• Tidak ada hasil yang ditemukan

: Sistem Informasi Penelitian Universitas Kristen Satya Wacana M02441

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan ": Sistem Informasi Penelitian Universitas Kristen Satya Wacana M02441"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Taraka , Kali a ta Utara 7 Dese ber

7

(2)

SUSUNAN DEWAN REDAKSI

PROSIDING SEMINAR NASIONAL HUMANIORA DAN SAINTEK I LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UBT “Pembangunan Wilayah Perbatasan dan Pengembangan Sumber Daya Laut Tropis”

Ketua Redaksi: Dr.Ing. Daud Nawir, S.T., M.T.

Dewan Redaksi:

Prof. Dr. Adri Patton, M.Si Dr. Adi Sutrisno, M.P.

Dr. Muhammad Yunus Abbas, M.Si Dr. M. Djaya Bakri, S.T., M.T. Dr. Nia Kurniasih S.,S.P.,M.P.

Sekertariat/Sirkulasi:

Mohammad Wahyu Agang Ankardiansyah Pandu Pradana Arif Fadllullah

Ruslan Mustari Sulaiman Kartina

Mas Ayu Dewi Ratna Swari

ISSN No: 2615 3548

VOLUME DAN TAHUN TERBIT : Volume 1 , 2018

Sekretariat:

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT Universitas Borneo Tarakan

Jalan Amal Lama No.1 Tarakan

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Alloh SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga dapat terselenggara

Seminar Humaniora dan Saintek dengan tema “PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN

DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAUT TROPIS”. Seminar ini merupakan seminar

pertama yang akan diselenggarakan secara rutin oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat (LPPM) Universitas Borneo Tarakan. Melalui Seminar Humaniora dan Saintek ini

diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta dapat memberikan sumbangan

positif bagi pembangunan daerah perbatasan dan pengembangan potensi sumberdaya laut tropis.

Pertama-tama, atas nama panitia pelaksana, kami mengucapkan terima kasih yang tulus atas

bantuan tenaga, pemikiran, moral, dan material kepada seluruh pihak yang telah mendukung

berlangsungnya seminar ini. Seminar ini diikuti oleh berbagai kelompok mulai dari dosen,

mahasiswa, lembaga dan instansi pemerintah terkait, para peneliti dan praktisi dan industri, dengan

Keynote Speaker Direktur Pengembangan Daerah Perbatasan Kemendes PDTT, Ibu Dra. Endang

Supriyani, MM. Kami menerima sekitar 43 makalah ilmiah untuk disajikan dalam seminar dan

diterbitkan dalam prosiding. Diharapkan prosiding seminar ini nantinya bermanfaat bagi semua

pihak yang membutuhkan.

Tarakan, Desember 2017

(4)

DAFTAR ISI

Halaman Depan ... i

Dewan Redaksi ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... iv

Oral Presentation

Analisis Biaya Dan Waktu Pada Proyek Pembuatan Taxiway C Di Bandar Udara Juwata Tarakan

Jumaydah¹ Budi Setiawan² ... 1-9

Analisis Jalur Akses Modal dan Proses Pembelajaran terhadap Minat Berwirausaha Mahasiswa Perguruan Tinggi Sumatera Selatan

Eni Cahyani1, Novita Sari2 ... 10-19

Dampak Program Raskin terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Miskin di Provinsi Bali

Sudarsana Arka1, I Gusti Bagus Indrajaya2 ... 20-27

Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah dalam Pembangunan di Kabupaten Gianyar 2012-2016

Wayan Wenagama1dan I Nengah Kartika2 ... 28-36

Identifikasi dan Analisis Sektor Unggulan di Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Utara

Ahmad Rizani1, Ariani2 ... 37-51

Implementasi Pembangunan Berkelanjutan Di Wilayah Perbatasan (Studi Pada Pantai Amal Kota Tarakan)

Syaiful Anwar1, Said Usman2, dan Agus Tri Darmawanto3 ... 52-68

Inklusivitas Pertumbuhan Ekonomi Daerah Perbatasan: Manfaat Pertumbuhan Ekonomi Bagi Penduduk Miskin

Listya Endang Artiani ... 69-75

Kajian Evaluasi Penerapan Good Corporate Governance(studi pada Koperasi-koperasi di Kota Tarakan)

Asih Kusuma Wijayanti1, Mohamad Nur Utomo2 ... 76-92

Kajian Strategi Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kota Tarakan

Ariani1, Mohammad Nur Utomo2 ... 93-114

Korelasi Modal Sosial dengan Produksi Industri Kreatif Sanggah di Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli

I Nengah Kartika1, I Made Jember2... 115-123

Kendala Provinsi Kalimantan Utara Terhadap Pembangunan dan Permasalahan Wilayah Perbatasan

Suud Ema Fauziah ... 124-134

Pengaruh Belanja Modal, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Jumlah Penduduk terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)

(5)

Deki Fujiansyah1, Yadi Maryadi2 ... 135-143

Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal, Kinerja Infrastruktur, Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan

Masyarakat Di Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali

Made Suyana Utama1, Made Heny Urmila Dewi2, dan Made Agung Rahaja3 ... 144-165

Sinergitas Hubungan Pengelola, Partisipasi Masyarakat Dan Pemerintah Desa Dalam Meningkatkan Kinerja Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

Arief Prabu ... 166-182

Strategi Membangun Desa dan Partisipasi Masyarakat dalam Meningkatkan Kinerja Pemerintahan Desa dan Kesejahteraan

Masyarakat: Studi Kasus Di Wilayah Kecamatan Tanjung Palas Timur Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara

Arief Jauhar Tontowi ... 183-196

Adat Dan Hukum Adat Lundayeh Menunjang Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Krayan

Marthin ... 197-211

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Konsep Sister City Di Kota Tarakan

Aryono Putra1, Sapriani2, dan Zulvia Makka3 ... 212-229

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Warga Negara Indonesia Yang Dideportasi Berdasarkan Uu Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan

liza Shahnaz1, Nurzamzam2 ... 230-237

Analisis Overcrowding Di Unit Gawat Darurat (Literatur Review)

Maria Imaculata Ose ... 238-245

Deskripsi Literasi Sains Awal Mahasiswa Pendidikan Biologi Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Utara

Ratna Yulinda ... 246-258

Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Berbasis Kearifan Lokal sebagai Sumber Belajar pada RPP Guru Bahasa Inggris SMA Kota Tarakan

Syarifa Rafiqa1, Agus Rianto2 ... 259-266

Analisa Pemanfaatan Ikan Nomei (Harpadon nehereus) Pada Perikanan Pukat Hela Di Perairan Juata Laut Tarakan

Muhammad Firdaus1, Ricky Febrinaldi2, Tri Djoko Lelono3 ... 267-280

Analisis Pengaruh Rehabilitasi Dan Restorasi Mangrove Terhadap

Kondisi Sosial Ekonomi Dan LingkunganDesa Kaliwlingi Kabupaten Brebes

Dandy Eko Prasetiyo1, Firman Zulfikar2, Shinta3 ... 281-296

Analisis Produktivitas Primer Perairan Pantai Amal Kota Tarakan Bagi Pengembangan Budidaya Rumput Laut

(6)

Pemanfaatan Tambak Tradisional Untuk Pengembangan Induk Betina Kepiting Bakau (Spp)

Heppi Iromo ... 306-312

Pulau-Pulau Kecil di Indonesia Studi Pada Pulau Kera Pengelolaan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur

Wilson M.A. Therik1, Astrid B. Lusi2, Yesaya Sandang3 ... 313-329

Pertumbuhan Kuda Laut (Hippocampus barbouri) Pada Salinitas Berbeda

EkaPutri1, Desiana T. Tobigo2, SamliokNdobe3, Rusaini4 ... 330-341

Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Usaha Rumput Laut Nelayan Daerah Pesisir Pantai Amal Kota Tarakan

Riyans Ardiansyah1, Nurjannatul Hasanah2 ... 342-351

Konfrontasi Assay Jamur Pelapuk Putih Pleurotus Eryngii Dan Bakteri Secara In-Vitro

Diana Maulianawati1, Heni Irawati2 ... 352-360

Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Jumlah Jenis dan Kelimpahan Nepenthes sp.

Silfia Ilma ... 361-366

Karakterisasi Kulit Singkong (Manihot esculenta) Sebagai Biosorben Limbah Cair

Heni Irawati1, Diana Maulianawati2 ... 367-375

Pengaruh pestisida nabati ekstrak kemangi dan bawang putih terhadap ulat grayak(spodoptera lituraf.) Pada tanaman sawi (Brassica juncea L.)

Eko Hary Pudjiwati1, Rudi Lumele2... 376-380

Kekuatan Bending Komposit Berpenguat Serat Terap Sebagai Pengembangan Material Teknik Ramah Lingkungan

Ari Rianto1, Leo Dedy Anjiu2 ... 381-390

Pendataan Pengukuran Suhu dan pH Air Tambak Berbasis Mikrokontroler

Rika Wahyuni Arsianti1, Agung Witcaksono2 ... 391-400

Penentuan Kalibrasi Panjang Gelombang Terhadap Konsentrasi Larutan Gula Buatan Indonesia Dan Malaysia Dengan

Memanfaatkan Percobaan Melde

Tri Haryo Nugroho ... 401-407

Pengaruh Perubahan Probabilitas Mutasi Gen Metode Algoritma Genetika Standar terhadap Penentuan Keluaran Daya Aktif Pembangkit Kecil Tersebar Sistem Ieee 14 Bus

Achmad Budiman ... 408-422

Sistem Pengontrolan Pakan dan Air Kolam Ikan Lele Berbasis Mikrokontroler

Kandi Harianto1, Aidil2 ... 423-432

Studi Enclave Wilayah Perbatasan RI – PNG Berdasarkan Zona

Taman Nasional Wasur (Studi Kasus Wilayah Sota, Kabupaten Merauke, Papua)

(7)

Penerapan Algoritma Dijkstra Pada Aplikasi Pencarian Rute Bus Tarakan

Aidil1, Kandi Harianto2 ... 441-449

Korelasi Modal Sosial dengan Produksi Industri Kreatif Sanggah di Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli

I Nengah Kartika1, I Made Jember2... 450-458

Anomali Keterkaitan Wilayah dengan Kawasan Pinggiransebagai Kawasan Perbatasan Dalam Perspektif KebijakanPerencanaan WilayahStudi Kasus: Perbatasan Provinsi Kalimantan Utara (RI)– Sabah, Serawak (Malaysia)

Muhammad Asfihan Nur Arifin1, Tommy Firman2, Heru Purboyo Hidayat3 ... 459-478

Analisis Perekonomian Kota Denpasar

I Gusti Bagus Indrajaya1, I Wayan Yogi Swara2 ... 479-487

Kajian Batas Laut Wilayah Provinsi Kaltara Dalam Perspektif UU RI No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Dan Permendagri No.76 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah

Yackob Astor1, Hendra Julianto2... 488-499

Studi Penataan Sistem Jaringan Irigasi Di Desa Wonomulyo Kecamatan Tanjung Palas Timur Kabupaten Bulungan

Asta1, Rosmalia Handayani2 ... 500-511

Potensi Peran Wanita Dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga Nelayan

Novita Wahyu Setyowati ... 512-517

Persepsi Dan Preferensi Guru-Guru Di Kabupaten Tana Tidung Terhadap Penerapan Lesson Study Berdasarkan Motivasi Dan Sikap Untuk Pengembangan Profesionalisme Guru Wilayah Perbatasan

Vlorensius1, Kadek Dewi Wahyuni Andari2, Endik Deni Nugroho3... 518-535

Pengembangan Buku Ajar Matakuliah Bioteknologi Berbasis Science Technology Literacy (STL)

Endik Deni Nugroho1, Kartina2 ... 536-545

Kajian Tenaga Pendidik Jenjang SD, SMP Dan SMA Negeri Kota Tarakan

Alfi Suciyati1, Ibrahim2 ... 546-561

Pengendalian Kualitas Produk Sabun Cream Sachet El 350 Dengan Menggunakan Metodologi P - Chart Dan F ishbone Pada Perusahaan PT-SMU

Abdul Rizal1, Dorina Hetharia2, Triwulandari SD3 ... 562-570

Kemampuan Membaca Dan Berhitung Melalui Teknik Mendongeng Bagi Siswa Kelas Rendah SD 023 Tarakan

Inung Setyami 1, Asih Riyanti 2, Ferryansyah 3 ... 571-580

Studi Strategi Pemasaran Pariwisata Mancanegara Berbasis Pengembangan Potensi Wisata Alam Desa Munduk, Kabupaten Buleleng, Bali

(8)

PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA STUDI PADA PULAU KERA KABUPATEN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh:

Wilson M.A. Therik 1) Astrid B. Lusi 2) Yesaya Sandang 3)

1.Fakultas Pascasarjana Interdisiplin, Universitas Kristen Satya Wacana

E-mail: wilson.therik@staff.uksw.edu

2.Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana

E-mail: astrid.lusi@staff.uksw.edu

3.Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana

E-mail: yesaya.sandang@staff.uksw.edu

ABSTRAK

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan jumlah pulau sebanyak 1.192 di mana 43 pulau diantaranya adalah pulau yang dihuni oleh manusia, salah satu diantaranya adalah Pulau Kera yang terletak di kawasan Teluk Kupang dengan luas daratan 48,17 ha yang seharusnya merupakan pulau yang tidak berpenduduk karena terletak pada wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS-II/1993 tanggal 28 Januari 1993. Namun faktanya sudah sejak lama Pulau Kera ditempati oleh warga pendatang musiman dengan bangunan rumah semi permanen dan permanen. Secara administratif, penduduk Pulau Kera baru mendapat “pengakuan” dari Pemerintah Kabupaten Kupang menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2014 (Kompas, 18/8/2015) di mana Pulau Kera menjadi bagian dari wilayah RT 02, Desa Uiasa, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang. Pada pulau-pulau kecil seperti di Pulau Kera, pilihan pembangunan yang sustainable secara ekologis maupun ekonomi sangat terbatas (Hein, 1990). Kemampuan untuk mengembangkan dirinya tanpa bantuan dari luar (self-sufficiency) hampir tidak mungkin. Inilah salah satu alasan mengapa penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian lapangan (field research) di Pulau Kera dengan fokus pada kehidupan sosial masyarakat di Pulau Kera ditinjau dari aspek sosial ekonomi, sosial budaya, sosial politik dan sosial ekologis. Untuk memperoleh data yang valid dan reliable maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interview), pengamatan lapangan (observasi), serta studi dokumentasi dan kearsipan untuk menelusuri sejarah penghunian Pulau Kera. Seluruh data yang dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis menggunakan metode analisis induktif (Bungin, 2007) dan triangulasi dari berbagai data (Creswell, 2015). Keluaran dari penelitian ini adalah terumuskannya rekomendasi kebijakan (policy paper) bagi Pemerintah Kabupaten Kupang dan Pemerintah Provinsi NTT untuk mengelola Pulau Kera sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) dengan tetap memperhatikan kearifan lokal yang telah dibangun oleh para penduduk Pulau Kera selain memperhatikan keberlanjutan ekologis yang ada di Pulau Kera Kabupaten Kupang Provinsi NTT.

(9)

1. PENDAHULUAN

Dari 1.192 pulau yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu diantaranya adalah pulau Kera yang terletak di kawasan Teluk Kupang dengan luas daratan + 25 ha yang seharusnya merupakan pulau yang tidak berpenduduk karena terletak pada wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 18/KPTS- II/1993 tanggal 28 Januari 1993 untuk dimanfaatkan sebagai daerah wisata berbasis konservasi berdekatan dengan pulau Tikus dan pulau Burung. Namun faktanya sudah sejak lama pulau Kera ditempati oleh warga pendatang musiman yang kini seluruhnya bekerja sebagai nelayan tradisional.

Secara geografis, pulau Kera berada pada posisi 10o 05’ ββ” Lintang Selatan dan 123o γγ’β4”. Dilihat dari aspek fisik, pulau Kera berbentuk elips dengan sisi utara lebih luas dari sisi selatan. Wilayah perairan pulau belum banyak dimanfaatkan karena merupakan TWAL, sedangkan wilayah daratan, hanya bagian selatan saja yang ditempati oleh pemukiman penduduk dengan topografi datar 0-3 mdpl dengan pantai berpasir putih.

Transportasi laut adalah satu-satunya akses menuju Pulau Kera dengan menggunakan kapal/perahu sewaan karena memang tidak tersedia transportasi reguler menuju Pulau Kera dengan lama perjalanan antara 1-1,5 jam dan sangat disarankan untuk berlayar ke Pulau Kera pada pagi hari menjelang matahari terbit dan kembali menjelang matahari terbenam agar terhindar dari angin kencang dan gelombang besar Pada akhir pekan saat cuaca bersahabat Pulau Kera ramai dikunjungi oleh warga dari Kupang maupun dari luar Kupang untuk pesiar, berenang dan mengambil gambar (foto maupun video) apalagi didukung keindahan landscape Pulau Kera yang cocok untuk penggemar fotografi.

Jumlah penduduk di Pulau Kera sampai dengan bulan Februari 2015 tercatat sebanyak 92 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa sebanyak 316 jiwa yang tersebar di dua wilayah Rukun Tetangga (RT) yakni RT 01 dan RT 02 Pulau Kera-Desa Uiasa, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang. Mayoritas penduduk Pulau Kera beragama Islam (91 KK) dan hanya 1 KK yang beragama Kristen Katholik, dari 92 KK hanya 10 KK yang memiliki Kartu BPJS Kesehatan. Rata-rata penduduk di Pulau Kera tidak menyelesaikan pendidikannya hingga tuntas baik pada tingkat SD, SMP maupun SMA, bahkan ada yang tidak bersekolah.

Pulau Kera: “Nama dan Sekilas Sejarah”

Kata “Kera” yang melekat pada pulau seluas + 25 ha ini tentu menarik untuk dibahas namun menelusuri sejarah dari Pulau Kera adalah pekerjaan yang tidak mudah karena terbatasnya ketersediaan data baik data primer maupun data sekunder tentang sejarah Pulau Kera sebagaimana yang dikemukakan oleh Dhakidae (2008) bahwa masyarakat di Kawasan Timur Indonesia adalah bagian dari Sejarah Masyarakat Tanpa Sejarah karena dibesarkan dalam tradisi tuturan/lisan, berbeda dengan masyarakat di Pulau Jawa yang dibesarkan dalam tradisi tulisan. Satu-satunya metode yang bisa digunakan untuk mengungkapkan sejarah kehidupan masyarakat di Pulau Kera adalah Metode Sejarah Lisan (Oral History Method).

(10)

kata Takera yang dalam bahasa Solor (Flores Timur) berarti alat untuk mengambil air (gayung/ember/timba), dari kata Takera ini lah kemudian pulau Kera mulai dikenal.

Lochana (2011) menulis bahwa Pulau Kera pada mulanya merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan sering dijadikan tempat untuk mencari telur penyu, pulau yang tidak berpenghuni ini diberi nama sesuai dengan bahasa suku-suku yang pernah melakukan pencarian telur penyu di pulau tersebut. Oleh nelayan dari Pulau Rote menyebut pulau ini adalah “Pulau Kea” (Kea dalam bahasa Rote berarti Penyu), nelayan dari Suku Helong menyebut “Pulau Ke” atau “Pul Ke” (Ke

dalam bahasa suku Helong berarti Penyu).

Pada bagian lain, Lochana (2011) juga menulis bahwa pada masa pemerintahan Fetor Bissilisin, Pulau Kera dijadikan tempat pengasingan bagi orang yang oleh raja telah dituntut bersalah, tetapi yang bersangkutan berniat mengajukan permohonan ampun. Selama raja memikirkan keputusan terhadap permohonan ampun yang diajukan oleh orang yang sebelumnya telah dituntut bersalah, orang diasingkan di Pulau Kera sehingga oleh masyarakat suku Helong pulau tersebut diberi nama Ku Kedang Lau Taik yang dalam bahasa Helong berarti kugantung kesalahanmu untuk selanjutnya kuputuskan sanksinya. Selain sebagai tempat pengasingan sementara, pada masa pemerintahan Fetor Bissilisin, Pulau Kera juga merupakan tempat yang dikeramatkan bagi kelompok masyarakat suku Helong.

Kata “Kera” yang melekat pada pulau yang semula tidak berpenghuni itu karena dua kemungkinan, yakni: Pertama, bentuk kesalahan dengar terhadap pengucapan kata “Kea” sebagai “Kera” oleh penduduk berbahasa melayu Kupang di Kota Kupang. Kedua, karena kisah tentang Takera yang kemudian menjadi Kera. Satu hal yang pasti adalah Pulau Kera tidak ada hubungannya dengan nama dari hewan pemakan pisang yakni Kera/Monyet, karena memang tidak ada Kera atau pun Monyet di Pulau Kera.

Dope Candring dan Hamdani Saba tidak bisa memastikan kapan persisnya awal penghunian masyarakat di Pulau Kera, mereka berdua hanya mendengar tuturan dari orang tua mereka kalau Pulau Kera mulai dihuni pada Tahun 1900 an awal. Menurut Yahyah dan Arafah (2009), Pulau Kera pertama kali dihuni oleh etnis Bajo dan Bugis dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, kedua etnis ini diundang datang ke Pulau Timor oleh Raja Kupang untuk bersama- sama mempertahankan Pulau Timor dari penjajahan, sehingga mereka ditempatkan di Pulau Kera. Namun menurut Direktori Pulau- Pulau Kecil di Indonesia yang dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan melaporkan bahwa kedatangan Etnis Bajo dan Bugis ke Pulau Kera atas undangan dari Raja Kupang untuk melatih masyarakat Timor tentang berlaut/teknik menangkap ikan dengan peralatan tradisional di masa itu. Sedangkan Abdul Syukur (Ketua HMI Cabang Kupang) melalui situs Berdikari Online (www.berdikarionline.com) menceritakan bahwa awal penghunian masyarakat di Pulau Kera adalah pada Tahun 1915. Sumber yang lain (Lochana, 2011) menyebutkan bahwa Suku Helong adalah pemegang hak ulayat atas Pulau Kera di bawah kekuasaan Raja Helong yakni Fetor Bisilisin. Media online Seputar NTT (www.seputar- ntt.com) yang mengutip pernyataan Camat Semau Paulus Ndun bahwa pemilik sah tanah yang ada di Pulau Kera adalah keluarga besar dari Fetor Bisilisin yang menetap di Kota Kupang dan sebagian lagi adalah lahan milik Pemerintah Kabupaten Kupang.

(11)

perkembangan aktivitas pariwisata dapat berkembang dengan pesat dibelahan dunia mana saja. Walau hal tersebut belum merata dan problematik pada kelompok tertentu (misalnya, kelompok disabilitas (Cole & Morgan, 2010).

Pada kenyataannya kini pariwisata adalah salah satu sektor yang terus bertumbuh dan berkembang pesat di dunia (UNWTO, 2017). Namun ibarat sekeping mata uang, perkembangan aktivitas pariwisata memiliki dua sisi pada keping yang sama. Pada satu sisi terdapat kemanfaatan yang dapat dibawa oleh hadirnya pariwisata dan disisi yang lain pariwisata pun dapat membawa mudarat yang fatal (Cole & Morgan, 2010).

Merespon situasi yang semacam itu, terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh berbagai kalangan guna lebih memaksimalkan dampak negatif dari pariwisata sekaligus pada saat yang bersamaan menekan dampak negatifnya. Organisasi pariwisata international seperti UNWTO misalnya melansir panduan etika global bagi kepariwisataan (UNWTO, 1999). Adapun upaya-upaya semacam itu juga bahu-membahu dengan kehadiran beberapa konsep-konsep kunci dalam bidang pariwisata yang hendak memberikan basis teoritis bagi pengembangan pariwisata yang dapat dijustifikasi secara moral juga bermanfaat secara aplikatif bagi seluruh pemangku kepentingan pariwisata, diantaranya adalah: sustainable tourism, community based tourism, dan

pro-poor tourism.

Melanjutkan konsep dan panduan aplikatif tersebut, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir terdapat sebuah paradigma yang mencoba memberikan sudut pandang baru yang mengkombinasikan pendekatan aksi transformatif dalam upaya untuk menghasilkan suatu pemahaman pariwisata yang berbeda. Paradigma ini dikenal dengan sebagai hopeful tourism (Ateljevic, Morgan, & Pritchard, 2013; Pritchard, Morgan, & Ateljevic, 2011). Mengambil inspirasi dari salah satu agenda yang ditawarkan oleh hopeful tourism (agenda yang ketiga), maka di dalam makalah ini akan dibahas pentingnya memperhatikan isu hak asasi manusia dalam pengembangan pariwisata di Indonesia demi mendukung martabat manusia dan terciptannya keadilan dalam (dan melalui) bidang pariwisata.

(12)

Oleh karena itu pembahasan dalam makalah berikut ini menjadi relevan guna memahami kesenjangan antara “law in the book” dan “law in the action”, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi dalam mendekatkan celah antara keduanya. Hal tersebut dilakukan melalui eksplorasi konseptual antara pariwisata dan hak asasi manusia dalam konteks Indonesia yang dilengkapi dengan sebuah laporan hasil penelitian lapangan pada salah konteks pariwisata Indonesia. Lebih jauh, dalam khasanah penelitian hukum, pembahasan semacam ini dapat dikategorikan kedalam kajian socio-legal dan critical legal studies yang mengintegrasikan wawasan dan metode dari berbagai lintas disiplin ilmu (McConville & Chui, 2007). Sehingga pada akhirnya diharapkan melalui pendekatan semacam ini dapat terbuka peluang untuk menghasilkan wawasan kritis terhadap isu hak asasi manusia dalam sektor pariwisata di Indonesia.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bersifat eksploratif dan eksplanatif karena bermaksud untuk menelusuri dan kemudian menjelaskan kehidupan masyarakat di pulau Kera Kabupaten Kupang. Untuk mengakses data yang valid (sahih) dan

reliable (andal), maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Makna pendekatan kualitatif di sini terkait dengan teknik dan instrumen pengumpulan data, serta teknik analisis dan interpretasi data yang tidak menggunakan statistik (Strauss dan Corbin, 2003). Dalam kaitan ini terdapat sejumlah alasan yang sahih untuk melakukan penelitian kualitatif, salah satu diantaranya adalah tujuan dari dari penelitian ini yakni ingin memperoleh gambaran yang jelas tentang kehidupan sosial kemasyarakatan masyarakat di Pulau Kera.

Penulis melakukan pengumpulan data dengan beberapa metode yakni Pertama, melakukan Wawancara Mendalam (In-depth Interview) pada Bapak Hamdani Saba yang telah menetap di pulau Kera sejak Tahun 1988 dan tentu telah mengenal betul dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan masyarakat pulau Kera, inilah salah satu alasan mengapa penulis memilih Bapak Hamdani Saba sebagai Informan Kunci (Key Informan) dan Bapak Dope Candring (Ketua RT di Kelurahan Sulamu) dan Lurah Sulamu, sebagai Informan Pendukung, hasil wawancara mendalam dicatat pada buku catatan (Log Book); Kedua, penulis juga melakukan Observasi/Pengamatan Lapangan (Field Observation) dengan alat bantu berupa Digital Camera Canon SLR EOS 1100D untuk merekam secara visual aktivitas masyarakat di pulau Kera, Ketiga, selain wawancara mendalam dan observasi lapangan, penulis juga melakukan pengumpulan data sekunder dengan metode studi literatur/dokumentasi dan kearsipan baik melalui penelusuran di internet maupun penelusuran dari kliping media cetak dan penelusuran hasil-hasil penelitian terkait di perpustakaan terutama untuk mengungkap sejarah penghunian pulau Kera yang sangat terbatas literaturnya.

Wawancara dilakukan dalam suasana informal, santai tapi serius dan penuh keakraban yang diawali dengan perkenalan diri oleh penulis dan sekaligus penulis menjelaskan maksud serta tujuan dari penelitian ini selain menunjukkan surat ijin penelitian dari pemerintah Kabupaten Kupang.

(13)

Untuk analisis data, penulis menggunakan metode triangulasi data (data triangulation) yang dikembangkan oleh Creswell (2015) yakni penulis menggunakan berbagai jenis sumber data yaitu informan, waktu dan ruang. Yang dimaksud dengan informan adalah data-data dikumpulkan dari orang-orang berbeda yang melakukan aktivitas yang sama. Yang dimaksud dengan waktu adalah, data dikumpulkan pada waktu yang berbeda. Dan yang dimaksud dengan ruang adalah data-data dikumpulkan di tempat yang berbeda, jika data-data-data-data konsisten maka validitas data-data terpenuhi dan selanjutnya laporan penelitian dapat disusun (untuk diseminarkan dan kemudian dipublikasikan).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir di Indonesia dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua atau berada di persimpangan jalan. Di satu pihak ada banyak kawasan yang belum sama sekali tersentuh oleh aktivitas pembangunan, namun di pihak lain terdapat beberapa kawasan pulau-pulau kecil dan pesisir yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif. Akibatnya terlihat indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (over fishing), degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir. Fenomena ini telah dan masih berlangsung, terutama di kawasan- kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang padat penduduknya dan tinggi tingkat pembangunannya, seperti di Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan (Dahuri et al. 2004).

Adalah merupakan suatu ironi bagi sebuah negara maritim seperti Indonesia bahwa masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin. Walau data agregatif dan kuantitatif yang terpercaya tidak mudah diperoleh, pengamatan visual/langsung ke kampung-kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang tentang kemiskinan nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu besar. Pemandangan yang sering kita jumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah- rumah sangat sederhana. Kalaupun ada beberapa rumah yang menonjolkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut umumnya rumah pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat kecil. Dalam kondisi demikian, sangat sulit para nelayan ke-luar dari lingkaran kemiskinan dan bersaing dalam pemanfaatan hasil laut. Mereka akan selalu kalah bersaing dengan perusahaan penangkapan ikan, baik asing maupun nasional, yang berperalatan modern. Oleh karena itu, pemberdayaan komunitas nelayan merupa-kan langkah yang sangat krusial dalam mencapai tujuan pemanfaat-an kekayaan laut Indonesia (Sarosa, 2005).

(14)

terutama pada musim ombak yang bisa berlangsung sampai lebih dari satu bulan. Akibatnya, selain hasil tangkapan menjadi terbatas, dengan kesederhanaan alat tangkap yang dimiliki, pada musim tertentu tidak ada tangkapan yang diperoleh. Kondisi ini merugikan nelayan secara riil karena rata-rata pendapatan per bulan menjadi lebih kecil, dan pendapatan yang diperoleh pada saat musim ikan akan habis dikonsumsi pada saat paceklik.

Motif Bermigrasi

Migrasi diartikan sebagai perpindahan tempat tinggal seorang atau sejumlah penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain. Pendu-duk yang bermigrasi tersebut disebut migran. Migrasi menurut wila-yah tujuan dibagi menjadi dua yaitu: migrasi internasional dan migrasi internal. Migrasi internasional adalah migrasi dengan tujuan lintas negara sedangkan migrasi internal hanya lintas daerah dalam suatu negara. (Todaro, 2004). Secara umum alasan migrasi meli-puti motivasi ekonomi maupun non-ekonomi. Hamid (1999) mengung-kapkan bahwa motivasi ekonomi merupakan faktor dominan di samping karena adanya berbagai fasilitas di tempat yang baru yang lebih baik, yang tidak atau sukar diperoleh di tempat asal, seperti fasilitas pendidikan, hiburan, listrik, dan sebagainya. Menurut Lee (dalam Munir, 2000) ada 4 faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk bermigrasi, yaitu: 1) faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, 2) faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan, 3) rin-tangan-rintangan penghambat dan 4) faktor-faktor pribadi.

Dabidede (2002) pada penelitiannya di kota Kupang, NTT mengungkapkan bahwa kelompok nelayan pendatang (nelayan migran) di kota Kupang berasal dari dua kelompok masyarakat. Kelompok pertama berasal dari daerah-daerah yang stagnan perekonomiannya. Mereka bermigrasi untuk mencari hidup di daerah lain yang lebih menjanjikan secara ekonomi, karena mere-ka hanya bisa hidup sebagai nelayan, kelompok nelayan ini mene-mukan laut di Kota Kupang belum terjamah oleh aktivitas nelayan.

Kelompok kedua berasal dari daerah yang cukup maju namun mere-ka adalah kelompok miskin di daerah asalnya, di samping itu kelom-pok nelayan kedua ini memiliki tingkat pendidikan lebih rendah di-bandingkan dengan kelompok nelayan pertama. Alasan kemiskinan ini menyebabkan mereka mencari daerah lain untuk mendapatkan pekerjaan sebagai nelayan.

Dimensi Ekologis Masyarakat

(15)

Terhadap ekologi di Pulau Kera kehadiran masyarakat Bajo yang dikenal amat menggantungkan penghidupannya dari laut memang berkorelasi langsung dengan permasalahan ekologis yang muncul, seperti tekanan terhadap terumbu karang yang berkurang dan menurunnya habitat penyu laut. Sebagaimana diakui oleh salah seorang narasumber kunci bahwa memang pernah ada masa dimana penangkapan ikan yang merusak lingkungan akibat dari pengunaan bahan peledak dan pukat. Dahulu juga masyarakat juga melakukan praktek penangkapan penyu atas dasar motif ekonomis. Namun, seiring dengan upaya pemerintah dalam mensosialisasikan aturan tentang cara-cara penangkapan ikan yang dilarang serta perhatian terhadap spesies yang dilindungi, pada waktu sekarang ini masyarakat mulai berhenti melakukan hal-hal tersebut. Persoalan ekologis lainnya yang juga muncul adalah (dugaan) semakin berkurangnya daratan di pulau tersebut. Hal ini sinyalir oleh karena proses abrasi dan juga proses ekskavasi untuk keperluan material pembangunan rumah di Kota dan Kabupaten Kupang.

Relasi Negara dan Masyarakat

Sejarah lisan tentang awal penghunian Pulau Kera adalah sejak Tahun 1900-an dari berbagai versi cerita, namun pengakuan terhadap masyarakat Pulau Kera sebagai bagian dari masyarakat Kabupaten Kupang baru terjadi di Tahun 2014 menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Secara formal masyarakat Pulau Kera oleh Pemerintah Kabupaten Kupang telah diakui sebagai bagian dari administrasi pemerintahan Kecamatan Semau-Kabupaten Kupang, tepatnya Pulau Kera merupakan bagian dari Dusun I Desa Uiasa yang terbagi di dalam 2 wilayah Rukun Tetangga (RT) dan 1 wilayah Rukun Warga (RW).

Jika dilihat dari pertumbuhan penduduk, maka dari tahun ketahun terdapat peningkatan jumlah penduduk di pulau tersebut yang sebagain besar adalah masyarakat Bajo yang memiliki hubungan dengan kampun Bajo di Sulamu. Demikian adanya, walaupun secara administratif pulau Kera termasuk dalam wilayah kecamatan Semau, pemerintah yang menjalankan peranan secara riil adalah pemerintahan dari kecamatan Sulamu. Hal ini tercermin dari layanan kesehatan kepada ibu dan anak yang juga turut difasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat (Yayasan Tanpa Batas).

Namun selain daripada itu penduduk di pulau Kera menjalankan aktivitas lainnya secara mandiri dalam hal pendidikan dasar. Oleh karena status pulau yang seharusnya tidak berpenghuni tersebut pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius maupun sarana dan prasarana. Sedangkan terkait status kependudukan baru pada tahun 2014 masyarakat pulau Kera diberikan Kartu Tanda Penduduk dengan domisil wilayah kecamatan Sulamu. Hal inilah yang kemudian memicu perlawanan masyarakat Pulau Kera terhadap pemerintah terkait penetapan Pulau Kera sebagai bagian dari Kecamatan Semau.

(16)

di Pulau Kera, tidak hanya terjadi di kalangan suku Bajo, namun ada kawin campur antara orang Bajo dengan orang Rote dan juga orang Flores.

Relasi Bisnis dan Masyarakat

Selaras dengan derasnya berbagai narasi pariwisata pada tingkat regional, pulau Kera juga dilirik oleh pengusaha (investor) untuk dikembangkan kearah pariwisata. Namun persoalannya sejak ambisi ini tertangkap radar media yang muncul adalah suatu gambaran akan pariwisata dalam prespektif massal yang rentan tidak terhadap keberlanjutan. Pada saat yang bersamaan pemerintah tidak memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam pariwisata di TWAL, jika dilihat dari perhatian pemerintah terhadap pulau tersebut dan penduduknya. Hal ini kemudian berdampak terhadap lebih dominannya sepak terjang pengusaha untuk mengembangkan pulau tersebut.

Dari hasil penelitian terdahulu terkait perencanaan pariwisata pulau Kera, telah diberikan rekomendasi untuk melakukan RRA guna (rapid rural appraisal) guna mengetahui program pemberdayaan masyarakat yang sesuai untuk dikembangan. Dilain sisi secara ekologis diperlukan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan melalui pendekatan pengeloaan partisipatoris agar bersama-sama dapat menjaga kelestarian hayati yang ada. Namun hingga saat ini situasi tindak lanjut terhadap masukan tersebut belum nampak. Pada kenyataannya pengusaha lebih menginginkan agar warga direlokasi yang hingga saat ini masih belum menemukan titik temu dengan masyarakat.

Masyarakat sendiri sebenarnya terbuka terhadap kemungkinan untuk pengembangan sector pariwisata, hanya memang diakui bahwa dari sisi kapasitas masih sangatlah terbatas. Berbekal keahlian menangkap ikan secara tradisional, sebagian besar warga tidak memiliki bekal pendidikan formal yang memadai untuk melakukan diversifikasi usaha. Secara seporadis memang pulau Kera telah menjadi salah satu daya tarik wisata yang dalam prakteknya tidak melibatkan masyarakat setempat. Wisatawan yang datang biasanya adalah wisatawan ekskursi baik dari jalur Rote maupun Kota Kupang.

Perempuan Pulau Kera Dibawa/Dibawah Laki-Laki

Perempuan Bajo yang tinggal di pulau Kera atau yang kami singkat perempuan pulau Kera adalah perempuan yang dibawa laki-laki. Tidak ada perempuan pulau Kera yang asli. Semua perempuan pulau Kera berasal dari pulau lain yang diajak merantau oleh sang suami. Dari lima orang perempuan yang saya wawancarai hanya seorang perempuan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, dalam hal ini Rote, sedangkan empat perempuan lainnya berasal dari Sulawesi. Ada yang baru menetap di pulau Kera selama tiga bulan lebih tetapi ada yang telah menetap bertahun-tahun bahkan sampai mati tinggal di pulau Kera.

(17)

sumur, melihat kami dengan wajah penuh tanya sambil mengurus anak kemudian segera pergi ke belakang untuk mencuci. Saat kami mengajak ibu-ibu untuk duduk bersama dengan kami, mereka justru memilih untuk pergi. Dualisme ruang privat dan ruang publik diterapkan oleh masyarakat Bajo dalam relasi antara perempuan dan laki-laki bahkan anak-anak.

Perempuan berbeda namun juga sama dengan laki-laki. Ada kondisi umum yang membuat perempuan sama dengan laki-laki, namun ada pula kondisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda, tetapi bukan berarti untuk dibedakan. Peran perempuan, dan laki-laki masyarakat Bajo dibedakan oleh ruang privat dan ruang publik. Perempuan dan anak menempati ruang privat, sedangkan laki-laki menempati ruang publik. Penetapan tersebut mengkonstruksi identitas mereka.

Dalam wawancara dengan masyarakat pulau Kera, ada perbedaan pandangan tentang pekerjaan dan status perempuan pulau Kera menurut Bapak Arsyad dan menurut perempuan- perempuan pulau Kera. Pandangan Bapak Arsyad mewakili perspektif laki-laki sekaligus tokoh masyarakat Bajo di Pulau Kera. Menurut Bapak Arsyad, perempuan pulau Kera memiliki posisi sejajar dengan laki-laki. Perempuan pulau Kera pun ikut melaut guna membantu memenuhi kebutuhan suami dan atau keluarga. Pandangan ini ditentang oleh perempuan-perempuan pulau Kera.

Beberapa perempuan pulau Kera yang saya wawancarai mengatakan bahwa perempuan pulau Kera tidak pernah melaut. Melaut adalah pekerjaan laki-laki. Setiap harinya perempuan pulau Kera bekerja mengambil air di sumur, mencuci, memasak, mengurus suami dan anak, serta berbelanja kebutuhan rumah tangga di Kupang, jika angin tidak kencang. Menurut perempuan pulau Kera, seluruh pekerjaan tersebut adalah tugas mereka sebagai perempuan. Seorang Ibu pun berkata, “Perempuan memang bekerja seperti itu. Pekerjaan tersebut bukan tugas laki-laki.” Pekerjaan perempuan Bajo yang tinggal di pulau Kera berbeda dengan pekerjaan perempuan Bajo di Sulamu. Para perempuan Bajo di Sulamu ikut melaut membantu pekerjaan suami dan atau keluarga. Mereka tidak hanya diikutkan dalam ruang privat tetapi juga ruang publik. Pandangan Bapak Arsyad dan perempuan- perempuan pulau Kera menyatakan bahwa persoalan dualisme ruang privat dan ruang publik tidak diakui secara jujur oleh kaum laki-laki bahkan pada saat yang sama perempuan pun tidak merasa bahwa dualisme tersebut adalah masalah yang harus diselesaikan. Para perempuan pulau Kera justru dengan tegas mengidentifikasikan pekerjaan di ruang privat dengan identitas mereka sebagai perempuan.

Perempuan dan Kemiskinan

Kemiskinan yang tidak pernah berakhir membuat perempuan pulau Kera kebal terhadap kemiskinan. Para perempuan pulau Kera menceritakan perihal kemiskinan secara gamblang tanpa ekspresi kesedihan dan ketakutan. Rasanya kemiskinan yang mendarah daging itu membuat mereka hanya berpikir tentang cara untuk bertahan hidup.

(18)

membayar bodi perahu dari bos, uang persen untuk bos dan minyak. Setelah dipotong, uang yang hanya diterima oleh sang suami untuk dibawa pulang adalah Rp 200.000,00. Uang tersebut digunakan oleh isteri untuk membeli kebutuhan pokok di Kupang.

Situasi berbeda dialami oleh perempuan yang menjanda. Ada dua orang perempuan pulau Kera yang ditinggal mati suami. Kedua perempuan ini memiliki anak-anak yang harus dihidupi. Mereka pun berjualan kue namun keuntungan yang diperoleh sangat sedikit, bahkan tidak ada keuntungan sama sekali. Mereka menjual 1 kue dengan harga Rp 1.000,00. Kadang kala jualan tersebut laris dan mereka mendapatkan keuntungan Rp 50.000,00. Namun keuntungan tersebut digunakan untuk menutupi hutang Rp 50.000,00 yang mereka pinjam untuk membeli bahan kue, seperti tepung terigu dan bahan-bahan lainnya. Ada kalanya keuntungan Rp 50.000,00 tersebut tidak langsung mereka peroleh karena para pembeli tidak langsung membayar kue tersebut. Dengan kata lain, para pembeli berhutang kepada penjual yang berhutang kepada orang lain yang bukan tidak mungkin juga berhutang kepada orang lain. Tidak ada keuntungan yang didapatkan oleh kedua penjual kue tersebut. Kisah di atas menunjukkan bahwa kemiskinan, hutang yang tak berkesudahan melekat dalam kehidupan perempuan pulau Kera. Ini situasi yang sungguh memilukan hati.

Perempuan, Anak dan Pendidikan

Secara umum, pemerintah kabupaten Kupang tidak memberikan perhatian bagi pendidikan masyarakat pulau Kera. Pencapaian tertinggi dalam pendidikan bagi perempuan pulau Kera adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ketika kami datang hanya ada satu orang pengajar di pulau tersebut. Tampaknya proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik karena banyak anak pulau Kera yang buta huruf.

Tidak tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai, kurangnya tenaga pengajar dan kemiskinan menjadikan pendidikan sebagai hal mewah yang susah sekali diperoleh oleh masyarakat Bajo. Anak pulau Kera yang berhasil bersekolah hingga tingkat SMP adalah anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang lebih baik. Ketidaksetaraan dalam pendidikan ini menyatakan bahwa institusi pendidikan justru sadar atau tidak menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan hanya diberikan bagi mereka yang sanggup membayar. Hubungan kekuasaan antara ekonomi kuar dan lemah terlihat gamblang sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan berada dalam kebodohan terus- menerus.

Situasi semakin bertambah pelik ketika pendidikan dikaitkan dengan relasi yang tidak sejajar antara perempuan dan laki-laki. Pendidikan yang berpihak kepada laki-laki terbukti dalam dualisme ruang privat dan publik di pulau Kera. Pendidikan yang bias gender ini mengakibatkan perempuan pulau Kera dengan tingkat perekonomian yang rendah mendapatkan diskriminasi berlapis-lapis.

Perempuan, Anak dan Perkawinan

(19)

berusia di bawah 18 tahun sehingga perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun tersebut secara internasional dikategorikan sebagai perkawinan anak.

Menurut United Nations Population Fund (UNFPA) pada “Fact Sheet yang berjudul

“Marrying Too Young – End Child Marriage” halaman 11 menyatakan bahwa pernikahan anak

berkaitan erat dengan pernikahan yang diatur sepihak oleh orang tua atau wali. Berdasarkan pernyataan tersebut, pernikahan anak secara jelas telah bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Rights) pada pasal 16 (2) menegaskan bahwa “Marriage shall be entered into only with the free and full consent of the intending spouses.”

Ada inkonsistensi mengenai batas usia minimal menikah yang diatur dalam perundang- undangan. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, pasal 7 (1) menyatakan “Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Pada ayat (β) dikatakan bahwa “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.” Pada pasal lain, pasal 47 (1) dikatakan bahwa, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.” Dalam Undang- undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Inkonsistensi dalam peraturan tersebut menegaskan bahwa pemerintah masih belum serius bahkan terkesan acuh tak acuh memberantas praktik perkawinan anak.

Perkawinan anak membawa dampak negatif. Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Partini, perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berpotensi keguguran, anak dan ibu rentan terhadap penyakit, kualitas anak yang dilahirkan rendah, gizi buruk, dan putus sekolah. Perkawinan anak membuat anak kehilangan kesempatan untuk belajar dan bermain. Anak juga kehilangan masa-masa dimana mereka seharusnya bisa mendapat lebih banyak pengalaman dalam hidup. Meskipun perempuan pulau Kera memilih menikah di usia dini karena putus sekolah, namun pernikahan di usia dini membawa pengaruh buruk bagi kesehatan ibu dan anak.

Terkait erat dengan perkawinan, menurut penuturan perempuan pulau Kera, sebagian besar perempuan pulau Kera memilih untuk kawin lari karena tidak mampu melanjutkan sekolah dan calon suami mereka bertentangan dengan kemauan orangtua. Kawin lari adalah pelanggaran terhadap pasal 332 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana yang dapat dijatuhi hukuman 7-9 tahun penjara.

Perempuan dan Kesehatan

Pemerintah tidak memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat Bajo. Berdasarkan penuturan Bapak Arsyad, pelayanan kesehatan melalui posyandu baru “kemarin” diberikan bagi masyarakat. Selama ini pelayanan kesehatan diberikan oleh dukun.

(20)

sumur tua. Dua sumur yang lain adalah sumur air asin yang biasanya airnya digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Selain itu, masyarakat Bajo tidak memiliki WC di setiap rumah. WC yang tersedia hanya 1 WC umum untuk 128 Kepala Keluarga (128 KK). Sebelum menggunakan WC untuk buang air besar dan kecil, masyarakat Bajo biasanya pergi mengambil air di laut.

Kurangnya perhatian pemerintah dan kelangkaan air bersih berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat Bajo. Yayasan Tanpa Batas mencatat bahwa masyarakat Bajo mengalami gangguan dalam hal kesehatan reproduksi dan kelamin.

Dalam pembahasan mengenai kesehatan alat kelamin, masyarakat Bajo mempraktikkan sunat atau khitan perempuan. Praktik sunat ini didasarkan pada ajaran Al-Quran dan kepercayaan bahwa sunat bertujuan untuk membersihkan alat kelamin. Bagi masyarakat Bajo, praktik sunat perempuan dilakukan oleh dukun atau orangtua.

Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), ada empat tipe praktik sunat perempuan, yaitu clitoridectomy (membuang sebagian atau seluruh klitoris), excision (membuang sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora, terkadang disertai pemotongan labia mayora, bibir yang mengelilingi vagina), infibulasi (memperkecil mulut vagina dengan membuat penutupnya, yaitu memotong labia minora dan bagian dalam labia mayora, lalu menjahitkan dan merekatkan sisanya, dengan atau tanpa memotong klitoris) dan prosedur lainnya terhadap genitalia perempuan untuk tujuan non-medis misalnya menghilangkan, mengucilkan, menggores, mengikis dan membakar daerah genitalia.

Mayoritas pemeluk Islam di Indonesia mengikuti Mazhab Syafi’iyah yang mengajarkan bahwa sunat perempuan adalah wajib. Ajaran tersebut tentu tidak berpihak kepada perempuan. Dalam pandangan Syafii, perempuan adalah manusia yang tidak bisa menentukan hidupnya kecuali di bawah perintah laki-laki. Karena itu ajaran Syafii terhadap sunat perempuan perlu dibaca dalam konteks androsentrisme.

Ajaran Islam bertujuan untuk mencapai Rahmatan Lil ‘Alamin sekaligus memuat ajaran yang bermuara pada kepentingan umum/mashalah al-mursalah. Syariat Islam pun dibangun untuk mewujudkan kemaslahatan manusia secara universal, baik di dunia dan di akhirat. Berdasar pada pandangan tersebut maka sunat perempuan seharusnya tidak perlu diwajibkan.

Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari sunat perempuan, baik jangka pendek, maupun jangka panjang.

Dampak jangka pendek dari sunat perempuan adalah: 1) Pendarahan yang mengakibatkan shock atau kematian; 2) Infeksi pada seluruh organ panggul yang mengarah pada sepsis; 3) Tetanus yang menyebabkan kematian; 4) Gangrene yang dapat menyebabkan kematian; 5) Sakit kepala yang luar biasa mengakibatkan shock; 6) Retensi urine karena pembengkakan dan sumbatan pada uretra. Sementara dampak jangka panjangnya adalah: 1) Rasa sakit berkepanjangan pada saat berhubungan seks; 2) Penis tidak dapat masuk dalam vagina sehingga memerlukan tindakan operasi; 3) Disfungsi seksual (tidak dapat mencapai orgasme pada saat berhubungan seks); 4) Disfungsi haid yang mengakibatkan hematocolpos (akumulasi darah haid dalam vagina), hematometra (akumulasi darh haid dalam rahim), dan hematosalpinx (akumulasi darah haid dalam saluran tuba); 5) Infeksi saluran kemih kronis.

(21)

Indonesia yang merupakan suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

4. KESIMPULAN

Keluarga nelayan di Pulau Kera (Suami/Ayah, Istri/Ibu dan Anak-anak) perlu mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah Kabupaten Kupang terutama untuk pelayanan dasar pendidikan, pelayanan dasar kesehatan, infrastruktur pendukung seperti listrik dan air bersih.

Dari aspek sosial-ekonomi, dapat disimpulkan bahwa ketergantungan ekonomi masyarakat di pulau-pulau kecil sangat tergantung pada perkembangan ekonomi luar (pulau induk, kontinen) dan khususnya masyarakat nelayan juga sangat bergantung pada faktor alam (iklim) karena kisah kegagalan tidak hanya terjadi di kalangan kaum petani (gagal panen atau gagal tanam akibat perubahan iklim), di dunia nelayan, hari ini berhasil melaut tapi belum tentu berhasil menangkap ikan meskipun iklim sedang cerah ataupun hujan dan angin. Demikian juga dengan situasi ekonomi yang ada di Pulau Kera yang sangat minim dari fasilitas ekonomi seperti (kios, toko ataupun pasar tradisional) karena populasi penduduk yang sangat sedikit, karena itu keberlanjutan ekonomi masyarakat di Pulau Kera perlu sentuhan tangan dari pemerintah ataupun sektor swasta berupa bantuan modal usaha dan membuka akses pasar untuk usaha penangkapan ikan nelayan di Pulau Kera.

Dari sisi sosial-budaya dapat disimpulkan bahwa penduduk di pulau-pulau kecil umumnya mempunyai budaya yang khas, namun berbeda dengan penduduk migran yang mendiami pulau- pulau kecil, cenderung mereka tidak lagi memiliki budaya yang khas. Masyarakat di Pulau Kera yang mayoritas dari etnis Bajo sudah tidak lagi dekat dengan kebudayaan Suku Bajo yang khas seperti proses melahirkan, memberi nama bayi, upacara adat untuk perkawinan dan kematian, serta acara-acara adat khas Bajo lainnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Zacot, François-Robert (2008) dalam penelitian antropologinya terkait Suku Bajo di Sulawesi. Untuk kebudayaan masyarakat Pulau Kera, menurut hemat penulis masih perlu dilakukan kajian antropologi dan studi sejarah serta migrasi secara mendalam.

Secara sosial-politik, dapat disimpulkan bahwa keberadaan masyarakat di pulau-pulau kecil seringkali terpinggirkan dan dianggap sebagai bagian dari kaum minoritas, namun selalu “dimanfaatkan” dalam momentum politik seperti Pemilihan Umum terutama pada Pemilihan Umum Kepala Daerah maupun Pemilihan Umum Legislatif, hal yang sama juga terjadi di Pulau Kera pada setiap momentum Pemilihan Umum. Bagaimana pun juga masyarakat di Pulau Kera perlu mendapatkan pendidikan politik yang memadai, karena itulah partai politik dan perguruan tinggi perlu menjalankan salah satunya fungsinya yakni pendidikan politik bagi masyarakat di pulau- pulau kecil, termasuk masyarakat di Pulau Kera, agar masyarakat di pulau-pulau kecil tidak lagi “dimanfaatkan” hanya untuk kepentingan “suara” saat Pemilu.

(22)

kemasyarakatan di pulau-pulau kecil, hal yang sama juga terjadi di Pulau Kera , karena itu kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil seperti Pulau Kera perlu mendapat perhatian yang serius pada aspek sosial-ekologis.

REFERENSI

[1] Arivia, Gadis. (2016) Feminisme Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. [2] Ateljevic, I., Morgan, N., & Pritchard, A. (2013). The critical turn in tourism studies:

Creating an academy of hope (Vol. 22). Routledge.

[3] Beers, S. (2013). Thinking globally, framing locally: international discourses and labor organizing in Indonesia. Österreichische Zeitschrift Für Südostasienwissenschaften : ASEAS, 6(1), 120–139.

[4] Breakey, N., & Breakey, H. (2013). Is there a right to tourism? Tourism Analysis, 18(6), 739–748. https://doi.org/10.3727/108354213X13824558470943

[5] Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

[6] Cole, S. (2014). Tourism and water: from stakeholders to rights holders, and what tourism businesses need to do. Journal of Sustainable Tourism, 22(1), 89–106. https://doi.org/10.1080/09669582.2013.776062

[7] Cole, S., & Morgan, N. (2010). Tourism and inequality: Problems and prospects. CABI. [8] Creswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif & Desain Riset. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

[9] Dhakidae, Daniel. (2008). Sejarah Masyarakat Tanpa Sejarah. Makalah dalam Seminar Nasional Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Salatiga: PSKTI-UKSW (tidak dipublikasikan)

[10] Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice. Cornell University Press.

[11] Eriksson, J., Noble, R., Pattullo, P., Barnett, T., Eriksson, J., Noble, R., Barnett, T. (2009). Putting Tourism to Rights. Retrieved from https://www.tourismconcern.org.uk/wp- content/uploads/2014/10/LowRes_Putting- Tourism-to-Rights_A-report-by-TourismConcern2.pdf

[12] George, B. P., & Varghese, V. (2007). Human Rights in Tourism: Conceptualization and Stakeholder Perspectives. EJBO-Electronic Journal of Business Ethics and Organization Studies.

[13] Gerung, Rocky. "Rumah." Jurnal Perempuan: Untuk Pencerahan dan Kesetaraan 73 (2012): 4-5.

[14] Higgins-Desbiolles, B. F. (2006). Another world is possible: Tourism, globalisation and the responsible alternative. Flinders University of South Australia.

[15] Higgins-Desbiolles, F., & Whyte, K. P. (2015). Tourism and human rights. In C. M. Hall, S. Gössling, & D. Scott (Eds.), The Routledge Handbook of Tourism and Sustainability (First, pp. 105–116). Routledge.

(23)

Hindu Kaharingan: Studi Kasus di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah." Jakarta.

[17] Lochana, Ida Ayu, Dedi Soedharna dan Soehartini Sekartjakrarini, (2011) Perencanaan Pariwisata di Pulau Kera Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam JPSL Vol (I) 1:31-37, Juli 2011. McConville, M., & Chui, W. H. (2007). Research Methods for Law. Edinburgh University Press.

[18] McPhail, K. (2013). Corporate Responsibility to Respect Human Rights and Business Schools Responsibility to Teach It: Incorporating Human Rights into the Sustainability Agenda. Accounting Education: An International Journal, 22(4), 319–412. Retrieved from http://dx.doi.org/10.1080/09639284.2013.817791

[19] Nussbaum, M. C. (1997). Capabilities and Human Rights. Fordham Law Review, 66(2), 273–300. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

[20] Pande Sudirja S, Markeling I Ketut, I. M. P. (2013). Mogok Kerja Yang Mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Massal Pada Hotel Patra Jasa Bali.

Kertha Semaya, 10, 1–5. Retrieved from

http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/viewFile/68 43/5171 [21] Pos Kupang. Pitoby Bangun Resort Internasional. 16 Juli 2014

[22] Pritchard, A., Morgan, N., & Ateljevic, I. (2011). Hopeful tourism: A new transformative perspective. Annals of Tourism Research, 38(3), 941–963.

[23] Purwanti, Firliana. (2010) The 'O' Project. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Sandang, Y. (2014). Dimensi HAM dalam Pariwisata. Jurnal Kepariwisataan

Indonesia, Vol 9, No.1, Hal 63-70, Retrieved from

http://www.academia.edu/10046620/Dimensi _HAM_dalam_Pariwisata

[24] Sandang, Y. (2016). Kebijakan Pariwisata Indonesia dan Isu Hak Asasi Manusia. In W. W. Adzkar Ahsinin, Heribertus Jaka Triyana, Ratna Juwita, Rehulina Tarigan (Ed.), Relasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Konteks dan Perspektif Hukum di Indonesia (First, pp. 161–180). Yogyakarta: ELSAM & UGM. Retrieved from http://www.academia. edu/31727344/Kebijak an_Pariwisata_Indonesia_dan_Isu_Hak_Asasi_Manusia

[25] Sauki, Muhammad. (2010) "Khitan Perempuan Perspektif Hadis Dan Sirkumsisi Perempuan Menurut Who." Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

[26] Storey, William Kelleher. (2004). Menulis Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. [27] Strauss dan Corbin, 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Therik, Wilson M.A. (2007). Orang Laut di Tanjung Pasir Minum Madu Bercampur Racun. Tesis M.Si. Salatiga: Program Studi Magister Studi Pembangunan-Program Pascasarjana UKSW (Tidak Dipublikasikan).

[28] UNAC. (2013). the Human Rights Approach To Sustainable Development: Environmental Rights, Public Participation and Human Security, 11. Retrieved from http://unac.org/wp- content/uploads/2013/07/HRandSD-EN- PDF.pdf.

(24)

[30] UNWTO. (2017). UNWTO Tourism Highlights 2017 Edition. Retrieved from http://www.e- unwto.org/doi/pdf/10.18111/9789284419029

[31] Vallet, Ronald E. (1998) Congregations at the Crossroads: Remembering to Be Households of God. Faith's Horizons. Grand Rapids, Mich.; Manlius, N.Y.: W.B. Eerdmans; REV/Rose Pub.

[32] Veal, A. J. (2003). Leisure and Tourism Policy and Planning. Oxfordshire: CABI Publishingitle.

[33] Watchdoc. (2016). BELAKANG HOTEL (English Subtitled) - YouTube. Youtube. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=u8MhD3iy4rs

[34] Weaver, D. B. (2006). Sustainable tourism: Theory and practice. Routledge.

[35] Yahyah dan Hairati Arfah, (2009). Identifikasi dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Pulau Kera di Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur dalam Buletin Penelitian dan Pengembangan (Research and Development Bulletin) Indonesia Australia Eastern Universities Project Alumni Forum. Kupang: Forum Alumni Indonesia Australia Eastern Universities Project (IAEUP)-Universitas Nusa Cendana.

[36] Zacot, François-Robert. (2008). Orang Bajo, Suku Pengembara Laut. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Harga Penawaran Terkoreksi Alamat

- Pengadaan Kendaraan Roda Dua Penyedia Barang 1 Unit Donggala 20.000.000 P A D JUNI 2012 30 Hari. - Pengadaan Kendaraan Roda Dua Penyedia Barang 2 Unit Donggala 35.000.000

Pembangunan/Rehabilitasi Bangunan Sekolah, Pembangunan Perpustakaan, Pembangunan Laboraturium, Pembangunan Pagar Sekolah dan Pengadaan Meubelair (DID). Belanja Modal Jasa

Maka Pejabat Pengadaan Dinas Perumahan Dan Kawasan Permukiman Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun Anggaran 2017 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas

Nasional Pendidikan, pasal 38, pendidik (guru) adalah agen pembelajaran yang.. harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik,

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ilmu Keperawatan Dasar II dengan dosen pembimbing Ns.. Innez Karunia

Sehubungan dengan hasil evaluasi dokumen kualifikasi saudar a, per ihal Penawar an Peker jaan Pembangunan Pagar.. kecamatan Sebuku, maka dengan ini kami mengundang

sehingga penulis dapat meyelesaikan skripsi dengan judul “ Identifikasi Jumlah Koloni Bakteri dan Jenis Bakteri Pada Jajanan Sempol yang Dijajakan Para Pedagang