• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.( M.Yahya Harahap, 2005 : 273 )

Menurut Syaiful Bakhri ( H.Syaiful Bakhri, 2009 : 27 ), pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana yaitu ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukum, kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti, dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak diperkenankan untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap benar di luar ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang.

Melihat ketentuan dalam KUHAP, pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa diatur dalam Pasal 183 sampai Pasal 191. Bunyi dari Pasal 183 sebagai berikut, ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan

(2)

undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan berdasar hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang dibenarkan sistem pembuktian ( M.Yahya Harapan, 2005 : 274 ).

b. Teori Sistem Pembuktian

Menurut M. Yahya Harahap ( M. Yahya Harahap, 2005 : 277-278 ), ada beberapa teori mengenai sistem pembuktian, yaitu:

1) Conviction-in Time

Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yag menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.

2) Conviction-Raisonee

Dalam sistem ini dapat dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi, dan harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima.

3) Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif

Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan

(3)

oleh undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah.

4) Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif (Negatief Wettelijk

Stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Rumusannya berbunyi: “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”.

c. Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Melihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dapat diketahui bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang yang bersifat negatif. Sistem pembuktian dalam KUHAP itu adalah:

1) Disebut wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian, undang-undanglah yang menentukan jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada.

2) Disebut negatif karena adanya jenis-jenis dan benyaknya alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa, apabila jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan hakim pada dirinya, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah

(4)

melakukan tindak pidana tersebut. (P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010 : 408-409)

Dalam sistem pembuktian yang negatif, alat-alat bukti limitatif ditentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang. Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan sistem undang-undang secara negatif sebagai intinya yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;

b. Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan. (Hans C. Tangakau 2012 : 23-24)

2. Tinjauan Umum tentang Alat Bukti

Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua Sidang, Penuntut Umum, Terdakwa atau Penasihat Hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat

(5)

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat (M.Yahya Harahap, 2005 : 285).

Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti yang sah terdiri dari: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa 1) Keterangan Saksi

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Sedangkan pengertian mengenai saksi dijelaskan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP, yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.

Keterangan saksi sendiri sudah mengalami perluasan pengertian menurut keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 bahwa pada pokoknya menyatakan bahwa, Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,

(6)

penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Pembatasan mengenai saksi ini oleh KUHAP sebenarnya bertujuan untuk meminimalisir adanya saksi auditu dan membantu Penyidik agar lebih selektif dalam memilih saksi yang akan diperiksa sehingga saksi tersebut menjadi saksi yang berbobot dan relevan dengan peristiwa pidana yang sedang ditangani, akan tetapi dalam kasus pencabulan yang menjadi korban anak dibawah umur dapat mendapatkan perlindungan lebih secara hukum.

Ketentuan lebih lanjut mengenai keterangan saksi dalam KUHAP disebutkan dalam Pasal 185, yang menyatakan bahwa:

a) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.

b) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. c) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila

disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

d) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

e) Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

f) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

(1) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; (2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

(3) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

(7)

(4) Cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

g) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Pada umumnya, semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP yaitu sebagai berikut (Andi Hamzah, 2008: 260) :

1) Keluarga sedarah atau semenda daam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke tiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ke tiga.

3) Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

2) Keterangan Ahli

Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di bidang pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 28 dijelaskan bahwa Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Keterangan saksi berbeda dengan keterangan ahli. Menurut Lamintang, perbedaan itu adalah sebagai berikut:

(8)

a) Pada dasarnya keterangan saksi dapat diberikan oleh setiap orang, sedangkan keterangan ahli hanya dapat diberikan oleh orang-orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu saja.

b) Sumpah saksi berbunyi bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya, sedangkan sumpah ahli berbunyi bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.(P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010 : 412)

3) Alat Bukti Surat

Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yang menyatakan bahwa:

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Nilai kekuatan pembuktian surat adalah bebas, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mengikat atau menentukan. Penilaian sepenuhnya

(9)

ada pada keyakinan hakim. Alasan kekuatan pembuktian bernilai bebas adalah atas proses perkara pada pembuktian mencari kebenaran materi keyakinan (sejati) atas keyakinan hakim ataupun dari sudut minimum pembuktian (Rusli Muhammad, 2007: 196).

4) Alat Bukti Petunjuk

Alat bukti petunjuk dijelaskan dalam Pasal 188 KUHAP, yang menyatakan bahwa:

a) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

b) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. keterangan saksi; b. surat;

c. keterangan terdakwa.

c) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Pada prinsipnya, alat bukti petunjuk hanya merupakan kesimpulan dari alat bukti lainnya sehingga untuk menjadi alat bukti perlu adanya alat bukti lainnya. Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti yang lain dianggap hakim belum cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain, alat bukti petunjuk baru dianggap mendesak untuk dipergunakan apabila upaya pembuktian dengan alat bukti lain belum mencapai batas minimum pembuktian (Pasal 183 KUHAP). Oleh karena itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi pembuktian dengan alat bukti yang lain sebelum ia berpaling pada alat bukti petunjuk (Rusli Muhammad, 2007: 196-197).

(10)

5) Keterangan Terdakwa

Pasal dalam KUHAP yang mengatur mengenai keterangan terdakwa adalah Pasal 189. Bunyi dari Pasal 189 KUHAP tersebut adalah sebagai berikut:

a) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

c) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain.

3) Digunakannya keterangan terdakwa dalam KUHAP memiliki arti bahwa untuk menyatakan terbuktinya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, hakim tidak perlu mendasarkan hal tersebut semata-mata pada adanya pengakuan dari terdakwa, melainkan ia juga dapat mendasarkan pernyataan tentang terbuktinya terdakwa melakukan tindak pidana seperti yang telah didakwakan oleh penuntut umum kepadanya, pada lain-lain alat bukti seperti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, ataupun petunjuk (P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010 : 431).

3. Tinjauan Umum tentang Kesaksian Anak Dibawah Umur a) Pengertian Anak

1) Pengertian Anak menurut Hukum Perkawinan adalah anak yang belum mencapai umur umur 18 tahun atau belum pernah menikah ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat 1 berbunyi anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah menikah, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua

(11)

berada dibawah kekuasaan wali berdasarkan pasal 47 ayat 1 Undang-Undang no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

2) Pengertian Anak menurut Undang-Undang 35 Tahun 2014 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

3) Pengertian Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

4) Pengertian Anak yang menjadi Korban menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 1 angka 4, dinyatakan bahwa Anak yangMenjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

b) Pengertian Keterangan Saksi sebagai Saksi Anak

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendir, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu ( Pasal 1 angka 27 KUHAP ).

Syarat sah keterangan saksi :

1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan).

(12)

2. Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan sendiri dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan alasan pengetahuannya. (testimonium de audito = keterangan yang diperoleh dari orang lain yang tidak mempunyai nilai pembuktian)

3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecali yang ditentukan pada Pasal 162 KUHAP).

4. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis)

5. Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang. Nilai kekuatan pembuktian saksi. Yang memenuhi syarat sah keterangan saksi:

a. Diterima sebagai alat bukti sah

b. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak mengikat)

c. Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawa menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki)

d. Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain.

Pengertian Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana Anak kemudian disebut sebagai Anak Saksi, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (4) dan (5) adalah Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana, sedangkan Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

(13)

pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Kesaksian anak di bawah umur di atur dalam Pasal 171 KUHAP dinyatakan bahwa anak yang umurnya belum mencapai 15 (lima belas) tahun dan belum pernah menikah/kawin boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah. Selain itu keterangan yang tidak dapat di dengar dari seorang saksi dan tidak disumpah antara lain adalah (Pasal 168 KUHAP) :

1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

2) Saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, sodara ibu atau sodara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga

3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa.

Berdasarkan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, keterangan saksi yang tidak di sumpah ini bukan merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang di sumpah dapat di pergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Kedudukan kesaksian anak dibawah umur yang belum berusia 15 tahun dapat dijadikan hakim sebagai tambahan untuk menyempurnakan alat bukti yang sah Pasal 185 ayat (7) KUHAP). Kekuatan kesaksian anak dibawah umur yang belum berumur 15 tahun, dapat menguatkan keyakinan hakim sesuai Pasal161 ayat (2)KUHAP atau keterangan anak saksiyang belum berumur 15 tahun digunakan sebagai petunjuk sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 171 KUHAP.

4. Tinjauan Umum tentang Pertimbangan Hakim a. Pengertian Hakim

(14)

Dalam suatu negara hukum (rechtstaat), seperti negara Indonesia, hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar yang pokok dan utama. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta penjelasannya kedudukan para hakim dijamin oleh undang-undang sebagaimana manifestasi pada ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Ketika hakim sedang menangani perkara, diharapkan dapat bertindak aktif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan pada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktik sehingga semuanya itu bermuara pada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri, serta demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Lilik Mulyadi, 2007: 64-65).

Sementara dalam Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Selanjutnya mengadili disiini diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 angka 9 KUHAP).

b. Tugas dan Wewenang Hakim

Adapun mengenai tugas dan wewenang hakim dalam kapasitasnya ketika sedang menangani perkara mempunyai wewenang sebagai berikut:

1) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dan penetapannya berwenang melakukan penahanan (Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (1) KUHAP).

2) Memberikan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan utang atau jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan (Pasal 31 ayat (1) KUHAP).

(15)

3) Mengeluarkan “penetapan” agar terdakwa yang tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedu kalinya, dihadirkan dengan paksa pada siding pertama berikutnya (Pasal 154 ayat (6) KUHAP).

4) Menentukan tentang sah atau tidaknya segala alasan atas permintaan yang karena orang atau karena pekerjaannya, harkat martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dan minta dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi (Pasal 170 KUHAP).

5) Mengeluarkan perintah penahanan terhadap seorang saksi yang diduga telah memberikan keterangan palsu di persidangan, baik karena jabatannya maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa (Pasal 174 ayat (2) KUHAP). 6) Memerintahkan perkara yang dijatuhkan oleh penuntut umum secara singkat

agar diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa setelah adanya pemeriksaan tambahan dalam waktu empat belas hari, tetapi penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan tersebut (Pasal 203 ayat (3) huruf b KUHAP).

7) Memberikan penjelasan terhadap hukum yang berlaku jika dipandang perlu di persidangan, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan terdakwa atau penasihat hukumnya (Pasal 221 KUHAP).

8) Memberikan perintah kepada seorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di luar sidang (Pasal 223 ayat (1) KUHAP (Lilik Mulyadi, 2007: 66-67).

c. Putusan Pengadilan

1) Pengertian Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. (Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 KUHAP). Putusan hakim hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP) dan harus ditandatangani hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan (Pasal 200 KUHAP).

(16)

Putusan pengadilan merupakan output dari suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tibalah saatnya hakim mengambil keputusan. Adapun pengambilan setiap putusan harus berdasarkan surat dakwaan, requisitoir penuntut umum, kemudian pada segala fakta dan keadaan-keadaan yang terbukti dalam sidang pengadilan (Rusli Muhammad,2007: 199).

Selain itu, pengambilan putusan harus diambil dengan melalui musyawarah jika hakim terdiri atas hakim majelis. Berkenaan dengan adanya musyawarah ini, A. Hamzah dan Irdan Dahlan dalam buku Rusli Muhammad (Rusli Muhammad,2007: 199) menyatakan bahwa: “satu hal yang harus diingat bahwa dalam musyawarah pengambilan putusan tersebut hakim tidak boleh melampaui batas yang telah ditetapkan dalam surat penyerahan perkara yang menjadi dasar pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Menurut ketentuan Pasal 182 ayat (5) KUHAP: “Dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan mulai dari hakim yang muda sampai hakim yang tertua, sedangkan hakim ketua terakhir sekali memberikan pendapatnya. Semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasan-alasannya.”

Dalam ayat berikutnya, ayat (6), ditentukan bahwa:

“Semua hasil musyawarah harus didasarkan pemufakatan yang bulat, kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat tercapai, maka ditempuh dua cara, yaitu:

a) putusan diambil dengan suara terbanyak.

b) jika tidak diperoleh suara terbanyak, diambil pendapat hakim yang meguntungkan terdakwa.

2) Sifat Putusan Pengadilan

Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193 ayat (1) KUHAP, setidaknya ada dua sifat putusan hakim, yaitu:

a) Putusan pemidanaan, apabila yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

(17)

b) Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) (Lilik Mulyadi, 2007: 148).

3) Bentuk-Bentuk Putusan Pengadilan a) Putusan Bebas

Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak atau acquittal). Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan.

Tegasnya terdakwa “tidak dipidana”. Ketentuan mengenai putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1), yang menjelaskan, apabila pengadilan berpendapat:

1. Dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan,

2. Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan.

Berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan:

1. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.

2. Tidak memenuhi asas batas minimal pembuktian Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedangkan menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (M. Yahya Harahap, 2005: 348).

b) Putusan pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum

Putusan pengadilan berupa lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan

(18)

ternyata menurut pendapat pengadilan, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Rusli Muhammad, 2007: 202). Putusan ini diatur dalam Pasal 191 ayat (2), yang berbunyi: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Untuk melihat lebih jelas apa yang dimaksud dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, ada baiknya bentuk putusan ditinjau beberapa sudut pandang, antara lain:

1) Ditinjau dari segi pembuktian

Dalam hal ini, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi, perbuatan yang telah terbukti itu “tidak

merupakan tindak pidana”. Tegasnya perbuatan yang didakwakan dan

yang telah terbukti itu, tidak diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana. Tapi mungkin termasuk ruang lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum dagang atau hukum adat.

2) Ditinjau dari segi penuntutan

Pada putusan pembebasan, terdakwa diputus bebas dari tuntutan hukum yang diancamkan oleh pasal pidana yang didakwakan kepadanya. Sedangkan pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum, terdakwa bukan dilepaskan dari ancaman pidana, akan tetapi “dilepaskan dari penuntutan” (M. Yahya Harahap, 2005: 352).

c) Putusan Pemidanaan

Putusan ini diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat

(19)

dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Atau dengan kata lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya (M. Yahya Harahap, 2005: 354).

d) Hal-hal Yang Harus Dimuat dalam Putusan

Berdasarkan ketentuan Pasal 197 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal-hal yang harus dimuat dalam Putusan adalah sebagai berikut :

(1) Surat putusan pemidanaan memuat:

(a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";

(b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

(c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

(d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

(e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

(f) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

(g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

(20)

(h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

(i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

(j) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

(k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

4) Pertimbangan Hakim

Aspek pertimbangan yuridis hakim terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim. Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwa pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh besar terhadap amar/diktum putusan hakim.

Lazimnya, dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan yuridis ini dibuktikan dan dipertimbangkan maka terlebih dahulu hakim akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan.

(21)

Pada dasarnya, fakta-fakta dalam persidangan berorientasi pada dimensi tentang locus dan tempus delicti, modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut dilakukan, penyebab, atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana, kemudian bagaimanakah akibat langsung dari perbuatan terdakwa, barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa dalam melakukan tindak pidana, dan sebagainya.

Selanjutnya, setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Oleh karena, pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga harus mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan maka pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat (Lilik Mulyadi, 2007:193)

Menurut Rusli Muhammad (Rusli Muhammad, 2007: 212), untuk memberikan telaah pada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya akan dilihat dalam dua kategori, yaitu:

1. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal tersebut diantaranya dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa dan saksi, barang-barang bukti, pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana, dan sebagainya. Meskipun belum ada ketentuan yang menyebutkan diantaranya yang termuat dalam putusan itu merupakan pertimbangan yang bersifat yuridis, namun karena hal itu sudah ditetapkan oleh undang-undang dan hal tersebut terungkap sebagai fakta yuridis di sidang pengadilan, dapatlah disimpulkan dan digolongkan sebagai pertimbangan hakim yang bersifat yuridis.

(22)

Keadaan-keadaan yang digolongkan sebagai pertimbangan yang bersifat nonyuridis adalah seperti latar belakang dilakukannya tindak pidana, akibat-akibat yang ditimbulkan, kondisi diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi lingkungan keluarga terdakwa, serta faktor agama.

5) Tinjauan Umum Mengenai Pencabulan a) Pengertian Pencabulan

Di dalam Pasal 289 KUHP yang dimaksud dengan pencabulan adalah Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. PAF Lamintang dan Djisman Samosir yang berpendapat “Pencabulan adalah perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan diluar perkawinan dengan dirinya (PAF Lamintang, 1997 : 193).

Dari pendapat tersebut, ini membuktikan bahwa dengan adanya kekerasan dan ancaman kekerasan dengan cara dibunuh, dilukai, ataupun dirampas hak asasinya yang lain merupakan suatu bagian untuk mempermudah dilakukan nya suatu pencabulan. Menurut Arif Gosita, pencabulan dapat dirumuskan dari beberapa bentuk perilaku yang antara laim sebagai berikut :

(1) Korban pencabulan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek). Sedangkan ada juga seorang laki-laki yang dicabuli oleh seorang wanita.

(2) Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.

Pencabulan diluar ikatan pernikahan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. Dalam kenyataannya ada pula persetubuhan dalam

(23)

perkawinan yang dipaksakan dengan kekerasan, yang menimbulkan penderitaan mental dan fisik. Walaupun tindakan ini tidak dapat digolongkan sebagai suatu kejahatan oleh karena tidak dirumuskan trlebih dahulu oleh pembuat undang-undang sebagai suatu kejahatan (PAF Lamintang, 1997 : 193).

Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas kekerasan seksual terhadap anak terjadi di rumah , di tangan orang yang korban kenal. Sepertiyang terjadi dalam kasus Septiya Nur Wahyuni, dimana yang melakukan kejahatan pencabulan terhadap dirinya merupakan tetangga dan kenal dekat dengan anak korban. Jason Scheff dalam penelitiannya pernah mengungkapkan bahwa “Child molesters do not have “horns and

a tail,” but rather are ordinary men in the community. There is a misjudgment of “stranger danger,” while in fact children are statistically at much greater risk of being abused by a family member or an acquaintance. Research indicates that the majority of child sexual abuse occurs in the home, at the hands of an individual the child knows. Thus parental energies may be diverted towards protecting their children from strangers when the true risk may lie, quite literally, closer to home“

(Jason Scheff, 2013: 610).

Kekerasan yang terjadi pada anak sering terjadi dan dilakukan oleh orang-orang biasa dalam masyarakat. Ada salah pengertian dalam pnelitian mengenai kekerasan bahaya orang asing. Penelitian menunjukan bahwa yang biasa melakukan kekerasan sexual terhadap anak adalah mereka yang mengenal anak tersebut. Orang tua menggunakan lebih banyak energinya untuk melindungi anak dari bahaya orang asing, padahal resiko yang sesungguhnya juga dapat berasal dari lingkungannya sendiri.

b) Unsur-Unsur Pencabulan menurut Pasal 76 E Jo Pasal 82 Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(24)

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

(1) Setiap orang

Unsur “setiap orang” Majelis Hakim sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1399K/Pid/1994 tanggal 30 Juni 1994 pengertian setiap orang disamakan dengan pengertian “Barangsiapa” sedangkan yang dimaksud barangsiapa adalah setiap subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas perbuatannya, yang dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.

(2) Melakukan Kekerasan Atau Ancaman Kekerasan, Memaksa, Melakukan Tipu Muslihat, Melakukan Serangkaian Kebohongan, Atau Membujuk Anak Untuk Melakukan Atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul;

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tidak termuat definisi dari tipu muslihat, kebohongan ataupun membujuk, definisi tersebut diatas dapat ditemukan di dalam penjelasan KUHP karangan R Sugandhi, SH halaman 396 di mana yang dimaksud dengan Tipu muslihat adalah suatu tipu yang diatur demikian rapinya sehingga orang yang berpikiran normal pun dapat mempercayainya akan kebenaran hal yang ditipukan itu, sedangkan Rangkaian kebohongan adalah susunan kalimat-kalimat bohong yang tersusun sedemikian rupa, sehingga kebohongan yang satu ditutupi dengan kebohongan-kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan cerita tentang sesuatu yang seakan-akan benar. Membujuk adalah memberikan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya ia tidak akan berbuat demikian. Perbuatan cabul adalah melakukan perbuatan yang tidak patut dilakukan antara

(25)

seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menyebabkan tidak nyaman.

(26)

Tindak Pidana Pencabulan menurut Pasal 76 E Jo Pasal 82 Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

B. Kerangka Pemikiran

Alat Bukti yang Sah ( Pasal 184 KUHAP )

Putusan Hakim (Putusan Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Pati) Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Putusan Kekuatan Pembuktian Keterangan Korban Anak dengan Disumpah Keterangan Saksi (Korban)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

(27)

Keterangan :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan dasar hukum acara pidana di Indonesia. Salah satunya adalah mengenai teori pembuktian (pemeriksaan alat bukti). Pembuktian dimaksudkan untuk membuktikan dakwaan dari jaksa penuntut umum kepada terdakwa, apakah benar terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana atau tidak. Salah satu macam alat bukti itu mengenai kesaksian / saksi korban. Dalam KUHAP sendiri tidak dijelaskan bagaimana kedudukan anak dibawah umur yang menjadi saksi/korban. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut mengenai kesaksian yang diberikan oleh anak dibawah umur pada proses persidangan. Dalam penulisan ini, penulis juga akan menganalisis bagaimana kekuatan pembuktian dan apakah kesaksian yang diberikan oleh anak dibawah umur menjadi bagian dari pertimbangan hakim dalam memutus perkara, khususnya dalam Putusan Nomor 2/Pid.Sus-Anak/2015/PN.Pati, dimana jenis perkara dalam putusan tersebut adalah pencabulan terhadap anak dibawah umur dan dilakukan oleh terdakwa anak dibawah umur pula, diperiksa dalam persidangan dengan dasar Sistem Peradilan PidanaAnak yang telah berlaku.

Referensi

Dokumen terkait

6 Rafflesia Bengkulu Bunga Rafflesia Arnoldi 7 Sibolangit Sumatra Utara Bunga Lebah dan Bunga Bangkai 8 Pulau Dua Jawa Barat Melindungi Hutan. 9 Batang Pelupuh Sumatra Barat

Lengkong, H.N., Sinsuw, A.A.E., Lumenta, A.S.M., 2015, Perancangan Petunjuk Rute Pada Kendaraan Pribadi Menggunakan Aplikasi Mobile GIS Berbasis Android Yang Terintegrasi Pada

dengan media audio visual dalam meningkatkan motivasi dan

Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Aplikasi ini dibangun dengan menggunakan perangkat lunak Macromedia Flash MX yang digunakan untuk pembuatan animasi didalam aplikasi, sehingga aplikasi menjadi lebih menarik.

salah satu contoh difusi. Pada prinsipnya, pada difusi membran sel bersifat pasif. Membran sel tidak mengeluarkan energi untuk memindahkan molekul ke luar. maupun ke

Berdasarkan kenyataan tersebut kombinasi perlakuan dengan konsentrasi MOL yang lebih rendah (M2L1) bahkan memberikan hasil berat 100 butir yang lebih tinggi

[r]