1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicon)1, artinya manusia tidak
dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari.
Begitupun yang terjadi dengan Negara. Guna memenuhi kebutuhannya, suatu
Negara harus meminta bantuan kepada Negara lain karena tidak satu pun Negara
yang dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri.2 Situasi ini mendorong
masyarakat untuk melakukan kegiatan jual-beli guna memenuhi kebutuhan hidup.
Kegiatan jual-beli tersebut tidak hanya dilakukan dalam Negara, namun juga
berkembang menjadi jual-beli antar Negara dan biasa dikenal sebagai kegiatan
jual-beli internasional. Kegiatan jual - beli internasional telah dikenal sejak abad
ke-173 dan hingga kini tetap eksis dengan berbagai jenis perkembangannya.
Fakta yang terjadi saat ini adalah perdagangan telah menjadi tulang
punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera, dan kuat. Hal ini sudah
banyak terbukti dalam sejarah perkembangan dunia. Sebagai salah satu contoh
adalah kejayaan negara China yang terkenal dengan perdagangan internasional
disebut “Silk Road” atau jalan sutra. Silk Road tidak lain adalah rute-rute
perjalanan yang ditempuh oleh saudagar-saudagar China untuk berdagang dengan
1 Aristoteles (384-322 sebelum masehi), seorang ahli fikir yunani menyatakan dalam
ajaranya, bahwa manusia adalah ZOON POLITICON, artinya pada dasarnya manusia adalah makhluk yang ingin selalu bergaul dengan berkumpul dengan manusia, jadi makhluk yang ber masyarakat, dari sifat suka bergaul dan bermasyarakat itulah manusia dikenal sebagai makhluk sosial.
2 Syahmin A.K, Hukum Kontrak Internasional, Rajagravindo Perkasa, Jakarta, 2005, h.
36.
3 Oentoeng Soeropati, Hukum Dagang Internasional Fakultas Hukum UKSW, Salatiga,
2
bangsa-bangsa lain di dunia.4 Esensi untuk bertransaksi dagang merupakan suatu
kebebasan yang fundamental (fundamental freedom) yang artinya setiap orang
berhak untuk melakukan perdagangan. Kebabasan ini tidak dapat dibatasi oleh
adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik dan sistem hukum sekalipun.
Sistem hukum hanya mengatur bagaimana kegiatan perdagangan dapat
berlangsung dengan baik dan sesuai aturan.
Perkembangan globalisasi dalam bidang bisnis, perdagangan, investasi serta
keuangan mendorong tatanan hukum yang mengaturnya untuk ikut berkembang.5
Termasuk dalam bidang pengaturan hukum perdagangan internasional. Terdapat
berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam
perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Namun yang terpenting
ialah bagaimana cara untuk menjaga stabilitas kegiatan transaksi dagang tersebut
sehingga tercipta kepastian hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang
melakukan kegiatan transaksi dagang. Salah satu upaya haromonisasi hukum atau
dapat dipahami sebagai penyelarasan hukum antar negara merupakan salah satu
yang telah dinantikan sejak lama.
Pada mulanya upaya harmonisasi hukum dilakukan oleh The International
Institute for the Unification of Privat Law (UNIDROIT). UNIDROIT adalah
sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. Lembaga
UNIDROIT ini dibentuk sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa
(LBB). Sewaktu LBB bubar, UNIDROIT dibentuk pada tahun 1940 berdasarkan
suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (The UNIDROIT Statute).
3
Lembaga UNIDROIT ini berkedudukan di kota Roma dan dibiayai oleh lebih 50
negara yang menginginkan perlunya unifikasi hukum dalam jual beli
internasional.6 Indonesia resmi menjadi anggota ke 63 dalam UNIDROIT melalui
aksesi pada lembaga UNIDROIT pada tanggal 2 Januari 2009.
Selanjutnya, pada tanggal 10 Maret sampai dengan 11 April 1980,
diselenggarakan konferensi oleh Perserikatan Bangssa-Bangsa (PBB) yang
diprakarsai oleh The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL). Konferensi ini berhasil menghasilkan kesepakatan mengenai
hukum materiil yang mengatur perjanjian jual beli (barang) internasional yaitu
Contracts for the International Sales of Goods (CISG). Selain itu konvensi ini
juga sering disebut dengan Konvensi Jual Beli 1980 (Konvensi Vienna 1980).
Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara
negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi perdagangan
internasional dan CISG mengkhususkan pada kontrak jual beli internasional.7
Akan tetapi Indonesia hingga saat ini belum turut serta dalam meratifikasi
Konvensi Internasional mengenai jual-beli barang tersebut.
Meski demikian, penulis akan membahas mengenai CISG dan kaitannya
dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang saat
ini, di mana perkembangan ini berdampak pada pengaturan yang terdapat dalam
CISG. Seperti yang kita tahu, bahwa CISG terbentuk pada tahun 1980, di mana
pada dekade tersebut sistem jual-beli barang terutama dalam hal offer and
6 Victor Purba, “Kontrak Jual Beli Barang Internasional-Konvensi Vienna 1980”,
(Disertasi Doktor Universitas Indonesia), Jakarta, 2002, h. 1.
7 Rotua Deswita Raja Guk Guk, Perjanjian Jual Beli Barang Secara Internasional
4
acceptance (penawaran dan penerimaan) masih dilakukan melaui surat menyurat
atau telegram.
Internet belum dapat diakses secara luas oleh rakyat, akan tetapi hal tersebut
tidak menghalangi keberlangsungan jual-beli yang terjadi pada saat itu. Contoh
konkrit yang terjadi di Negara China. Negara ini baru memanfaatkan e-mail pada
tahun 19948, namun kegiatan jual-beli internasional Negara ini telah berlangsung
sejak abad 16. Hal ini sekaligus menjadi indikasi, bagaimana CISG tetap eksis
dalam mengatur sistem jual-beli terkait perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi.
Menelisik dalam Article20 CISG dimana menyebutkan istilah “other means
of instantaneous communication”: “A period of time for acceptance fixed by
theofferor by telephone, telex or other means of instantaneous communication,
begins to run from the moment that the offer reaches the offeree”, dan
menyinggung e-mail serta berbagai jenis surat elektronik lainnya. Jika dianalisis
lebih lanjut, apakah klausula pasal tersebut sekaligus mengakomodir sistem
penawaran yang dilakukan melalui e-mail serta jenis surat elektronik lainnya?
Pada penelitian ini akan membahas secara spesifik mengenai pengaturan
penggunaan e-mail dan surat elektronik lainnya dalam CISG.
Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional paling tidak
disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga
transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara
bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya teknologi,
8 Cina mulai menggunakan komunikasi e-mail pada September 1987 ketika sebuah
5
dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekan
dagangnya yang berada jauh di belahan bumi lain9, salah satunya dengan
menggunakan media internet.
E-mail merupakan salah satu sistem pengiriman surat atau data secara
online yang cepat dan praktis digunakan. Namun penggunaannya baru dikenal
pada tahun 1990-an. CISG sebagai salah satu regulasi Internasional yang
mengatur mengenai jual-beli barang internasional hanya memuat klausula
telephone, telex or other means of instantaneous communication sebagai alat
komunikasi dalam melakukan offer and acceptance. Lantas, bagaimana dampak
dari penggunaan e-mail serta system komunikasi melalui internet yang lain
terhadap regulasi CISG dalam sistem penawaran dan penerimaan.
Prinsip penawaran dan penerimaan telah diatur dengan tegas di dalam
CISG. Prinsip ini lebih dikenal sebagai persesuaian kehendak antara para pihak.10
Jika suatu penawaran maupun penerimaan dikirimkan melalui e-mail atau jenis
surat elektronik lainnya, bagaimana implikasinya terhadap keabsahan perjanjian
tersebut? Apakah CISG telah mengakomodir penggunaan e-mail dan jenis surat
elektronik lainnya di dalam konvensi tersebut?
Terkait dengan isu hukum yang ada, penulis berargumen bahwa e-mail
sebagai salah satu bentuk media elektronik penawaran dan penerimaan (offer and
acceptance), relevan digunakan dalam kegiatan jual beli internasional yang diatur
dalam CISG. Dalam rangka mempertegas argumen yang dikemukakan oleh
penulis, sistematika penulisan selanjutnya akan dijabarkan sebagai berikut.
9 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2013,
h. 1.
6
Pertama, penulis akan memaparkan bagaimana pengaturan mengenai penggunaan
internet dalam hal ini e-mail dan jenis surat elektronik lainnya di dalam CISG.
Apakah penggunaan media sosial seperti whatsapp, facebook yang dapat
melampirkan attachment berupa file dapat dikategorikan sebagai “other means of
instantaneous communication” yang dimaksud oleh CISG? Bagaimana dampak
penggunaan internet terhadap pengaturan di dalam CISG? Kedua, penulis akan
menjabarkan mengenai prinsip-prinsip penawaran (offer) dan penerimaan
(acceptance) di dalam CISG. Ketiga, penulis akan mengaitkan penggunaan e-mail
dan jenis “instantaneous communication” lainnya dengan klausula yang terdapat
dalam pengaturan CISG.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, sistem jual beli dapat dilakukan
melalui sistem elektronik dan terjadi antara dua pihak yang berada di Negara yang
berbeda. Terkait perkembangan ini, CISG bertujuan untuk menjembatani
kesenjangan antara sistem-sistem hukum yang berbeda di dunia, yaitu dengan cara
menyeragamkan hukum yang berlaku bagi jual beli barang internasional 11. CISG
mengatur mengenai pembuatan kontrak jual beli, serta hak dan kewajiban pembeli
dan penjual (termasuk upaya-upaya hukum).12 CISG merupakan suatu pengaturan
mengenai kontrak dagang internasional komersial dan tidak meliputi penjualan
kepada konsumen atau pengguna akhir. Artinya, CISG hanya mengatur mengenai
jual beli barang yang akan komersialkan kembali sehingga tidak dilakukan bagi
kepentingan konsumsi pribadi saja. Secara substantif, ketentuan yang terdapat
11UNCITRAL, “Text-Explanatory Note of the United Nations Convention on Contracts
for the International Sale of Goods(Vienna,1980) (CISG)”.
12 Naskah Akademik Tentang Ratifikasi Konvensi PBB Mengenai Kontrak Jual Beli
7
dalam pasal-pasal CISG terbagi menjadi lima bab, yang terdiri dari13
ketentuan-ketentuan pembahasan fundamental breach, kewajiban-kewajiban penjual,
kewajiban-kewajiban pembeli serta remedies atau upaya-upaya hukum, peralihan
resiko, dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan apabila
terjadi sengketa.
Article 2 Konvensi ini juga telah menegaskan bahwa CISG hanya dapat
berlaku pada barang bergerak dan barang berwujud. Pengaturan CISG tidak
terlepas dari perkembangan dunia perdagangan internasional. Jika dikaitkan
dengan pengaturan hukum yang berlaku di Indonesia, pengaturan mengenai akibat
hukum dari transaksi yang dilakukan secara online telah diatur dalam
Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang ITE dan pengaturan mengenai perdagangannya
diatur lebih rinci dalam Undang-undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan.
Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi
elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik telah menjadi
bagian dari perniagaan nasional dan internasional.
Berbeda dengan sistem jual beli yang berlaku secara nasional di Indonesia,
konvensi ini mengatur bahwa penawaran tersebut harus disampaikan secara resmi
dan ditujukkan khusus bagi seorang penerima tawaran (offeree). Tawaran tersebut
harus mencantumkan harga secara spesifik, barang yang ditawarkan serta identitas
penawar (offeror) dengan lengkap. Latar belakang mengapa diharuskan demikian
ialah untuk mencegah terjadinya sengketa antar kedua belah pihak mengenai
permasalahan pengaturan jual beli. Ketentuan ini tercantum secara lengkap dalam
Art.14 (1):
13 Erisa Adestya, Lex Mercatoria sebagai Substantive Applicable Law Kontrak Jual Beli
8
“The CISG describes an offer as a sufficiently definite proposal to
specified addressees, at least implicitly specifying the goods and the
contract price.”
CISG telah hadir sejak tahun 1980. Pada periode tahun tersebut,
penawaran lebih banyak dilakukan menggunakan surat konvensional
dimana jangka waktu pengirimannya dapat memakan waktu hingga
berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Dengan demikian, diatur dalam Art.20 (1)
CISG
“A period of time for acceptance fixed by the offeror in a telegram or
a letter begins to run from the moment the telegram is handed in for dispatch or from the date shown on the letter or, if no such date is shown,
from the date shown on the envelope”14
bahwa acceptance dapat dilakukan melalui telegram atau sesuai
dengan tanggal yang tertera di dalam amplop surat. Terkait dengan isu
hukum diatas ialah CISG tidak mengatur secara eksplisit mengenai
ketentuan penggunaan e-mail bagi kepentingan offer dan acceptance di
dalam CISG. Namun peraturan perundang-undangan yang hadir di
Indonesia, telah mengatur lebih rinci mengenai penggunaan dokumen
elektronik yang dapat dimaknai sebagai pengaturan mengenai penggunaan
e-mail. Penulis berpendapat bahwa sesungguhnya konsep ini dapat
diterapkan dalam pemahaman dalam CISG, sebab pada dasarnya pengaturan
hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional itu sendiri.15
14 ibid.
15 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Fakultas Hukum UII
9 a) Prinsip penawaran dan penerimaan dalam CISG
“Contract is one of the few areas of the law with wich almost
everyone comes into day-to-day contract.” (D.G Cracknell)16
Kontrak merupakan instrumen penting yang senantiasa membingkai
hubungan hukum dan mengamankan terjadinya suatu transaksi. Sebagian besar
aktifitas bisnis mempertemukan para pelakunya dalam suatu wadah yang disebut
sebagai kontrak. Dalam hal ini, CISG berperan sebagai bingkai yang bersifat
fleksibel dalam membantu terbentuknya suatu kontrak jual-beli internasional.
CISG juga mengatur proses sebelum terjadinya kesepakatan antara kedua belah
pihak yang disebut sebagai Penawaran. Sistem penawaran dalam Konvensi ini
diatur secara spesifik dan menjelaskan bahwa penawaran (offer) adalah:
“A sufficiently definite proposal to specified addressees, at least
implicitly specifying the goods and the contract price. With regard to an acceptance, this means that an offer can only be accepted by
someone who it was specifically addressed to.” 17
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa prinsip-prinsip penawaran
dan penerimaan yang diatur dalam CISG memang sedikit berbeda dengan
penawaran/penerimaan pada umumnya. Dalam CISG, penawaran harus
disampaikan secara spesifik kepada subjek yang akan menerima penawaran.
Dalam pengaturan ini, offeree merupakan sebutan subjek yang memberikan
penawaran, dan offeror merupakan sebutan bagi subjek yang menerima
penawaran. Offeree identik dengan Penjual dan offeror identik dengan sebutan
pembeli (penerima tawaran). Pemahaman ini sedikit keliru, sebab sesungguhnya
kedua belah pihak dapat berdiri sebagai pihak yang sebaliknya. Offeree tidak
10
selalu harus berasal dari penjual, jika pembeli menginginkan bentuk penawaran
yang lain, maka pembeli dapat mengirimkan tawaran kembali (counter-offer)
kepada offeror. Dalam sistem penawaran ini pada akhirnya akan berujung kepada
kata sepakat yang ditunjukkan melalui acceptance atau biasa disebut Penerimaan.
Sedangkan penerimaan (acceptance) diatur dalam Art.18(2) yang berbunyi
demikian
“An acceptance of an offer becomes effective now the indication
of assent reaches the offeror. An acceptance is not effective if the indication of assent does not reach the offeror within the time he has fixed or, if no time is fixed, within a reasonable time, due account being taken of the circumstances of the transaction, including the rapidity of the means of communication employed by the offeror. An oral offer must be accepted immediately unless the circumstances
indicate otherwise”.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli baru
dianggap ada manakala ada penawaran yang disampaikan dalam penerimaan
yang harus berwujud dalam bentuk tindakan atau perbuatan atau suatu
pernyataan yang dilakukan oleh pihak yang menerima penawaran.
Sementara itu, efektifitasnya suatu penerimaan adalah pada saat penerimaan
ini diterima oleh pihak yang mengajukan penawaran, dengan ketentuan
bahwa penerimaan penawaran tersebut haruslah sampai dalam jangka waktu
yang ditentukan oleh pemberi penawaran atau dalam suatu jangka waktu
yang secara umum dianggap patut untuk melakukan penerimaan suatu
penawaran untuk jual beli. Terkait dengan frasa “other means of
instantaneous communication” yang tercantum dalam Art. 20(1) secara
keseluruhan yaitu:
11 for dispatch or from the date shown on the letter or, if no such date
is shown, from the date shown on the envelope. A period of time for acceptance fixed by the offeror by telephone, telex or other means of instantaneous communication, begins to run from the moment that the offer reaches the offeree.”
Penulis berpendapat bahwa penggunaan e-mail dalam sistem penawaran dan
penerimaan yang terjadi dalam CISG dapat dikaitkan dengan frasa tersebut. Selain
itu, beberapa ahli juga mengemukakan pendapatnya dalam Dalam UNCITRAL
Conference "Celebrating Success: 25 Years United Nations Convention on
Contracts for the International Sale of Goods (CISG)”, salah satunya ialah
Professor Christina Ramberg yang berpendapat bahwa: "Means of instantaneous
communications" includes electronic realtime communication. 18
Beranjak dari pendapat tersebut, penulis mengaitkannya dengan sistem
penawaran dan penerimaan yang dilakukan melalui e-mail dan telah memaparkan
thesis bahwa sesungguhnya e-mail relevan dengan frasa “instantaneous
communications” yang tercantum dalam Art.20 (1) CISG, karena e-mail termasuk
dalam jenis real time communication.
Electronic mail (e-mail) merupakan salah satu media yang mulai
berkembang di abad 20-an dan semakin berkembang pesat seiring berkembangnya
teknologi informasi dan komunikasi. E-mail dapat dikatakan sebagai bentuk
pengiriman surat kilat yang dapat sampai hanya dalam hitungan detik. Hal ini
disebabkan e-mail merupakan surat dalam bentuk elektronik yang penulisan serta
pengirimannya dilakukan melalui media elektronik seperti komputer, laptop
maupun gadget dalam bentuk lainnya. Sedangkan surat biasa, pengirimannya
dilakukan melalui jalur konvensional yang dapat memakan waktu berhari-hari.
18 CISG-AC Opinion no 1, Electronic Communications under CISG, 15 August 2003.
12
Terkait dengan sistem e-commerce dan penawaran serta penerimaan yang telah
dikemukakan diatas, maka klausul ini dapat dikaitkan dalam Art. 20 yaitu “A
period of time for acceptance fixed by the offeror by telephone, telex or other
means of instantaneous communication, begins to run from the moment that the
offer reaches the offeree”
Berdasarkan isu hukum mengenai klausul ini, apakah relevan dengan
penggunaan e-mail sebagai media bagi terjadinya acceptance? Acceptance
dibutuhkan sebagai tanda persetujuan kedua belah pihak yang akan melakukan
sebuah kontrak perdagangan internasional. Secara eksplisit, konvensi mengatur
bahwa acceptance dapat dilakukan melalui telefon, telegram, maupun alat
komunikasi lainnya. Namun, tidak dikemukakakn secara spesifik mengenai
penggunaan e-mail sebagai bentuk surat (namun bersifat elektronik) dalam
tindakan acceptance. Hal ini dinilai masuk akal, mengingat CISG telah ada
hampir 37 tahun hingga saat ini. Sedangkan perkembangan teknologi, maju
dengan begitu pesatnya dalam hitungan tahun.
E-mail merupakan media tulisan yang perbedaannya ialah berbentuk
dokumen elektronik. Meskipun dalam pengaturan hukum, berbagai dokumen
elektronik masih sulit untuk dinilai keakuratan datanya, namun dari sisi efisiensi
waktu dan biaya, e-mail merupakan suatu terbaik yang dapat mempermudah
proses transaksi di era modern ini. Dewasa ini, telah banyak Negara yang
menyesuaikan aturan hukumnya dengan perkembangan dunia komunikasi, tak
terkecuali Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan di atas, penulis berpendapat
sesungguhnya penggunaan e-mail dapat diartikan sebagai bagian dari klausul
13
bagian dari tulisan, hanya saja berbentuk elektronik. Pendapat penulis juga
diperkuat dengan sebuah jurnal yang mengatakan bahwa
“The CISG itself provides a flexible framework of provisions for the
conclusion of contracts by any form of communication and can be interpreted, without resorting to farfetched explanations, to include classic forms of communication as well as electronic media. It can therefore be assumed that the CISG will be able to adapt to future changes just as well.”19
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan isu hukum sebagai
rumusan masalah yaitu: apa implikasi yuridis penggunaan internet dalam offer
and acceptance yang diatur oleh Convention on Contracts for the International
Sale of Goods (CISG)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemaknaan secara
komprehensif mengenai klausula other means of instantaneous communication”
yang diatur dalam CISG sehingga memperjelas kedudukan e-mail dan surat
elektronik lainnya melalui sarana internet dalam offer and acceptance.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini dapat memperjelas
norma yang terdapat dalam CISG mengenai penggunaan instantaneous
communication dalam hal offer and acceptance.
19 Wolfgang Hankamper, Acceptance of An Offer in Light of Electronic Communications,
14 E. Metode Penelitian
Untuk mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, digunakan motode
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti data sekunder dengan menitik beratkan pada studi kepustakaan.20 Selain
meneliti literatur di bidang hukum Jual-beli barang internasional, penelitian juga
dilakukan pada berbagai instrumen internasional, baik yang bersifat soft law
maupun hard law di bidang tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis,
yaitu penelitian yang bertujuan untuk menelusuri, menemukan, mengkaji dan
menganalisa data sekunder untuk menemukan asas-asas hukum dan nilai-nilai
filosofis yang terkandung di dalam teori dan praktik perkembangan hukum
perdagangan internasional, dan secara khusus mengkaji konsep Jual-beli barang
internasional di dalam CISG.
Dalam melakukan penelitian dan penulisan hukum ini penulis berfokus pada
pendekatan konseptual (conseptual approach)21. Kajian dilakukan dengan
melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti
buku-buku, jurnal-jurnal internasional khususnya terkait CISG, internet, kamus serta
segala sesuatu yang masih berkaitan erat dengan topik ini. Selain itu, penulis juga
melakukan penelitian dengan pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan
(statute approach) dengan kajian berbagai konvensi atau perjanjian internasional
yang berlaku dalam jual-beli internasional terkait dengan internet dan CISG,
diantaranya adalah United Nations Commision on International Trade Law
(Model Law on E-Commerce). Dengan demikian, peelitian ini juga melakukan
20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 12.
15
metode analisis kualitatif yaitu dengan melakukan penemuan hukum datau
analisis hukum melalui bahan kepustakaan.
F. Batasan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus dan menadalam, maka
penulis memandang permaslaahan penelitian yang diangkat perlu dibatasi. Oleh
karena itu, penulis membatasi penelitian dalam hal implikasi penggunaan internet
di dalam CISG. Implikasi yang dimaksud disini adalah bagaimana penggunaan
internet dalam hal offer and acceptance yang diatur oleh CISG dapat diterapkan