• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Muhammadiyah Jakarta, Program Magister Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Universitas Muhammadiyah Jakarta, Program Magister Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH LATIHAN BATUK EFEKTIF TERPROGRAM TERHADAP RISIKO INFEKSI PERNAFASAN PADA PASIEN POST OPERASI LAPARATOMI DENGAN

GENERAL ANESTESI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LABUANG BAJI

MAKASSAR 2017

Arifuddin 1 Kusnanto 2 Fitrian Rayasari 3

Universitas Muhammadiyah Jakarta, Program Magister Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan

e-mail : arieflaode7@gmail.com ABSTRAK

Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan yang menggunakan anestesi. Salah satu efek general anestesi adalah hypersekresi mucus di saluran pernafasan, untuk mengatasi salah satunya adalah dengan batuk efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh batuk efektif terprogram terhadap risiko infeksi pernafasan pada pasien post operasi laparatomi dengan general anestesi di RSUD Labuang Baji Makassar. Besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 orang untuk kelompok intervensi 15 orang dan kelompok kontrol 15 orang. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, lembar observasi dan SOP tehnik batuk efektif. Penelitian ini menggunakan desain Quasi

Eksperimental dengan pendekatan pre-test and post-test with control group design. Analisis

data yang digunakan adalah Uji Chi-Square. Hasil yang didapatkan bahwa ada perbedaan pengaruh latihan batuk efektif terprogram terhadap resiko infeksi pernafasan pada katagori leukosit dengan nilai P Value = 0,040 (p < 0,05). Suhu dengan nilai P Value = 0,009 (p < 0,05), batuk dengan nilai P Value = 0,006 (p < 0,05), dan frekuensi nafas dengan nilai P Value = 0,000 (p < 0,05). Saran dari penelitian ini diharapkan tenaga perawat mampu mengajarkan latihan batuk efektif yang baik dan benar serta mampu memantau pelaksanaan latihan tersebut, tepatnya pada pasien post operasi dengan general anastesi. Sehingga akan tercapai manfaat yang lebih maksimal.

Kata kunci : Latihan batuk efektif, infeksi pernapasan, general anestesi. Kepustakaan : 39 (2007-2017)

(2)

LATAR BELAKANG

Operasi atau pembedahan merupakan suatu penanganan medis secara invasif yang dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, injuri, atau deformitas tubuh (Nainggolan, 2013). Kiik (2012) menyatakan bahwa tindakan pembedahan akan mencederai jaringan yang dapat menimbulkan perubahan fisiologis tubuh dan mempengaruhi organ tubuh lainnya. Salah satu jenis pembedahan yang bertujuan untuk mengatasi masalah pada abdomen adalah laparatomi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari

World Health Organization (WHO) dalam

Sartika (2013), jumlah pasien dengan tindakan operasi mencapai angka peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat di tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia, sedangkan pada tahun 2012 data mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa. Tindakan operasi di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 1,2 juta jiwa (WHO dalam Sartika, 2013). Berdasarkan Data Tabulasi Nasional Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009, tindakan bedah menempati ururan ke-11 dari 50 pertama penanganan pola penyakit di rumah sakit se Indonesia yang diperkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah laparatomi yang meningkat 15 % dari tahun sebelumnya (DEPKES RI, 2009).

General anestesi adalah anestesi yang

biasanya dilakukan pada operasi besar, memerlukan ketenangan dari pasien karena waktu pelaksanaannya yang lama. Anestesi ini dilakukan dengan cara memasukkan obat bius baik secara inhalasi maupun intravena sesaat sebelum pasien dioperasi. Obat-obatan tersebut bekerja menghambat aliran listrik ke otak, sehingga otak tidak bisa mengenali impuls nyeri di area tubuh tertentu, membuat pasien dalam kondisi tidak sadar, dan merelaksasi otot. Semua obat general anestesi dapat menyebabkan depresi pernapasan sekunder yang

berlangsung selama operasi hingga paska operasi sebagai efek sisa anestesi. Perubahan system pernapasan yang terjadi pada paru ditandai oleh penurunan volume paru terutama adanya penurunan VC (Vital

Capacity) yang sangat besar yang dapat

mencapai 40–70% dari nilai pre-operativnya. Disamping itu juga terjadi penurunan FRC (Functional Residual

Capacity) yang mempunyai efek yang

signifikan terhadap fungsi paru, yaitu terjadinya penurunan komplian paru, peningkatan tahanan jalan napas, mempercepat kolapsnya paru pada bagian dependent dan berkontribusi terhadap abnormalitas dari pertukaran gas (Nur Basuki, 2009).

Mual muntah pasca operasi atau

postoperative nausea and vomiting

(PONV) adalah efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi, angka kejadiannya lebih kurang 1/3 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30% pasien rawat inap dan sampai 70% pada pasien rawat inap yang timbul dalam 24 jam pertama, Chandra (2012). Efek lain dari general anestesi pada system pernapasan adalah penurunan kemampuan pengontrolan posisi lidah yang akan berpengaruh terhadap patensi jalan napas, dan juga penurunan kemampuan batuk efektif serta muntah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya penumpukan sekret pada saluran napas. Reflek batuk yang masih lemah dan nyeri akibat luka operasi pada abdomen dapat menimbulkan akumulasi secret di jalan napas. Kondisi ini akan menimbulkan komplikasi paska operasi pada system pernapasan. (Muttaqin, 2009; Perry & Poter, 2014, Rondhianto,dkk. 2016).

Hipersekresi mukus dan depresi pernapasan efek anestesi dan immobilisasi akan menyebabkan penumpukan sekret di orofaring. Staphylococcus aureus pada awalnya merupakan flora normal yang ada pada saluran napas dalam 48 jam akan berkembang dan berkolonisasi serta dapat

(3)

masuk ke paru-paru melalui inhalasi yang dapat menyebabkan pneumonia (Kohl & Hanson, 2010; Rondhianto,dkk. 2016). Beberapa tindakan pembedahan dengan derajat sedang sampai operasi besar yang memerlukan perawatan di ruang intensive

care unit (ICU) dengan lama perawatan 5

sampai 10 hari sering menimbulkan komplikasi pneumonia. Berdasarkan

national nasocomial infection survailence system, angka kejadian pneumonia

pasca-operasi mencapai 18% dan angka kesakitan serta kematian sekitar 30% sampai 46% tergantung jenis dan tipe pembedahan. hal tersebut menambah lama rawat inap sekitar 7–9 hari dan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit sekitar US $ 12.000-US $ 40.000 per pasien (Supriadi,dkk, 2016).

Hasil survey point prevalensi dari 11 rumah sakit di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka infeksi IADP (Infeksi Aliran Darah Primer) 26,4%, pneumonia 24,5% dan infeksi saluan napas lain 15,1% (Depkes RI 2008). Pneumonia adalah infeksi atau peradangan pada salah satu atau kedua paru-paru, lebih tepatnya peradangan itu terjadi pada kantung udara (alveolus, jamak: alveoli). Kantung udara akan terisi cairan atau nanah, sehingga menyebabkan gejala sesak napas (napas cepat), batuk berdahak, demam, menggigil, dan kesulitan bernapas. Infeksi tersebut disebabkan oleh berbagai organisme, termasuk bakteri, virus dan jamur (McLuckie, 2009).

Hospital-acquired pneumonia yaitu

neumonia yang didapat di rumah sakit merupakan infeksi bakteri yang terjadi selama 48 jam lebih dirawat di rumah sakit karena penyakit lainnya. Pneumonia ini bisa lebih serius karena biasanya bakteri penyebab lebih resisten (kebal) terhadap antibiotik. Health care-acquired

pneumonia perawatan kesehatan

pneumonia adalah infeksi bakteri yang terjadi pada orang-orang yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang atau telah dirawat di klinik rawat jalan, termasuk pusat-pusat dialisis ginjal.

Pneumonia aspirasi yaitu terjadi ketika

seseorang menghirup makanan, minuman, muntahan atau air liur masuk ke dalam paru-paru. Pengobatan utama pneumonia tergantung pada jenis pneumonianya (penyebab) dan tingkat keparahannya, sehingga ada yang hanya perlu rawat jalan, namun beberapa perlu perawatan inap di rumah sakit atau klinik, Jeffrey C. Pommerville (2010).

Batuk efektif beserta teknik melakukanya akan memberikan banyak manfaat diantaranya untuk melonggarkan dan melegakan pernapasan maupun mengatasi asma akibat adanya lendir yang memenuhi saluran pernapasan baik dalam bentuk sputum maupun secret dalam hidung yang timbul akibat adanya infeksi pada saluran pernapasan maupun karena sejumlah penyakit yang diderita seseorang serta untuk mengeluarkan sekret yang menyumbat jalan napas dan untuk meringankan keluhan saat terjadi sesak napas pada penderita jantung, (Depkes RI, 2011). Tujuan dari batuk efektif adalah Melatih otot pernapasan agar dapat melakukan fungsi dengan baik, mengeluarkan dahak atau sputum yang ada disaluran pernapasan dan melatih pasien agar terbiasa melakukan cara pernapasan dengan baik (Depkes RI, 2011).

Studi pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Labuang Baji Makassar yaitu rumah sakit Negeri kelas B yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialiasi luas sehingga oleh pemerintah di tetapkan sebagai rujukan regional atau sebagai rumah sakit pemerintah daerah (PEMDA). Jumlah pasien dengan general anestesi pada tahun 2016 adalah 964 pasien. Hasil wawancara dengan perawat di bangsal yang merawat pasien paska operasi di RSUD Labuang

(4)

Baji Makassar diperoleh informasi bahwa dalam sehari rata rata terdapat 1-2 pasien pasca operasi laparatomi dengan general

anestesi mengalami peningkatan sekresi

mukus dan saliva. Masalah lain yang ditemukan pada pasien pasca operasi laparatomi dengan general anestesi selain nyeri, pasien mengeluhkan rasa haus, mual, muntah, bibir kering, dan berdahak. Dalam pengelolan pasien pasca operasi dengan general anestesi di RSUD Labuang Baji Makassar adalah dengan latihan napas dalam dengan teknik deep breathing

exercise (DBE) yang bertujuan untuk

memperbaiki ventilasi, meningkatkan kapasitas paru dan mencegah kerusakan paru. Pemberian latihan batuk efektif pasca operasi laparatomi dengan general anestesi belum menjadi pilihan di RSUD.Labuang Baji Makassar karena pasien takut luka operasi bertambah nyeri, perdarahan dan khawatir jahitan luka operasi terlepas. Dalam penelitian Rondhianto, dkk (2016) responden diajarkan batuk efektif yaitu cara batuk yang benar untuk membantu dalam membuang sekret beserta bakteri termasuk Staphylococcus aureus, sehingga jalan napas menjadi bersih dan bakteri

Staphylococcus aureus menjadi berkurang

jumlahnya yang ada di jalan napas. Dalam keadaan normal saluran pernapasan memproduksi sekitar 100 ml sekret per harinya. Pada keadaan lingkungan yang tidak mendukung seperti pemberian obat anestesi ataupun dalam keadaan sakit, maka produksi dahak bertambah, oleh karena itu sekret harus dikeluarkan dengan jalan batuk efektif.

Menurut model konsep Dorothea E. Orem berfokus pada self care dan kebutuhan perawatan diri pasien untuk mempertahankan kehidupan, kesehatan, perkembangan dan kesejahtraan. Ada 3 prinsip dalam keperawatan diri sendiri yaitu: 1). Perawatan diri yang bersifat holistik, seperti kebutuhan oksigen, air, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, 2). Perawatan mandiri yang harus dilakukan

sesuai dengan tumbuh kembang manusia, 3). Perawatan mandiri yang harus dilakukan karena adanya masalah kesehatan atau penyakit (Alligood, 2017).

Self care adalah kemampuan individu

untuk melakukan perawatan diri. Perawatan diri dapat mengalami gangguan atau hambatan bila seseorang jatuh pada kondisi sakit atau kondisi yang melelahkan seperti stres fisik dan psikologis. Self- care

deficit terjadi apabila self -care agency

lebih kecil dari self-care demands atau kemampuan lebih kecil dari kebutuhan. Apa bila kekuatan self-care demands lebih besar atau sama dengan self -care agency maka tidak terjadi deficit atau klien mampu memenuhi self-care. Pada saat klien mengalami deficit maka dibutuhkan

nursing agency melalui nursing system

yaitu apakah klien di bantu sepenuhnya, sebagian atau hanya dengan dukungan dan pendidikan. Nursing agency menggunakan kegiatan gabungan berarti bahwa kegiatan perawat perlu dikoordinasi, dilakukan secara serentak atau berhubungan dengan layanan asuhan keperawatan yang akan diberikan. Seseorang yang melakukan kegiatan ini harus mempunyai pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang diberikan sehingga dapat mengambil suatu keputusan yang tepat bagi klien (Burhanuddin, 2016).

Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Diketahuinya pengaruh latihan batuk efektif terprogram terhadap risiko infeksi pernapasan pada pasien post operasi laparotomi dengan general

anestesi bagi perawat di RSUD

Labuang Baji Makassar 2. Praktisi

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi manajemen RSUD Labuang Baji Makassar terhadap mutu pelayanan keperawatannya. b. Memperkaya sumber bacaan di

bidang keperawatan serta dapat dijadikan acuan penelitian lebih lanjut.

(5)

c. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalan meningkatkan kualitas pemberian asuhan keperawatan kepada pasien secara profesional.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain Quasi

Eksperimental. Menurut Sopiyuddin

(2013), penelitian Quasi Eksperimental merupakan desain yang memiliki kelompok kontrol yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dan pemilahan kedua kelompok tersebut dilakukan dengan cara Non Random atau tidak acak. Penelitian ini menggunakan

pre-test and post-test with control group design. Dalam penelitian ini responden

adalah pasien pasca operasi laparatomi yang dipilih tanpa melakukan random kemudian akan dibagi dalam dua kelompok, untuk kelompok intervensi akan diberikan latihan batuk efektif terprogram sedangkan untuk kelompok kontrol akan diberikan juga perlakuan sesuai dengan standar operasional prosedur yang ditetapkan oleh RSUD Labuang Baji Makassar. Selanjutnya untuk kedua kelompok tersebut akan dilakukan pre-test sebelum intervensi dan dilakukan post-tes setelah dilakukan intervensi (Kelana, 2011).

Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi laparatomi dengan general anastesi yang di rawat di ruang rawat inap dalam 3 bulan terakhir januari sampai dengan maret 2017 mencapai 97 orang di RSUD Labuang Baji Makassar.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi (Sopiyuddin, 2016). Dalam penelitian ini penarikan sampel dilakukan secara tidak acak non probability sampling yang menggunakan metode consecutive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien post operasi dengan general anastesi di RSUD Labuang Baji Makassar. Maka peneliti mengambil sampel 15 untuk masing-masing kelompok intervensi dan kelompok kontrol sehingga total sampel sebanyak 30 orang.

Tempat & Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap RSUD Labuang Baji Makassar yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan paru di Sulawesi Selatan. Waktu penelitian yang digunakan adalah sekitar 3 bulan meliputi persiapan satu bulan, pelaksanaan satu bulan, dan perekapan satu bulan. Waktu penelitian akan di mulai pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2017.

Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data atau Instrument penelitian merupakan alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Instrument penelitian ini dapat berupa : lembar observasi, formulir–formulir lain berkaitan dengan pencatatan data dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012).

Dalam penelitian ini digunakan kuesioner terkait karakteristik responden, lembar observasi dengan risiko infeksi saluran pernapasan dan SOP batuk efektif untuk mengumpulkan yang terdiri dari:

1. Kuesioner mengenai karakteristik responden.

Kuesioner mengenai karakteristik responden terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan, selanjutnya kebiasaan merokok.

(6)

2. Standar Operasional Prosedur

Pelaksanaan batuk efektif terpadu dengan menggnakan standar operasional prosedur yang terdiri dari pengertian, tujuan, indikasi, kontraindikasi, persipan alat, persiapan klien, prosedur pelaksanaan yang terdiri dari 13 langkah, evaluasi dan 5 hal yang harus diperhatikan.

3. Infeksi pernapasan

Untuk pengukuran infeksi pernapasan yaitu: kadar leukosit diukur dengan pemeriksaan laboratorium dengan hasil ukur 1. Leukositosis (>12000 /µl, 2. Normal (4000-12000 / µl . Suhu diukur dengan menggunakan alat ukur thermometer dengan hasil ukur 1. > 37,5 °C dan 2. 36-37,5°C. Batuk diukur dengan menggunakan lembar observasi dengan hasil ukur 1. Berdahak dan 2. Tidak berdahak. Suara napas diukur dengan menggunakan Stetoskop dengan hasil ukur 1. Tidak normal dan 2. Normal. Sesak napas diukur menggunakan lembar observasi dengan hasil ukur 1. Sesak napas dan 2. Tidak sesak napas. Irama napas diukur dengan menggunakan lembar observasi dengan hasil ukur 1. Irama tidak teratur dan 2. Irama teratur. Frekuensi napas diukur dengan menggunakan lembar observasi dengan hasil ukur 1. RR > 20 x/menit dan 2. RR 16-20 x/menit (frekuensi normal). Usia diukur dengan menggunakan lembar observasi diukur dalam satuan usia dalam tahun. Kebiasaan merokok diukur dengan menggunakan lembar observasi dengan hasil ukur 1. Merokok, 2. Tidak merokok.

Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisis Univariat adalah analisis yang bertujuan untuk menjelaskan atau medeskripsikan karakteristik distribusi frekuensi variabel yang diteliti (Hastono, 2010). Hasil analisis meliputi proporsi untuk data kategorik

sedangkan mean, median, standar deviasi, nilai minimal dan maksimal untuk data numerik. Variabel yang dilakukan analisis meliputi usia, jenis kelamin, agama, pendidikan dan pekerjaan dengan jenis data kategorik sehingga menggunakan analisis statistik distribusi frekuensi.

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat merupakan analisa data terhadap variabel penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara 2 kelompok (Hastono & Sabri, 2011). Analisa bivariat pada penelitian ini adalah uji hipotesis komparatif numerik berpasangan, dengan alasan peneliti membandingkan 2 metode dengan 2 kali pengukuran (pre-test dan

post-test), analisis data yang digunakan

adalah Uji Chi-Square.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini akan ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi,analisa univariat dan bivariat.

A. Analisis Univariat

Analisis univariat dalam penelitian ini meliputi karakteristik pasien post operasi laparotomi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, riwayat merokok, dan risiko infeksi pernapasan (pemeriksaan leukosit, suhu, batuk, sesak napas, suara napas, irama napas dan frekuensi napas) pada kelompok latihan batuk efektif terprogram dan tidak terprogram. Deskripsi variabel dapat dilihat sebagai berikut :

1. Gambaran Karakteristik Responden

Tabel dibawah ini menunjukan karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, riwayat merokok jumlah 30 responden.

Table 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan,

(7)

Pekerjaan, Riwayat Merokok di RSUD Labuang Baji Makassar (n=30)

N o

Variable Deskripsi Katagori Kelompok Intervensi n=15 Kelompok Kontrol n=15 F % F % 1 Usia 15-25 tahun 26-30 tahun 31-40 tahun > 40 tahun 0 1 4 10 0 3,3 13,3 33,3 2 0 8 5 13,3 0 53,3 16,7 2 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 11 4 36,7 13,3 9 6 30,0 20,0 3 Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan Tinggi 1 10 2 1 1 3,3 33,3 6,7 3,3 3,3 1 4 5 4 1 3,3 13,3 16,7 13,3 3,3 4 Pekerjaan IRT Buruh Petani Wiraswasta Guru Pelajar 4 3 4 3 1 0 13,3 10,0 13,3 10,0 3,3 0 4 2 2 4 1 2 13,3 6,7 6,7 13,3 3,3 6,7 5 Kebiasaan Merokok Tidak Merokok Merokok 10 5 33,3 16,7 10 5 33,3 16,7

Pada table 5.1 dapat disimpulkan bahwa mayoritas yang menjadi responden pada kelompok intervensi adalah mayoritas usia >40 tahun sebanyak 10 orang (33,3). Jenis kelamin responden mayoritas laki-laki sebanyak 11 orang (36,7%). Pada umumnya pendidikan responden berpendidikan SD sebanyak 10 orang (33,3%). Mayoritas pekerjaan responden sebagai ibu rumah tangga sebanyak 4 orang (13,3%) dan petani sebanyak 4 orang (13,3%). Dan kebiasaan merokok dari responden mayoritas tidak merokok sebanyak 10 orang (33,3%).

Sedangkan pada kelompok kontrol adalah mayoritas usia 31-40 tahun sebanyak 8 orang (53,3). Jenis kelamin responden mayoritas laki-laki sebanyak 9 orang (30,0%). Pada umumnya pendidikan responden berpendidikan SMP sebanyak 5 orang (16,7%). Mayoritas pekerjaan responden sebagai ibu rumah tangga sebanyak 4 orang (13,3%) dan wiraswasta sebanyak 4 orang (13,3%). Dan kebiasaan merokok dari responden mayoritas tidak merokok sebanyak 10 orang (33,3%).

2. Statistik Deskriptif

Distribusi kadar leukosit, suhu, kondisi batuk, kondisi sesak, suara napas, irama napas, dan frekuensi napas responden di RSUD. Labuang Baji Makassar.

Table 5.2

Distribusi kadar leukosit, suhu, kondisi batuk, kondisi sesak, suara napas, irama napas, dan frekuensi napas responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar No Variable Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol Mean SD Mean SD 1 Kadar Leukosit Pre test Post test 1,67 1,80 0,488 0,414 3,07 1,80 0,488 0,414 2 Suhu Pre test Post test 1,73 1,80 0,458 0,414 1,73 1,80 0,458 0,414 3 Kondisi Batuk Pre test Post test 1,47 1,60 0,516 0,507 1,47 1,60 0,516 0,507 4 Kondisi Sesak Pre test Post test 1,73 1,93 0,458 0,258 1,73 1,93 0.458 0,258 5 Suara Napas Pre test Post test 1,87 1,93 0,352 0,258 1,87 1,93 0,352 0,258 6 Irama Napas Pre test Post test 1,73 1,87 0,458 0,352 1,73 1,93 0,458 0,352 7 Frekuensi Napas Pre test Post test 1,67 1.67 0,488 0,488 1,67 1.67 0,488 0,488

Statistik deskriptif yang tertera pada tabel 5.2 berguna untuk mengetahui karakter sampel yang digunakan dalam penelitian. Dari tabel dapat dilihat bahwa N atau jumlah sampel adalah 30 responden di antranya 15 kelompok intervensi dan 15 responden kelompok kontrol. Responden diambil dari populasi responden pasca operasi laparatomi yang baresiko mengalami infeksi pernafasan di RSUD Labuang Baji Makassar. Mean atau rata-rata berfungsi memberikan informasi mengenai nilai tengah dari sebaran data-data yang ada. Standar deviasi adalah nilai statistik yang digunakan untuk menentukan bagaimana sebaran data dalam sampel, dan seberapa dekat titik data sampel ke mean atau rata-rata nilai sampel.

B. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara variabel, analisis ini dinilai sebelum dan sesudah diberikan latihan batuk efektif terprogram terhadap sampel yang

(8)

berisiko mengalami infeksi pernapasan di RSUD Labuang Baji Makassar. Analisa bivariat dilakukan dengan menggunakan uji statistik Chi-Square dilakukan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol untuk mengetahui perbedaan pengaruh batuk efektif terhadap risiko pernapasan antara sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Secara lengkap hasil analisis sebagai berikut:

1. Risiko Infeksi Pre dan Post Intervensi Terprogram

Analisis pengaruh latihan batuk efektif terprogram terhadap risiko infeksi pada responden di RSUD. Labuang Baji Makassar dianalisis dengan Chi-Square. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Leukosit Pada Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Leuk osit Post Test Total P Value Pre Test Tidak norm al Normal N % N % N % 0,022 Tidak normal 3 60 2 40 5 33,3 Normal 0 0,0 10 83, 3 10 66,7 Total 3 20 12 80, 0 15 100

Hasil analisis pada tabel 5.3 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 5 orang (33,3%) responden yang mempunyai leukosit tidak normal, dan 10 orang (66,7%) responden mempunyai leukosit normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 3 orang (20,0%) responden yang masih mempunyai leukosit tidak normal dan 12 orang (80,0%) responden mempunyai leukosit normal. Hasil uji statistik Chi-Square

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan leukosit responden sebelum dan setelah

diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,022 (p < 0,05).

Tabel 5.4

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Suhu Pada Responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)

Suhu Post Test

Total P Value Pre Test Tidak normal Normal N % N % N % 0,009 Tidak normal 3 75,0 1 25,0 4 26, 7 Normal 0 0,0 11 91,7 11 73, 3 Total 3 20,0 12 80,0 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.4 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 4 orang (26,7%) responden yang mempunyai suhu tidak normal, dan 11 orang (73,3%) responden mempunyai suhu normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 3 orang (20,0%) responden yang masih mempunyai suhu tidak normal dan 12 orang (80,0%) responden mempunyai suhu normal. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan suhu responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,009 (p < 0,05).

Tabel 5.5

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Batuk Pada Responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)

Batuk Post Test

Total P Value Pre Test Berdaha k Tidak Berdahak N % N % N % 0,006 Berdahak 6 75, 0 2 22, 2 8 53, 3 Tidak Berdahak 0 0,0 7 77, 8 7 46, 7 Total 6 75, 0 12 80, 0 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.5 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum

(9)

diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 8 orang (53,3%) responden yang mempunyai batuk berdahak, dan 7 orang (46,7%) responden mempunyai batuk tidak berdahak. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 6 orang (75,0%) responden yang masih mempunyai batuk berdahak dan 12 orang (80,0%) responden mempunyai batuk tidak berdahak. Hasil uji statistik Chi-Square

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan batuk responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,006 (p < 0,05).

Tabel 5.6

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Sesak Napas Pada

Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Sesak Napas Post Test

Total P Value Pre Test Sesak Tidak sesak N % N % N % 0,267 Sesak 1 22, 0 3 75, 0 4 26, 7 Tidak sesak 0 0,0 1 1 77, 8 11 73, 3 Total 1 6,7 1 4 93, 3 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.6 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 4 orang (26,7%) responden yang masih sesak napas, dan 11 orang (73,3%) responden yang tidak sesak napas. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 1 orang (6,7%) responden yang masih sesak napas 14 orang (93,3%) responden yang tidak sesak napas. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan sesak napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif

terprogram dengan nilai P Value = 0,267 > 0,05.

Tabel 5.7

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Suara Napas Pada Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15)

Suara Napas Post Test

Total P Value Pre Test Tidak normal Normal N % N % N % 0,867 Tidak normal 0 0,0 2 14, 7 2 13, 3 Normal 1 7,7 12 93, 3 13 86, 7 Total 1 6,7 14 93, 3 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.7 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 2 orang (13,3%) responden yang mempunyai suara napas tidak normal, dan 13 orang (86,7%) responden mempunyai suara napas normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 1 orang (6,7%) responden yang masih mempunyai suara napas tidak normal dan 14 orang (93,3%) responden mempunyai suara napas normal. Hasil uji statistik

Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan suara napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,867 > 0,05.

Tabel 5.8

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Irama Napas Pada Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15)

Irama Napas Post Test

Total P Value Pre Test Tidak teratur Teratur N % N % N % 0,057 Tidak teratur 2 50, 0 2 50. 0 4 26, 7 Teratur 0 0,0 11 84, 6 11 73, 3 Total 2 13, 3 13 84, 7 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.8 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif

(10)

terprogram terdapat 4 orang (26,7%) responden yang mempunyai irama napas tidak teratur, dan 11 orang (73,3%) responden mempunyai irama napas teratur. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 2 orang (13,3%) responden yang masih mempunyai irama napas tidak teratur dan 13 orang (84,7%) responden mempunyai irama napas teratur. Hasil uji statistik

Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan irama napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,057 > 0,05.

Tabel 5.9

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Terprogram Terhadap Frekuensi Napas Pada Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15)

Frekuensi Napas Post Test

Total P Value Pre Test Tidak normal normal N % N % N % 0,000 Tidak normal 5 10 0 0 0.0 5 33, 3 Normal 0 0,0 10 10 0 10 66, 7 Total 5 33, 3 10 66, 7 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.9 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 5 orang (33,3%) responden yang mempunyai frekuensi napas tidak normal, dan 10 orang (66,7%) responden mempunyai frekuensi napas normal,. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 5 orang (33,3%) responden yang masih mempunyai frekuensi napas tidak normal, dan 10 orang (66,7%) responden mempunyai frekuensi napas normal. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan frekuensi napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif

terprogram dengan nilai P Value = 0,000 (p < 0,05).

2. Risiko Infeksi Pre dan Post Intervensi Tidak Terprogram Analisis pengaruh latihan batuk efektif tidak terprogram terhadap risiko infeksi pada responden di RSUD. Labuang Baji Makassar dianalisis dengan Chi-Square. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 5.10.

Tabel 5.10

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Leukosit Pada Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15) Leuk osit Post Test Total P Value Pre Test Tidak normal Normal N % N % N % 0,400 Tidak normal 1 16, 7 5 35, 7 6 40, 0 Normal 0 0,0 9 64, 3 9 60, 0 Total 1 6,7 14 63, 3 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.10 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif tidak terdapat 6 orang (40,0%) responden yang mempunyai leukosit normal tidak normal, dan 9 orang (60,0%) responden mempunyai leukosit normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 1 orang (6,7%) responden yang masih mempunyai leukosit tidak normal dan 14 orang (63,3%) responden mempunyai leukosit normal. Hasil uji statistik

Chi-Square menunjukkan bahwa tidak

terdapat pengaruh yang signifikan leukosit responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram dengan nilai P Value = 0,400 > 0,05.

(11)

Tabel 5.11

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif tidak Terprogram Terhadap Suhu Pada Responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)

Suhu Post Test

Total P Value Pre Test Tidak normal Normal N % N % N % 0,267 Tidak normal 2 25, 0 6 46, 2 8 53, 3 Normal 0 0,0 7 53, 8 7 46, 7 Total 2 13, 3 13 86, 7 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.11 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 8 orang (53,3%) responden yang mempunyai suhu tidak normal, dan 7 orang (46,7%) responden mempunyai suhu normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 2 orang (13,3%) responden yang masih mempunyai suhu tidak normal dan 13 orang (86,7%) responden mempunyai suhu normal. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan suhu responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram dengan nilai P Value = 0,267 > 0,05.

Tabel 5.12

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Batuk Pada Responden di

RSUD. Labuang Baji Makassar (n=15)

Batuk Post Test

Total P Value Pre Test Berdaha k Tidak Berdahak N % N % N % 0,363 Berdahak 3 27, 3 8 66, 7 11 73, 3 Tidak Berdahak 0 0,0 4 33, 3 4 26, 7 Total 3 20, 0 12 80, 0 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.12 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 11 orang (73,3%) responden yang

mempunyai batuk berdahak, dan 4 orang (26,7%) responden yang batuk tidak berdahak. Setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 3 orang (20,0%) responden yang masih mempunyai batuk berdahak dan 12 orang (80,0%) responden yang tidak berdahak. Hasil uji statistik

Chi-Square menunjukkan bahwa

tidak terdapat pengaruh yang signifikan batuk responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram dengan nilai P Value = 0,363 >0,05.

Tabel 5.13

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Sesak Napas Pada Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15)

Sesak Napas Post Test

Total P Value Pre Test Sesak Tidak sesak N % N % N % 0,000 Sesak 5 100 0 0,0 5 33,3 Tidak sesak 0 0,0 10 10 0 10 66,7 Total 5 33,3 10 66, 7 15 100

Hasil analisis pada tabel 5.13 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 5 orang (33,3%) responden yang mempunyai sesak napas, dan 10 orang (66,7%) responden tidak sesak. Setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 5 orang (33,3%) responden yang masih sesak napas dan 10 orang (66,7%) responden yang tidak sesak. Hasil uji statistik

Chi-Square menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan sesak napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram dengan nilai P Value = 0,000 (p < 0,05).

(12)

Tabel 514

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Suara Napas Pada Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15)

Suara Napas Post Test

Total P Value Pre Test Tidak normal Normal N % N % N % 0,524 Tidak normal 0 0,0 4 30, 8 4 26, 7 Normal 2 18, 2 9 69, 2 11 73, 3 Total 2 13, 3 13 86, 7 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.14 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 4 orang (26,7%) responden yang mempunyai suara napas tidak normal, dan 11 orang (73,3%) responden mempunyai suara napas normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 2 orang (13,3%) responden yang masih mempunyai suara napas tidak normal dan 13 orang (86,7%) responden mempunyai suara napas normal. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan suara napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram dengan nilai P Value = 0,524 > 0,05.

Tabel 5.15

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Irama Napas Pada Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15)

Irama Napas Post Test

Total P Value Pre Test Tidak teratur Teratur N % N % N % 0,200 Tidak teratur 1 33, 3 2 14, 3 3 20, 0 Teratur 0 0,0 12 85, 7 12 80, 0 Total 1 6,7 14 93, 3 15 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.15 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 3 orang

(20,0%) responden yang mempunyai irama napas tidak teratur, dan 12 orang (80,0%) responden mempunyai irama napas teratur. Setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 1 orang (6,7%) responden yang masih mempunyai irama napas tidak teratur dan 14 orang (93,3%) responden mempunyai irama napas teratur. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan irama napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram dengan nilai P Value = 0,200 > 0,05.

Tabel 5.16

Analisis Pengaruh Latihan Batuk Efektif Tidak Terprogram Terhadap Frekuensi Napas Pada Responden di RSUD. Labuang Baji Makassar

(n=15)

Frekuensi Napas Post Test

Total P Value Pre Test Tidak normal normal N % N % N % 0,007 Tidak normal 5 71, 4 2 20, 0 7 46, 7 Normal 0 0,0 8 80, 0 8 53, 3 Total 5 33, 3 10 66, 7 1 5 10 0

Hasil analisis pada tabel 5.16 pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif tidak tidak terprogram terdapat 7 orang (46,7%) responden yang mempunyai frekuensi napas tidak normal, dan 8 orang (53,3%) responden mempunyai frekuensi napas normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif tidak terprogram terdapat 5 orang (33,3%) responden yang masih mempunyai frekuensi napas tidak normal, dan 10 orang (66,7%) responden mempunyai frekuensi napas normal. Hasil uji statistik

Chi-Square menunjukkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan frekuensi napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk

(13)

efektif tidak terprogram dengan nilai P Value = 0,007 (p < 0,05).

PEMBAHASAN

Penelitian pada kelompok ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh latihan batuk efektif terprogram terhadap risiko infeksi pernapasan dengan menggunakan indikator kadar leukosit, suhu, batuk, sesak napas, suara napas, irama napas, dan frekuensi napas diantaranya sebagai berikut:

1. Kadar leukosit

Dimana hasil penelitian ini menunjukkan data dari risiko infeksi. Pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 5 orang (33,3%) responden yang mempunyai leukosit normal tidak normal, dan 10 orang (66,7%) responden mempunyai leukosit normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 3 orang (20,0%) responden yang masih mempunyai leukosit tidak normal dan 12 orang (80,0%) responden mempunyai leukosit normal. Hasil uji statistik Chi-Square

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan leukosit responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,040 (p < 0,05).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diah Susmiarti (2014), Hasil foto thoraks yang menggambarkan adanya infiltrat dan terdapatnya bakteri C. Freundii pada kultur sputum responden 3 menambah skor pada penilaian CPIS. Menurut Porzecanski (2006) berdasarkan pada kriteria klinik National Nosocomial

Infection Surveillance System (NNIS)

untuk diagnosis pneumonia tidak hanya ditentukan berdasarkan satu gejala klinis saja yaitu peningkatan suhu seperti yang terjadi pada responden 1 akan tetapi penegakan diagnosis

pneumonia dapat ditegakkan dengan kriteria klinis lain yaitu leukositosis. Menurut Isselbacher (1999) perubahan warna dan konsistensi pada seseorang menunjukkan adanya infeksi oleh bakteri atau kuman penyebab. Dahak atau sputum yang dikeluarkan terdiri dari air, elektrolit dan glukosa, lendir glikoprotein, transudat, dan lipid sehingga diperlukan pemeriksaan sputum yang teliti yang akan memperjelas keadaan pasien dari pada pemeriksaan sputum secara kasat mata. Nilai PaO 2/FiO2 pada responden 3 yaitu < 240 seperti yang terjadi pada responden 1. Menurut Morton (2012) tekanan parsial oksigen dalam darah arteri (PaO2) menggambarkan tingkat kelarutan oksigen di dalam plasma, sedangkan fraksi oksigen inspirasi (FiO2) merupakan jumlah kandungan oksigen inspirasi yang diberikan oleh ventilator ke pasien dengan konsentrasi 21-100%. Nilai normal PaO2/FiO2 yaitu 300–500. Adanya penurunan

PaO2/FiO2 menggambarkan

perburukan pada sistem respirasi pasien. Bakteri C. Freundii yang ditemukan pada hasil kultur sputum responden 3 merupakan enterobacter spesies, gram negatif, berbentuk batang, anaerob dan merupakan flora normal pada saluran pencernaan. Adapun pergerakan bakteri ini ke organ lain dikaitkan dengan lemahnya daya tahan tubuh penderita.

Analisis peneliti bahwa bahwa diagnosis infeksi pernapasan tidak hanya ditentukan berdasarkan satu gejala klinis saja yaitu peningkatan suhu, tetapi penegakan diagnosis infeksi pernapasan dapat ditegakkan dengan kriteria klinis lain yaitu leukositosis. Apabila suhu tubuh naik terlalu tinggi, sel-sel tubuh dapat mengalami kerusakan, hususnya sel-sel pada sistem saraf sedangkan leukositosis yang terjadi merupakan

(14)

tanda reaksi tubuh terhadap masuknya mikroorganisme patogen dengan meningkatkan jumlah dan jenis sel-sel darah putih yang beredar di mana leukosit atau sel darah putih berperan dalam melindungi tubuh terhadap infeksi dan bakteri berbahaya.

2. Suhu

Pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 4 orang (26,7%) responden yang mempunyai suhu normal tidak normal, dan 11 orang (73,3%) responden mempunyai suhu normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 3 orang (20,0%) responden yang masih mempunyai suhu tidak normal dan 12 orang (80,0%) responden mempunyai suhu normal. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan suhu responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,009 (p < 0,05).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Diah Susmiarti (2014), Pada responden 1 terdapat peningkatan suhu pada hari ke 3 yaitu ≥ 39° C disertai adanya sputum namun tidak purulent dan tidak ada peningkatan leukosit. Nilai PaO2 = 93 dan FiO2 = 40% didapatkan PaO2/FiO2 = 232,5. Penilaian foto thorak hari ke 3 terhadap responden 1 tidak dapat dilaksanakan oleh karena mesin thoraks cito bed sedang dalam perbaikan, sedangkan foto thoraks hari ke 1 adanya infiltrat sulit terbaca dikarenakan adanya hemotoraks pada rongga pleura. Hasil kultur sputum terdapat adanya bakteri klebsiella

ozaenae.

Menurut Porzecanski (2006) berdasarkan pada kriteria klinik

National Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) bahwa

adanya tanda klinis demam > 38° C (> 100,4°F) yang bukan disebabkan gangguan lain merupakan salah satu tanda klinik adanya infeksi nosokomial pneumonia. Menurut Kowalak (2012) demam terjadi ketika agen penyebab infeksi memasuki tubuh. Kenaikan suhu akan membantu tubuh melawan infeksi karena banyak mikroorganisme tidak bisa hidup dalam lingkungan yang panas. Apabila suhu tubuh naik terlalu tinggi, sel-sel tubuh dapat mengalami kerusakan, hususnya sel-sel pada sistem saraf sedangkan leukositosis yang terjadi merupakan tanda reaksi tubuh terhadap masuknya mikroorganisme patogen dengan meningkatkan jumlah dan jenis sel-sel darah putih yang beredar di mana leukosit atau sel darah putih berperan dalam melindungi tubuh terhadap infeksi dan bakteri berbahaya.

Menurut Augustyn (2007) penurunan terhadap kemampuan tubuh dalam menyaring dan melembabkan udara pada saluran nafas atau berkurangnya reflek batuk akibat adanya

endotrachealtube serta terganggunya

mechanisms clearanse dari silia dalam pembersihan karena cedera mukosa selama intubasi. Adanya endotracheal tube akan menyediakan tempat bagi bakteri untuk masuk ke dalam trakea, keadaan selanjutnya dari halhal tersebut akan meningkatkan produksi dan sekresi lendir. Mekanisme pertahanan alami pasien yang menurun akan meningkatkan kemungkinan kolonisasi bakteri dari mikrorganisme. Analisis peneliti bahwa demam terjadi ketika agen penyebab infeksi memasuki tubuh. Kenaikan suhu akan membantu tubuh melawan infeksi karena banyak mikroorganisme tidak bisa hidup dalam lingkungan yang panas. Apabila suhu tubuh naik terlalu tinggi, sel-sel tubuh dapat mengalami

(15)

kerusakan, khususnya sel-sel pada sistem saraf. Sehingga dibutukan latihan batuk efektif untuk membantu meransang terbukanya sistim koleteral, meningkatkan distribusi ventilasi, meningkatkan volume paru dan memfasilitasi pembersihan saluran napas.

3. Batuk

Pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 8 orang (53,3%) responden yang mempunyai batuk berdahak, dan 7 orang (46,7%) responden mempunyai batuk tidak berdahak. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 3 orang (20,0%) responden yang masih mempunyai batuk berdahak dan 12 orang (80,0%) responden mempunyai batuk tidak berdahak. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan batuk responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,006 (p < 0,05).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Yuliati Alie dan Rodiyah, 2013) dimana dalam penelitiannya dihasilakn pengeluaran sputum sesudah dilatih batuk efektif secara terprogram dari 24 responden 19 responden (79,2%) dapat mengeluarkan sputum dan 5 responden (20,8%) tidak dapat mengeluarkan sputum. Pemeriksaan specimen menunjukkan adanya peningkatan rata-rata volume sputum yaitu pada specimen 1 (sebelum batuk efektif terprogram) sebesar 0,32 cc menjadi 0,88 cc pada specimen 1 (sesudah dilatih batuk efektif terprogram), sedangkan pada specimen 2 (sesudah dilatih batuk efektif terprogram) rata-rata volume sputum menjadi 1,6 cc.

Pemeriksaan specimen menunjukkan adanya peningkatan volume sputum yang dihasilkan dari pasien TB paru yang telah diajarkan bagaimana batuk efektif. Berdasakan hasil penelitian perbandingan specimen 1 (sebelum batuk efektif terprogram) dengan specimen post 2 (setelah batuk efektif terprogram) sebanyak 19 responden (79,2%) mengalami peningkatan volume sputum (cc) yang dihasilkan setelah bantuk efektif. Sedangkan 5 responden (20,8) tidak mengalami peningkatan sputum (cc) yang dihasilkan setelah batuk efektif.

Dalam penelitian (Yosef Agung Nugroho, 2011) dimana hasil penelitian pengaruh batuk efektif terhadap pengeluaran dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehingga uji pengaruh menggunakan uji Wilcoxon untuk melihat kemaknaan pengaruh batuk efektif dengan α = 0,05 didapatkan p=0,003 (p<0,05) berarti bahwa berarti ada pengaruh sebelum dan sesudah perlakuan batuk efektif. Hasil penelitian menunjukkan ada perubahan yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan tindakan batuk efektif, dengan riwayat penyakit responden yang berbeda – beda seperti asma bronchial, bronkopneumonia, bronchitis, efusi pleura.

Latihan batuk efektif merupakan aktivitas perawat untuk membersihkan sekresi pada jalan nafas. Tujuan batuk efektif adalah meningkatkan mobilisasi sekresi dan mencegah resiko tinggi retensi sekret. Pemberian batuk efektif dilaksanakan terutama pada klien dengan masalah keperawatan ketidak efektifan jalan nafas dan masalah resiko tinggi infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang berhubungan dengan akumulasi sekret pada jalan nafas yang sering disebabkan oleh kemampuan batuk yang menurun atau adanya nyeri setelah pembedahan

(16)

thoraks atau pembedahan abdomen bagian atas sehingga klien merasa malas untuk melakukan batuk.

Batuk diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mengeluarkan sputum. Terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk. untuk mempermudah pengeluaran sputum dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu batuk efektif, postural drainase, vibrating dan clapping.

Analisis peneliti bahwa batuk efektif penting untuk menghilangkan gangguan pernapasan dan menjaga paru-paru agar tetap bersih. Batuk efektif dapat di berikan pada pasien dengan cara diberikan posisi yang sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar. Batuk efektif ini merupakan bagian tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan penapasan akut dan kronis dimana batuk efektif yang baik dan benar akan dapat mempercepat pengeluaran dahak pada pasien dengan gangguan saluran pernafasan.

4. Sesak

Pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 4 orang (26,7%) responden yang masih sesak,

dan 11 orang (73,3%) responden yang tidak sesak. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 1 orang (6,7%) responden yang masih mempunyai sesak dan 14 orang (93,3%) responden yang tidak sesak. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan sesak napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,267 > 0,05.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh (Erva Elli Kristiani, 2011) berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil yaitu pengeluaran dahak awal pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas di instalasi rehabilitasi medik RS Baptis Kediri. Frekuensi pengeluaran dahak awal adalah sedikit 8 (53,33%). Dahak adalah materi yang dikeluarkan dari saluran napas bawah oleh batuk (FKUI,2001). Orang dewasa normal bisa memproduksi mukus (sekret kelenjar) sejumlah 100 ml dalam saluran napas setiap hari. Mukus ini digiring ke faring dengan mekanisme pembersihan silia dari epitel yang melapisi saluran pernapasan. Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal seperti tadi, sehingga mukus ini banyak tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intrathorakal dan intra abdominal yang tinggi (Darmanto, 2006).

Dalam penelitian (Yosef Agung Nugroho, 2011) menunjukkan pengeluaran dahak sebelum perlakuan batuk efektif pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas

(17)

lebih dari 50% sedikit sebanyak 8 responden (53,33%). Lebih dari 50% responden mengeluarkan dahak sedang kemungkinan dipengaruhi keadaan pasien sehingga pasien sulit mengeluarkan dahak, karena disebutkan pada teori pasien memproduksi dahak setiap hari sebanyak 100 ml di saluran pernapasan sehingga memicu dahak menumpuk di saluran pernapasan dan responden dengan keadaan yang kurang baik seperti sesak, lemas, dan susah untuk batuk bisa memungkinkan responden kesulitan untuk mengeluarkan dahak. Oleh karena itu kebanyakan responden mengeluarkan dahak dalam jumlah yang sedikit.

Analisis peneliti berdasarkan observasi pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas pasien mengalami sesak, terdengar suara nafas seperti mengi, pusing, lemas. Hal ini dibutuhkan solusi untuk mengatasinya salah satunya dengan melakukan batuk efektif.

5. Suara Napas

Pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 2 orang (13,3%) responden yang mempunyai suara napas tidak normal, dan 13 orang (86,7%) responden mempunyai suara napas normal. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 1 orang (6,7%) responden yang masih mempunyai suara napas tidak normal dan 11 orang (93,3%) responden mempunyai suara napas normal. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan suara napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai p value = 0,867 > 0,05.

Dalam penelitia ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

(Budi Susatia, 2016) dalam penelitiannya, dimana peneliti membagi responden menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang diberikan latihan batuk efektif dan kelompok yang tidak diberikan latihan batuk efektif. Peneliti mendapatkan hasil yang sangat signifikan, sangat jelas bahwa setelah diberikan latihan batuk efektif sebagian besar responden 8 orang pada kelompok intervensi, kondisi bersihan jalan nafas kembali bersih (Ronchi (-), Secret (-)), setelah 24 jam post operasi, dan 2 responden (20%) yang belum mengalami pemulihan pada kondisi bersihan jalan nafas. (Roper, 1996).

Hal ini juga didukung oleh pernyataan Smeltzer (2001), bahwa batuk merupakan cara efektif dan efisien untuk mengeluarkan lendir di saluran pernapasan. Agar batuk jadi efektif maka perlu diberikan latihan batuk. Latihan batuk merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea, bronkhioli dari sekret dan benda asing. Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama klien yang mengalami operasi dengan general anstesi. Selain karena efek dari anastesi, pasien juga akan mengalami pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi teranastesi. Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan, karena mengalami gangguan pada bersihan jalan nafasnya. Dengan terasa banyak lendir kental di tenggorokan yang disertai dengan adanya bunyi nafas tambahan (ronchi). Timbulnya ronchi dikarenakan aliran udara pada jalan nafas terhambat oleh adanya penumpukan lendir yang berlebih. Dari hasil penelitian diketahui bahwa proses pembelajaran latihan batuk efektif pada fase post operasi sangat berpengaruh terhadap kondisi bersihan jalan nafas. Pemahaman tentang teknik latihan batuk efektif

(18)

yang lebih awal akan menyebabkan implementasi yang lebih efektif, sehingga tujuan yang ingin dicapai akan lebih mudah dan hasilnya lebih maksimal.

Analisis peneliti bahwa timbulnya suara napas tambahan dikarenakan adanya secret dijalan nafas yang tidak dikeluarkan atau dimobilisasai secara efektif, sehingga menyebabkan adanya bunyi nafas tambahan (ronchi). Dengan melakukan batuk efektif dapat memobilisasi secret yang berada di jalan nafas, karena dengan cara ini bagian basis paru dapat memperoleh aliran udara dan mencegah stagnasi sekret yang merupakan penyebab utama timbulnya bunyi nafas tambahan (ronchi).

6. Irama Napas

Pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 4 orang (26,7%) responden yang mempunyai irama napas tidak teratur, dan 11 orang (73,3%) responden mempunyai irama napas teratur. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 2 orang (13,3%) responden yang masih mempunyai irama napas tidak teratur dan 13 orang (84,7%) responden mempunyai irama napas teratur. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan irama napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,057 >0,05.

Penelitin ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Hendro Djoko Tj, 2015) dimana bersihan jalan nafas dapat juga dipengaruhi oleh pemberian anestesi inhalasi dimana tindakan ini dapat mengiritasi saluran nafas, menimbulkan batuk maupun spasme jalan nafas. Hasil uji Chi

Square diperoleh p=0,011 yaitu Ho ditolak dan H1 diterima. Hal ini dapat diartikan bahwa p < 0,05 dimana batuk efektif mempunyai pengaruh bermakna terhadap bersihan jalan nafas post operasi dengan anestesi inhalasi. Pengaruh yang sangat bermakna ini terjadi bila tercapai hasil yang maksimal yaitu pernafasan klien menjadi normal (16-20 x/menit), irama nafas teratur, sekret dapat keluar sedikit/dengan mudah mengeluarkan sekret banyak, tidak ada pergerakan cuping hidung, klien jarang.

Analisis peneliti bahwa latihan batuk efektif merupakan aktivitas perawat untuk membersihkan sekresi pada jalan nafas. Tujuan batuk efektif adalah meningkatkan mobilisasi sekresi dan mencegah resiko tinggi irama nafas tidak teratur. Pemberian batuk efektif dilaksanakan terutama pada klien dengan masalah keperawatan ketidak efektifan jalan nafas dan masalah resiko tinggi infeksi saluran pernafasan.

7. Frekuensi Napas

Pada penelitian ini dari 15 responden pada kelompok intervensi didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 4 orang (33,3%) responden yang mempunyai frekuensi napas tidak normal, dan 10 orang (66,7%) responden mempunyai frekuensi napas normal,. Setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram terdapat 5 orang (33,3%) responden yang masih mempunyai frekuensi napas tidak normal, dan 10 orang (66,7%) responden mempunyai frekuensi napas normal. Hasil uji statistik Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan frekuensi napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram dengan nilai P Value = 0,000 (p < 0,05).

(19)

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Sasono Mardiono, 2013) dimana hasil penelitiannya didapatkan rata-rata frekuensi pernafasan sebelum melakukan batuk efektif yaitu 23,37 kali per menit dengan standar deviasi 6,45, nilai minimum 8 dan maksimum 31, rata-rata frekuensi pernafasan sesudah melakukan batuk efektif yaitu 19,81 kali per menit dengan standar deviasi 4,17, nilai minimum 10 dan maksimum 25, ada perbedaaan yang signifikan antara frekuensi pernafasan sebelum dan sesudah tindakan latihan batuk efektif (p value = 0,000). Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 (oksigen) kedalam tubuh serta mengembuskan udara yang

banyak mengandung CO2

(karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebutkan ekspirasi.

Sistem pernapasan terdiri atas paru-oaru dan system saluran yang menghubungkan jaringan paru dengan lingkungan paru yang berfungsi untuk menyediakan oksigen untuk darah dan mengbuang karbondiosida. Menurut teori Parsudi, dkk (2002) dalam (Suddarth & Brunner, 2002) latihan nafas dalam adalah bernapas dengan perlahan dan menggunakan diafragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh.

Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2002) latihan nafas dalam bukanlah bentuk dari latihan fisik, ini merupakan teknik jiwa dan tubuh yang bisa ditambahkan dalam berbagai rutinitas guna mendapatkan efek relaks. Praktik jangka panjang dari latihan pernafasan dalam akan memperbaiki kesehatan. Bernafas pelan adalah bentuk paling sehat dari pernafasan

dalam. Menurut Mutaqin (2008) Batuk efektif adalah aktivitas perawat untuk membersihkan sekresi pada jalan nafas, yang bertujuan untuk meningkatkan mobilisasi sekresi dan mencegah risiko tinggi retensi sekresi.

Sedangkan menurut (Kapuk, 2012) batuk efektif merupakan latihan mengeluarkan secret yang terakumulasi dan mengganggu di saluran nafas dengan cara dibatukkan batuk efektif: merupakan suatu metode batuk dengan benar, dimana klien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal.

Hasil penelitian ini jugak sejalan dengan hasil penelitian Pranowo (2012), membuktikan bahwa latihan batuk efektif sangat efektif dalam pengeluaran sputum dan membantu membersihkan secret pada jalan nafas serta mampu mengatasi sesak napas pada pasien TB paru di ruang rawat inap Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus dan didukung juga oleh hasil penelitian Septherisa (2012) yang membuktikan bahwa adanya efektifitas latihan batuk efektif dalam peningkatan sekresi mucus dan membantu mengatasi sesak napas pada klien Asma Bronkial d I IRNA Penyakit Dalam Teratai Rumah Sakit AK. Gani (Septherisa, 2012).

Analisis peneliti bahwa latihan batuk efektif terbukti dapat mempengaruhi frekuensi pernafasan pasien. Tujuan batuk efektif adalah untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja bernapas, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernapasan yang tidak berguna, tidak terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan, mengurangi udara yang

(20)

terperangkap serta mengurangi kerja bernapas.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat pengaruh yang signifikan leukosit responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram.

2. Terdapat pengaruh yang signifikan suhu responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram.

3. Terdapat pengaruh yang signifikan batuk responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram.

4. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan sesak napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram. 5. Tidak terdapat pengaruh yang

signifikan suara napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram. 6. Tidak terdapat pengaruh yang

signifikan irama napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram. 7. Terdapat pengaruh yang signifikan

frekuensi napas responden sebelum dan setelah diberikan latihan batuk efektif terprogram.

B. Saran

1. Saran Bagi Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar Dengan adanya penelitian ini, diharapkan tenaga perawat mampu mengajarkan latihan batuk efektif yang baik dan benar serta mampu memantau pelaksanaan latihan tersebut, tepatnya pada pasien post operasi dengan general anastesi. Sehingga akan tercapai manfaat yang lebih maksimal. Pasien diharapkan menerapkan latihan batuk efektif setelah operasi jika

menggunakan general anastesi. Karena latihan tersebut mampu meningkatkan kondisi bersihan jalan napas, sehingga kondisi jalan napas tetap dalam kondisi yang bersih. Latihan ini bisa terus dilakukan sampai pasien benar-benar merasakan bahwa kondisi bersihan jalan napas sudah baik. 2. Bagi Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini sebagai bahan pustaka dalam pengembagan ilmu keperawatan selanjutnya dan sebagai acuan penelitian selanjutnya yang terkait dengan pengaruh latihan batuk efektif terprogram terhadap risiko infeksi pernapasan pada pasien post operasi laparatomi dengan general

anestesi.

3. Bagi penelitian

Untuk pengembangan penelitian keperawatan maka disarankan bagi calon peneliti selanjutnya dapat dilakukan dengan penelitian ulang yaitu penelitian yang sama, namun untuk mengetahui infeksi pernapasan dapat melalui kultur sputum.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M., (2017). Nursing Theory And

Their Work. USA.Vol.1 edisi ke-8:

Mosby Elsevier.

Allman,Richard M. et al., (2009). Pressure Ulcers, Hospital Complications, and Disease Severity : Impact on Hospital Costs and Length of Stay. Advances In Wound Care. 12(1),84-93.

Anaya, D.A., Dellinger, P.E., (2008). Surgical complications. Dalam: Townsend, C.M.,Beauchamp, R.D., Evers, B.M., Mattox, K.L. 2008.Sabiston Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 18 th ed. Philadelphia: Saunders, pp. 328-334

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui kondisi kontrol muatan pada JT Trosobo, dampak dari tidak terkontrolnya muatan kendaraan berat angkutan barang

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pengaruh sikap profesionalisme internal auditor terhadap peranan internal auditor dalam pengungkapan temuan

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Refrensi [5] menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh pendidikan kesehatan senam kaki melalui media audiovisual

Dan Apakah pembiayaan di BPRS Dana Amanah ini benar-benar termasuk pembiayaan murni Murabahah atau termasuk Hutang Piutang dalam jual beli ditinjau dari hukum Islam dan Fatwa

Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa relasi dukun dan calon kepala Desa Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa Seguring Kecil Pada tahun 2017 di sebabkan karena masyarakat masih

Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk.. Dengan melihat permasalahan dari tabel diatas yaitu besarnya dividen per lembar saham dari beberapa perusahaan terdapat perbedaan

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta Inayah-Nya dan memberikan kemudahan bagi penulis sehingga penulis

Hasil uji lipase (Gambar 7) menunjukkan bahwa ketiga isolat khamir adalah negatif yang ditandai dengan tidak adanya zona bening yang terdapat disekitar koloni khamir.. Hal