• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PROSEDUR OPERASI BAKU SOP DAN PEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN PROSEDUR OPERASI BAKU SOP DAN PEL"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PROSEDUR OPERASI BAKU (SOP) DAN

PELAKSANAAN PEMANTAUAN DEBIT DAN EROSI

DI HUTAN TANAMAN INDUSTRI

KHABIBI NURROFI’ PRATAMA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ABSTRAK

KHABIBI NURROFI’ PRATAMA. Kajian Prosedur Operasi Baku (SOP) dan Pelaksanaan Pemantauan Debit dan Erosi di Hutan Tanaman Industri. Dibimbing oleh HENDRAYANTO

Pengelolaan HTI dengan sistem silvikultur tebang habis permudaan buatan (THPB) diduga berdampak negatif terhadap laju limpasan dan erosi permukaan sehingga setiap pengelola HTI diwajibkan melakukan kegiatan pengendalian dampak. Dalam rangka pengendalian dampak, diperlukan informasi debit sungai dan erosi permukaan. Untuk mendapatkan informasi yang benar pengelola HTI membuat SOP dan melakukan pemantauan debit sungai dan erosi permukaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pemantauan debit dan erosi terhadap pengendalian laju limpasan dan erosi permukaan di salah satu pengelola HTI di Kalimantan Timur, melalui kajian terhadap isi SOP dan pelaksaannya menggunakan kaidah-kaidah keilmuan pengukuran debit dan erosi permukaan. Hasil analisis kesenjangan antara isi SOP, pelaksanaannya dengan kaidah keilmuan menunjukkan bahwa SOP dan kegiatan pemantauan debit dan erosi di lokasi penelitian belum efektif dalam memberikan informasi besaran dampak dan pengendliannya. Perlu dilakukan perbaikan metode didalam SOP dan pelaksanaannya untuk mendapatkan informasi yang lebih baik, agar tindakan pengendalian dampak dapat dilakukan dengan lebih efektif.

(3)

ABSTRACT

KHABIBI NURROFI’ PRATAMA. Study of Standard Operating Procedure (SOP) and Implementation of River Discharge and Erosion Monitoring in Industrial Plantation Forest. Supervised by HENDRAYANTO.

Industrial plantation forest management with clear cutting and man made planting silviculture system potentially causes negative impact on runoff and surface erosion rate. Therefore, every industrial plantation forest concessionaries have to control those negative impacts. In order to control the impacts, information of river discharge and surface erosion rate are required. To get right information, forest plantation concessionaries develop standar operating procedure (SOP) for river discharge and surface erosion rate monitoring and implementation of monitoring. This study is aimed to analyze the SOP for river discharge and erosion, and their implementations based on scientific view of applied methods. Based on gap analyses, among SOP contents, their implementation and scientific view of applied methods, SOP and their implemenatation of river discharge and erosion monitoring are not effective yet to control the impact of forest plantation mangement on surface run-off, river discharge and erosion rate. Methods for river discharge and surface erosion monitoring written in the SOP and implementations are needed to be improved to obtain more valid and accurate information to control the impact of forest plantation management effectively.

(4)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia terutama di luar Pulau Jawa umumnya dilakukan dengan menerapkan sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) di hutan alam yang sudah tidak produktif, sebagaimana dalam Permenhut P.50/Menhut-II/2010, pasal 1 (Kemenhut 2010). Sistem silvikultur THPB, selain mengakibatkan terbukanya tutupan lahan juga mengakibatkan pemadatan tanah oleh alat berat. Terbukanya tutupan lahan berakibatkan tidak adanya intersepsi oleh tajuk sehingga meningkatkan besarnya tumbukan air hujan ke permukaan tanah yang berdampak pada hancurnya agregat tanah menjadi butiran tanah yang lebih halus. Selain mengakibatkan erosi, butiran tanah yang halus akan menyumbat pori-pori tanah, sehingga menghambat proses infiltrasi yang berarti meningkatkan laju limpasan (Sinukaban 2007). Sedangkan pemadatan tanah mengurangi pori tanah sehingga kapasitas infiltrasi berkurang dan laju limpasan dan erosi permukaan meningkat (Arsyad 2010).

Adanya potensi peningkatan laju limpasan dan erosi permukaan dalam pengelolaan HTI, pemerintah mengharuskan pengelola HTI melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 05 tahun 2012 (KLH 2012). Dalam AMDAL, pengelola HTI perlu malakukan pemantauan dan pengeloaan untuk mengurangi dampak negatifdan meningkatkan dampak positif. Salah satu dampak yang perlu dipantau adalah dampak pengelolaan HTI terhadap tanah dan air, untuk selanjutnya dilakukan pengelolaan dampak dalam hal ini adalah tindakan Konservasi Tanah dan Air (KTA). Pelaksanaan KTA juga menjadi indikator dari Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (PHPL-VLK) sebagaimana Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan P.8/VI-BPPHH/2011 (Kemenhut 2011).

(5)

2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas SOP dan pelaksanaan pemantauan debit dan erosi terhadap pengendalian laju limpasan dan erosi permukaan di salah satu perusahaan pemegang IUPHHK-HTI di Kalimantan Timur.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai masukan bagi perbaikan sistem pemantauan dampak kegiatan pengelolaan HTI terhadap limpasan dan erosi permukaan dan informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

SOP pemantauan dampak pengelolaan HTI di perusahaan ini mencangkup pemantauan kawasan lindung, pemantauan debit sungai dan kualitas air sungai, pemantauan kepadatan, ketebalan lapisan dan kesuburan tanah serta pemantauan erosi. Namun dalam penelitian ini hanya mencangkup SOP pemantauan dampak terhadap debit dan erosi permukaan. Sebagai objek kajian utama dalam penelitian ini adalah SOP pemantauan debit dan erosi, pelaksanaa SOP dan penggunaan hasil pemantauan dalam pengendalian laju limpasan dan erosi permukaan di lokasi penelitian.

(6)

3

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di salah satu perusahaan pemegang IUPHHK-HTI yang berlokasi di Kalimantan. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Hidrologi Hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS), Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2013.

Bahan dan Alat

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen SOP pemantauan debit dan erosi. Data pendukung berupa hasil pengukuran, literatur tentang pemantauan debit dan erosi, kondisi fisik lokasi dan data spasial (kontur, jenis tanah dan penggunaan lahan) di lokasi penelitian. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian meliputi GPS, alat tulis, kamera dan software MS Word 2007, MS Excel 2007 dan Arc GIS 10.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian secara ringkas disajikan dalam bentuk bentuk diagram alir sebagaimana disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian

(7)

4 Maka dari itu, diperlukan suatu sistem pengendalian yang dituangkan dalam bentuk SOP yang mengatur paling tidak 1) metode pengukuran (pemantauan) yang baik dan benar, 2) pengolahan data hasil pengukuran, 3) metode analisis data menjadi informasi, dan 4) penggunaan informasi bagi pengendalian dampak.

Pengumpulan dan kajian literatur tentang metode pemantauan debit dan erosi dilakukan dengan mempelajari berbagai literatur tentang pemantauan debit dan erosi. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang kaidah keilmuan dalam pemantauan debit dan erosi. Kaidah keilmuan merupakan suatu rangkaian prosedur yang harus diikuti untuk mendapatkan hasil yang teruji kebenarannya (Honer dan Hunt 2003). Kajian terhadap SOP pemantauan debit dan Erosi dilakukan dengan mempelajari dokumen SOP. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui metode pemantauan debit dan erosi yang digunakan perusahaan. Kajian terhadap kondisi lapangan pelaksanaan SOP dilakukan dengan cara mengamati dan mengikuti pemantauan debit dan erosi serta mempelajari hasil yang didapatkan. Kajian terhadap kondisi lapangan pelaksanaan SOP dimaksudkan untuk mendapatkan informasi berbagai kendala pelaksanaa SOP dan keterwakilan plot pemantauan terhadap kondisi di lapangan.

Atas dasar kajian literatur dan kajian SOP dikaji kesesuaian SOP dengan kaidah keilmuan terkait metode pemantauan debit dan erosi. Sedangkan dari kajian SOP dan kondisi lapangan pelaksanaan SOP dikaji kesesuaian antara prosedur yang dituliskan dalam SOP dengan pelaksanaan dan keterwakilan plot terhadap kondisi lapangan. Pemantauan limpasan dan erosi yang benar mempunyai SOP yang sesuai dengan kaidah keilmuan dan dilaksanakan sesuai dengan dalam SOP tersebut. Tetapi, apabila SOP tidak sesuai dengan kaidah keilmuan perlu dilakukan revisi SOP. Begitu pula apabila pelaksanaan di lapangan tidak sesuai prosedur dalam SOP yang baik dan benar perlu dilakukan revisi pelaksanaan pemantauan. Dari kajian literatur, kajian SOP dan kajian kondisi lapang pelaksanaan SOP didapatkan SOP yang baik dan benar serta mudah dan murah untuk dilaksanakan (praktis lapang).

(8)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

SOP Pemantauan dan Sistem Informasi Debit dan Erosi

SOP Pemantauan Debit

SOP pemantauan debit menjadi satu dengan SOP pemantauan kualitas air. Tetapi dalam penelitian ini hanya dibahas SOP pemantauan debit. SOP pemantauan debit mengatur mulai dari perencanaan lokasi pengukuran debit, frekwensi pengukuran debit, metode pengukuran debit di lapang dan perhitungannya.

Pemantauan debit dilakukan dengan mengukur debit di inlet (titik dimana air sungai masuk ke dalam areal kerja konsesi) dan outlet (titik dimana air sungai keluar dari areal kerja konsesi) dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sebagian wilayah DASnya terdapat diluar areal kerja konsesi. Sedangkan untuk DAS yang semua wilayahnya berada di dalam areal kerja konsesi pengukuran debit hanya dilakukan di outlet sungai untuk DAS tersebut. Pengukuran debit dilakuan setiap dua bulan, tanpa menyebutkan waktu tepatnya.

Inlet dan outlet ditetapkan dengan kriteria lokasi memiliki aliran lurus setidaknya 10 meter, mengalir sepanjang tahun dan mudah diakses. Pengukuran debit dilakukan dengan mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang basah sungai. Debit dihitung menggunakan persamaan:

... (1)

yang menyatakan bahwa Q = debit (m3/detik), v = kecepatan aliran (m/detik) dan A = luas penampang basah sungai (m2). Nilai A didapat dari hasil pengukuran kedalaman sungai di setiap satu meter dari tepi sungai sehingga terbentuk segmen berupa bangun segitiga dan segi empat seperti pada Gambar 2. Luas penampang basah total didapatkan dari penjumlahan luas masing-masing segmen sebagaimana persamaan:

Kecepatan aliran sungai diukur dengan pelampung permukaan berupa gabus berukuran 1 x 5 x 5 cm. Kecepatan aliran dihitung menggunakan persamaan berikut:

... (4)

(9)

6

(a) (b)

Gambar 2 Sketsa pengukuran luas penampang melintang sungai (a) dan pengukuran kecepatan aliran dengan pelampung (b)

SOP Pemantauan Erosi

Pemantauan erosi dilakukan dengan menggunakan dua metode pengukuran, yaitu metode tongkat dan model pendugaan USLE (Universal Soil Loss Equation) SOP pemantauan erosi mengatur mulai dari perencanaan lokasi pengukuran erosi, frekwensi pengukuran erosi, metode pengukuran erosi di lapang dan perhitungannya.

Pemantauan erosi dengan metode tongkat dilakukan dengan membuat plot erosi. Plot erosi dibuat di 20 petak dengan karakteristik berbeda dengan menancapkan tongkat berskala ke dalam tanah. Adapun 20 karakteristik petak didapat dari kombinasi lima jenis tutupan lahan dan 4 kelas kemiringan lereng. Lima jenis tutupan lahan berupa hutan alam (areal non produksi) dan hutan tanaman (areal produksi) pada empat kelas umur yaitu 0-1 tahun, 1-2 tahun, 2-3 tahun dan > 3 tahun. Sedangkan empat kelas kemiringan yaitu 0-8%, 8-15%, 15-25%, dan 25-40%. Penentuan lokasi plot erosi dilakukan melalui overlay peta petak terpilih dengan skala 1:20000 dengan grid berukuran 25 x 25 meter (ukuran lapang). Dengan jumlah titik persinggungan grid dalam petak, bagi petak menjadi sepuluh bagian sama rata. Lokasi plot erosi dipilih secara acak di salah satu bagian di petak terpilih. Sedangkan jumlah patok didapat dari 10% titik persinggungan grid yang masuk dalam petak (misal yang masuk 50 titik berarti jumlah tongkat 5 buah).

(a) (b)

Gambar 3 Sketsa bentuk tongkat erosi (a) dan penentuan jumlah dan letak tongkat (b)

(10)

7 ... (5)

yang menyatakan bahwa Y = rata-rata perubahan tinggi permukaan tanah tererosi (cm), yi= besarnya perubahan tinggi permukaan tanah di setiap tongkat erosi (cm),

dimana i = (1,2,3 ...n). Dari hasil pungukuran dilakukan prediksi erosi selama satu tahu dengan persamaan:

... (6)

yang menyatakan bahwa X = nilai dugaan laju erosi (cm/tahun), T = selisih waktu sejak pemantauan terakhir dengan pemantauan saat ini (hari), dan 365 = jumlah hari dalam satu tahun (hari).

Pemantauan erosi juga dilakukan dengan metode pendugaan USLE yang dilakukan pada lahan dengan berbagai karakteristik sebagaimana pada pemantauan metode tongkat. Pendugaan juga dilakukan tiap bulan dengan perhitunga sebagai berikut

... (7)

yang menyatakan bahwa A = total erosi tanah (ton/ha/tiga bulan), R = indeks erosivitas hujan, K = indeks erodibilitas tanah, S = kemiringan lahan (%), L = panjang lereng lahan (m), C = angka faktor dari jenis tanaman dan P = angka faktor perlindungan lahan. Untuk indeks erosivitas hujan (R) didapat dari persamaan berikut:

... (8)

EI.30 = 6.119 (F) 1.21 (D) -0.47 (M) 0.53 ... (9)

yang menyatakan bahwa EI = interaksi energi dengan intensitas maksimum 30 menit, F = jumlah total data hujan dalam tiga bulan (mm / 3 bulan), D = jumlah total hari terjadi hujan selama tiga bulan (hari / 3 bulan) dan M = maximum banyaknya hujan harian selama tiga bulan (mm/hari). Selanjutnya, untuk indeks erodibilitas tanah jenis tanah Podsolik Merah kuning yaitu 0.15. Kelas kemiringan (S) dikelompokkan ke dalam empat kelas yang diwakili nilai tengah setiap kelas kelerengan, yaitu: kelas lereng A (0-8%) adalah = 4; kelas lereng B (8-15%) adalah = 11.5; kelas lereng C (15-25%) adalah = 20; dan kelas lereng D (25-40%) adalah = 32.5. Lalu dengan faktor panjang lereng 22 m (sama dengan panjang standard dari petak pemantauan erosi tanah (Hardjowigeno 1987)) dan persamaan:

LS = (L/100 ( 0.138 + 0.0965 S + 0.0138 S2))1/2 ... (10)

(11)

8 membandingkan dengan Tolerable Soil Loss (TSL), besarnya TSL adalah 15 ton/ha/tahun.

SOP Sistem Informasi Debit dan Erosi

SOP yang secara khusus mengatur tahap analisis data hasil pemantauan menjadi informasi dan tindak lanjut dari informasi pemantauan belum tersedia.

Pelaksanaan SOP Pemantauan dan Sistem Informasi Debit dan Erosi

Pelaksanaan SOP Pemantauan Debit

Pemantauan debit secara umum dilakukan sesuai dengan SOP pemantauan debit kecuali frekwensi pengukurannya. Pengukuran debit pada periode tertentu, di beberapa inlet ataupun outlet tidak dilakukan akibat cuaca buruk.

Penentuan titik pengukuran debit (inlet dan outlet DAS) ditentukan secara sengaja (purposive) dengan kriteria aliran sungainya mengalir sepanjang tahun tanpa memperhatikan keterwakilan DAS tersebut terhadap berbagai bentuk kegiatan pengelolaan, sebaran jenis tanah dan kelas kemiringan lahan. Keterwakilan DAS terhadap berbagai bentuk kegiatan pengelolaan, sebaran jenis tanah dan kelas kemiringan lahan merupakan kriteria yang lebih penting dalam pemantauan dampak pengelolaan HTI agar dampak pengelolaan terhadap limpasan dapat dianalsisi untuk menjadi informasi yang lebih baik. Debit sungai merupakan komulatif dari limpasan permukaan (overland flow), bawah permukaan (sub-surface flow), dan aliran air tanah (ground water flow) dari suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) pada berbagai kondisi tanah, batuan, topografi dan penggunaan lahannya.

Pemantauan debit di inlet dan outlet dan penggunaan data selisih debit di

inlet dan outlet sebagai ukuran dampak adalah hal yang tidak tepat, karena secara alami dalam kondisi curah hujan merata di seluruh DAS, debit di inlet akan lebih kecil dibandingkan dengan debit di outlet, sehingga data selisish debit inlet-outlet tidak selalu menjadi indikator dampak. Agar data selisih debit inlet-oulet dapat dijadikan indikator dampak maka diperlukan analisi lebih lanjut yaitu dengan membandingkan selisih debit di inlet-outlet ketika kegiatan operasional belum dilaksanakan (kondisi hutan primer) dan selisih debit inlet-outlet setelah dilaksanakan kegiatan operasional (kondisi sekarang) di DAS yang sama. Karena tidak mungkin untuk mengembalikan kondisi hutan primer, untuk mendapatkan nilai selisih debit inlet-outlet pada kondisi hutan primer dapat dilakukan dengan membuat simulasi kondisi hutan primer melalui pemodelan hidrologi.

Frekwensi pengukuran dalam SOP dengan selang dua bulan memiliki rentang waktu pengukuran yang lama akibatnya tidak didapatkan hasil yang mewakili fluktuasi debit yang terjadi. Sedangkan debit berfluktuasi sepanjang waktu yang dipengaruhi cuaca (terutama curah hujan) dan karakteristik DAS (Lee 1988). Sementara itu ketika terjadi cuaca buruk tidak dilakukan pengukuran sehingga debit ekstrim tidak terpantau. Begitu juga kegiatan pengelolaan HTI di dalam DAS yang terpantau limpasannya sehingga tidak menjadi informasi bagi analisis lebih lanjut.

(12)

9 permukaan sungai dan pengukuran kecepatan aliran dengan pelampung permukaan hanya merupakan perkiraan saja (Seyhan 1990). Untuk mendapatkan hasil pengukuran kecepatan aliran sungai dengan menggunakan pelampung mengambang diperlukan penentuan faktor koreksi yang lebih sesuai dan dilakukan pengulangan untuk setiap satu titik lokasi pengukuran.

Frekwensi pengukuran satu kali dalam 2 bulan dan bahkan kadang-kadang tidak dilakukan pengukuran akibat cuaca buruk, tidak adanya catatan jam pengukuran pada tanggal pengukuran, tanpa ada informasi kejadian hujan di DAS, dan tidak informasi kegiatan pengelolaan di DAS tersbut maka data hasil pengukuran debit di inlet dan outlet (untuk DAS yang sebagain eilayahnya berada di luar areal konsesi) dan di outlet DAS (untuk DAS yang seluruhnya berada di areal konsesi) sebagaimana disajikan dalam Tabel 1, tidak dapat memberikan informasi dampak pengelolaan HTI. Di dalam Tabel 1 terdapat tanda (-) yang berarti pada periode tersebut tidak dilakukan pengukuran debit. Selanjutnya pada pengukuran periode November 2011 di Sungai A debit di inlet lebih besar dari pada debit di outlet. Secara teoritis maupun berdasarkan hasil pengukuran lainnya, debit di inlet yang lebih besar dibanding debit di outlet dapat dikatakan sebagai eror, tidak dapat dijelaskan secara teoritis maupun alasan lainnya. Data normal (debit inlet < denit oulet) pun tidak dapat menjelaskan atau memberikan informasi dampak dari kegiatan pengelolaan HTI tersebut.

Pemantauan debit dalam rangka pemantauan dampak kegiatan pengelolaan HTI, seyogyanya dilakukan di sebuah DAS yang mewakili kegiatan pengelolaan, sebaran jenis tanah dan kelas kemiringan. DAS yang mewakili karakteristik DAS tersebut dipilih melalui overlay peta tutupan lahan, peta kemiringan lereng, peta jenis tanah dan batas DAS sebagaimana Gambar 4 menggunakan alat Sistem Informasi Geografis (SIG).

Tabel 1 Data monitoring limpasan periode Juli 2010 hingga Januari 2012

Periode

(13)

10

Gambar 4. Sketsa overlay peta penggunaan lahan, peta kemiringan lereng, peta jenis tanah dan batas DAS

(14)

11

(a)

Gambar 5 DAS terpilih pada peta penggunaan lahan (a), peta kemiringan lahan (b) dan peta jenis tanah (c) di lokasi penelitian

(15)

12 Untuk meningkatkan akurasi data, perlu dilakukan frekwensi pengukuran yang lebih intensif dan tidak terkendala cuaca buruk. Pemantauan debit menggunakan alat perekam tinggi muka air (TMA) otomatis, salah satunya seperti disajikan dalam Gambar 5a. Untuk mendapatkan hubungan antara TMA dengan debit perlu dilakukan pembuatan kurva aliran (rating curve) secara periodik. Lokasi pengukuran dilakukan di lokasi yang memiliki ciri-ciri 1) Sungai lurus minimal 5 kali lebar sungai, 2) Pada dasar dan tepi sungai tidak terjadi perubahan bentuk yang besar dan 3) Perubahan kecepatan alirannya kecil (Takeda 1993).

Untuk meningkatkan akurasi pengukuran kecepatan aliran sungai dapat dilakukan dengan pengukura arus electrik (current meter) (Gambar 5b) atau pelampung tangkai (Gambar 5c). Pelampung tangkai dibuat dari kayu atau bambu yang diberi pemberat pada pangkalnya sehingga aliran pada setiap kedalaman sungai dapat terwakili. Adapun untuk menentukan besar koefisien (γ) pelampung jenis ini sebagai berikut:

) ... (11)

yang menyatakan = koefisien pelampung dan = perbandingan antara kedalaman tangkai dengan kedalaman sungai total (Francis dalam Takeda 1993).

(a) (b) (c)

Gambar 6 Pengukur TMA otomatis (a), current meter (b) dan sketsa pelampung tangkai (c).

Curah hujan di DAS tersebut perlu dipantau dengan menempatkan beberapa penakar hujan, baik penakar hujan manual maupun otomatis. Penakar hujan manual ditempatkan di dalam DAS yang memiliki aksesibilitas lebih tinggi, sedangkan penakar otomatis dapat ditempatkan di tempat yang lebih sulit dijangkau. Kegiatan pengelolaan HTI di DAS tersebut juga perlu dipantau secara periodik.

Pelaksanaan SOP Pemantauan Erosi

Kegiatan pemantauan erosi menggunakan metode tongkat maupun model pendugaan USLE secara umum dilakukan sesuai dengan SOP Pemantauan Erosi. Tetapi ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan yang tertulis dalam SOP yaitu dalam perhitungan metode tongkat. dan dalam frekwensi pemantauan dan satuan dalam penggunaan model pendugaan USLE.

https:/perhubungan2.wordprees.com https:/perhubungan2.wordprees.com

(16)

13 SOP Pemantauan Erosi metode tongkat tidak menjelaskan cara membaca angka bacaan tongkat ketika terjadi pengikisan atau pengendapan yang menyebabkan terjadinya salah persepsi antara pengukur dalam membacanya. Selain itu, penentuan lokasi plot contoh dalam petak dan jumlah patok ukur dengan cara melakukan overlay grid berukuran 25 x 25 meter lapangan terhadap peta petak terpilih menghasilkan jumalah tongkat pengukuran sedikit dan tidak mewakili kondisi lapang. Dengan jumlah tongkat yang sedikit, tidak dapat dilakukan pengukuran berulang sehingga akurasi pengukuran rendah. Selain itu, juga tidak ada dasar yang jelas terkait ukuran grid. Ketika patok terpilih dipasang sejajar garis kontur, tidak ada pengulangan pengukuran erosi secara tegak lurus garis kontur, begitu pula sebaliknya.

(a) (b)

Gambar 7 Sketsa posisi tongkat sejajar kontur (a) adn tegak lurus kontur (b) Perhitungan perubahan tinggi permukaan tanah dan prediksi erosi selama satu tahun yang tidak sesuai dengan SOP mengakibatkan data yang didapat

(17)

14 Tabel 2 Data pengukuran tongkat erosi periode Maret 2013 di petak I 104 Nomor

Sumber: Tally sheet hasil pengukuran erosi metode tongkat periode maret 2013.

Tabel 3 Data pengukuran tongkat erosi periode April 2013 di petak I 104 Nomor

Sumber: Tally sheet hasil pengukuran erosi metode tongkat periode april 2013

(18)

15 kontur mulai dari puncak lereng hingga lembahnya dengan minimal tiga kali ulangan ke arah sejajar kontur.

(a) (b) (c)

Gambar 8 Sketsa posisi tongkat sejajar kontur (a), tegak lurus kontur (b), dan tegak lurus kontur dengan tiga kali ulangan (c)

Pemantauan erosi dengan pendugaan USLE digunakan untuk menduga laju erosi jangka panjang suatu bidang lahan dengan pola hujan, jenis tanah, kemiringan lereng, jenis penanaman dan pengolahan lahan tertentu (Arsyad 2010) sehingga tidak sesuai apabila digunakan untuk pemantauan setiap bulan. Selain itu, faktor panjang lereng (L) seharusnya didapat dari rata-rata panjang lereng pada masing-masing kelas lereng di lokasi penelitian, tidak 22 m sebagaimana panjang standard dari petak pemantauan erosi tanah Hardjowigeno (1987). Persamaan LS juga kurang tepat, sebagaimana Schwab et al (1981) dalam Asdak (2007) menyatakan faktor LS dihitung dengan rumus:

LS = L1/2 ( 0.00138 + 0.0965 S + 0.0138 S2) ... (12)

Begitu juga faktor penutup tanah (C) di mana koefisien sebesar 0.5 merupakan koefisien hutan tanaman selama satu daur sehingga koefisien ini tidak dapat disamakan di tanaman pada kelas umur 0, 1, 2, 3, 4dan 5 tahun. Selanjutnya faktor perlindungan lahan (P) merupakan tindakan-tindakan khusus konservasi tanah seperti pembuatan teras dan guludan, bukan tutupan lahan oleh tanaman sebagaimana dalam SOP.

(19)

16 Tabel 4 Data pendugaan erosi metode USLE periode maret 2013

Loka

Sumber: Tally Sheet hasil pendugaan erosi dengan metode USLE periode Maret 2013.

Erosi merupakan proses penghancuran, pengangkutan, dan pengendapan tanah sehingga pemantauan erosi bulanan dapat dilakukan dengan mengukur konsentrasi sedimen di lokasi pengukuran debit. Konsentrasi sedimen didapatkan dari mengambil sampel air dengan botol (liter) di 0.8 dan 0.2 dari kedalaman total aliran sungai. Selanjutnya sampel air disaring dengan kertas saring sehingga konsentrasi sedimen didapat dari pengurangan berat kertas saring kering sesudah dengan sebelum digunakan untuk menyaring. Adapun persamaannya:

Qs = 0.001 Cs Qb ... (13)

(20)

17

Ratio) (Arsyad 2010) sehingga nilai E (erosi) didapat dari debit sedimen dibagi dengan SDR. Adapun persamaannya sebagai berikut (Auerswald 1992 dalam Arsyad 2010):

... (14)

SDR = 4.40 10-12A-0.21 (R/L)0.394 (CN)5.680 ... (15)

di mana E = erosi total (ton/bulan), SDR = Sediment Delivery Ratio dan A = luas DAS (km2), Rb/L = nisbah relief DAS terhadap panjang lereng (kaki/mil) dan CN

= Curve Number.

Pelaksanaan SOP Sistem Informasi Debit dan Erosi

Hasil perhitungan pemantauan debit dan erosi dilaporkan pengukur kepada kepala bagian lingkungan. Selanjutnya, kepala bagian lingkungan melaporkan analisis erosi metode tongkat dan USLE serta hasil pemantauan debit selama enam bulan dalam dokumen RPL dan RKL kepada Pemeritah Tingkat II (kabupaten), Tingkat I (provinsi) dan Pusat sebagaiman dijelaskan dalam SOP Pemantauan Limpasan dan Erosi. Meskipun demikian, belum ada SOP yang secara khusus mengatur analisis hasil pemantauan menjadi informasi dan penggunaan informasi pemantauan. Seharusnya kegiatan pemantauan debit dan erosi dikerangkakan dalam sebuah sistem dalam bentuk SOP sehingga hasil pemantauan tidak hanya menunjukkan dampak pengelolaan terhadap limpasan dan erosi tetapi juga dapat menjadi dasar kegiatan pengendalian dampak. Oleh karena itu, perlu adanya SOP sistem informasi pengendalian limpasan dan erosi yang mengatur pengolahan data hasil pengukuran, metode analisis data menjadi informasi, dan penggunaan informasi bagi pengendalian dampak. Selain itu, perlu perbaikan SOP dan pelaksanaan pemantauan debit dan erosi untuk mendapatkan hasil yang akurat.

Uraian hasil kajian kesesuaian SOP dengan kaidah ilmiah dan pelaksanaannya secara ringkas disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Perbaikan SOP dan sistem informasi pemantauan debit dan erosi

SOP Parameter Kaidah Keilmuan Keterangan

Sesuai Tidak

Debit

Lokasi

pemantauan - √

DAS terpilih perlu mewakili kodisi areal konsesi, dan Perhitungan - √ Diperlukan data tambahan,

(21)

18

SOP Parameter Kaidah Keilmuan Keterangan

(22)

19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Metode pemantauan debit dan erosi baik yang dijelaskan dalam SOP maupun pelaksanaanya belum sesuai dengan kaidah keilmuan sehingga hasil yang didapatkan belum mampu memberikan informasi dampak kegiatan pengelolaan HTI dan belum dapat digunakan sebagai dasar pengendalian limpasan dan erosi. Selain itu, belum ada SOP yang mengatur secara khusus pengolahan dan analisis data hasil pemantauan menjadi informasi dampak kegiatan pengelolaan HTI sehingga alur informasi yang menggambarkan besar dampak kegiatan pengelolaan HTI terhadap limpasan dan erosi di lapang dan tindakan pengendaliannya belum dapat dilakukan secara efektif.

Saran

(23)

20

DAFTAR PUSTAKA

[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Repoblik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi. Jakarta (ID): Kemenhut

[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 2011. Peraturan Direktur Jendral Bina Produksi Kehutanan Nomor P.02/VI-BPPHH/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Jakarta (ID): Kemenhut

[KLH] Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2012. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Repoblik Indonesia Nomor 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): KNLH

Arsyad S .2010. Konservasi Tanah dan Air.Edisi ke-2. Bogor (ID): IPB Pr.

Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): UGM Pr.

Suriasumantri J, penghimpun. 2003. Di dalam:, editor. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. acuan dari Stanley M Honer, Thomas C Hunt, ”Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan” dikutip dari buku Invitation to Philosophy (Wadsworth 1968), hal. 57-66.

Lee R. 1988. Hidrologi Hutan. Edisi revisi. Subagyo S, penerjemah; Prawirohatmodjo, editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari:

Forest Hydrology.

Prahasta E. 2009. Sistem Informasi Geografi. Bandung (ID): INFORMATIKA. Seyhan E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Edisi revisi. Subagyo S, penerjemah;

Prawirohatmodjo, editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari:

Foundamentals of Hydrology.

Sinukaban N. 2007. Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta (ID): Direktorat Jendral RLPS

Gambar

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian
Gambar 3 Sketsa bentuk tongkat erosi (a) dan penentuan jumlah dan letak tongkat (b)
Tabel 1 Data monitoring limpasan periode Juli 2010 hingga Januari 2012 Debit air sungai (m3/s)
Gambar 4. Sketsa overlay peta penggunaan lahan, peta kemiringan lereng, peta jenis tanah dan batas DAS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang perbandingan pengaruh dari kedua bentuk latihan senam senam jumsihat terhadap peningkatan kebugaran

Pemikiran Fazlur Rahman secara intrinsik yang berkaitan dengan pendidikan Islam adalah; (1) desakralisasi produk-produk pemikiran ulama klasik; (2) pembaruan metode pendidikan

1) Tujuan tertinggi adalah agar dapat merancang sendiri atau memodifikasi sistem operasi yang telah ada. 2) Agar dapat menilai sistem operasi dan memilih alternatif

Harga Surat Utang Negara pada perdagangan kemarin cenderung bergerak terbatas pada awal perdagangan di tengah kekhawatiran pelau pasar bahwa nilai tukar rupiah akan

Bertujuan untuk menentukan arah-arah di medan atau di peta serta untuk melakukan pengecekan arah perjalanan, karena garis yang membentuk sudut kompas tersebut adalah arah

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa latihan fartlek mepunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan daya tahan atlet futsal U-16 Rangggo

Trafo Tenaga dalah suatu alat listrik yang dapat memindahkan dan mengubah energi listrik dari satu atau lebih rangkaian listrik ke rangkaian listrik yang lain, melalui

Proses Pemilihan siswa/siswi Berprestasi yang dilakukan di Sekolah Menengah Keguruan ( SMK ) masih terdapat kendala yaitu: Penentuan Keputusan siswa/siswi