1.1 Imobilisasi dan Mobilisasi
1.1.1 Definisi Imobilisasi
Gangguan mobilisasi fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh Nanda sebagai suatu
keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak
fisik (Perry & Potter, 2006). Tirah baring merupakan suatu intervensi dimana klien di
batasi untuk tetap berada di tempat tidur untuk tujuan terapeutik.
Menurut Perry & Potter (206) tujuan umum tirah baring
1. Mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen untuk tubuh.
2. Mengurangi nyeri, meliputi nyeri pasca operasi dan kebutuhan analgesik
dengan dosis besar.
3. Memungkinkan klien sakit atau lemah untuk beristirahat dan mengem- balikan
kekuatan.
4. Memberi kesempatan pada klien yang letih untuk beristirahat tanpa
gangguan.
1.1.2 Mobilisasi
Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
bebas (Perry dan Potter, 2006). Aktivitas (mobilisasi) didefinisikan sebagai suatu aksi
energetik atau keadaan bergerak. Orang sakit memerlukan waktu yang lama di
tempat tidur sehingga mereka mempunyai masalah dalam menjaga aktivitas /
gerakan. Perawat perlu membatu pasien untuk menjaga kemampuan bergerak serta
untuk mencegah penyulit-penyulit yang dapat timbul akibat keadaan kurang
bergerak (imobilisasi) (Priharjo, 1993). Mempertahankan kesejajaran tubuh
merupakan hal penting khususnya pada klien yang mengalami keterbatasan
posisi (posisi miring ke kiri maupun ke kanan duduk ditempat tidur, duduk berjuntai)
gerakan pasif dan aktif (Suardika, 2005).
Berikut ini merupakan pengertian dari mobilisasi oleh beberapa ahli:
1) Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan
kemandirian bagi seseorang (Ansari, 2011).
2) Mobilisasi adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat melakukan keegiatan
dengan bebas (Kosier, 1989)
3) Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehat. Mobilisasi diperlukan untuk meninngkatkan kesehatan,
memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan untuk
aktualisasi. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas
dalam dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong
untuk menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera mungkin, biasanya
dalam waktu 12 jam (Mubarak, 2008).
1.1.3 Tujuan Mobilisasi
1) Memenuhi kebutuhan dasar manusia
2) Mencegah terjadinya trauma
3) Mempertahankan tingkat kesehatan
4) Mempertahankan interaksi sosial dan peran sehari – hari
5) Mencegah hilangnya kemampuan fungsi tubuh
1.1.4 Batasan karakteristik
1) Ketidakmampuan untuk bergerak dengan tujuan di dalam lingkungan,
termasuk mobilitas di tempat tidur, berpindah dan ambulasi
3) Keterbatasan rentang gerak.
4) Penurunan kekuatan, pengendalian, atau masa otot.
5) Mengalami pembatasan pergerakan, termasuk protocol-protokol mekanis
dan medis
6) Gangguan koordinasi
1.1.5 Jenis Mobilitas
1.1.5.1 Jenis Mobilitas :
1) Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf
motorik volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh
seseorang.
2) Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mam.pu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sesnsorik pada area tubuhnya.
Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan
pemasangan traksi. Pada pasien paraplegi dapat mengalami mobilitas
sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik dan
sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a) Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh trauma reversibel pada system musculoskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
b) Mobilitas permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak
rusaknya system saraf yang reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia
karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomilitis
karena terganggunya system saraf motorik dan sensorik.
1.1.5.2 Rentang Gerak dalam mobilisasi
Dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :
1) Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
2) Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien menggerakkan
kakinya.
3) Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas
yang diperlukan
1.1.6 Jenis Imobilitas :
1.1.6.1 Imobilisasi fisik,
Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah
terjadinya gangguan komplikasi pergerakan.
1.1.6.2 Imobilisasi intelektual
Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir.
1.1.6.3 Imobilitas emosional
Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara
1.1.6.4 Imobilitas sosial
Merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan
interaksi sosial karena keadaan penyakitnya, sehingga dapat mempengaruhi
perannya dalam kehidupan sosial.
1.1.7 Etiologi
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab
utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada
demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan
imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orangusia
lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun dirumah sakit
(Setiati dan Roosheroe, 2007).
Penyebab secara umum:
Kelainan postur
Gangguan perkembangan otot
Kerusakan system saraf pusat
Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular
Kekakuan otot
Kondisi-kondisi yang menyebabkan immobilisasi antara lain: (Restrick, 2005).
1) Fracture
2) Stroke
3) Postoperative bed rest
4) Dementia and Depression
6) Hipnotic medicine
7) Impairment of vision
8) Polipharmacy
1.1.8 Faktor resiko
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi, seperti pada tabel berikut:
Gangguan muskuloskeletal Artritis Osteoporosis
Fraktur (terutama panggul dan femur) Problem kaki (bunion, kalus)
Lain-lain (misalnya penyakit paget) Gangguan neurologis Stroke
Penyakit parkinson
Lain-lain (disfungsi serebelar, neuropati) Penyakit kardiovaskular Gagal jantung kongensif (berat)
Penyakit jantung koroner (nyeri dada yang sering)
Penyakit vaskular perifer (kardkasio yang sering) Penyakit paru Penyakit paru obstruksi kronis (berat)
Faktor sensorik Gangguan penglihatan
Takut (instabilitas dan takut akan jatuh)
Penyebab lingkungan Imobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau panti werdha)
Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat Nyeri akut atau kronik
Lain-lain Dekondisi (setelah tirah baring lama metastasis luas pada keganasan)
Malnutrisi
Penyakit sistemik berat (misalnya metastasis luas pada keganasan)
Depresi
Efek samping obat (misalnya kekuatan yang disebabkan obat antipsikotik)
1.1.9 Tanda dan gejala
1.1.9.1 Dampak fisiologis dari imobilitas, antara lain:
EFEK HASIL
Penurunan konsumsi oksigen maksimum
Penurunan fungsi ventrikel kiri Penurunan volume sekuncup Perlambatan fungsi usus
Intoleransi ortostatik
Peningkatan denyut jantung, sinkop Penurunan kapasitas kebugaran Konstipasi
Pengurangan miksi
Gangguan tidur Bermimpi pada siang hari, halusinasi
1.1.9.2 Efek Imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ
ORGAN / SISTEM PERUBAHAN YANG TERJADI AKIBATIMOBILISASI
Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan otot, penurunan area potong lintang otot, kontraktor, degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya volume sendi
Kardiopulmonal dan pembuluh darah Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi miokard, intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan oksigen maksimal (VO2 max), deconditioning jantung, penurunan volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru, pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agresi trombosit, dan hiperkoagulasi
Integumen Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan laserasi kulit
Metabolik dan endokrin Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa), hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolisme vitamin/mineral
Rentang gerak ROM (Range Of Motion)
GERAK SENDI DERAJATNORMALRENTANG
Bahu Adduksi: gerakan
lengan ke lateral
Pergelangan tangan Fleksi: tekuk jari-jari tangan ke arah bagian dalam lengan bawah.
Ekstensi: luruskan
Tangan dan jari Fleksi: buat kepalan
tangan 90
Ekstensi: luruskan
jari 90
Adduksi: rapatkan jari-jari tangan dari
b. Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah
ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan
c. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional,
dan pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu
yang diperlukan untuk mencapai target terapi.
d. Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan
dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/
kondisi penyetara lainnya.
e. Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat
menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentkan bila memungkinkan.
f. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.
g. Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis
terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif,
aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (isotonik,
isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi
terbatas.
h. Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu
berdiri dan ambulasi.
i. Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet.
2) Tatalaksana Khusus
a) Tatalaksana faktor risiko imobilisasi
b) Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi.
c) Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada
d) Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien–pasien yang
mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk
mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas
permanen.
1.1.10.2 Penatalaksanaan lain yaitu:
1) Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas, digunakan
untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas sendi. Posisi-posisi
tersebut, yaitu : Posisi fowler (setengah duduk), Posisi litotomi, Posisi dorsal
recumbent, Posisi supinasi (terlentang), Posisi pronasi (tengkurap), Posisi lateral
(miring), Posisi sim, Posisi trendelenberg (kepala lebih rendah dari kaki)
2) Ambulasi dini
Cara ini adalah salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular.. Tindakan ini bisa
dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur,
bergerak ke kursi roda, dan lain-lain.
3) Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri juga dilakukan untuk melatih
kekuatan, ketahanan, kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta
meningkatkan fungsi kardiovaskular.
4) Latihan isotonik dan isometrik
Latihan ini juga dapat dilakukan untuk melatih kekuatan dan ketahanan otot
dengan cara mengangkat beban ringan, lalu beban yang berat. Latihan isotonik
sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat dilakukan dengan meningkatkan
curah jantung dan denyut nadi.
5) Latihan ROM Pasif dan Aktif
Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif merupakan tindakan pelatihan untuk
mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot. Latihan-latihan itu, yaitu : 1)
Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan, 2) Fleksi dan ekstensi siku, 3) Pronasi dan
supinasi lengan bawah, 4) Pronasi fleksi bahu Abduksi dan adduksi, 5) Rotasi bahu,
6) Fleksi dan ekstensi jari-jari, 7) Infersi dan efersi kaki, 8) Fleksi dan ekstensi
pergelangan kaki, 9) Fleksi dan ekstensi lutut, 10) Rotasi pangkal paha, dan 11)
Abduksi dan adduksi pangkal paha.
6) Latihan Napas Dalam dan Batuk Efektif
Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan fungsi respirasi sebagai dampak
terjadinya imobilitas.
7) Melakukan Postural Drainase.
Postural drainase merupakan cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari
paru dengan menggunakan gaya berat (gravitasi) dari sekret itu sendiri. Postural
drainase dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran napas tetapi
juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi atelektasis, sehingga
dapat meningkatkan fungsi respirasi. Pada penderita dengan produksi sputum yang
banyak, postural drainase lebih efektif bila diikuti dengan perkusi dan vibrasi dada.
8) Melakukan komunikasi terapeutik
Cara ini dilakukan untuk memperbaiki gangguan psikologis yaitu dengan cara
berbagi perasaan dengan pasien, membantu pasien untuk mengekspresikan
kecemasannya, memberikan dukungan moril, dan lain-lain.
Pasien yang mengalami gangguan fungsi sistem skeletal, saraf dan
peningkatan kelemahan serta kekakuan biasanya membutuhkan bantuan perawat
untuk memperoleh kesejajaran tubuh yang tepat ketika selama berada di tempat
tidur (Potter & Perry, 2006).
1.1.11.1 Posisi Terlentang
Posisi terlentang dengan pasien menyandarkan punggungnya disebut posisi
dorsal rekumben. Pada posisi terlentang hubungan antar-bagian tubuh pada
dasarnya sama dengan kesejajaran berdiri yang baik kecuali tubuh berada pada
potongan horizontal (Potter & Perry, 2006).
1.1.12 Posisi Miring
Pada posisi miring (lateral) pasien bersandar disamping, dengan sebagian
besar berat tubuh berada pada pinggul dan bahu. Kesejajaran tubuh harus sama
ketika berdiri. Contohnya struktur tulang belakang harus diperhatikan, kepala harus
di sokong pada garis tengah tubuh, dan rotasi tulang belakang harus dihindari
(Potter & Perry, 2006).
1.1.13 Mengatur Posisi Pasien
Tujuan mengatur posisi pasien adalah memberikan rasa nyaman pada
pasien, mempertahankan atau menjaga postur tubuh tetap baik, menghindari
komplikasi yang mungkin timbul akibat tirah baring. Posisi pasien sebaiknya dirubah
setiap 2 jam bila tidak ada kontra indikasi.
1.1.13.1 Posisi Berbaring Kesamping
Posisi diatur berbaring kesamping kanan / kiri. Lengan yang dibawah tubuh diatur
fleksi didepan kepala atau diatas bantal. Sebuah bantal dapat diletakkan dibawah
kepala dan bahu. Untuk menyobong otot sternokleidomartoid dapat dipasang bantal
sebuah bantal dapat diletakkan dibawahnya. Untuk mencegah paha beraduksi dan
berotasi ke dalam, sebuah bantal dapat diletakkan di bawah kaki atas, sambil kaki
atas diatur sedikit menekuk kedepan (Priharjo, 1993)
Gambar 2.1 Posisi Berbaring Kesamping (Priharjo, 1993)
1.1.13.2 Posisi Sim
Pasien diatur posisi miring ke kiri / kanan dengan tangan yang dibawah di
letakkan dibelakang punggung dan tangan yang atas difleksikan di depan bahu. Kaki
atas sedikit fleksi dan disokong sebuah bantal. Untuk mencegah leher fleksi dan
hiperektensi, sebuah bantal dapat diletakkan di bawah kepala (Priharjo, 1993)