BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun masa pemerintahan Orde Baru, bangsa Indonesia mengalami suatu kondisi dimana terjadi pemusatan/ sentralisasi dan penyeragaman dalam sistem pemerintahan. Seruan- seruan untuk kehidupan yang demokratis diabaikan oleh penguasa. Segala proses pengambilan kebijakan publik berada di tangan kaum elit politik. Pemerintah menjadi sangat berkuasa sehingga melahirkan kesewenang- wenangan/ otoriter dan cenderung represif. Keberhasilan di bidang pembangunan dan ekonomi membuat pemerintah pusat semakin percaya kepada sistem sentralisasi dan penyeragaman. Birokrasi pun dirancang untuk berkiblat dan memenuhi kebutuhan pemerintah pusat sehingga menjadi tidak inovatif dan tidak tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Hal tersebut berbalik menjadi bumerang bagi pemerintah ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, disaat pemerintah pusat mengalami keterbatasan ternyata birokrasi menjadi kelimpungan untuk menopang peran pusat. Kegagalan- kegagalan pemerintah untuk mengatasi krisis tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat menjadi menurun. Kondisi tersebut menunjukkan kerapuhan sistem pemerintahan yang sentralistik sehingga diperlukan perubahan kepemimpinan dan reformasi di segala bidang kehidupan.
Di era reformasi, ketika kebijakan desentralisasi menggantikan kebijakan sentralisasi, masyarakat masih tetap pesimis. Pesimisme masyarakat tetap timbul karena praktik- praktik negatif seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang mewarnai perilaku aparat pemerintah daerah, peraturan daerah yang tidak mengakomodasi kepentingan warga masyarakat dan sulitnya ber investasi karena rumitnya proses perijinan. Intinya, permasalahan yang terjadi tidak banyak
berubah yaitu buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan (poor governance).
Buruknya penyelenggaraan tata pemerintahan di indikasikan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak-pihak lainnya, sehingga pengawasan
menjadi sulit dilakukan;
2. Terjadinya tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme);
Selain pendapat diatas, buruknya birokrasi di Indonesia juga dapat dilihat dari: 1. Penyalahgunaan wewenang dan masih besarnya praktek KKN,
2. Rendahnya kinerja sumber daya manusia dan kelembagaan aparatur;
3. Sistem kelembagaan (organisasi) dan tata laksana (manajemen) pemerintahan yang belum memadai;
4. Rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja; 5. Rendahnya kualitas pelayanan umum; 6. Rendahnya kesejahteraan PNS;
7. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi hukum tata pemerintahan negara?
2. Apa sumber hukum dari hukum tata pemerintahan negara?
3. Apa objek dan subjek hukum dari hukum tata pemerintahan negara?
4. Bagaimana bentuk-bentuk kegiatan pemerintah berkaitan dengan Hukum tata pemerintahan negara?
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Hukum Tata Pemerintahan Negara
PENGERTIAN TATA PEMERINTAHAN
Masyarakat umum dengan kata “Tata Pemerintahan” itu tidak akan mungkin salah mengartikan bahwa yang dimaksud adalah segala sesuatu yang menyangkut masalah kewenangan seseorang pejabat/aparat pemerintah pusat maupun daerah dalam melaksanakan tugas kewajibannya.
Menurut Taliziduhu Ndaraha dalam bukunya Kybernologi mengemukakan tentang definisi tata pemerintahan sebagai berikut:
“Tata Pemeritahan adalah peranan diri pemerintah secara horizontal (fungsionalisasi dan departemenisasi) dan vertikal. Horizontal antar DPR, Presiden, Wakil Presiden. Secara vertikal berupa pembagian wilayah Republik Indonesia beberapa tingakatan wilayah yaitu Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan, desa dan kelurahan” (Ndraha,1999:65)
Sementara itu menurut Prof. H. J. Logemen yang dikutip oleh Sumber Saparin mengemukakan bahwa:
“Tata Pemerintahan adalah keseluruhan pranata hukum yang digunakan sebagai landasan untuk menjalankan kegiatan pemerintah dalam arti khusus ialah pemerintahan dalam negeri dan dapat juga disebut sebagai “bestuursreach” atau hukum tata negara dalam arti sempit.” (Saparin,1986:22)
Dalam hal ini sesuai dengan Hukum Tata Pemerintahan tersebut, Tata Pemerintahan ialah mencangkup semua pranata mengenai susunan organisasi, tata kerja, formasi aparaturnya, tugas, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab, serta hubungan kerja dari pada badan-badan pemerintahan (Pemerintah Pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II).
Hukum tata pemerintahan mempunyai pengertian/ definisi antara lain: 1. Pendapat Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H:
Hukum yang mengatur negara dalam keadaan bergerak, yaitu hubungan yang timbul dari kegiatan administrasi antara bagian- bagian negara dan antara negara dengan masyarakat.
2. Pendapat R. Soeroso, S.H:
Hukum yang mengatur susunan dan kekuasaan alat perlengkapan Badan Umum atau hukum yang mengatur semua tugas dan kewajiban dari pejabat- pejabat pemerintah didalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
3. Pendapat J.M Baron de Gerando:
Hukum yang mengatur hubungan timbal- balik antara pemerintah dan rakyat. 4. Pendapat C. van Vollenhoven:
Merupakan pembatasan terhadap kebebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi mereka yang harus taat kepada pemerintah; akan tetapi untuk sebagian besar hukum administrasi megandung arti pula, bahwa mereka yang harus taat kepada pemerintah menjadi dibebani pelbagai kewajiban yang tegas bagaimana dan sampai dimana batasnya, dan berhubung dengan itu, berarti juga, bahwa wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas.
B. Sumber Hukum Tata Pemerintahan Negara
Sumber Hukum Tata Pemerintahan, diantaranya adalah:
Undang-Umdang yang mengatur kehidupan pemerintahan, misalnya:
- UU No 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
- UU No 28 Tahun 1999, tentang penyelenggaran negara yang bersih dari KKN. - UU No 8 Tahun 1974 jo UU No 43 Tahun 1999, tentang kepegawaian.
Keputusan pejabat negara dan pejabat pemerintahan.
Yurisprudensi yang berkaitan dengan pemerintahan.
C. Objek Hukum Tata Pemerintahan Negara
OBJEK HUKUM TATA PEMERINTAHAN DAERAH
Kajian Hukum Tata Pemerintahan mencakup dua aspek yaitu aspek yang luas dan sempit. Kedua aspek itu melihat Hukum Tata Pemerintahan dari fokus perhatian yakni obyek penelitiannya. Aspek yang Luas: melihat Hukum Tata Pemerintahan sebagai sebagai obyek yang berorientasipada pengertian Hukum Tata Pemerintahan yang identik dengan lapangan tugas pemerintahan sedangkan obyek yang sempit adalah yang tidak identik.
Idendifikasi sedemikian ini, maka pemberian Pengertian hukum Tata Pemerintahan terbagi dalam 2 (dua) pengertian yaitu :
1. Hukum Tata Pemerintahan Heteronom adalah semua aturan hukum yang mengatur tentang organisasi pemerintahan negara. Hukum Tata Pemerintahan yang merupakan bagian dari hukum Tata Negara.
2. Hukum Tata Pemerintahan Otonom adalah aturan-aturan hukum yang dibuat oleh aparat pemerintah yang sifatnya istimewa, baik aturan yang sifatnya sepihak maupun aturan yang bersifat dua pihak. atau hukum yang dibuat oleh aparatur pemerintah atau oleh para administrasi negara.
Hukum Tata Pemerintahan Heterenom dalam kajiannya berada pada konteks tugas-tugas pemerintah berkaitan dengan akibat-akibat hukum yang ditimbulkannya, termasuk didalamnya aspek hukum dalam kehidupan organisasi pemerintahan seperti organisasi pemerintahan negara dalam hal hubungan hukum lembaga-lembaga negara dan berbagai kompetensi hukum kelembagaan organisasi pemerintahan negara; organisasi pemerintahan daerah dalan kaitan hukum otonomi daerah; dan akibat-akibat hukum dalam organisasi pemerintahan desa dan kelurahan. Juga menyangkut aspek hukum dalam menyelesaikan pertentangan kepentingan pemerintah dengan warga yang diayomi atau penyelesaian suatu sengketa akibat dari suatu perbuatan pemerintah.
Sedangkan Hukum Tata pemerintahan yang Otonom adalah adalah hukum yang dibuat dan atau diciptakan oleh aparatur pemerintah dalan rangka pelaksanaan tugas seperti; Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota.
Pada tipe welfare state (negara kesejahteraan), lapangan pemerintahan semakin luas. Hal ini disebabkan semakin luasnya tuntutan campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat. Tugas pemerintah dalam tipe negara demikian ini, oleh Lemaire (1952) disebut sebagai Bestuurzorg. Ini dimaksudkan bahwa dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum, kepada
aparatur pemerintah memiliki hak istimewa yang disebut Freies Ermessen, yaitu kepada aparatur
pemerintah diberikan kebebasan untuk atas inisiatif sendiri melakukan perbuatan-perbuatan guna menyelesaikan persoalan yang mendesak dan peraturan penyelesaiannya belum ada. Dengan hak yang demikian itu maka aparatur pemerintah dapat membuat peraturan yang diperlukan. Dari sini terlihat bahwa dengan hal istimewa menyebabkan fungsi aparatur pemerintah dalam Wefare State ini bukan saja berfungsi sebagai badan eksekutif tetapi juga sudah berfungsi sebagai badan legilatif. Sebagai konsekwensinya di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hak ini pun diakui, di dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa kepada Presiden diberikan hak untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Fungsi Presiden sebagai kepala eksekutif melakukan perbuatan dibidang legislatif, yang dalam Tata Negara disebut delegasi perundang-undangan, dengan tujuan : mengisi kekosongan dalam undang-undang, mencegah kemacetan dalam bidang pemerintahan, dan para aparatur pemerintah dapat mencari kaidah-kaidah baru dalam lingkungan undang-undang atau sesuai dengan jiwa undang-undang.
Didalam Hukum Tata Pemerintahan Heteronom dipelajari pula hal-hal yang menyangkut
leability, responsibility dan accountability. Leability menuntut tanggung jawab aparatur pemerintah terhadap hukum. Artinya dalam melaksanakan tugas para aparatur pemerintah dituntut untuk berbuat sesuai aturan hukum yang berlaku, dituntut untuk mempertahankan
keberlakukan aturan hukum. Begitu pula dengan responsibility para aparatur pemerintah dituntut
tanggung jawabnya dalam pelaksanaan tugas dalam batas-batas pendelegasian wewenangan yang pada gilirannya dapat melahirkan hubungan hukum antara yang memberi dan menerima
wewenang. Accountability menunut para aparatur negara bertanggung jawab atas segala kegiatan
dan tugas yang diemban. Di dalam kerangka itulah maka konteks hubungan hukum terjelma dalam tuntutan dan realisasi tuntutan.
berasal dari sumber kekuasaan yang tertinggi yang ada pada setiap negara. Kekuasaan demikian itu diartikan sebagai kedaulatan yang ada pada setiap negara. Kekuasaan yang berasal dari kedaulatan adalah disebut kekuasaan publik yaitu suatu kekuasaan yang tidak dapat dilawan oleh siapapun kecuali melalui aturan hukum yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa. Aturan-aturan yang sifatnya istimewa inilah yang menjadi isi dari Aturan-aturan Hukum Tata Pemerintahan baik itu dalam konteks yang heteronom maupun dalm konteks yang otonom.
Dalam konteks yang heteronom, isi Hukum Tata Pemerintahan adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang organisasi pemerintahan negara mulai dari tingkat pemerintah pusat sampai pada tingkat pemerintahan desa dan kelurahan termasuk didalamnya kaitan atas hal-hal tersebut diatas. Sedangkan dalam konteks yang otonom, maka isi Hukum Tata Pemerintahan adalah aturan-aturan hukum yang dibuat oleh aparatur pemerintah baik itu bersifat pengaturan sepihak sebagaimana ketetapan maupun pengaturan dua pihak sebagaiaman telah dijelaskan sebelumnya. Semua aturan yang dimaksud adalah bersifat istimewa atau yang bersifat khusus.
SUBJEK HUKUM TATA PEMERINTAHAN DAERAH
Subyek hukum dimaksudkan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Tidak semua orang atau benda dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban. Hanya mereka yang cakap itulah yang disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban. Kecakapan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban adalah diartikan sebagai kewenangan hukum, yang oleh J.L. Van Apeldorn (1983) dimaksudkan sebagai sifat yang diberikan oleh hukum obyektif dan hanya boleh dimiliki mereka, untuk siapa diberikan oleh hukum.
Untuk jelasnya masing-masing subyek disebutkan diatas, dibawah ini secara berturut-turut akan diuraikan pengertiannya sebagai berikut :
1. Pegawai Negeri
Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang pegawai dalam rangka susunan suatu satuan organisasi. Kalau kedudukan itu berada dalam lingkup pemerintahan, maka jabatan yang dimaksud adalah jabatan negeri. Jabatan negeri adalah jabatan yang mewakili pemerintah.
Sedangkan dimaksudkan dengan badan negara misalnya karena keanggotaan seseorang di dalam lembaga-lembaga negara. Keanggotaan pada badan negara di bidang eksekutif disebut departemen pada tingkat tertinggi dan jawatan pada tinggkat di bawahnya.
3. Jawatan, Dinas dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah
Jawatan adalah kesatuan organisasi aparatur pemerintahan yang mencakup tugas pemerintahan yang bulat dan merupakan kesatuan anggaran negara tersendiri. Sebagai subyek hukum, maka hak yang dimiliki jawatan adalah memiliki dan menguasai kekayaan negara/daerah. Dan oleh sebab itu ia berkewajiban memeliharanya dan menyimpannya. Dalam kaitan itu setiap barang yang dibeli dipergunakan dan disimpan oleh jawatan selalu dicantumkan pada barang itu lebel yang bertuliskan “Milik Negara”.Dan pembelian barang dilakukan atas nama negara.
4. Daerah-Daerah Swapraja Dan Daerah Swatantra
Daerah adalah suatu kesatuan wilayah dalam organisasi negara yang karena kelahirannya disebabkan mungkin didasarkan atas hak swapraja yang diakui ataukah karena hak otonom diperolehnya. Sebagai kesatuan wilayah di dalam perkembangannya ia berhak mengurus dan menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri dalam wilayah kekuasaan negara. Dengan haknya demikian itu ia berkewajiaban menyelenggarkan kepentingan umum.
5. Negara
D. Bentuk-bentuk kegiatan pemerintah berkaitan dengan Hukum tata pemerintahan negara
1. Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa
pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di
lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Abolisi (bahasa latin, abolitio) merupakan penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan
putusan pengadilan pidana kepada seseorang terpidana, terdakwa yang bersalah. Tindakan
penghapusan atau pembatalan, ini merupakan sarana praktek yang ada hukum. [2] Abolisi adalah
hak yang dimiliki kepala negara yang berhak untuk menghapuskan hak tuntutan pidana dan
menghentikan jika telah dijalankan (pasal 1 angka 1 UU No. 22 Tahun 2002).[1] Hak abolisi
diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat (2) UUD 1945).[1]
3. Grasi adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki kepala negara di bidang yudikatif. Grasi adalah Hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, atau bahkan pembebasan hukuman sama sekali. Sebagai contoh yaitu mereka yang pernah mendapat hukuman mati
dikurangi menjadi bebas dari hukuman sama sekali . Di Indonesia, grasi merupakan salah satu
hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan.
E. Proses Penyelesaian Kasus Hukum Tata Pemerintahan Negara Analisis Kasus Grasi di Indonesia
mengampuni para terpidana kasus terorisme, narkoba, dan korupsi, kecuali atas pertimbangan kemanusiaan. Itupun akan diberikan kepada narapidana yang berusia di atas 70 tahun Corby tertangkap basah di Bandara Ngurah Rai, Bali pada 8 Oktober 2004, Corby kedapatan menyelundupkan 4,2 kilogram narkoba jenis ganja atau mariyuana. Sepanjang penyelidikan dan di pengadilan, mantan pelajar kecantikan yang ayah kandungnya, Michael Corby, pernah terseret kasus peredaran ganja pada awal 1970-an itu, tak pernah mengakui perbuatannya hingga akhirnya dijatukan pidana 20 tahun penjara. “Karenanya, kasus grasi Corby ini terbilang aneh, sekaligus hanya mempertontonkan kebingungan RI di hadapan rakyatnya serta di mata negara lain, yang bersikap keras dalam menghukum kejahatan narkoba,” sikap pemerintahan SBY yang melempem dalam menangani kasus Corby akan semakin memperparah ketidakberdayaan RI dalam memberantas kejahatan internasional di bidang narkotika dan sejenisnya. “Itu karena kita selalu mudah membungkuk pada tekanan pihak tertentu, yang kemudian membuat sikap politik ataupun penegakan hukum jadi kacau-balau serta sekadar dijadikan olok-olokan berbagai pihak
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui[8].
Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book) dan hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus melalui proses-proses hukum yang tidak adil.
Pemerintah (Excecutive) dan aparat dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus perkara selalu menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam sistem hukum nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum.
Keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam pembentukan dan penerapan hukum di Indonsia. Sebagian besar putusan hakim pengadilan negeri (Vonis) selalu mendapat reaksi perlawanan dari masyarakat. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah sebagai lembaga pembentuk dan pelaksana hukum, menyebabkan eksistensi cita hukum keadilan pancasila dipertanyakan. Dalam pandangan masyarakat, sebagian besar pelaksanaan hukum selalu dianggap tidak adil, sementara kebanyakan akademisi non-hukum, menganggap hukum sebagai faktor penghambat proses pembangunan. Sistem hukum Indonesia tidak terlepas dari pengaruh berbagai aliran pemikiran filsafat hukum yang berkembang jauh sebelum kemerdekaan. Dalam filsafat hukum, dikenal beberapa aliran atau mazhab. Semua aliran hukum tersebut memberikan warna dalam perkembangan sistem hukum pada negara-negara modern, termasuk Indonesia.
Di satu sisi, hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan bernegara karena keberadan hukum sebagai perangkat untuk mencapai tujuan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan Negara yang tertuang dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di sisi lain, aspek keadilan dalam sistem hukum nasional selalu menjadi bahan perdebatan diantara ahli hukum, politisi, dan masyarakat. Substansi hukum, pelaksanaan dan penegakan hukum dianggap tidak adil. Faktor ketidakadilan selalu memunculkan ide tentang arah pembangunan hukum nasional yang progresif demi pencapaian tujuan pembangunan masyarakat yang damai dan sejahtera.
A. Pengertian Grasi
yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi olehPresiden dapat berupa :
ü peringanan atau perubahan jenis pidana;
ü pengurangan jumlah pidana; atau
ü penghapusan pelaksanaan pidana.
B. Prosedur Penerimaan Permohonan Grasi
Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan grasi kepada Presiden secara tertulis oleh:
1. Terpidana dan atau kuasa hukumnya.
2. Keluarga Terpidana dengan persetujuan Terpidana.
3. Keluarga Terpidana tanpa persetujuan Terpidana, dalam hal pidana yang
dijatuhkanadalah pidana mati.
Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah: Pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun. Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu. Permohonan grasi diajukan kepada Presiden melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Dalam hal permohonan grasi diajukan oleh Terpidana yang sedang menjalani pidana, permohonan dan salinannya disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan, untuk diteruskan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut dan paling lambat 7 ( tujuh ) hari sejak diterimanya permohonan clan salinannya, berkas perkara Terpidana dikirim kepada Mahkamah Agung.
Panitera wajib membuat Akta penerimaan Salinan Permohonan Grasi, selanjutnya berkas perkara beserta permohonan grasi dikirimkan kepada Mahkamah Agung. Apabila permohonan grasi tidak memenuhi persyaratan, Panitera membuat Akta Penolakan Permohonan Grasi.
yang diterima oleh Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, dicatat oleh Petugas dalam buku register induk, dan diberitahukan oleh Panitera kepada Terpidana dengan membuat Akta Pemberitahuan keputusan Grasi.
Berkas perkara yang diajukan kepada Presiden harus dilengkapi dengan surat-surat sebagai berikut:
1. Surat pengantar,
2. Daftar isi berkas perkara,
3. Akta berkekuatan hukum tetap,
4. Permohonan grasi dan Akta Penerimaan Permohonan Grasi,
5. Salinan Permohonan grasi dari Terpidana dan Akta penerimaan
10. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi (jika ada),
11. Surat dakwaan,
12. Eksepsi, dan putusan sela (jika ada),
13. Surat tuntutan,
14. Pembelaan, Replik, Duplik (jika ada),
15. Surat penetapan penunjukan Hakim,
16. Surat penetapan hari sidang,
17. Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan,
18. Surat-surat lain yang berhubungan dengan berkas perkara.
Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali dikirim terlebih dahulu.Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kecuali dalam hal:
a. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2
b. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara
seumur hidup dan telah lewat waktu 2 ( dua ) tahun sejak tanggal keputusan
pemberian grasi diterima[1]ᄃ.
C. Prinsip Dalam Mengajukan Dan Menyelesaikan Permohonan Grasi Antara Lain: Analisis Kasus Grasi di Indonesia
Tidak mudah memahami keputusan Presiden SBY memotong masa hukuman terpidana kasus narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Bukan hanya tak mudah, keputusan yang tertuang dalam Kepres 22/2012 itu juga membingungkan karena tidak tidak disertai kejelasan alasan dalam hubungan bilateral kedua negara yang bersifat resiprokal atau timbal balik. “Harusnya didahului dengan ikatan perjanjian saling menguntungkan atau untuk pertukaran kepentingan yang tepat antar kedua belah pihak, sehingga tidak menunjukkan kebingungan maupun kelemahan RI terhadap grasi tersebut,” Dalam sebuah Sidang Kabinet di tahun 2011 Menkopolhukam Djoko Sujanto menyatakan bahwa Presiden SBY tidak akan mengampuni para terpidana kasus terorisme, narkoba, dan korupsi, kecuali atas pertimbangan kemanusiaan. Itupun akan diberikan kepada narapidana yang berusia di atas 70 tahun Corby tertangkap basah di Bandara Ngurah Rai, Bali pada 8 Oktober 2004, Corby kedapatan menyelundupkan 4,2 kilogram narkoba jenis ganja atau mariyuana. Sepanjang penyelidikan dan di pengadilan, mantan pelajar kecantikan yang ayah kandungnya, Michael Corby, pernah terseret kasus peredaran ganja pada awal 1970-an itu, tak pernah mengakui perbuatannya hingga akhirnya dijatukan pidana 20 tahun penjara. “Karenanya, kasus grasi Corby ini terbilang aneh, sekaligus hanya mempertontonkan kebingungan RI di hadapan rakyatnya serta di mata negara lain, yang bersikap keras dalam menghukum kejahatan narkoba,” sikap pemerintahan SBY yang melempem dalam menangani kasus Corby akan semakin memperparah ketidakberdayaan RI dalam memberantas kejahatan internasional di bidang narkotika dan sejenisnya. “Itu karena kita selalu mudah membungkuk pada tekanan pihak tertentu, yang kemudian membuat sikap politik ataupun penegakan hukum jadi kacau-balau serta sekadar dijadikan olok-olokan berbagai pihak
Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book) dan hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus melalui proses-proses hukum yang tidak adil.
Positivisme atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada kebanyakan tindakan lembaga legilatif untuk membuat undang-undang, tindakan Pemerintah (Excecutive) dan aparat dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus perkara selalu menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam sistem hukum nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum.
Keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam pembentukan dan penerapan hukum di Indonsia. Sebagian besar putusan hakim pengadilan negeri (Vonis) selalu mendapat reaksi perlawanan dari masyarakat. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah sebagai lembaga pembentuk dan pelaksana hukum, menyebabkan eksistensi cita hukum keadilan pancasila dipertanyakan. Dalam pandangan masyarakat, sebagian besar pelaksanaan hukum selalu dianggap tidak adil, sementara kebanyakan akademisi non-hukum, menganggap hukum sebagai faktor penghambat proses pembangunan. Sistem hukum Indonesia tidak terlepas dari pengaruh berbagai aliran pemikiran filsafat hukum yang berkembang jauh sebelum kemerdekaan. Dalam filsafat hukum, dikenal beberapa aliran atau mazhab. Semua aliran hukum tersebut memberikan warna dalam perkembangan sistem hukum pada negara-negara modern, termasuk Indonesia.
hukum nasional yang progresif demi pencapaian tujuan pembangunan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Pengertian Grasi
Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi olehPresiden dapat berupa :
ü peringanan atau perubahan jenis pidana;
ü pengurangan jumlah pidana; atau
ü penghapusan pelaksanaan pidana.
Prosedur Penerimaan Permohonan Grasi
Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan grasi kepada Presiden secara tertulis oleh:
1. Terpidana dan atau kuasa hukumnya.
2. Keluarga Terpidana dengan persetujuan Terpidana.
3. Keluarga Terpidana tanpa persetujuan Terpidana, dalam hal pidana yang dijatuhkan adalah
pidana mati.
Panitera wajib membuat Akta penerimaan Salinan Permohonan Grasi, selanjutnya berkas perkara beserta permohonan grasi dikirimkan kepada Mahkamah Agung. Apabila permohonan grasi tidak memenuhi persyaratan, Panitera membuat Akta Penolakan Permohonan Grasi.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi, Pengadilan Tingkat Pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara kepada Mahkamah Agung. Salinan Keputusan Presiden yang diterima oleh Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, dicatat oleh Petugas dalam buku register induk, dan diberitahukan oleh Panitera kepada Terpidana dengan membuat Akta Pemberitahuan keputusan Grasi.
Berkas perkara yang diajukan kepada Presiden harus dilengkapi dengan surat-surat sebagai berikut:
1. Surat pengantar,
2. Daftar isi berkas perkara,
3. Akta berkekuatan hukum tetap,
4. Permohonan grasi dan Akta Penerimaan Permohonan Grasi,
5. Salinan Permohonan grasi dari Terpidana dan Akta penerimaan salinanpermohonan grasi,
6. Surat kuasa dari terpidana untuk kuasanya atau surat persetujuan untuk keluargadari Terpidana
(jika ada),
7. Berita Acara Sidang,
8. Putusan Pengadilan tingkat pertama,
9. Putusan Pengadilan tingkat banding (jika ada),
10. Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi (jika ada),
11. Surat dakwaan,
Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali dikirim terlebih dahulu.Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kecuali dalam hal:
a. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun
sejak tanggal penolakan grasinya.
b. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup
dan telah lewat waktu 2 ( dua ) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi d iterima.
Prinsip Dalam Mengajukan Dan Menyelesaikan Permohonan Grasi Antara Lain:
1. Grasi merupakan hak prerogatif Presiden yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memberikan ampunan kepada seorang terpidana. Pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim, meskipun pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskanm kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan tidak berarti menghilangkan kesalahan atau merehabilitasi terpidana.
2. Permohonan grasi kepada Presiden merupakan hak terpidana yang dijamin oleh
undang-undang untuk memperoleh ampunan Presiden yang dapat berupa:
ü peringanan atau perubahan jenis pidana;
ü pengurangan jumlah pidana; atau
ü penghapusan pelaksanaan pidana.
3. Saat pengajuan permohonan grasi dilakukan sejak putusan pegadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian akan status dan kesalahan yang melatarbelakangi seseorang mengajukan grasi.
4. Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh pemohonkepada Presiden dan salinannya disampaikan kepadapengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertamauntuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Hal inidimaksudkan untuk mempercepat proses penyelesaian permohonan grasi.
5. Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh :
ü kuasa hukum terpidana;
ü keluarga terpidana;
ü Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan
ü Kepala pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Pemberian hak pengajuan grasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kepala pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama merupakan langkah antisipasi dari kemunginan terpidana mati atau kuasa hukunya atau keluarga terpidana mati tidak mengajukan grasi. Hal ini sebagai upaya negara dalam pemenuhan hak terpidana yang secara kodrati diakui sekalipun telah dijatuhi hukuman mati.
6. Setelah keputusan hakim memperoleh kekuatan hokum tetap pengajuan permohonan grasi
tidak dibatasi oleh waktu tertentu, kecuali terpidana yang diputus pidana mati maka batas waktu pengajuan permohonan grasi adalah satu tahun terhitung sejak putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Di samping itu kesempatan dalam mengajukan grasi dibatasi hanya satu kali. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi beban dalam penyelesaian permohonan grasi dan mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam permohonan grasi.
7. Presiden memberikan atau menolak permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung. Sebagai upaya dalam meyelaraskan pengaturan mengenai grasi dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
A. Dasar Hukum Pemberian Grasi
Sebelum tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (UU Permohonan Grasi). Namun, setelah tahun 2002 pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).
Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Permohonan Grasi yaitu semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling rendah dua tahun.
Pemberian grasi oleh Presiden akan mengakibatkan penerima grasi tidak usah menjalankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Pemberian grasi tersebut dapat berbentuk pembebasan dari seluruh pidana, pembebasan sebagian dari pidana, atau perubahan jenis pidana dari pidana berat menjadi pidana ringan.
Dalam UU Permohonan Grasi tidak disebutkan dengan jelas bentuk-bentuk grasi yang dapat diberikan oleh Presiden. Sedangkan bentuk-bentuk grasi yang dapat diberikan kepada Presiden berdasarkan UU Grasi yaitu;
ü peringanan atau perubahan jenis pidana; atau
ü pengurangan jumlah pidana; atau
ü penghapusan pelaksanaan pidana.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Pendapat R. Soeroso, S.H: Hukum yang mengatur susunan dan kekuasaan alat perlengkapan Badan Umum atau hukum yang mengatur semua tugas dan kewajiban dari pejabat-pejabat pemerintah didalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Kajian Hukum Tata Pemerintahan mencakup dua aspek yaitu aspek yang luas dan sempit. Kedua aspek itu melihat Hukum Tata Pemerintahan dari fokus perhatian yakni obyek penelitiannya. Aspek yang Luas: melihat Hukum Tata Pemerintahan sebagai sebagai obyek yang berorientasipada pengertian Hukum Tata Pemerintahan yang identik dengan lapangan tugas pemerintahan sedangkan obyek yang sempit adalah yang tidak identik.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://infoartikl.blogspot.com/2013/01/hukum-tata-pemerintahan.html
http://tulisan-dan-ocehan.blogspot.com/2014/06/pengertian-hukum-tata-pemerintahan.html https://www.google.com/?
gws_rd=ssl#q=definisi+hukum+tata+pemerintahan+menurut+para+ahli+indonesia http://eprints.uny.ac.id/8608/2/BAB%201%20-%2008401244039.pdf
https://elkafilah.wordpress.com/2012/05/23/pengadilan-di-indonesia/
http://lawandbeauty.blogspot.com/2013/07/proses-penyelesaian-sengketa-tata-usaha.html http://boyashter.blogspot.com/2012/11/subjek-hukum-tata-pemerintahan.html
http://exrura.blog.com/2011/05/16/hukum-tata-pemerintahan/ http://exrura.blog.com/2011/05/16/hukum-tata-pemerintahan/