• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN URBAN COMPACTNESS DENGAN POLA P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN URBAN COMPACTNESS DENGAN POLA P"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PERGERAKAN

PENDUDUK

KAWASAN

KOTA

SURAKARTA

Tendra Istanabi, Rizon Pamardhi Utomo, Murtanti Jani Rahayu

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik

Universitas Sebelas Maret, Surakarta email: istanabitendra@gmail.com

Abstract: Nowadays the development of the cities are more and more rapid and complex as in Surakarta City. The problem of physical development occurs in Surakarta City especially in in the southern of the city where massive physical development is underway. It causes deferent levels of urban compactness inside the city. The deference enables movement from an area with low level urban compactness to higher level urban compactness because the area provide sophisticated facilities. Then compact city concept concerning with centralizing the development of area rises. The concept can decrease the conversion of vacant land by intensifying the land use through mixed land use that has the goal in reducing movement. Meanwhile urban compactness is a methodological approach to measure the level of compactness based on the concept of compact city. The objective of this research is to find out the correlation between the levels of urban compactness with the patterns of population movement. This research is conducted at functional border of the city of administrative border of Surakarta City. The method to determine the level of urban compactness is by scoring three variables. They are density, mixed land use, and transportation and connectivity. On the other hand, the patterns of population movement are viewed from mileage variable, movement spreads variable, movement time and transportation modes that are seen from five movement purposes consisting of working, studying, shopping, health, and recreation or entertainment. The finding of this research shows less significant correlation between the levels of urban compactness and the patterns of population movement. It means that there are different patterns of population movement in the area of certain urban compactness levels. However the level of urban compactness in Surakarta City is not completely linear with the patterns of population movement.

Keywords: Compact City, Urban Compactness, Movement Pattern

I. PENDAHULUAN

Perkembangan kota saat ini cenderung semakin pesat dan semakin kompleks. Banyak sekali otokritik terhadap perkembangan kota yang menurut beberapa orang menjadi sebuah paradoks terhadap kemajuan jaman yang dicapai saat ini. Perkembangan kota yang pesat tentu akan berdampak pada peningkatan kebutuhan lahan untuk mewadahi

perkembangan tersebut. Walaupun harga lahan semakin tinggi namun kebutuhan lahan tetap tinggi karena jumlah penduduk semakin bertambah, akibatnya terjadi ekstensifikasi penggunaan lahan dan perkembangan kota semakin melebar dan bahkan tidak teratur

fenomena ini yang kemudian disebut urban

sprawl.

Galster dkk, 2011 (dalam Atianta, 2014) menjelaskan bahwa salah satu kunci efisiensi pemanfaatan ruang adalah dengan konsep

compact city. Konsep tersebut menitikberatkan

pada pemusatan pembangunan di suatu kawasan yang dapat menekan konversi lahan kosong dengan intensifikasi penggunaan lahan melalui penggunaan lahan yang beragam. Sementara itu Scoffham dan Vale, 1996 (dalam Xie, 2010) menjelaskan bahwa

compact city diibaratkan sebuah kota otonom

(2)

sendiri yang lebih independen dan tidak terlalu bergantung pada kawasan perkotaan lainnya.

Konsep compact city selayaknya konsep-konsep pengembangan kota saat ini seperti

green city, smart city, dan lain-lain merupakan

sebuah goal atau visi dalam mewujudkan kota kedepannya dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu. Tentu saja sebuah konsep tidak akan secara serta-merta diterapkan secara sempurna pada setiap kota. Maka dari itu kemudian muncul metode untuk mengukur seberapa besar tingkat ketercapaian suatu kota sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut. Maka kemudian dikenal istilah seperti indeks green

city, indeks smart city, dan kemudian dalam

kajian ini akan memuncukan indeks compact city atau biasa disebut urban compactness.

Urban compactness secara sederhana

merupakan tingkat kekompakan sebuah kota atau kawasan kota. Indeks dalam hal ini merupakan skala artinya kota atau kawasan yang memiliki nilai atau indeks lebih tinggi dapat dikatakan lebih kompak daripada kawasan yang lain dan sebaliknya.

Salah satu komponen utama yang mendukung kekompakan suatu kota adalah pemusatan kegiatan. Pemusatan kegiatan dan fasilitas di pusat kota berdampak pada peningkatan pergerakan penduduk menuju pusat kota. Jika ditinjau dari lebih jauh terlihat bahwa semakin jauh dari pusat kota,

kesempatan kerja semakin rendah, dan sebaliknya kepadatan perumahan semakin tinggi. Bangkitan pergerakan kemudian akan muncul dari berbagai kawasan yang berbeda-beda sehingga setiap kawasan akan muncul karakteristik pergerakan yang berbeda pula. Karakteristik tersebut yang kemudian

memunculkan pola pergerakan setiap kawasan. Kota Surakarta, selayaknya kota skala sedang di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan dan ekspansi perkotaan yang cukup pesat, sehingga saat ini mengalami gejala permasalahan umum perkotaan seperti kepadatan penduduk yang tinggi, maupun terkait penyediaan sarana maupun prasarana perkotaan. Terdapat sebuah isu utama terkait dengan permasalahan perkembangan fisik perkotaan di Surakarta yaitu konsentrasi perkembangan fisik secara masif terjadi pada bagian selatan kota. Hal ini menimbulkan perbedaan tingkat kekompakan antar kawasan perkotaan. Secara umum kondisi ini tidak

begitu menguntungkan bagi perkembangan Kota Surakarta secara keseluruhan dan cenderung akan menimbulkan ketimpangan pelayanan fasilitas publik bagi masyarakat Kota Surakarta.

Perbedaan tingkat kekompakan

memungkinkan terjadinya pergerakan antara kawasan yang memiliki tingkat urban

compactness rendah menuju kawasan yang

memiliki tingkat urban compactness tinggi karena kawasan tersebut memiliki ketersediaan fasilitas cukup tinggi. Kawasan yang memiliki tingkat urban compactness tinggi akan

menjadi tarikan pergerakan bagi kawasan lainnya. Akibatnya pola pergerakan cenderung akan terkonsentrasi menuju kawasan tertentu dan kawasan dengan tingkat urban

compactness rendah cenderung membutuhkan

usaha pergerakan yang lebih menuju setiap pusat kegiatan. Bangkitan pergerakan dari kawasan dengan tingkat urban compactness

rendah menuju tarikan pergerakan pada kawasan dengan tingkat urban compactness

tinggi ditambah juga dengan pergerakan pada masing-masing kawasan kemudian akan membentuk pola pergerakan penduduk tertentu di Kota Surakarta.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara tingkat urban compactness dengan pola pergerakan penduduk kawasan Kota Surakarta. Hasil penelitian ini diharapkan salah satunya menjadi bahan pertimbangan pemerintah terhadap kemampuan pelayanan kota kepada masyarakat sehingga akan tercipta kawasan kota dengan pelayanan ideal.

II. METODE

A. Ruang Lingkup

Ruang lingkup wilayah penelitian yaitu kawasan di dalam administrasi Kota Surakarta yang mampu menunjukan batasan fungsional yang jelas dan mampu secara proporsional membagi wilayah administrasi Kota Surakarta menjadi bagian-bagian wilayah yang

menunjukan karakteristik urban compactness

tertentu dan ciri pola pergerakan penduduk pada setiap kawasannya.

Sementara secara substansi urban

compactness merupakan turunan kajian dari

(3)

dilakukan sebagai bagian dari konsep bentukan struktur ruang dan variabel yang digunakan berkaitan dengan keruangan. Sementara hubungan urban compactness denganpola pergerakan dilakukan dalam kerangka melihat kecenderungan keruangan kawasan.

B. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan batasan Bagian Wilayah Perkotaan (BWP) sebagai interpretasi dari kawasan-kawasan perkotaan di Kota Surakarta. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap: 1. Analisis skoring tingkat urban compactness,

dengan melakukan penjumlahan dan penyetaraan nilai pada setiap sub variabel, yaitu:

a. Kepadatan: Kepadatan penduduk bruto, kepadatan penduduk netto, kepadatan bangunan dan analisis tetangga terdekat b. Keragaman penggunaan lahan: proporsi luas kawasan perdagangan jasa terhadap luas kawasan, proporsi luas kawasan perkantoran terhadap luas kawasan, proporsi luas fasilitas pendidikan terhadap luas kawasan, proporsi luas fasilitas kesehatan terhadap luas kawasan, proporsi luas fasilitas industri terhadap luas kawasan, dan proporsi luas fasilitas RTH Aktif terhadap luas kawasan. c. Transportasi dan konektivitas:

Perbandingan panjang rute bus dan panjang jalan, serta konektivitas dan kepadatan jaringan jalan yang meliputi perbandingan panjang jalan, kepadatan simpul, kepadatan

lingkage, dan indeks bheta.

2. Analisis pola pergerakan, dilakukan dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi dengan pengolahan data dari hasil kuesioner yang didapatkan dengan menggunakan variabel meliputi jarak tempuh pergerakan, sebaran pergerakan, waktu tempuh

pergerakan, dan moda transportasi yang digunakan. Selanjutnya variabel tersebut akan dilihat berdasarkan lima tujuan

pergerakan yaitu tujuan bekerja, bersekolah, belanja, kesehatan, dan rekreasi atau

hiburan.

3. Analisis hubungan tingkat urban

compactness dengan pola pergerakan

penduduk, dilakukan dengan metode analisis statistik dengan SPSS

Tabel 1 Penggunaan Analisis Statistik SPSS

Hubungan Skala Data Analisis Nilai Urban

Chi Square&

coefficient

Chi Square & coefficient contingency

Sumber: Analisis, 2015

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tingkat

Urban Compactness

Berdasarkan kajian di enam bagian kawasan di Surakarta didapatkan skoring nilai yaitu:

Tabel 2 Nilai Tingkat Urban Compactness

BWP Sumber: Analisis, 2015

Di Kota Surakarta semakin padat kawasan menyebabkan tingkat urban compactness

cenderung semakin tinggi pula. Kawasan yang memiliki tingkat urban compactness rendah memiliki lahan yang tidak terbangun cukup banyak. Kota kompak yaitu ketika kota mampu memaksimalkan lahan yang tersedia untuk dijadikan kawasan perkotaan sebelum menggunakan lahan hijau di sekitarnya, Lock, 1995 (dalam Xie, 2010). Artinya Kota

Surakarta belum secara baik mampu memaksimalkan lahan yang tersedia karena terdapat kawasan tertentu dengan kepadatan yang tinggi namun pada kawasan lainnya terdapat perkembangan yang bersifat acak dan

(4)

Kemudian semakin tinggi tingkat urban

compactness keragaman penggunaan lahan

juga semakin banyak dan memiliki proporsi yang tinggi. Di Kota Surakarta semakin kompak juga cenderung kawasan tersebut memiliki pusat-pusat kegiatan berskala besar seperti perdagangan jasa, pendidikan, kesehatan maupun tempat rekreasi atau hiburan. Sementara kawasan yang memiliki tingkat urban compactness rendah cenderung memiliki pula keterbatasan pusat kegiatan dan keragaman penggunaan lahan ditambah skala pelayanan yang kecil. Menurut Bai (2009) kekompakan ditentukan dengan proporsi lahan untuk kebutuhan penduduk.

Artinya tidak hanya jumlah penggunaan lahan tetapi juga proporsi karena proporsi tersebut akan mempengaruhi seberapa besar luas lahan yang digunakan dibandingkan dengan luas kawasannya. Semakin luas proporsi lahan yang digunakan semakin besar kemampuan skala layanan.

Gambar 1 Skema Keragaman Penggunaan LahanKota Surakarta

Sumber: Draft RDTRK Kota Surakarta 2013 dan Analisis, 2015

Dalam penelitian ini transportasi diartikan sebagai sarana angkutan umum yang ada di Surakarta dan konektivitas diartikan dengan jaringan jalan. Di Kota Surakarta semakin tinggi tingkat urban compactness menunjukan kawasan tersebut juga semakin banyak terlayani dengan trayek angkutan umum. Menurut Xie (2010) transportasi publik berupa penggunaan bus umum akan meningkatkan kekompakan kota. Sementara semakin tinggi tingkat urban compactness juga menunjukan semakin banyak jaringan jalan skala kota yang terdapat di kawasan tersebut. Pola jaringan jalan akan membentuk dan memengaruhi mobilitas penduduk (Wicaksono, 2013). Artinya semakin banyak jaringan jalan akan semakin banyak simpul yang bisa

terhubungkan sehingga akan semakin banyak alternatif pergerakan oleh penduduk sehingga akhirnya tidak hanya bertumpu pada suatu jaringan jalan tertentu seperti terjadi pada kawasan dengan tingkat urban compactness

tinggi di Kota Surakarta. Semakin tinggi tingkat urban compactness juga menunjukan semakin baik pula jaringan transportasi dan konektivitas yang dimiliki.

Selain itu apabila dicermati dan dikaitkan dengan bahasan sebelumnya penggunaan lahan terkonsentrasi tinggi akan selalu mengikuti pola jaringan terutama jaringan jalan. Dalam teori klasik yang menjadi teori dasar bagi struktur ruang kota R.V. Retcliff, 1949 (dalam Astuti, 2014) menyatakan bahwa pusat kota atau pusat kegiatan kota dianggap sebagai suatu tempat yang mempunyai aksesibilitas terbesar dan dari lokasi inilah centrality value. Kemudian menurut Pontoh dan Kustiwan, 2009 (dalam Astuti, 2014) salah satu pembentuk struktur ruang adalah jaringan transportasi. Artinya keberadaan jaringan menjadi sebuah katalisator yang akan memicu pertumbuhan penggunaan lahan tertentu sehingga akan meningkatkan urban

compactness kawasan pada akhirnya yang

akan selalu berkembang. Seperti pendapat Yunus (1999) struktur kota dapat berkembang melalui pola-pola seperti concenctric zone,

radial sector, dan multiple nuclei.

Di Kota Surakarta semakin tinggi tingkat

urban compactness linear pula dengan tingkat

(5)

B. Pola Pergerakan Penduduk 1. Jarak dan sebaran pergerakan

Gambar 2 Diagram Jarak Pergerakan Rata-Rata BWP Kota Surakarta

Sumber: Analisis, 2015

Di Kota Surakarta pergerakan tujuan belanja, merupakan tujuan pergerakan yang cenderung paling ramah lingkungan karena pergerakan belanja relatif menempuh jarak paling dekat sehingga sebagian besar

pergerakan dilakukan pada internal kawasan. Selanjutnya pergerakan tujuan kesehatan dan sekolah masih didominasi dengan pergerakan dalam lingkup internal kawasan artinya tarikan pergerakan untuk kedua tujuan tersebut bisa ditemui pada masing-masing kawasan. Kemudian pergerakan tujuan berkerja memiliki pola yang sangat bervariasi di seluruh kawasan. Artinya tujuan pekerjaan bisa ditemui di seluruh kawasan dengan variasi jarak yang acak pada kawasan tertentu.

Pergerakan rekreasi atau hiburan merupakan pergerakan yang membutuhkan usaha pergerakan paling besar.

Perjalanan terbentuk karena adanya kegiatan yang dilakukan bukan di tempat tinggal sehingga pola sebaran tata guna lahan suatu kota akan sangat mempengaruhi pola perjalanan orang, (Tamin, 2000). Sementara itu menurut Atianta (2014) dalam pergerakan terdapat prioritas faktor pendorong yang berbeda-beda berdasarkan setiap tujuan pergerakan.

Artinya perbedaan pola pergerakan disebabkan faktor pendorong yang berbeda pada setiap tujuan pergerakan dan ketersediaan fasilitas berupa pusat-pusat kegiatan dalam skala kecil maupun besar relatif tidak merata dan dimiliki pada masing-masing kawasan sehingga dibutuhkan usaha ke kawasan lain untuk menjangkau fasilitas tersebut

.

Gambar 3 Skema Pola Pergerakan Penduduk Kota Surakarta

Sumber: Analisis, 2015

2. Waktu Tempuh Pergerakan Di Kota Surakarta waktu tempuh pergerakan bervariasi pada masing-masing tujuan pergerakan. Namun demikian hal tersebut masih berbanding lurus dengan variasi jarak tempuh pergerakan. Pergerakan tujuan belanja merupakan pergerakan yang dapat ditempuh paling cepat hal tersebut sesuai dengan jarak tempuh menuju tujuan belanja yang juga paling dekat. Selanjutnya secara berturut-turut diikuti pergerakan tujuan kesehatan, sekolah bekerja dan terakhir rekreasi atau hiburan. Pergerakan

membutuhkan waktu tempuh paling lama yaitu pergerakan menuju tempat rekreasi atau hiburan.

Gambar 4 Diagram Waktu Tempuh Rata-Rata BWP Kota Surakarta

(6)

3. Moda Transportasi Pergerakan

Di Kota Surakarta pergerakan cenderung didominasi oleh pergerakan individu daripada pergerakan menggunakan transportasi massal. Kemudian pergerakan juga didominasi oleh kendaraan bermotor dari pada kendaraan tidak bermotor. Artinya pergerakan di Kota

Surakarta masih dilakukan secara sporadis dan acak. Akibatnya pola pergerakan tidak terlalu bergantung pada kondisi persebaran pusat kegiatan. Penduduk Surakarta memiliki kemampuan untuk menjangkau pusat kegiatan tersebut walaupun harus dengan usaha

pergerakan yang lebih.

Gambar 5 Skema Pola Penggunaan Moda TransportasiKota Surakarta

Sumber: Draft RDTRK Kota Surakarta 2013 dan Analisis, 2015

C. Hubungan Tingkat Urban Compactness

dengan Pola Pergerakan Penduduk Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan didapatkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat urban compactness

dengan pola pergerakan penduduk di Kota Surakarta walaupun dalam bentuk hubungan yang lemah. Hubungan tersebut

mengindikasikan ada perbedaan pola pergerakan pada tingkat urban compactness

tertentu. Secara lebih detail bahasan mengenai hubungan urban compactness dengan variabel pola pergerakan akan dibahas di bawah ini.

Dapat dilihat pada pola kurva hubungan di bawah ini ada ketidakteraturan pola

pergerakan pada kawasan dengan kekompakan paling tinggi. Dalam terminologi matematika bentuk kurva pangkat tiga dengan dua titik puncak yang secara sederhana berarti kondisi fungsi jauh dari kondisi yang linear. Kondisi yang ingin digambarkan dari bentuk tersebut bahwa terdapat penyimpangan yang cukup jauh antara besarnya jarak dan tingkat kekompakannya

Jenks, 2000 (dalam Atianta, 2014) menjelaskan bahwa kota yang kompak akan mampu mereduksi jarak tempuh perjalanan sehingga dapat menurunkan tingkat mobilitas penduduk. Hal tersebut tidak terjadi secara keseluruan kawasan di Kota Surakarta. Artinya tingkat urban compactness belum secara simultan mereduksi pergerakan di Kota Surakara.

Gambar 6 Kurva Hubungan Urban

Compactness dengan Jarak Tempuh

Sumber: Analisis, 2015

Sementara itu di Kota Surakarta kecenderungan internalisasi sebaran

(7)

Gambar 7 Kurva Hubungan Urban

Compactness dengan Sebaran Pergerakan

Sumber: Analisis, 2015

Kemudian pada variabel waktu tempuh terdapat pola yang juga bertolak belakang. Kawasan yang tidak kompak cenderung membutuhkan waktu tempuh pergerakan lebih cepat daripada kawasan yang relatif lebih kompak. Apabila dikaitkan dengan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa kekompakan dapat mereduksi pergerakan maka seharunya ketika jarak semakin dekat juga waktu tempuh yang dibutuhkan semakin berkurang. Dapat diartikan bahwa kawasan yang lebih kompak memiliki potensi hambatan pergerakan lebih besar apabila kawasan tersebut menjadi pusat orientasi pergerakan bagi kawasan lainnya atau karena tarikan yang terlalu kuat pada kawasan yang lebih lebih kompak.

Gambar 8 Kurva Hubungan Urban

Compactness dengan Waktu Tempuh

Sumber: Analisis, 2015

Terakhir kawasan yang memiliki tingkat kekompakan tinggi belum mampu mengurangi secara signifikan penggunaan kendaraan bermotor. Menurut Marsh dan Couland, 1996 (dalam Xie, 2010)manfaat dari compact city

yaitu di antaranya mampu mereduksi

penggunaan kendaraan pribadi untuk beralih menggunakan transportasi umum sehingga lebih ramah lingkungan.

Apabila dicermati terdapat pula

kecenderungan yang tidak linier pada kawasan yang paling kompak. Artinya kawasan yang memiliki tingkat kekompakan tinggi belum mengurangi secara signifikan penggunaan kendaraan bermotor. Dapat dikatakan pula kawasan yang lebih kompak di Kota Surakarat belum mampu merubah pola pergerakan menjadi lebih ramah lingkungan.

Gambar 9 Kurva Hubungan Urban

Compactness dengan Moda Transportasi

Sumber: Analisis, 2015

Apabila dilihat secara komprehensif maka ketidakteraturan hubungan tingkat urban

compactness di Kota Surakarta dengan pola

pergerakan penduduk mengindikasikan adanya ketidaksempurnaan sistem compact city. Secara spasial menurut Roychansyah (2005)

compact city menekankan pada hierarki

(8)

Hal tersebut disebaban karena secara morfologis Kota Surakarta membentuk pola konsentris dengan konsentrasi pusat kegiatan di tengah kota yang merupakan pengembangan dari pusat kota Surakarta. Pola konsentris menjelaskan bahwa pusat kota merupakan kawasan CBD. Pola tersebut menyebabkan nilai lahan yang ada di tengah kota menjadi tinggi dan cukup strategis untuk dijadikan pusat kegiatan yang bersifat komersil sehingga keberadaan fasilitas pelayanan dan komersial seperti perdagangan jasa dan perkantoran cenderung berada di tengah kota. Apabila dilihat kekompakan kawasannya maka memang kawasan yang berada di sekitar tengah kota memiliki tingkat urban

compactness paling tinggi dan secara geografis

berada di Kota Surakarta bagian selatan. Kemudian pusat kota tersebut akan menjadi magnet tarikan pergerakan dari kawasan lain untuk datang.

IV. KESIMPULAN

Pola pergerakan di Kota Surakarta masih dilakukan secara sporadis dan acak.

Pergerakan didominasi oleh pergerakan berbasis individu bukan pergerakan masal melalui sarana transportasi perkotaan. Akibatnya pola pergerakan tidak terlalu bergantung pada kondisi persebaran pusat kegiatan.

Pergerakan yang sudah bersifat pergerakan skala neighbourhood yaitu pergerakan tujuan berbelanja. Sementara itu pergerakan tujuan sekolah dan kesehatan bersifat pergerakan kawasan artinya pergerakan tersebut

cenderung dilakukan di dalam kawasan namun dengan jangkauan yang lebih besar dari pada pergerakan skala neighbourhood. Terakhir pergerakan tujuan bekerja dan rekreasi atau hiburan lebih bersifat pada pergerakan skala kota artinya pergerakan yang terjadi cenderung dilakukan lintas kawasan.

Hubungan lemah antara tingkat urban

compactness dengan pola pergerakan

disebabkan karena dua faktor, faktor pertama karena secara spasial terjadi

ketidaksempurnaan sistem compact city. Di Kota Surakarta masing-masing kawasan belum mampu secara simultan membentuk sistem

compact city di mana sistem tersebut

menekankan pada hierarki pelayanan antar level kawasan dalam suatu kota dengan

mengutamakan interaksi internal suatu kawasan sehingga terdapat ketergantungan pada kawasan tertentu.

Faktor kedua terkait dengan pola pergerakan yaitu adanya faktor penarik dan pendorong pergerakan. Dalam kajian ini faktor penarik tersebut merupakan tingkat

kekompakan, namun juga terdapat faktor pendorong pergerakan yang menjadi motif dan menentukan kemampuan penduduk untuk melakukan pergerakan yaitu karakteristik penduduk.

REFERENSI

Astuti, Intan Dwi, 2014, Peran Perkembangan Aktivitas industi dan Perdagangan Jasa Terhadap Perubahan Struktur Ruang

Kawasan Solo Baru. Tugas Akhir S1

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Sebelas Maret Surakarta Atianta, Lanthika, 2014, Pengaruh Urban

Compactness terhadap Pola pergerakan

Penduduk Kota Yogyakarta. Skrispsi S1

Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Bai, Yongping, 2009, “Comprehensive Level of

Urban Compactness and its Influence Factors in the Cities along Longhai-Lanxin

Railway”.International Conference on

Artificial Intelligence and Soft Computing Lecture Notes in Information Technology, 12, 1-8

Ofyzar, Z Tamin, 2000, Perencanaan dan

Permodelan Transportasi, Bandung: ITB.

Roychansyah, Sani, 2006, “Paradigma Kota

kompak: Solusi Masa Depan Tata Ruang

Kota?”, Inovasi, 7, 19-27

Sugiyono, 2012. MetodePenelitian Kuantitatif

Kualitatif dan R&D, Bandung: Alphabeta

Wicaksono, Agus Dwi, 2013, Perumusan Konsep Peningkatan Efektivitas Urban Compactness

di Kota Surabaya. Desertasi S3 Program

Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya

Xie, Yongqing, 2010, Urban Compaction and its Impact on Urban Development in China: A

Chase Study of Beijing. Thesis.S2 The

University of Hongkong

(9)

Gambar

Tabel 1 Penggunaan Analisis Statistik SPSS
Gambar 1 Skema Keragaman Penggunaan LahanSumber: Draft RDTRK Kota Surakarta 2013  Kota Surakarta dan Analisis, 2015
Gambar 3 Skema Pola Pergerakan Penduduk
Gambar 6 Kurva Hubungan Urban
+2

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 31/PRT/M/2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 tentang

Pada kenyataan di lapangan setelah dilakukan penelitian, Total Physical Response bila dilaksanakan dengan benar dapat menambah penguasaan bahasa Inggris anak

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan tentang penerapan mobile-first design pada antarmuka website profil sekolah menggunakan metode human -

Berdasarkan uraian tersebut, ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut: (1) Menganalisis perananan subsektor kehutanan di dalam perekonomian wilayah Provinsi Jawa Barat;

Republik Indonesia Serikat yang berbentuk federal itu tidak disenangi oleh sebagian besar rakyat Indonesia, karena sistem federal digunakan oleh Belanda

3.) Kontrol positif (reference) material yang telah diketahui dari hasil uji yang telah ada untuk menghasilkan efek tertentu bagi biota... Kontrol positif ideal toksik pada

Dari hasil wawancara di atas dapat dipahami bahwa guru kelas IV mulai mengajar sejak tahun 2019 pada bulan juli adapun jumlah siswa di kelas beliau mengajar berjumlah 22 siswa

Proses perombakan bahan organik pada kotoran sapi secara anaerob yang terjadi di dalam digester terdiri dari 4 tahap proses yaitu hidrolisis, fermentasi (asidogenesis),