• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Pasal 48 Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2007) (Jurnal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Pasal 48 Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2007) (Jurnal)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi Pasal 48 Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2007)

(Jurnal)

Oleh

Mutia Ayu Trihastari

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PEMBERIAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR. 21 TAHUN 2007

Oleh

Mutia Ayu Trihastari, Heni Siswanto, Dona Raisa Monica Email : muttarayu@gmail.com

Tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) semakin meningkat dari hari kehari dengan modus yang semakin berkembang. Dalam tindak pidana perdagangan orang mayoritas yang dijadikan korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Permasalahan dalam skripsi ini untuk membahas bagaimana peran penegak hukum dalam mengatasi kasus pemberian hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang tersebut dan mengatahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pemberian hak restitusi dalam tindak pidana perdagangan orang.Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer data yang didapat secara langsung dari sumber pertama seperti wawancara dan data sekunder pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi dokumen selanjutnya data diolah dan dianalisis secara kualitatif.Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa iplementasi pemberian hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang oleh penegak hukum tidak berjalan dengan optimal walau dalam kasus yang penulis ambil peran penegak hukum sudah berjalan hanya saja tidak dalam setiap kasus perdagangan orang semua korban mendapatkan haknya yaitu restitusi sehingga dapat dikatakan peran penegak hukum tidak berjalan dengan baik. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007 tentang hak restitusi korban tapi tidak ada UU yang mengatur tentang bagaimana pelaksanaannya restitusi tersebut. Selanjutnya akibat hukum restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang hanya sebatas putusan saja atau hanya di atas kertas saja. Saran dalam penelitian ini adalah para penegak hukum memberikan pemahanam kepada korban untuk menuntu haknya dalam memperoleh restitusi dan kepada hakim harus lebih tegas dalam memberikan hukuman terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang.

(3)

ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF GIVING RESTITUTION RIGHT AGAINST THE VICTIMS OF HUMAN TRAFFICKING CRIMINAL ACTS BASED ON ACT NO.

21 OF THE YEAR 2007

Criminal acts of human trafficking has increased from day to day with a growing mode. In the majority of human trafficking offense women and children. Problems in this thesis is to discuss how the role of law enforcement in addressing cases of giving restitution against the victims of human trafficking criminal acts such person and do know what factors are hampered in givin theright of restitution in human trafficking criminal acts. This research is the legal research withnormative juridical approach and empirical juridical approach. The data used are theprimary data obtained directly from sources such as interviews and secondary datacollection is done with the study of literature and the study of the document. Furthermorethe data processed and analysed qualitatively Research and discussion of the resultsshowed that the implementation of restitution rights against the victims of criminal acts ofhuman trafficking by law enforcement does not run with optimal even though in the casethat the author took the role of law enforcement has been running, but not in every case ofhuman trafficking all victims get their rights, namely restitution so that it can be said therole of law enforcement is not going well. As already provided for in Article 48 of ACTNo. 21 of the year 2007 on the rights of the victim but there is no restitution ACT the setup of how implementation of such restitution. Next is due to the law of restitution againstthe victims of criminal acts of trafficking people only limited to ruling only or only onpaper. Suggestions in this study are law enforcers gave understanding to the victim to suehis right to obtain restitution and the judges should be more resolute in giving the penaltyagainst the perpetrator of human trafficking. As well as the implementing rules ofindividual related mechanism of restitution (legislation). And we need to provideknowledge or socialization about the human trafficking law and the existence of rights forvictims so that society aware to the law and society can comply with regulations.

(4)

I. PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.1 Oleh karena itu, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan menjamin hak-hak setiap warga negara tanpa terkecuali termasuk di antaranya hak untuk hidup, hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, hak persamaan kedudukan di hadapan hukum. Sebagaimana telah diketahui bersama, Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas dengan jumlah penduduk yang besar. Kelebihan tersebut justru menjadi salah satu hambatan utama terciptanya pemerataan pembangunan di segala bidang kehidupan masyarakat. Hal inilah yang sering kali menimbulkan adanya perbedaan yang sangat mendasar baik secara sosial maupun ekonomi dalam masyarakat. Tentu saja ini dapat mendorong adanya berbagai tindakan yang meresahkan masyarakat yakni perbuatan melanggar hukum yang berupa tindak pidana, salah satunya adalah tindak pidana perdagangan orang. Mayoritas korban perdagangan orang merupakan perempuan dan anak.

Trafficking atau perdagangan digunakan untuk pengistilahantindakan perdagangan manusia. Terminologi istilah trafficking merupakanisu baru di Indonesia. Sampai saat ini belum ada terjemahan yang tepatdalam bahasa Indonesia dan dapat dengan jelas membedakan dari“trading

(perdagangan). Meskipun dengan penggunaan persamaan katayang kurang tepat, istilah perdagangan

1 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar

1945, Pasal 1 Ayat 3

digunakan untuk menerjemahkanistilah

trafficking.2

Persoalan perdagangan orang yang terjadi di dunia saat ini tidak hanya terkait persoalan-persoalan hilir dalam lingkup kebijakan implementasi perundang-undangan perdagangan orang, seperti masih rendahnya respond dan komitmen negara, tindakan pencegahan dan penanggulangan lebih mengandalkan sarana penal, penanganan dan penindakan banyak diwarnai dengan permainan kotor dan kurang intensif dan efektifnya kerjasama di dalam negeri maupun lintas batas negara secara bilateral, regional dan internasional. Akan tetapi persoalannya berawal dari banyak beragamnya definisi perdagangan orang.3

Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. (Pasal 1 Angka 1 Undang-undang No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan

2Rachmad Syafaat, Dagang Manusia Kajian

Trafficking terhadap Perempuan dan Anak diJawa Timur, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2013, hlm. 11.

3Rinaldy Amrullah,dkk, Tindak Pidana Khusus

(5)

Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTPPO).4

Hal lain yang sering dialami oleh perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan ini adalah perlakuan tidak adil majikan yang berupa tindak kekerasan baik secara fisik maupun mental, bahkan mereka sering kali tidak mendapat upah secara layak sesuai dengan hak-hak mereka. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah mereka tidak tahu dimana mereka bisa mencari perlindungan, bahkan mereka sering kali tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban dari tindak pidana perdagangan yang dilakukan oleh jaringan sindikat yang telah terorganisir. Oleh karena itu, cukup banyak dari korban perdagangan lebih memilih untuk bertahan dengan pertimbangan kebutuhan hidup yang mendesak dan sulitnya mencari jenis pekerjaan lain yang lebih baik dengan latar belakang pendidikan mereka yang rendah.

Apabila ditinjau secara yuridis, maka tindak pidana perdangan perempuan dan anak tersebut melanggar hak-hak manusia dan telah bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) yang mengatakan bahwa “setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”5. Disamping itu, tindak pidana perdagangan perempuan dan anak tersebut juga melanggar ketentuan Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak,

4Republik Indonesia, Undang-Undang No.21

Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 angka 1 5Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar

1945, Pasal 27 Ayat 2

Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Di samping itu, aturan mengenai tindak pidana perdangan orang (Trafficking)

yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Berbagai pihak mengeluhkan tentang penegakan hukum yang dilakukan di Indonesia dalam rangka pemberantasan berbagai kejahatan yang marak seperti perdagangan orang. Hukum yang tegas sangat diperlukan karena negara mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah, mengivestigasi, dan menghukum tindakan perdagangan orang serta menyediakan perlindungan bagi para korban perdagangan tersebut. Penegakan hokum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hokum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.6

Mengenai perlindungan dan pemulihan korban di Indonesia saat ini masih kurang sekali hingga implikasi kondisi ini mengerucut pada ketidakadilan dan pengabaian hak-hak korban. Aparat penegak hukum maupun pemerhati masalah-masalah hak asasi manusia, khususnya kurang memadai untuk mengatasi kasus-kasus perdagangan orang sehingga korban cenderung takut untuk melaporkan kasusnya saat mereka dengan susah payah berhasil lepas dari sindikat perdagangan orang.

Ketentuan hukum tentang perdangan orang yang dibentuk harus meliputi aspek-aspek perlindungan hak asasi manusia pada tingkat pencegaham penangan, serta perlindungan dalam

(6)

pemulihan korban. Di tingkat pencegahan, perdagangan orang berkaitan erat dengan beberapa faktor, diantaranya adalah faktor kemiskinan.

Salah satu hak korban tindak pidana perdagangan orang ialah hak untuk memperoleh restitusi, pengertian dari restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Hak ini diberikan kepada korban oleh pelaku sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban akibat terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

Dari berbagai kasus perdagangan orang di Kota Bekasi contoh nyata yaitu terdakwa A.n. Nurhayati Als Nur Binti Komar yang melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang, akhirnya di vonis 3 (Tiga) Tahun penjara dan atau denda sebesar 120.000.000,00. Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan. Menghukum terdakwa untuk membayar restitusi kepada saksi korban Kuryati Binti Jaelani, Atmi Binti Kalil dan Marni Binti Kalil masing-masing sejumlah 3.000.000,00 dengan ketentuan apabila restitusi tersebut tidak dibayar oleh terdakwa maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi restitusi tersebut. Nurhayati Als Nur Binti Komar dinyatakan bersalah karena telah melanggar Pasal 4 Jo Pasal 11 Jo Pasal 48 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan dikenakan juga Pasal 102 ayat (1) huruf a UU No. 39 Tahun 2004 TentangPenempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Di Luar Negeri. Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Berkaitan dengan uraian di atas, maka penyusun tertarik untuk mengulas lebih lanjut mengenai tindak pidana perdagangan orang dengan judul “Pemberian Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang”

Sehubungan dengan latar belakang masalah yang telah diurailkan diatas, maka penulis merumuskan pokok-pokok permasalahan yang penting dan mendasar, yaitu :

a. Bagaimanakah implementasi pemberian hak restitusi terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang?

b. Apakah akibat hukum restitusi terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang?

Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer data yang didapat secara langsung dari sumber pertama seperti wawancara dan data sekunder pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi dokumen. Selanjutnya data diolah dan dianalisis secara kualitatif.

II. PEMBAHASAN

A. Implementasi Pemberian Hak Restitusibagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking)

(7)

secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses penegakan hukum tergantung kepada beberapa faktor, salah satunya adalah faktor lembaga penegak hukum. Lembaga penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan peranannya masing – masing yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut harus mengutamakan keadilan dan profesionalisme, sehingga menjadi panutan masyarakat serta dipercaya oleh semua pihak termasuk oleh anggota masyarakat.7

Kebijakan hukum pidana dalam melindungi hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang selanjutnya disingkat UU PTPPO, yang memberi landasan hukum materil dan formil. UU PTPPO merupakan wujud nyata dari negara dalam memperhatikan dan melindungi kepentingan korban tindak pidana perdagangan orang termasuk untuk memperjuangkan hak restitusi akibat kerugian yang dideritanya kepada pelaku.

Dalam memerangi perdagangan orang, penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim sangat berperan dalam pemenuhan hak dan perlindungan korban. Menurut Muladi, dalam konsep pengaturan terhadap perlindungan korban tindak pidana, hal pertama yang harus diperhatikan yakni esensi kerugian yang diderita oleh korban. Esensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat material atau penderitaan fisik saja tetapi tetapi juga yang bersifat

7http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Pe

negakan_Hukum.pdf

psikologis.8Adapun peranan penegak hukum dalam implementasi pemenuhan hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang yaitu sebagai berikut :

Peran Penyidikan

Peran Kepolisian dalam penegakan hukum secara jelas diatur dalam UU No 2tahun 2002 yaitu Pasal 2, yang menyatakan bahwa “fungsi kepolisian adalah salahsatu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarkat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.” Berdasarkan penjelasan pasal 2, fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan. Pasal 5 ayat 1 UU No. 2 tahun 2002 menegaskan kembali peran Kepolisian yaitu :“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarkat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.

Berdasarkan ketentuan diatas nampak secara tegas dinyatakan bahwa peran Kepolisian Negara Republik Indonesia salah satunya adalah penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan salah satu tugas pokok yang harus dijalankan oleh anggota kepolisian. Sedangkan Peran Kepolisian dalam upaya perlindungan hukum terhadap korban kejahatan perdagangan manusia, salah satunya adalah melalui pencegahan dan pemberantasan kejahatan perdagangan manusia. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa perlidungan korban

8Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem

(8)

dapat juga dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan.

Pengumpulan informasi mengenai kerugian yang diderita korban dan kesediaan pelaku tindak pidana perdagangan orang untuk mengganti kerugian, ada ditangan polisi. Oleh karenanya polisi harus membuka peluang bagi korban untuk memberikan semua informasi berkenaan dengan bukti-bukti atas kerugian yang diderita korban. Hal ini juga dengan jelas diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban bahwa dalam pemeriksaan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang harus ada pertanyaan yang diajukan dalam rangka mendapatkan keterangan mengenai substansi perkara yang diperiksa, antara lain kerugian yang diderita oleh saksi dan/atau korban sebagai bahan pengajuanrestitusi atau pemberian ganti rugi.9

Peran Penuntut Umum

Peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) pada dasarnya sama dengan jenis tindak pidana lainnya, yaitu melaksanakan penuntutan setelah menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik kepolisian. Kejaksaan menunjuk seorang jaksa untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Hasil penyidikan yang telah lengkap dan

9Republik Indonesia, Pasal 17 ayat 3 poin c

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban.

dapat diajukan ke pengadilan Negeri. Dalam hal ini Kajari menerbitkan surat penunjukan Penuntutan Umum. Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan selesai kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri. Adapun faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) adalah: a. Faktor aparat penegak hukum, yaitu

masih kurang optimalnya pelaksanaan tugas kejaksaan disebabkan karena berkas penyidikan tindak pidana perdagangan orang (traficking) dari pihak kepolisian yang belum lengkap sehingga harus menunggu kelengkapan berkas dari pihak kepolisian.

b. Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu belum tersedianya program jaringan komputer antar Kejaksaaan Tinggi yang berisi database tindak pidana perdagangan orang (traficking). c. Faktor Masyarakat, yaitu adanya

ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (traficking).

Peran Hakim

(9)

Apabila hakim mendapatkan pengaruh dari pihak lain dalam memutuskan perkara, maka keputusan hakim cenderung tidak adil, yang pada akhirnya akan meresaahkan masyarakat, serta wibawa hukum dan hakim akan hilang.

Penulis berpendapat bahwa Penyidik, Penuntut Umum, maupun Hakim memiliki peran penting dalam kasus hak korban restitusi dalam tindak pidana perdagangan orang. Tapi dalam hal ini, hakim tidak dapat memberikan keputusan tentang putusan yang harus diberikan kepada pelaku untuk ganti kerugian yaitu restitusi jika dalam amar putusan tidak dimasukan. Hal ini terjadi apabila korban tidak meminta untuk ganti kerugian tersebut kepada pelaku. Dalam masalah ganti kerugian terutama restitusi banyak korban yang tidak mengetahui adanya hak mereka yang berupa hak restitusi atau ganti kerugian berupa materil, ini merupakan salah satu faktor keterbatasan korban yang tidak memiliki wawasan yang luas atau tidak mengetahui dengan adanya pasal 48 UU No.21 Tahun 2007.

Terkait masalah restitusi dalam Perdlindungan Saksi dan Korban, jika dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang juga diterapkan UU pelaksaannya mungkin implementasi dalam penerapan hak restitusi tersebut akan berjalan normal. Harusnya ada sosialisasi lebih jauh untuk korban dan keluarganya mengetahui dan mengingatkan bahwa untuk menuntut kerugian yang dialami korban terhadap pelaku, yang bisa di lakukan bersamaan dengan proses pidana bahkan dimulai dari awal penyelidikan tersebut10.

10Berdasarkan hasil wawancara Hakim, Pak

Djuyamto selaku Hakim di Pengadilan Negeri Bekasi 10 Oktober 2017

Dari kasus tindak pidana perdagangan orang dapat dilihat bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban, terlebih lagi dari kasus yang terungkap mayoritas korban diperdagangkan untuk tujuan pelacuran atau bentuk ekploitasi seksual lainnya. Hal ini merupakan salah satu dari kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) dimana perempuan dan anak perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan kodratnya. Oleh karenanya penting bagi penegak hukum untuk memberikan perhatian khusus pada saat berurusan dan berhadapan dengan korban.

(10)

Berdasarkan kasus diatas penegakan hukum sudah berjalan dengan memberikan terdakwa denda kurungan penjara jika terdakwa tidak membayar restitusi tersebut. Tapi menurut Pak Djuyamto selaku Hakim yang ada di Pengadilan Bekasi, tidak semua kasus tindak perdagangan orang selesai dengan cara korban meminta hak restitusinya dikarenakan korban tidak mengetahui hak tersebut atau memang korban tidak meminta hak tersebut, jadi banyak kasus hanya melihat bagaimana terkdawa akan dihukum. Seperti yang dikemukakan oleh Andi Hamzah: “Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban”.11 Sedangkan peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencari kebenaran materil, yaitu sebagai saksi.

Penegakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Bekasi belum memberikan perlindungan secara serius bagi korban tindak pidana perdagangan orang. Telah diuraikan bahwa perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas. Sedangkan bentuk perlindungan korban secara konkret/ langsung berupa ganti kerugian yang dapat berbentuk restitusi maupun kompensasi. Banyaknya putusan pengadilan yang telah dijatuhkan oleh

11Dikdik Arif Mansyur dan Elistaris Gultom,

Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 46.

hakim kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang, pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan secara tidak langsung terhadap korban. Namun pemberian pidana tersebut belum bisa memberikan rasa keadilan yang sempurna kepada korban.

Seperti yang dilakukan oleh para penyidik di Kota Bekasi, setelah adanya keputusan untuk terdakwa di denda hukuman penjara lain halnya untuk memberi perlindungan terhadap korban, korban juga akan mendapatkan rehabilitasi yang diperoleh oleh korban yaitu rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. Yang dimaksud rehabilitasi kesehatan adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis, sedangkan rehabilitasi sosial adalah pemulihan gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Dari beberapa kasus tindak pidana perdagangan orang di Kota Bekasi banyakkorban yang dikembalikan ke daerah asalnya dengan diberikan uang saku oleh para penyidik atau ditempatkan di Rumah Aman yang berada di daerah Jakarta Timur, tempat yang disediakan seperti tempat rehabilitasi bagi para korban yang menderita psikis atau tidak memiliki keluarga.12

Untuk kasus-kasus perdagangan orang, hakim sama sekali tidak menjatuhkan

12Hasil wawancara dengan Ketua Kepolisian

(11)

hukuman tambahan berupa pemberian restitusi oleh pelaku kepada korban. Praktis hal ini akan mencederai hak korban untuk memperoleh restitusi. Munculnya putusan pengadilan demikian seakan hendak membenarkan pendapat yang selama ini berkembang, bahwa dengan telah dijatuhkannya pidana terhadap pelaku (terdakwa) maka dengan sendirinya perlindungan terhadap korban telah diberikan. Padahal perlindungan demikian belumlah memadai.

B. Akibat Hukum Restitusi terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Setiap Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pemulihan dalam suatu pelaggaran atas hak asasi manusia termasuk kewajiban untuk mencegah pelanggaran, kewajiban untuk menyelidiki pelanggaran, kewajiban untuk mengambil tindakan yang layak bagi para pelanggar, dan kewajiban untuk memberikan penanganan hokum kepada para korban.

Jika korban tidak berkeberatan, pada saat melakukan penyidikan diperbolehkan merekam wawancara dan kemungkinan untuk melakukan pemeriksaan saksi/korban di bawah sumpah.13Bahkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, keterangan yang diberikan dibawah sumpah dianggap sama dengan keterangan yang diberikan atau disampaikan di hadapan persidangan.14

Pada saat melakukan pemeriksaan penyidik dari kepolisian seharusnya bertanya kepada korban mengenai

13Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006,

Op.Cit,Pasal 5 butir d.

14Undang-undang Nomor 21 Tahun

2007,Op.Cit,Pasal.29.

kerugian yang diderita korban baik materiel maupun immateriel, dan apakah korban menghendaki ganti rugi berupa restitusi yang merupakan hak korban. Apabila korban menghendaki ganti kerugian, polisi harus menginformasikan kepada korban, bahwa pengajuan ganti rugi dapat diajukan bersamaan dengan pemberkasan perkara pidananya dan/atau mengajukan ganti rugi tersendiri melalui gugatan perdata ke persidangan pengadilan negeri.

Pengumpulan informasi mengenai kerugian yang diderita korban dan kesediaan pelaku/tersangka/terdakwa untuk mengganti rugi, ada ditangan polisi. Oleh karenanya polisi harus membuka peluang bagi korban untuk memberikan semua informasi berkenaan dengan bukti-bukti atas kerugian yang diderita korban baik materiil maupun immateriil. Bahwa informasi ini harus dilampirkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) termasuk juga informasi tentang peluang atau ganti rugi yang harus diberikan oleh pihak pelaku/tersangka.

(12)

kompensasi, dan jaminan tidak akan terulang kembali.

Perhatian terhadap kepentingan korban dianggap sebagai unsur penting dalam kerangka upaya penegakan hukum secara benar atau tepat. Dalam hal ini fokus utama adalah pada perlakuan terhadap korban secara tepat. Elemen penting terhadap perlakuan tersebut adalah ketentuan tentang penyediaan dan pemberian informasi yang dapat dimengerti oleh pihak korban dan/ atau pihak lainnya yang menderita kerugian sebagai akibat dari tindak pidana. Sebelum, selama, dan sesudah proses peradilan pidana, diperlukan adanya upaya yang diambil untuk melindungi korban dari intimidasi, ancaman, tindakan balasan dari pihak tersangka/terdakwa atau dari teman-teman mereka untuk balas dendam dari pihak-pihak yang terkait dengan kejahatan yang sedang diperiksa di hadapan pengadilan.

Apabila melihat pada bentuk kerugian yang dimaksud di atas adalah mengacu pada kerugian materiel atau kerugian secara nyata yang dapat diperhitungkan dan dibuktikan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sedangkan korban dalam tindak pidana perdagangan orang tidak hanya mengalami kerugian materiel tetapi juga menyangkut kerugian immateriel yang nilainya tidak dapat diperhitungkan secara nyata.

Menurut fakta di lapangan, selama ini korban tindak pidana perdagangan orang tidak saja harus menanggung sendiri kerugian materil yang dapat dihitung berdasarkan bukti-bukti dengan kasat mata, tetapi juga kerugian immateriel. Misalnya tindak pidana perdagangan orang yang menyangkut pelecehan seksual atau eksploitasi

seksual lainnya, penderitaan batin korban tidak berhenti pada saat pelaku selesai melakukan tindak pidananya atau perbuatannya, karena korban akan terus merasakan penderitaan lahir dan batin seumur hidupnya. Oleh karenanya diperlukan keberanian dari korban untuk mengungkapkan tindak pidana perdagangan orang dengan mengesampingkan kemungkinan terjadinya ancaman pada dirinya dari kelompok pelaku, perlakuan kurang manusiawi dari petugas atau aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi korban yang tertimpa musibah, bahkan penderitaan batin yang berkepanjangan.

(13)

dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. Pemberian restitusi dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.15Selanjutnya restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.16 Pemberian restitusi dilakukan 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.17 Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.18

Diharapkan hakim dapat

mempertimbangkan untuk memutus perkara secara professional, ganti rugi/ restitusi yang menjadi hak korban melalui putusan hakim, mewajibkan pelaku tindak pidana perdagangan orang untuk memberikan ganti rugi/ restitusi dimaksud kepada korban. Permohonan ganti rugi berupa restitusi dapat diajukan oleh korban melalui 2 cara :19 a. Korban mengajukan restitusi sejak

korban melaporkan kasuspidana ke Polisi setempat;

b. Korban dapat memohon restitusi dengan cara mengajukan sendirigugatan perdata atas kerugiannya ke Pengadilan Negeri setempat.

Ada perbedaan mendasar penyelesaian kasus tindak pidana perdagangan orang dengan kasus-kasus pidana lainnya

15Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007,op.cit,

Pasal 48 ayat (4). 16Ibid, Pasal 48 ayat (5).

17Ibid, Pasal 48 ayat (6).

18Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007,op.cit,

Pasal 48 ayat 7

19International Organization for Migration, op.cit., hlm. 52.

adalah perlakuan terhadap korban. korban pada kasus tindak pidana perdagangan orang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, baik kasus perdagangan bayi, eksploitasi seksual komersial maupun dalam pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Oleh karena itu pengetahuan tentang kerentanan posisi korban, budaya patriarkhi, penilaian negatif pada perilaku korban sebelum kasus terjadi, pandangan bahwa korban ikut andil dalam mendorong terjadinya tindak pidana perdagangan orang merupakan hal-hal yang harus dicermati.20

Dari yang telah penulis uraikan di atas untuk dapat terpenuhinya restitusi dari pelaku kepada korban, diperlukan keterpaduan para penegak hukum agar dapat meringankan beban dari korban dari tindak pidana perdagangan orang. Perlunya upaya dalam pemberian ganti kerugian patut dipahami untuk dapat terwujudnya restitusi atau ganti kerugian yang tidak mungkin apabila hanya pihak korban saja yang memperjuangkannya. Selain itu penegak hukum dapat mengkaji mengenai keterlibatan korban terhadap kejahatan tersebut dan kerugian sebagai akibat dari tindak pidana perdagangan orang itu sendiri. Sebagai gambaran bagi penegak hukum untuk dalam menangani perkara perdagangan orang mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga keluarnya putusan dari majelis hakim yang menangani perkara. Selanjutnya, disamping upaya dari para penegak hukum, juga melibatkan beberapa pihak yang membantu meringankan psikologis korban,

20Modul Pelatihan, Penanganan Kasus-Kasus

(14)

misalnya: lembaga advokasi perempuan dan anak yang membantu meringankan beban psikis korban sebagaimana yang penulis uraikan dalam bab berikutnya.

III. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Implementasi penegak hukum dalam menangani pemenuhan hak restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang, yaitu: a. Tahap Penyidikan

Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada kepolisian setempat dan ditangani oleh Penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penyidik wajib memberitahukan kepada korban tentang bagaimana korban mendapatkan ganti rugi dari pelaku, misalnya: bahwa korban harus mengumpulkan bukti-bukti untuk dapat diajukan sebagai dasar mendapatkan restitusi (pengeluaran-pengeluaran, pengobatan berupa kwitansi/bon) dan harus dilampirkan bersama berkas perkaranya.

b. Tahap Penuntut Umum

Penuntut Umum berperan dalam memberitahukan kepada korbantentang haknya untuk mengajukan restitusi. Selanjutnya PenuntutUmum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita oleh korbanakibat tindak pidana perdagangan orang, bersama dengan tuntutan.

c. Tahap Putusan Pengadilan Peran hakim sangat besar dalam mempertimbangkan jumlah restitusibaik materil maupun immateril yang dituangkan dalam amar putusanpengadilan. Putusan ganti kerugian tidak semata-mata demi gantikerugian itu sendiri, melainkan dibalik itu terdapat aspek lain yangharus dipertimbangkan oleh hakim, yaitu aspek kesejahteraan, baikkesejahteraan bagi si pelaku dalam wujud ketepatan pemilihan saranapidana yang cocok bagi dirinya, maupun kesejahteraan bagi korbandalam wujud ganti kerugian dengan

mengingat keadaan

sosialekonominya.

2. Akibat hukum restitusi terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang ini banyak kasus yang korbannya tidak mengetahui apa itu hak restitusi. Dari tahap penyidikan, penuntutan hingga putusan hakim pelaksanaan putusan terhadap pemenuhan hak restitusi tersebut

kurang maksimal dalam

memperjuangkan hak restitusi korban, yaitu hanya sebatas menanyakan atau memberitahukan adanya hak restitusi yang diperoleh korban.

(15)

terkait dengan kasus tersebut tidak ada aset milik terpidana yang disita oleh penyidik.

B. Saran

1. Seharusnya implementasi aparat penegak hukumdapat memberikan pemahamankepada korban untuk

menuntut haknya dalam

memperoleh restitusidan Hakim sebagai pemberi putusan lebih tegas dalam memberikanhukuman terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang.

2. Perlunya memberikan pendidikan dan penyuluhan hukum baik formal maupun non-formal secara berkesinambungan mengenai tindak pidana perdagangan orang dan adanya restitusi terhadap korban, agar masyarakat sadar hukum dan menaati peraturan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, Rinaldy, dkk, 2015, Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP,

Bandar Lampung: Justice Publisher.

Arif Mansyur, Dikdik, dan, Gultom Estaris, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita,

Jakarta, PT. Raja Grafindo

Dikdik Arif Mansyur dan Elistaris Gultom, op.cit, hlm. 46

International Organization for Migration Mission in Indonesia, 2009.

Modul Pelatihan, Penanganan Kasus-Kasus Trafiking Berspektif Gender Oleh Jaksadan Hakim,

Pusat Pengembangan Hukum dan Gender, Universitas Brawijaya Malang, 2005, hlm.114.

Muladi, 2000, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang. Universitas Diponegoro

Shant, Dellyana. 1998. Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta. Liberty, 1998

Syafaat, Rachmad, Dagang Manusia Kajian Trafficking terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur, Yogyakarta, Lappera Pustaka Utama.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak PidanaPerdagangan Orang

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi danKorban

Pasal 17 ayat 3 poin c Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban.

Referensi

Dokumen terkait

BANK berhak dengan ketentuan dan syarat-syarat yang dianggap baik oleh BANK untuk menjual dan/atau mengalihkan sebagian atau seluruh hak tagih BANK, baik pokok maupun bunga,

Teori konflik adalah penantang utamanya dan menjadi alternative menggantikan posisi dominant itu, dalam teori konflik ini setiap orang mempunyai angka dasar

Analisa Dampak Penerapan ISO 9002 Terhadap Kualitas Efisiensi Dan Produktivitas Perusahaan (Studi Kasus Pada PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.) (2001) Evaluasi

Sementara aset riil dalam bentuk emas batangan atau emas koin telah lama diterima oleh masyarakat sebagai aset penyimpan nilai, memiliki rata-rata return-nya lebih tinggi

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa nilai Zhitung lebih besar dari Ztabel (2,03 > 1,96) dengan tingkat signifikansi 0,000 < 0,05 yang berarti variabel

Sejak awal dalam mengadakan penelitian lapangan, penulis dalam kapasitas sebagai peneliti senantiasa bekerja dengan seluruh data yang berupa catatan tertulis yang penulis

Hasil belajar yang mereka peroleh berdasarkan tes yang telah dilakukan juga kurang memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan oleh sekolah

Pengalaman Belajar : Mengkaji makhluk hidup dan kehi-dupannya melalui pendekatan proses, mengkaji hubung-an antara makhluk hidup dengan ling-kungannya, termasuk peran