• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Empati. pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. A. Empati. pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Empati 1. Pengertian Empati

Menurut Watson dkk. (dalam Brigham, 1991), empati merupakan suatu kemampuan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain, dengan empati yang dimiliki berarti seseorang mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan bahwa empati adalah suatu kemampuan seseorang untuk merasakan emosi yang sama dengan emosi yang dialami oleh orang lain. Sejalan dengan pendapat tersebut, Johnson dkk. (1983) memberikan definisi empati sebagai kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Batson dan Coke (dalam Brigham, 1991) mendefinisikan empati sebagai suatu keadaan emosional yang dimiliki seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati juga merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dalam perasaan dan pikiran orang lain, tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan dan tanggapan orang tersebut (Koestner dan Franz, 1990).

Empati juga didefinisikan oleh Eissenberg dan Mussen (dalam Lindgren 1974) sebagai keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain dan mirip dengan keadaan atau emosi orang lain tersebut. Menurut Hoffman (1984), empati adalah suatu respons afeksi yang sepertinya dialami, tidak harus sama dengan situasi afeksi

12 12

(2)

orang lain, tetapi lebih jelas dirasakan bagi situasi orang lain daripada situasi diri sendiri. Empati merupakan kemampuan seseorang untuk menempatkan diri pada perasaan dan pikiran orang lain (Hurlock, 1991).

Gottman dan Claire (2003) mengemukakan bahwa dalam bentuk yang paling dasar empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Menurut Umar (1992) empati adalah salah satu kecenderungan untuk merasakan sesuatu yang dirasakan oleh orang lain andaikan dia dalam situasi orang lain tersebut. Suatu kecenderungan untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andaikata dia berada disituasi orang tersebut (Ahmad, 1998).

Menurut Johnson dkk. (1983), orang yang lebih empatik biasanya melukiskan dirinya sebagai orang yang lebih toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta bersifat humanistik. Salah satu karakteristik orang yang memiliki empati tinggi adalah bahwa ia lebih berorientasi pada orang yang sedang mengalami kesulitan dan cenderung untuk berusaha mengurangi kesulitan itu, tanpa banyak mempertimbangkan kerugian-kerugian yang akan diperoleh, seperti pengorbanan waktu, tenaga, atau biaya (Brigham, 1991). Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang kepada emosi diri sendiri, maka akan semakin terampil seseorang membaca perasaan. Eissenberg dan Strayer (dalam Supeni, 1999) mengatakan bahwa empati telah sejak lama dianggap sebagai perilaku yang positif terhadap orang lain. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa individu yang memiliki tingkat empati yang tinggi lebih banyak melakukan

(3)

tindakan prososial dibandingkan mereka yang tingkat empati yang rendah (Baron dan Byrne, 1997).

Setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam berempati. Reaksi orang terhadap orang lain seringkali berdasarkan pada pengalaman masa lalu. Seseorang biasanya akan merespons pengalaman orang lain secara lebih empatik apabila ia mempunyai pengalaman yang mirip dengan orang tersebut (Staub, 1978). Untuk bisa berempati, seseorang harus mengamati dan menginterpretasikan perilaku orang lain. Ketepatan dalam berempati bergantung pada kemampuan seseorang untuk menginterpretasi informasi-informasi yang diberikan oleh orang lain tentang situasi internalnya lewat perilaku dan sikap-sikap mereka (Lindgren, 1974). Menurut pendapat Davis (1980) definisi empati adalah keampuan atau keadaan mental seseorang untuk dapat menyadari dan memahami perasaan orang lain melalui bahasa verbal maupun nonverbal yang muncul dimana meliputi kapasitas afektif untuk merasakan perasaan orang lain dan kapasitas kognitif unuk memahami perasaan serta sudut pandang orang lain.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan diri kedalam perasaan dan pikiran orang lain serta melihat situasi dari sudut pandang orang lain, tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan dan tanggapan orang tersebut.

(4)

2. Aspek-aspek Empati

Para ahli membedakan respons empati menjadi dua komponen, yaitu respons kognitif dan respons afektif (Koestner dan Davis, dalam Lindgren, 1974).

a. Komponen kognitif

Difokuskan pada proses-proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain secara tepat. Di sini, seseorang diharapkan untuk mampu membedakan emosi-emosi orang lain dan menerima pandangan-pandangan mereka.

b. Komponen afektif

Diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan-perasaan emosional orang lain.

Selanjutnya Davis (1983) menjabarkan komponen empati tersebut menjadi sebagai berikut:

a. Komponen kognitif, terdiri atas:

1. Perspective taking (pengambilan perspektif)

Merupakan kecenderungan seseorang untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang orang lain.

2. Fantasy (fantasi)

Merupakan kecenderungan untuk mengubah diri ke dalam perasaan, pikiran, dan tindakan dari karakter-karakter khayalan yang terdapat pada buku, layar kaca, bioskop maupun dalam permainan-permainan. b. Komponen afektif, terdiri atas:

1. Empathic concern (perhatian empatik)

(5)

Merupakan perasaan simpati dan peduli kepada orang lain yang ditimpa kemalangan, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.

2. Personal distress (distres pribadi)

Merupakan reaksi pribadi pada situasi interpersonal terhadap penderitaan orang lain yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas, prihatin, dan tidak berdaya.

Batson dan Ahmad (2010) membagi empati ke dalam dua bentuk, yaitu: a. Perspective taking (pengambilan perspektif), terdiri atas:

1. Imagine-self perspective (membayangkan perspektif diri sendiri) Aktivitas membayangkan bagaimana seseorang berpikir dan merasakan apabila ia berada pada kondisi atau posisi orang lain. Imajinasi tersebut berpusat pada pikiran dan perasaan diri sendiri. 2. Imagine-other perspective (membayangkan perspektif orang lain)

Merupakan kemampuan untuk membayangkan apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Selain seseorang dapat membayangkan kondisinya apabila ia berada pada posisi seperti apa yang dialami oleh orang lain, ia juga dapat membayangkan bagaimana orang lain berpikir dan merasakan pada situasi itu. Imajinasi tersebut didasarkan pada apa yang orang lain katakan, lakukan, nilai-nilai, dan keinginan-keinginan orang lain tersebut.

b. Emotional response, terdiri atas:

1. Emotion matching (kesesuaian emosi)

(6)

Menangkap emosi yang dimunculkan oleh orang lain sehingga ia memiliki emosi yang sama dengan emosi orang lain itu.

2. Empathic concern (perhatian empatik)

Merupakan kemampuan merasakan apa yang sedang orang lain butuhkan. Dalam literatur psikologi sosial, term empati dan empathic

concern telah sering digunakan untuk menjelaskan sebuah respons

emosional lain yang ditimbulkan oleh orang lain dan sesuai dengan kondisi orang lain (Taufik, 2012).

Dari beberapa penjelasan tersebut, penulis mengambil aspek-aspek empati berdasarkan aspek yang dikemukakan Davis (1983) meliputi: Perspective

taking (pengambilan perspektif), fantasi, Empathic concern (perhatian

empatik) dan Personal distress (distres pribadi).

3. Perkembangan Empati

Daniel Goleman (2001) memaparkan penelitian Marian Radke Yarrow dan Carolyn Zahn Waxler, menurut kedua peneliti tersebut anak-anak akan menjadi lebih simpatik bila kedisiplinan juga menjadi suatu perhatian dengan sungguh-sungguh atas keburukan yang disebabkan oleh kenakalan mereka. Empati seorang anak juga dibentuk dengan meniru apa yang telah merreka lihat. Anak-anak mengembangkan respon empati terutama untuk menolong orang lain yang sedang kesusahan.

Berdasarkan hasil studi ditemukan bahwa akar dari empati itu sudah mulai tumbuh sejak bayi. Pada saat ada salah satu bayi menangis, bayi yang lain pun akan ikut menangis, respon tersebut oleh para ahli dianggap sebagai

(7)

tanda awal empati. Para ahli psikologi perkembangan anak menemukan bahwa bayi akan merasakan beban stress simpatik, bahkan sebelum bayi tersebut menyadari bahwa keberadaanya terpisah dari orang lain. Bayi memiliki reaksi akan adanya gangguan ini ditunjukan padanya. Bayi menangis bila anak lain menangis (Golleman, 1999).

Hoffman (dalam Borba, 2008) mengemukakan bahwa perkembangan empati anak-anak terbagi dalam tahapan yang dijelaskan sebagai berikut: 1. Tahap 1 : Empati Umum (bulan-bulan pertama kelahiran)

Pada tahap awal anak belum dapat membedakan dengan tegas antara dirinya dan lingkungannya, sehingga anak tidak dapat memahami penderitaan orang lain karena menganggap bahwa penderitaan itu sebagai bagian dari dirinya.

2. Tahap 2 : Empati Egosentris (mulai usia 1 tahun)

Semakin bertambah umur, reaksi seorang anak kepada anak lain yang sedang menderita perlahan-lahan mulai berubah. Anak sekarang memahami ketidaknyamanan sebagai bukan bagian dari dirinya.

3. Tahap 3 : Empati Emosional (usia 2 – 6 tahun)

Pada saat usia dua atau tiga tahun, seorang anak mulai mengembangkan kemampuan memerankan orang lain. Anak mengenali bahwa perasaan seseorang mungkin berbeda dari perasaannya, dapat sangat baik menemukan sumber-sumber penderitaan orang lain, dan menemukan cara sederhana memberikan bantuan atau menunjukkan dukungan.

(8)

4. Tahap 4 : Empati Kognitif (usia 6-11 tahun)

Pada tahap ini seorang anak dapat memahami persoalan dari sudut pandang orang lain, sehingga ada peningkatan usahanya mendukung dan membantu kebutuhan orang lain.

5. Tahap 5 : Empati Abstrak (mulai usia 12)

Pada tahap ini anak dapat memperluas empatinya melampaui hal-hal yang diketahui secara pribadi dan mengamati langsung kelompok masyarakat yang memang belum pernah ditemui.

Hoffman (dalam Goleman, 1999) menyatakan bahwa akar moralitas berada dalam empati karena dengan seseorang dapat merasa seperti dalam berbagai kesusahan, maka ia akan tergerak untuk membantu. Empati tidak hanya membuat seseorang menjadi orangtua, kekasih, anggota keluarga, dan rekan kerja yang memahami, mencintai, dan peduli, tetapi juga manusia yang lebih baik. Orang-orang yang tidak kenal, sama sekali asing, mulai menjadi penting karena ketika melihat dan mendengar penderitaan mereka, empati dapat membuat seseorang menjadi merasakan dan ingin menanggapi serta membantu dengan berbagai cara (Segal, 1997). Setiap orang yang mempunyai empati yang baik dapat membaca pesan nonverbal dari orang-orang yang berada di sekitarnya seperti dari ekspresi wajah, nada bicara, ataupun dari gerak-gerik tubuh seseorang (Goleman, 1999). Hoffman berpendapat bahwa empati merupakan respons afektif seseorang yang sangat sesuai dengan situasi orang lain yang diamati. Empati adalah suatu bentuk keterampilan, sehingga empati adalah suatu hal yang bisa dipelajari (Mayeroff dalam Egan, 1990).

(9)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Empati

Denham (dalam Borba, 2008) mengemukakan faktor-faktor yang pada umumnya dapat mendorang pengembangan empati adalah sebagai berikut: a. Usia

Kemampuan untuk memahami perspektif orang lain akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Anak yang lebih besar umumnya lebih dapat berempati daripada anak masih kecil.

b. Gender

Denham (dalam Borba, 2008) mengemukakan bahwa anak yang masih kecil cenderung lebih berempati terhadap teman yang memiliki gender sama, karena memiliki banyak kesamaan. Empati anak perempuan dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki, menurut penelitian yang dilakukan Garton dan Gringart (2005).

c. Intelegensia

Anak yang lebih cerdas biasanya lebih dapat menenangkan orang lain karena lebih dapat memahami kebutuhan orang lain dan berusaha mencari cara untuk membantu.

d. Pemahaman emosional

Anak-anak yang secara bebas mengekspresikan emosi biasanya lebih berempati karena lebih mampu memahami degan tepat perasaan orang lain.

e. Orangtua yang berempati

Anak-anak yang memiliki orangtua yang berempati cenderung akan menjadi anak-anak yang berempati pula karena mencontoh perilaku

(10)

orangtua. Cara orangtua menunjukkan empati dan mengungkapkan perasaan akan ditiru oleh anak karena menurut teori pembelajaran social anak akan mempelajari perilaku melalui pengamatan.

f. Rasa aman secara emosional

Anak-anak yang asertif dan mudah menyesuaikan diri cenderung suka membantu orang lain.

g. Temperamen

Anak-anak yang ceria dan mudah bergaul biasanya lebih dapat berempati terhadap orang lain yang sedang stress.

h. Persamaan kondisi

Anak-anak akan lebih mudah berempati terhadap orang lain yang memiliki kondisi yang sama dengan dirinya.

i. Ikatan

Anak-anak akan lebih dapat berempati terhadap teman daripada orang belum dikenalnya.

Ginting (2009) menyebutkan pula faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan empati, yaitu:

a. Jenis kelamin

Berdasarkan beberapa penelitian diketahui, bahwa perempuan mempunyai tingkat empati yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan laki-laki. Persepsi stereotip ini didasarkan pada kepercayaan bahwa perempuan lebih

nurturance (bersifat memelihara) dan lebih interpersonal dibandingkan

laki-laki (Parsons dan Bales dalam Eissenberg dan Strayer, 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Marcus (Eissenberg dan Strayer, 1987)

(11)

berupa cerita hipotetik yang diajukan untuk melihat respons empati. Didapatkan bahwa anak perempuan lebih empatik dalam merespons secara verbal keadaan distres orang lain. Beck (1995) dalam penelitiannya menemukan hasil ada perbedaan dalam hubungan antara orientasi eksternal dan internal. Perempuan lebih berorientasi eksternal (orientasi pada orang lain), sedangkan laki-laki lebih berorientasi internal (orientasi pada diri sendiri).

b. Keluarga

Perkembangan empati lebih besar terjadi pada lingkungan keluarga yang memberikan kepuasan pada kebutuhan emosional anak dan tidak terlalu mementingkan kepentingan pribadi, mendorong anak untuk mengalami emosi dan mengekspresikan emosinya, memberikan kesempatan unutk mengobservasi dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mengasah kepekaan dan kemampuan emosi (Barnett dkk., 1979).

c. Pola asuh

Franz (dalam Koetsner, 1990) menemukan adanya hubungan yang kuat antara pola asuh pada awal masa anak-anak dengan empathic concern. Anak yang mempunyai ayah yang terlibat baik dalam pengasuhan serta ibu yang sabar dalam menghadapi ketergantungan anak (tolerance of

dependency), maka anak tersebut akan mempunyai empati yang lebih

tinggi. d. Usia

Kemampuan berempati akan semakin bertambah dengan meningkatnya usia, karena bertambahnya pengalaman perspektif seseorang (Mussen

(12)

dkk., 1989). Usia juga akan mempengaruhi proses kematangan kognitif dalam diri seseorang.

e. Kepribadian

Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang tinggi pula (Koestner, 1990). Sedangkan individu yang mempunyai self direction, need for achievement, dan need of power tinggi akan mempunyai tingkat empati yang rendah. f. Variasi situasi, pengalaman, dan objek respons

Tinggi rendahnya kemampuan berempati seseorang akan sangat dipengaruhi oleh situasi, pengalaman, dan respons empati yang diberikan. Secara umum anak akan lebih berempati pada orang lain yang lebih mirip dengan dirinya dibandingkan dengan orang yang mempunyai perbedaan dengan dirinya (Krebs, 1987).

g. Derajat kematangan

Gunarsa dan Gunarsa (1979) mengatakan bahwa empati itu dipengaruhi oleh derajat kematangan. Maksud derajat kematangan adalah besarnya kemampuan seseorang dalam memandang sesuatu secara proporsional. h. Sosialisasi

Semakin banyak dan semakin intensif seorang individu melakukan sosialisasi, maka akan semakin terasah kepekaannya terhadap emosi orang lain. Matthews (dalam Hoffman, 1996) menyatakan beberapa hal yang menjadikan sosialisasi sebagai komponen yang berpengaruh terhadap empati, yaitu:

(13)

1) Sosialisasi membuat seseorang mangalami banyak emosi,

2) Sosialisasi dapat membuat seseorang mengamati secara langsung situasi internal orang lain,

3) Sosialisasi dapat membuka terjadinya proses role taking,

4) Dalam sosialisasi banyak afeksi sehingga seseorang akan menjadi lebih terbuka terhadap kebutuhan emosi orang lain,

5) Dalam sosialisasi ditemukan banyak model yang dapat memberikan banyak contoh kebiasaan prososial dan perasaan empati yang dinyatakan secara verbal.

Ada pula usaha-usaha yang dapat meningkatkan empati anak (Baumrind dalam Eissenberg dan Mussen, 1989), yaitu:

a. Kehangatan dan keterlibatan

Adanya sikap orangtua yang hangat terhadap anak yang ditunjukkan oleh kepekaan, tanggapan terhadap kebutuhan anak, dan ekspresi afeksi.

b. Kontrol

Orangtua memberikan batasan dan kontrol terhadap perilaku dan aktivitas anak, tetapi hal itu tidak mengekang atau membebaskan anak. Penerapan aturan atau kontrol dilakukan dengan memberikan penjelasan yang rasional pada anak, melibatkan pemahaman anak, dan bersifat terbuka. c. Tuntutan kematangan

Orangtua menuntut anak agar anak-anaknya mandiri dan bertanggung jawab. Orangtua menginginkan anak memiliki kematangan sosial, intelektual, dan emosi. Salah satu cara untuk melatih kematangan tersebut

(14)

adalah memberikan anak tanggung jawab terhadap tugas-tugas kerumahtanggaan.

d. Komunikasi

Terdapat komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. Orangtua mengajak anak berbicara, berdikusi, dan memberi kesempatan anak untuk mengemukakan pendapat dan perasaannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan empati, yaitu: jenis kelamin, keluarga, pola asuh, usia, kepribadian, derajat kematangan, sosialisasi, variasi situasi, pengalaman, dan objek respons. Orangtua dan pendidik berperan penting dalam proses peningkatan empati pada anak. Komunikasi yang hangat, kontrol terhadap perilaku, mengajak anak berdiskusi dan memberikan anak kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan perasaannya akan membuat anak matang secara sosial, intelektual, dan emosi.

5. Langkah-langkah Membangun Empati

Samsulridjal dan Supartondo (2004) mengemukakan tentang langkah-langkah menumbuhkan kemampuan berempati yaitu :

a. Berkonsentrasi menangkap perasaan dengan cara memusatkan perhatian dan meningkatkan kepedulian terhadap orang lain.

b. Peduli dengan orang lain dengan menganggap penting dan menghormati keberadaanya.

(15)

c. Menghormati orang lain yang sedang berperilaku, salah satunya dilakukan dengan cara mendengarkan keluhan dan ikut merasakan perasaan orang lain.

d. Berlatih menilai perasaan orang lain dengan tujuan meningkatkan ketrampilan menilai perasaan, sehingga akan mempermudah menghadapi situasi perasaan orang lain yang berbeda-beda.

Langkah-langkah memupuk empati pada anak juga dikemukakan oleh Gottman dan DeClaire (2003) antara lain:

a. Menyadari emosi anak tersebut

Melatih empati diperlukan kesadaran dari diri individu untuk merasakan emosi, kesadaran yang mudah adalah mengenali emosi diri dengan mengindentifikasi perasaan-perasaan yang ada, baru kemudian hadirnya emosi-emosi orang lain

b. Mengenali emosi sebagai peluang untuk menjadi akrab dan untuk mengajarkan pada anak

Kesadaran bahwa setiap anak memiliki sisi emosi yang berbeda, membuat orangtua memberikan respon yang berbeda pada tiap anak. Dengan mengenali emosi anak, akan menolong orangtua mempelajari bagaimana memahami permasalahan yang ada pada seorang anak.

c. Mendengarkan dengan penuh empati perasaan anak

Memahami dan mendengarkan anak mengungkapkan pendapat akan lebih bermanfaat dari pada mengajukan pertanyaan yang mengandung unsur menyelidik.

d. Mendorong anak untuk memberi nama emosi dalam kata-kata

(16)

Member nama emosi dalam kata-kata ini merupakan hal mudah namun sangat penting dalam menolong anak mengenali emosinya sendiri. Orangtua dapat merumuskan masalah dari berbagai perasaan yang ada seperti cemas, sakit hati, marah, senang, takut dan lain-lain.

e. Menentukan batas-batas sambil menolang anak memecahkan masalahnya Menurut Borba (2008), langkah-langkah untuk membangun empati anak adalah sebagai berikut:

a. Membangkitkan keadaran anak memahami emosi dan meningkatkan pembendaharaan ungkapan emosi

Daya empati anak sebagian besar terhambat karena anak tidak mampu mengidentifikasi dan mengekspresikan emosinya (Borba 2008). Terdapat 4 hal yang perlu dilakukan untuk membantu anak memahami emosi yaitu dengan “TALK”, yang diuraikan sebagai berikut:

T-Time in : perhatikan perasaan anak dan dengarkan dengan empati A-Acknowledge : ketahui penyebab timbulnya empati

L-Label : kenali perasaan anak

K-Kindle : cari pemecahan masalah untuk memenuhi kebutuhannya

Keempat hal tersebut tidak harus diterapkan secara berurutan, cukup diterapkan secara wajar dalam percakapan dengan anak.

b. Meningkatkan kepekaan anak terhadap perasaan orang lain

Individu yang peka adalah individu yang mampu melihat gejala emosi yang ditunjukan oleh orang lain, menginterpretasikan emosi dan mampu mengambil tindakan yang tepat. Terdapat beberapa cara untuk menumbuhkan kepekaan anak, yaitu:

(17)

- Memuji anak ketika melakukan perbuatan baik dan menunjukkan kepekaan

- Menunjukkan efek sikap peka yang dilakukan anak

- Mengajak anak untuk memperhatikan tanda-tanda emosi nonverbal - Sering mengajukan pertanyaan, “Bagaimana perasaan orang itu?” - Mengajukan pertanyaan yang memancing anak memahami perasaan

dan kebutuhan orang lain

- Mengungkapkan perasaan orangtua kepada anak dan jelaskan mengapa merasa demikian.

c. Mengembangkan empati terhadap sudut pandang orang lain

Stotland (dalam Borba, 2008) melakukan penelitian dan menemukan bahwa empati dapat ditumbuhkan dengan mendorong anak membayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain. Terdapat beberapa cara untuk membantu anak membayangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain serta melihat hal-hal di luar dirinya, yaitu :

- Bertukar peran agar merasakan apa yang dirasakan orang lain - Menggunakan teknik, “Cobalah berada di posisiku”

- Meminta anak membayangkan apa yang dirasakan orang lain dalam kondisi tertentu.

Empati terbentuk ketika orang dapat menyadari dan mengenali berbagai bentuk emosi. Dari berbagai pendapat yang dikemukaan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah menumbuhkan empati pada anak yaitu membangkitkan kesadaran anak memahami emosi dan meningkatkan perbendaharaan ungkapan emosi, meningkatkan kepekaan anak

(18)

terhadap perasaan orang lain, serta mengembangkan empati terhadap sudut pandang orang lain.

(19)

B. Dongeng

1. Pengertian Dongeng

Dongeng merupakan cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita, dan dongeng tidak terikat waktu maupun tempat. Dongeng dibacakan terutama sebagai suatu hiburan, walaupun banyak juga dongeng yang menceritakan kebenaran, berisi ajaran moral, bahkan sindiran (Agus, 2008).

Mendongeng berbeda dengan bercerita, bercerita adalah suatu seni dalam menyampaikan suatu ilmu, pesan, nasehat kepada orang lain baik anak, remaja, dewasa, maupun orangtua. Sedangkan mendongeng lebih banyak disisipi khayalan yang dikembangkan dengan menarik (Mal, 2008). Cerita juga dapat diartikan sebagai peristiwa yang disampaikan baik berasal dari kejadian nyata (non-fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi), peristiwa yang disampaikan secara tertulis dan lisan dari kejadian nyata atau pun tidak nyata. Sedangkan dongeng berarti cerita rekaan, tidak nyata, atau fiksi dan dongeng merupakan hasil karya berdasarkan rekayasa imajinatif seorang penulis (Hana, 2011). Artinya dongeng sudah pasti cerita dan cerita belum tentu dongeng.

Secara luas, mendongeng dapat diartikan sebagai membacakan cerita atau mengkomunikasikan cerita kepada anak. Dongeng biasanya disampaikan kepada anak sebelum tidur hingga anak tertidur pulas, dengan cara bercerita langsung maupun dengan membaca buku dongeng. Oleh karena itu sebaiknya dongeng yang disampaikan memiliki efek positif yang tinggi bagi perkembangan mental anak.

(20)

Dongeng adalah aktivitas yang sangat disukai oleh anak-anak, metode bercerita menjadi efektif karena cerita pada umumnya lebih berkesan daripada nasihat sehingga cerita itu terekam jauh lebih kuat di dalam memori seorang anak. Bercerita menjadi suatu yang penting bagi anak karena:

a. Bercerita adalah alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak.

b. Bercerita adalah metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar ketrampilan lain, yakni berbicara, membaca, dan menulis.

c. Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati.

d. Bercerita memberikan pelajaran budaya dan budi pekerti yang memiliki efek yang lebih kuat daripada yang diberikan melalui penuturan atau perintah langsung.

e. Bercerita memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu permasalahan dengan baik sekaligus memberi pelajaran tentang cara mengendalikan keinginan-keinginan yang dinilai negatif oleh masyarakat.

2. Macam-macam Dongeng

Dongeng memiliki beberapa jenis, diantaranya yaitu: 1. Mite

Menurut Poerwadarminto (1985) mite adalah cerita yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

(21)

2. Dongeng futuristik (modern)

Dongeng futuristik (modern) disebut juga dongeng fantasi. Dongeng ini biasanya bercerita tentang suatu yang fantastik atau tentang masa depan.

3. Fabel

Fabel merupakan dongeng tentang binatang yang digambarkan seperti manusia (perilaku kehidupan hewan yang menceritakan atau menyidir kehidupan manusia). Binatang-binatang dalam cerita ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia (Mal, 2008).

4. Dongeng sejarah

Dongeng sejarah biasanya terkait dengan suatu peristiwa sejarah. Dongeng ini banyak yang bertema tetang kepahlawanan. Seperti tentang perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Dongeng sejarah disebut juga dengan sage. Menurut Poerwadarminto (1985) sage adalah cerita yang mendasarkan peristiwa sejarah yang telah bercampur dengan fantasi rakyat.

5. Dongeng Terapai (Traumatic Healing)

Dongeng ini ditujukan kepada anak-anak yang telah mengalami suatu bencana atau anak-anak yang sedang sakit. Dongeng ini membuat rileks saraf-saraf otak dan menenangkan hati mereka.

3. Tahap-Tahap Menyajikan Dongeng Sesuai Usia Anak

Hana (2011) menjelaskan bahwa, tahapan anak untuk mendapatkan dongeng sesuai dengan perkembangannya yaitu :

(22)

1. Di dalam kandungan

Sejak indera pendengaran bayi mulai berfungsi dalam kandungan, dongeng sudah dapat dibacakan kepadanya. Meskipun bayi belum bisa memahami betul apa yang anda ceritakan tetapi perubahan ekspresi dan intonasi dapat memancingnya untuk mengeksplorasi lebih lanjut dongeng yang diceritakan.

2. Bayi usia 6 bulan hingga anak usia 2 tahun

Anak di usia ini belum dapat berfantasi atau mengartikan sebuah cerita dengan luas, namun anak dapat memahami suatu cerita tersebut dengan mudah melalui ekspresi pembawa cerita. Memasuki usianya yang ke 2 tahun, anak sudah mulai dapat menangkap isi sebuah dongeng dan menghafal suatu dongeng, sehingga dia dapat mengingat dan mengulang kembali dongeng yang didengarnya.

3. Anak usia 2 – 4 tahun

Anak diusia 2 – 4 tahun berada dalam fase pembentukan, dia sangat suka mempelajari tentang manusia dan kehidupan yang membuat anak diusia ini senang meniru tingkah laku orang dewasa. Anak sudah pandai berfantasi yang puncaknya pada usia 4 tahun. Anak sudah mualai dapat mengagumi dan suka membayangkan dirinya sebagai tokoh di dalam dongeng yang didengarnya.

4. Anak usia 4 – 7 tahun

Anak di usia ini sudah dapat dikenalkan dongeng-dongeng yang lebih kompleks. Di usia 7 tahun anak dapat diajarkan untuk membaca dongeng sendiri, dengan membaca cerita kesukaannya atau majalah yang

(23)

digemarinya. Di usia ini anak juga lebih menyukai cerita tentang masa kecil orangtua atau neneknya, cerita tentang bagaimana orangtuanya melalui masa-masa sedih maupun gembira. Disinilah anak dapat ditanamkan budi pekerti, dan nilai-nilai luhur, menanamkan moral, serta melatih berpikir rasional praktis.

5. Anak usia 8 – 12 tahun

Karakter anak diusia ini sudah mulai kompleks dan mulai menyukai intrik. Cerita yang berbau petualangan dan sedikit roman dapat diberikan.

Pada saat mendengarkan dongeng, pastikan anak sudah dalam posisi dan kondisi yang nyaman.

4. Teknik bercerita

Hana (2011) menjelaskan bahwa terdapat beberapa teknik mendongeng, antara lain:

1. Membaca dari buku cerita

Teknik membaca dongeng secara langsung dari buku cerita. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan buku cerita yang sarat akan pesan-pesan baik di dalamnya.

2. Mendongeng dengan ilustrasi dari buku

Teknik ini hanya menggunakan ilustrasi dari buku cerita yang diplih. Ilustrasi harus menarik dan lucu sehingga anak dapat mendengarkan dan memusatkan konsentrasinya.

(24)

3. Menceritakan dongeng

Mendongeng merupakan suatu cara untuk meneruskan warisan suatu budaya yang bernilai luhur dari suatu generasi ke generasi. Menceritakan dongeng tersebut kepada anak membantu anak mengenal budaya leluhurnya dan menyerap pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. 4. Mendongeng dengan menggunakan boneka

Pemilihan teknik ini tergantung pada usia dan pengalaman anak. Boneka yang digunakan mewakili tokoh yang ada didalam cerita yang disampaikan.

5. Dramatissasi atas suatu dongeng

Teknik ini digunakan untuk memainkan perwatakan tokoh dalam dongeng yang disukai anak. Anak akan turut serta memainkan watak tokoh yang dia sukai sesuai imajinasinya.

6. Mendongeng sambil memainkan jari-jari tangan

Jari-jari tangan akan dapat menggambarkan tokoh yang berada dalam cerita tersebut.

Terdapat pula trik mendongeng agar lebih menarik dengan beberapa cara, diantaranya menggunakan kata-kata yang mudah dipahami anak, mengatur intonasi, mengoptimalkan gerakan tangan, gerakan mata, mimic muka, menggunakan alat peraga, melibatkan gambaran perasaan, dan berbagai improvisasi lainnya. Dengan menggunakan trik tersebut anak akan mudah memahami isi cerita yang dibawakan.

(25)

5. Manfaat Dongeng

Dongeng merupakan sarana yang dapat membantu tumbuh kembang anak, dapat memberikan teladan yang baik bagi anak, memberikan contoh sikap atau perbuatan terpuji yang harus dikembangkan dan sikap atau perbuatan buruk yang tidak boleh dilakukan anak. Dengan dongeng kita juga dapat memotivasi anak. Biasanya, seorang anak ketika mendengarkan cerita berimajinasi sebagai tokoh protagonis yang berhasil memecahkan masalah dalam cerita tersebut. Seorang anak senantiasa membayangkan dirinya sebagai jagoan dalam sebuah cerita. Di sinilah kesempatan untuk dapat menyemangati dan memotivasi anak melalui sebuah dongeng. Dengan dongeng juga mengajarkan cara berkomunikasi. Keuntungan lain, membacakan dongeng atau cerita bagi anak yang belum dapat berbicara juga dapat menjadi media pembelajaran bagi si anak untuk berbicara. Dengan menceritakan dongeng maka akan merangsang kemampuan berkomunikasi verbal anak. Dongeng dapat memperluas wawasan dan pengalaman hidup anak (Bunata, 2004). Menurut Robbins dkk (dalam Irenaningtyas 2001), ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh anak saat mendengarkan bacaan cerita, antara lain isi cerita dapat digunakan sebagai sarana pendidikan, anak dapat ikut berpikir tentang cara penyelesaian masalah melalui jalan cerita, anak dapat mengenal kata-kata baru sehingga dapat menambah kosa kata, mengenalkan nuansa bahasa kepada anak, anak dapat berkonsentrasi dan berimajinasi.

Mendongeng adalah aktivitas yang sangat bermanfaat, beberapa manfaat dongeng untuk anak adalah (Fadhila, 2012) :

1. Merangsang kekuatan berpikir

(26)

Dongeng merangsang dan menggugah kekuatan berpikir, anak dapat membentuk visualisasinya sendiri dari cerita yang didengarnya. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dalam dongeng tersebut, dan lama-kelamaan anak akan dapat mengembangkan kreatifitasnya sendiri.

2. Sebagai media efektif

Dongeng merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai etika kepada anak bahkan untuk memenuhi rasa empati. Misalnya nilai nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, dan kerja keras, juga tentang kebiasaan sehari-hari yang baik, seperti berdoa, makan sayur, makan buah, dan menggosok gigi. Anak juga diharapkan lebih mudah menyerap berbagai nilai karena dongeng tidak bersikap meminta atau menngurui, tokoh cerita dalam dongeng tersebutlah yang diharapkan menjadi contoh atau teladan bagi anak.

3. Mengasah kepekaan anak terhadap bunyi-bunyian

Saat mendongeng, bakat akrobatik dalam suara sangat berguna. Saat menirukan suara seorang nenek yang gemetar dan tidak terlalu jelas misalnya. Suara seorang anak, seorang bapak, atau binatang berbeda dalam membawakannya. Kata-kata yang lebih dipertegas atau diberikan tekanan intonasi yang tepat, akan lebih berarti dan mengena dalam sebuah dongeng.

4. Menumbuhkan minat baca

Dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca pada anak. Setelah mendengar dongeng yang dia senangi, diharapkan ank

(27)

juga tertarik untuk mencari tahu sendiri dengan membaca sendiri dongeng yang mungkin digemarinya.

Tanpa disadari, orangtua (khususnya ibu) yang sering membacakan atau bercerita kepada anaknya sejak kecil, ternyata mampu menciptakan anak-anak yang mencintai buku dan gemar membaca ketika mereka sudah besar (Asfandiyar, 2007).

5. Menumbuhkan rasa empati

Tokoh-tokoh yang berada dalam suatu dongeng atau yang disampaikan pendongeng akan terasa hidup. Anak akan terbiasa membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Bahkan anak akan menjadikan tokoh yang baik menjadi idolanya. Dongeng akan menumbuhkan rasa empati dengan membangkitkan emosi dan dapat menjadi contoh teladan dalam kehidupan apabila tersampaikan dengan tepat. Hal ini akan berdampak besar dalam proses perkembangan anak.

Mendongeng juga membantu perkembangan psikologis dan kecerdasan emosional anak, serta beberapa manfaat lain (Soelastri Soekirno kompas.com, 5 Oktober 2012) yaitu:

1. Mengembangkan imajinasi anak

Dunia anak adalah dunia yang penuh imajinasi. Anak usia 3-7 tahun memiliki “dunia”-nya sendiri, bahkan mempunyai teman khayalan sebagai teman mereka bermain. Hal ini sebenarnya tidak salah karena bisa membantu proses perkembangan mereka. Namun, sebaiknya orangtua tetap mengontrol imajinasi meeka agar tetap positif, salah satunya melalui

(28)

pembacaan dongeng. Melalui dongeng yang dibacakan sang ibu, imajinasi anak akan diarahkan dengan lebih baik.

2. Meningkatkan keterampilan berbahasa

Mendengarkan dongeng merupakan salah satu stimulasi dini yang bisa digunakan untuk merangsang keterampilan berbahasa pada anak. Menurut penelitian, anak perempuan lebih cepat menguasai kemampuan berbahasa dibandingkan anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena anak perempuan memiliki fokus dan konsentrasi yang lebih baik daripada laki-laki.

Kemampuan awal yang dikuasai anak-anak adalah kemampuan verbal, sehingga otak kanan mereka lebih berkembang dan keterampilan berbahasanya lebih terlatih. Selain itu, kisah-kisah dongeng yang positif akan membantu anak bertutur kata dalam bahasa yang sopan.

3. Meningkatkan minat baca anak

Secara tak langsung, anak-anak yang memiliki ketertarikan pada dongeng akan memiliki rasa penasaran yang lebih tinggi. Cara yang paling mudah untuk mendongeng adalah dengan membacakan buku cerita kepada mereka. Ketika tertarik pada dongeng, mereka menjadi lebih tertarik pada buku-buku cerita bergambar. Dengan sendirinya, minat baca mereka juga meningkat.

4. Membangun kecerdasan emosional

Selain mendekatkan keakraban ibu dan anak, mendongeng ternyata bisa membangun kecerdasan emosional anak. Anak-anak akan belajar tentang nilai-nilai moral dalam kehidupan. Anak-anak kecil sulit untuk belajar tentang berbagai hal yang abstrak, seperti kebaikan pada sesama. Tetapi

(29)

dengan dongeng, anak akan terbantu dalam memahami nilai-nilai emosional pada sesama.

Anak-anak sekarang ini kebanyakan hanya memiliki kepandaian kognitif saja, padahal kepandaian emosional juga dibutuhkan untuk bersosialisasi dan berbuat baik pada sesama sebagai bekal kehidupan mereka.

5. Membentuk anak yang mampu berempati

Stimulasi melalui dongeng akan mampu merangsang kepekaan anak usia 3-7 tahun terhadap berbagai situasi sosial. Mereka akan belajar untuk lebih berempati pada lingkungan sekitarnya. Stimulasi akan lebih baik jika dilakukan dengan merangsang indera pendengaran dibandingkan visual. Stimulasi visual melalui televisi atau game memang akan merangsang kepandaian visual, namun tidak akan merangsang kepekaan perasaan dan empati anak. Dengan pendengaran, dan cerita-cerita yang mendidik, anak akan lebih mudah menyerap nilai-nilai positif dan berempati dengan orang lain.

C. Pengaruh Dongeng Terhadap Empati Anak

Dongeng merupakan suatu cerita yang imajinatif dan bersifat khayalan karangan sang pendongeng. Anak lebih menyukai dongeng karena pada usia ini anak lebih senang paada hal-hal yang bersifat imajinatif sehingga pengaruh atau stimulus positif dapat masuk dengan mudah apalagi tentang pembentukan karakteristik positif seperti empati, bahasa, minat membaca, dan kekuatan berfikir. Saat anak suka mendengarkan dongeng, maka ia dapat menghilangkan rasa tegang, mood yang buruk dan berbagai perasaan negatif

(30)

lainnya. Artinya dongeng telah membantu anak dalam mengatasi masalah emosi (Hana, 2011).

Ketika mendengarkan dongeng yang menggambarkan perasaan, anak akan ikut memahami apa yang ada dalam perasaannya dan merasakan apa yang ada di dalam perasaan tokoh atau orang lain. Tokoh-tokoh yang berada dalam suatu dongeng akan terasa hidup dan anak akan terbiasa membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Bahkan anak akan menjadikan tokoh yang baik menjadi idolanya. Dengan memahami tokoh, anak akan dapat memahami dirinya. Dia akan mulai berpikir dan akan mampu membedakan antara orang baik dengan orang jahat, orangtua dengan anak-anak, laki-laki dan perempuan. Tentu saja akan menjadi pelajaran yang sangat berharga dan disaat anak tumbuh dewasa, dia akan belajar menghormati perbedaan (Mal, 2008). Seseorang dapat menjadi empatik kepada karakter fiktif sebagaimana kepada korban pada kehidupan nyata (Baron dan Byrne, 2005).

Mendongeng memiliki manfaat untuk merangsang kekuatan berpikir, sebagai media efektif, mengasah kepekaan anak terhadap bunyi-bunyian, menumbuhkan minat baca, dan juga menumbuhkan rasa empati.

Menurut Ahmad (1998) empati ialah suatu kecenderungan untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andaikata dia berada disituasi orang tersebut. Eissenberg dan Mussen (dalam Lindgren 1974) mengatakan bahwa empati sebagai keadaan afektif yang seolah-olah dialami sendiri yang berasal dari keadaan atau kondisi emosi orang lain dan mirip dengan keadaan atau emosi orang lain tersebut. Empati merupakan kemampuan seseorang untuk menempatkan diri kedalam perasaan dan pikiran orang lain serta

(31)

melihat situasi dari sudut pandang orang lain, tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan dan tanggapan orang tersebut. Di dalam dongeng anak dapat seolah-olah menjadi tokoh didalamnya dan inilah yang akan mengajarkan anak dengan tentang rasa empati.

D. Kerangka Pemikiran

Gambar 1.

Kerangka Pemikiran Efektivitas Dongeng Untuk Meningkatkan Empti Pada Siswa-siswi kelas IV dan V di SD Negeri Baturono Surakarta

E. Hipotesis

Berdasar uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

“Dengan pemberian dongeng akan efektif untuk meningkatkan empati pada Siswa-siswi kelas IV dan V di SD Negeri Baturono Surakarta”.

Pemberian Dongeng Rendahnya

empati pada anak

Empati anak meningkat

Gambar

Ilustrasi  harus  menarik  dan  lucu  sehingga  anak  dapat  mendengarkan  dan memusatkan konsentrasinya.

Referensi

Dokumen terkait

SAAT ANDA MELAKUKAN PENAWARAN, KAMI NYATAKAN BAHWA ANDA TELAH MELAKUKAN PENGENCEKAN KONDISI FISIK, LOKASI UNIT SERTA DOKUMEN Daftar lot ini hanya sebagai panduan tidak dapat

PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE PADA SISWA KELAS V SD NEGERI GEDANGALAS I GAJAH DEMAK TAHUN PELAJARAN 2011/2012.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu

W ilayah Indonesia belum ada data yang digunakan untuk menurunkan fungsi atenuasi, sehingga diperlukan data dari wilayah lain yang memiliki kemiripan sifat geologi

Suatu kendala yang dihadapi pihak Toko Marsudin Sagala dalam mengembangkan usaha bisnis barang pecah belah adalah persaingan. Bahwa dalam menjalankan usahanya pihak

menyampaikan laporan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi mengenai pelaksanaan kegiatan usaha Pengangkutan Minyak

Jadi kesimpulannya bahwa dalam proses kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran Osborn-Parne pada mapel fiqih di kelas XI MA NU Miftahul Ulum Loram

Penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “kewenangan lainnya” terdapat dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur

Dalam bekerja yang memerlukan kemampuan untuk melihat dalam jangka waktu yang lama, biasanya disertai dengan kondisi pandangan yang tidak nyaman (Pheasant, 1991