, setiap keinginan A akan akan selalu dilaksanakan oleh B.
Kemungkinan sekali bahwa B sama sekali tidak mengetahui kegunaan
tindakan-tindakannya itu. Akan tetapi, karena dia telah menaruh kepercayaan kepada si A,
dia akan berbuat hal-hal yang sesuai dengan kemauan si A yang merupakan
penguasa agar A semakin mempercayai B. Pada contoh tersebut hubungan yang
terjadi bersifat pribadi, tetapi mungkin saja hubungan demikian akan berkembang
di dalam suatu organisasi atau masyarakat secara luas. Soal kepercayaan memang
4. Pemujaan
Sistem kepercayaan mungkin masih dapat disangkal oleh orang-orang lain.
Akan tetapi, di dalam sistem pemujaan, seseorang atau sekelompok orang yang
memegang kekuasaan mempunyai dasar pemujaan dari orang-orang lain.
Akibatnya adalah segala tindakan penguasa dibenarkan atau setidak-tidaknya
dianggap benar.
Keempat unsur tersebut merpakan sarana yang biasanya digunakan oleh
penguasa untuk dapat menjalankan kekuasaan yang ada di tangannya. Apabila
seseorang hendak menjalankan kekuasaan, biasanya dilakukan secara langsung
tanpa perantara. Keadaan semacam itu umumnya dapat dijumpai pada
masyarakat-masyarakat kecil dan bersahaja, di mana para warganya saling
mengenal dan belum dikenal adanya diferensiasi. Namun, di dalam masyarakat
yan sudah rumit, hubungan antara penguasa dan yang dikuasai terpakasa
dilaksanakan secara tidak langsung. Misalnya di Indonesia, tak akan mungkin
presiden setiap kali berhubungan langsung dengan rakyatnya yang berjuta-juta itu
dan tersebar tempat kediamannya.16
Kedalaman pengaruh kekuasaan ialah seberapa dalam perilaku individu
dipengaruhi oleh pemegang kekuasaan. Apakah mempengaruhi perilaku luar
ataukah sampai mempengaruhi perilaku dalam, seperti persepsi, orientasi, sikap
dan cara berfikir? Pemegang kekuasaan dalam sistem politik otokrasi tradisional
6.2.5 Kedalaman Pengaruh Kekuasaan
mempengaruhi perilaku luar agar anggota masyarakat tidak berperilaku yang
dapat menimbulkan gejolak-gejolak yang mengganggu keselarasan,
keharmonisan, dan ketertiban dalam masyarakat. Berbeda dengan pemegang
kekuasaan pada sistem poitik totaliter menggunakan sarana-sarana paksaan fisik
maupun psikologis untuk tidak hanya mempengaruhi perilaku luar, tetapi juga
perilaku dalam. Akibatnya , muncul gejolak massa karena desakan etnis dan
agama maupun golongan pekerja dan intelektual pada negara-negara totaliter di
penghujung tahun 1980-an.
Berbeda dengan keduanya, pemegang kekuasaan pada sistem politik
demokrasi (liberal) menciptakan sebuah suasana yang memungkinkan individu
berperilaku dalam dan berperilaku luar yang demokratis. Setiap orang sadar akan
hak-haknya, dan menghormati hak orang lain sementara pemerintah menjamin
hak-hak tersebut. Kecuali itu, setiap warga negara patuh pada hukum yang
ditegakkan pemerintah. Angota masyarakat disosialisasikan melalui lembaga
pendidikan dan media massa untuk berpersepsi, berorientasi, bersikap, dan
berperilaku demokratis.17
17 Ramlan Surbakti. op., cit. Hal. 93.
6.2.6 Cara Mempertahankan Kekuasaan
Setiap penguasa yang telah memegang kekuaaan di dalam masyarakat,
demi stabilnya masyarakat tersebut, akan berusaha untuk mempertahankannya.
1. Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama
dalam bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa, di mana
peraturan-peraturan tersebut akan digantikan dengan peraturan-peraturan
yang baru yang akan menguntungkan penguasa, keadaan tersebut biasanya
terjadi pada waktu ada pergantian kekuasaan dari seorang penguasa
kepada penguasa lain (yang baru);
2. Mengadakan sistem-sistem kepercayaan (belief-system) yang akan dapat
memperkokoh kedudukan penguasa atau golongannya, yang meliputi
agama, ideologi, dan seterusnya;
3. Pelaksanan admistrasi dan birokrasi yang baik;
4. Mengadakan konsolidasi horizintal dan vertikal.18
7. Metodologi Penelitian
Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial sudah tentu
membutuhkan kecermatan. Sebagai suatu ilmu tentang metode atau tata cara
kerja, maka metodologi adalah pengetahuan tentang tata cara mengkonstruksi
bentuk dan instrument penelitian. Konstruksi teknik dan istumen yang baik dan
benar akan mampu menghimpun data secara obyektif, lengkap dan dapat dianalisa
untuk memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo, metodologi
akan mengkaji tentang proses penelitian yaitu bagaimana peneliti berusaha
menjelaskan apa yang diyakini dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan
dilakukan.19
1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi
terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu.
7.1 Metode Penelitian
Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka
dasar teori diatas, penelitian ini memiliki tujuan metodologis, yaitu Deskripsi
(Melukiskan). Penelitian Deskriptif adalah langkah-langkah melakukan
reinterpretasi obyektif tentang fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam
masalah yang diteliti. Penelitian Deskriptif biasanya mempunyai 2 tujuan, yaitu:
2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu, seperti
interaksi sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain.
Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar
variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang
menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan
sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak
melakukan pengujian hipotesa (seperti yang dilakukan pada penelitian
eksplanatif) berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan
perbendaharaan teori.20
19 Antonius Birowo. 2004. Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta: Gintanyali. hal. 71-72.
20 Sanafiah Faisal. 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
hal. 20.
Penelitian seperti ini juga biasanya dilakukan tanpa
menguji hipotesa melainkan hanya mendeskripsikan, membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai keadaan
saat ini. Metode Deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok
manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun peristiwa
pada masa sekarang.
Metode ini merupakan langkah-langkah melakukan representasi obyektif
tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang diteliti.Ciri-ciri pokok
penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif adalah :
1. Memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitian
dilakukan atau masalah-masalah yang bersifat faktual.
2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki
sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasinasional yang memadai.
Menurut Nasir, gambaran penelitian deskriptif adalah sebagai studi untuk
menentukan fakta dengan interpretasi yang tepat. Melukiskan secara akurat
sifat-sifat dari beberapa fenomena individu atau kelompok, menentukan frekuensi
terjadinya suatu keberadaan untuk meminimalkan bias dan memaksimalkan
reabilitas. Analisisnya dikerjakan berdasarkan “exposy facto” yang artinya data
dikumpulkan setelah semua kejadian berlangsung.21
Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi
penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode 7.2 Jenis Penelitian
deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa “metodologi kualitatif”
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati22
Konsep dan ide yang pernah ditulis dalam karya-karya tokoh akan dapat
dikaji dengan melihat kualitas karya-karyanya yang mempunyai pengaruh
terhadap pemikiran politik masyarakat pada saat itu. Pengaruh tersebut bukan
hanya dalam perkembanga teri tetapi juga praktek sehingga akan dapat dikatakan
apakah pemikiran tokoh tersebut dapat dikatakan ilmiah atau memenuhi kriteria
ilmu pengetahuan. Objek penelitian ini adalah karya –karya tokoh. Penelitian
seoarang tokoh seperti yang dikemukakan Arief Furchan dan Agus Maimum
dikatagorikan kedalam jenis penelitian kualitatif, yang menelusuri pemikiran . Penelitian
kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan
informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan
dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Dari
pengertian diatas jelaslah bahwa penelitian kualitatif bersifat induktif, karena
tidak dimulai dari hipotesa sebagai generalisasi, untuk diuji kebenarannya melalui
pengumpulan data yang bersifat khusus.
Menurut Arief Furchan dan Agus Maimum dalam bukunya “Studi Toko :
Metode Penelitian Mengenai Tokoh” mengemukakan penulis harus dapat apa
yang dirasakan sang tokoh pada saat dia mengemukakan opininya. Disamping itu
metode kualitatif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih mendalam
mengenai konsep-konsep atau ide-ide.
melalui karya-karya, peristiwa yang melatar belakangi lahirnya karya tersebut dan
pengaruh karya tersebut dihasilkan.23
Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskriptif keadaan,
kejadian, interaksi dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis kualitatif,
memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu menggembangkan
komponen-komponen keterangan yang analistis, konseptual dan katagoris dari
data itu sendiri arena itu dalam penelitian ini, penulis mengembangkan konsep
dan menghimpun berbagai fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa.24
Dalam suatu penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat
diperlukan pula kemampuan memimlih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat
pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun
teknik dan alat pengumpul data ini sangat berpengaruh terhadap obyektifitas hasil 7.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa
digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview), dan
dokumentasi (documentation) serta kajian pustaka (library research). Tatang M.
Arifin mengatakan bahwa “data adalah segala keterangan atau informasi
mengenai segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian.” Dengan demikian
tidak semua informasi atau keterangan merupakan data, hanyalah sebagian saja
dari informasi, yakni berkaitan dengan penelitian.
23 Arief Furchan dan Agus Maimum. 2005. Studi Tokoh : Metode Penelitian Mengenai Tokoh. Yogjakarta.
Pustaka Pelajar. hal. 16.
penelitian. Mempertimbangkan hal tersebut, dan keharusan untuk memenuhi
validitas dan reabilitas dalam teknik pengumpulan datanya. Teknik ini adalah cara
mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan
termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan
lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.
7.4 Teknik Analisa Data
Data sekunder yang dikumpulkan untuk memperoleh hasil yang lebih
mendalam ( in- depth ) dan tidak melebar (out-depth). Setelah data yang diperoleh
dirasa sudah memenuhi untuk mendukung proses analisa, maka tahapan
selanjutnya adalah analisa data. Analisa yang dilakukan dalam penafsiran karya
tokoh dalan penelitian ini mempergunakan analisa sejarah.Menurut Tolfsen, ada
dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisa sejarah :
1. Rekrontruksi proses genetis, perubahan dan perkembangan.
2. Kegunaan dari konsep periodeisasi atau derivasi.
Dengan kedua konsep diatas maka manusia akan dapat dilacak asal mula
situasinya yang melahirkan suatu karya ataupun ide dari seorang tokoh.
Melalui analisa sejarah juga dapat diketahui seorang tokoh dalam berbuat
atau berpikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan atau
tekanan-tekanan yang muncul dari diri sendiri. Kita dapat melihat tindakan-tindakan