• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Latar Belakang

Pengertian struktur tanah mengacu pada penyusunan partikel primer (pasir, debu, liat) ke dalam partikel sekunder atau agregat. Struktur tanah merupakan faktor utama di dalam fungsi tanah sebagai media yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman serta isu pada saat ini dikaitkan dengan tempat penyimpanan karbon dan air. Struktur tanah mempengaruhi pergerakan dan retensi air tanah, siklus hara di dalam tanah, penetrasi perakaran, produktivitas tanaman, dan keragaman biota tanah.

Agregasi tanah dihasilkan dari penyusunan partikel, flokulasi, dan sementasi yang diperantarai oleh bahan organik tanah, biota tanah, jembatan ionik, liat, dan karbonat. Struktur tanah yang baik memiliki kemantapan agregat yang diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, produktivitas tanaman, porositas, dan menurunkan tingkat erosi. Konsep dasar dari agregasi adalah pembentukan partikel sekunder melalui penggabungan partikel mineral dengan bahan organik dan anorganik. Dinamika agregasi sangat kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor seperti lingkungan, pengelolaan tanah, tanaman, komposisi mineral, tekstur, konsentrasi karbon organik tanah, proses pedogenesis, aktivitas mikroorganisme tanah, ion-ion yang dapat dipertukarkan, cadangan nutrisi di dalam tanah, dan kelembaban (Bronick & Lal 2005).

Kontribusi aktivitas mikroorganisme terhadap kemantapan agregat tanah telah dilaporkan dalam beberapa kegiatan penelitian. Namun demikian, untuk kegiatan penelitian terkait dengan agregasi tanah tekstur berpasir dengan memanfaatkan bakteri penghasil eksopolisakarida belum banyak diteliti. Degens & Sparling (1996) melakukan kegiatan penelitian pada tanah tekstur berpasir dan menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap pembentukan agregat tanah tekstur berpasir dengan biomassa bakteri. Di lain pihak, Khodair et al. (2008) meneliti peran bakteri penghasil eksopolisakarida yaitu Bacillus circulans UBF 20, 26 dan Bacillus polymyxa UBF 15 pada bahan tanah sebagai media tanam bibit gandum dengan kadar fraksi 52.4% pasir, 27.5 %

(2)

debu, dan 13.1% liat. Pemberian inokulan bakteri pada bahan tanah tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif bibit gandum.

Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama tanaman kelapa sawit yang ditanam pada jenis tanah dengan dominasi fraksi pasir yang cukup tinggi. Tanah bertekstur kasar (pasir) mempunyai daya menahan air lebih kecil dari pada tanah bertekstur halus. Tanaman yang ditanam pada tanah tekstur berpasir umumnya lebih mudah mengalami kekeringan. Kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit sekitar 1.950 mm per tahun. Kelapa sawit memerlukan curah hujan sekitar 2.000 mm yang merata sepanjang tahun tanpa adanya bulan kering (defisit air) yang nyata (Pahan 2008). Terkait dengan kebutuhan air yang sangat besar untuk kelapa sawit maka pengembangan budidaya kelapa sawit di tanah tekstur berpasir akan mengalami kendala. Selain kecukupan nutrisi, yang menjadi fokus utama untuk memperbaiki daya dukung kapasitas tanah tekstur berpasir adalah mengoptimalkan kemampuan meretensi air. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dominasi fraksi pasir dalam suatu areal perkebunan kelapa sawit sangat berpotensi terhadap terjadinya erosi dan inefisiensi penggunaan air irigasi.

Pada umumnya perbaikan daya dukung tanah tekstur berpasir dilakukan dengan ameliorasi menggunakan bahan organik. Selain itu, peningkatan produktivitas lahan juga dapat dilakukan dengan memperhatikan pengelolaan air tanah dalam praktek di kebun sehari-hari. Menurut Lubis (2008), kebutuhan air pada bibit kelapa sawit di pembibitan awal (pre nursery) adalah 0.1 – 0.3 liter/bibit/hari, sedangkan di pembibitan utama (main nursery) diperlukan 1-3 liter/bibit/hari.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa stuktur tanah dengan kondisi agregat yang baik akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan akar tanaman, ketersediaan air, dan pergerakan udara di dalam tanah. Oleh karena itu dalam upaya mengoptimalkan fungsi bahan tanah tekstur berpasir sebagai media pertumbuhan bibit atau tanaman kelapa sawit, maka tahap awal yang dapat dilakukan adalah memperbaiki sifat agregasi bahan tanah tersebut. Pemanfaatan bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) dalam agregasi bahan tanah tekstur berpasir pada media tanam bibit kelapa sawit merupakan

(3)

salah satu alternatif untuk mengupayakan hal tersebut serta dapat dilakukan dengan teknik aplikasi sederhana dalam bentuk pembenah hayati (bioamelioran) pemantap agregat. Peran BPE dalam agregasi bahan tanah tekstur berpasir dapat ditetapkan atas dasar indikasi pertumbuhan vegetatif bibit kelapa sawit, air tersedia, dan serapan hara pada daun bibit kelapa sawit. Penetapan tersebut atas dasar asumsi bahwa pembentukan agregat pada bahan tanah tekstur berpasir akan meningkatkan ketersediaan air, absorpsi hara oleh bibit kelapa sawit, dan akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang sesuai dengan standar pertumbuhan bibit secara umum.

Agregat Tanah

Kemantapan agregat tanah dapat didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk bertahan terhadap gaya-gaya yang akan merusak. Gaya-gaya tersebut dapat berupa kikisan angin, pukulan hujan, daya urai air pengairan, dan beban pengolahan tanah (Amezketa et al. 2003). Pengukuran kemantapan agregat tanah menjadi penting sebab dapat memberikan informasi secara umum tentang kondisi sifat fisik tanah. Agregat tanah berpengaruh terhadap potensi erosi, pergerakan air dan pertumbuhan akar tanaman. Tanah yang teragregasi dengan baik dicirikan dengan tingkat infiltrasi, permeabilitas, dan ketersediaan air yang tinggi. Aspek fisik penting dalam suatu agregat tanah meliputi ukuran, densitas, kemantapan, dan struktur agregat.

Setiap metode pengukuran kemantapan agregat berhubungan dengan suatu mekanisme pemecahan agregat yang bersifat spesifik. Pada daerah dengan curah hujan tinggi, maka pengukuran kemantapan agregat didasarkan empat mekanisme yang menyebabkan penghancuran agregat karena pengaruh air. Mekanisme tersebut yaitu: (i) pemecahan oleh udara yang terperangkap di dalam agregat selama proses pembasahan yang cepat dan tiba-tiba, (ii) pemecahan oleh swelling dan shrinkage selama proses pembasahan dan pengeringan yang lambat, (iii) pemecahan secara mekanik oleh pengaruh curah hujan, dan (iv) dispersi setelah penurunan kekuatan internal yang saling tarik menarik antar partikel koloid selama pembasahan (dipengaruhi oleh kation monovalen khususnya Na+), di mana mekanisme ini hanya terjadi di bawah kondisi yang spesifik (Le Bissonnais 1996).

(4)

Di lain pihak, penghancuran agregat dapat pula disebabkan oleh aktivitas pertanian (pencangkulan, pengembalaan, dan pemakaian alat berat pertanian) dan aktivitas pertambangan (Mbagwu 1992). Metode yang umum digunakan untuk mengukur kemantapan agregat adalah metode pengayakan basah dan pengayakan kering. Sementara itu, metode lainnya berdasarkan simulasi pengaruh energi tetes hujan, dispersi ultrasonik, dan pemecahan agregat setelah pencelupan yang tiba-tiba ke dalam air.

Pembentukan agregat terjadi melalui beberapa cara dan dikelompokkan

dalam tingkat ukuran yaitu makroagregat (> 250 µm) dan mikroagregat (< 250 µm). Terdapat beberapa mekanisme agregasi. Teori agregasi yang

dikemukakan Tisdall (1996) adalah mikroagregat (< 250 µm) dibentuk oleh molekul organik (MO) yang menempel pada liat (L) dan kation polivalen (P) membentuk partikel (L-P-MO), yang saling berikatan dengan partikel (L-P-MO) lainnya membentuk makroagregat [(L-P-MO)x]y.

Mekanisme agregasi melalui proses flokulasi dan fragmentasi. Flokulasi terjadi jika partikel tanah yang pada awalnya dalam keadaan terdispersi, kemudian bergabung membentuk agregat. Sedangkan fragmentasi terjadi jika tanah dalam keadaan masif, kemudian terpecah-pecah membentuk agregat yang lebih kecil. Kemper & Rosenau (1986) mengatakan bahwa makin mantap suatu agregat tanah, makin rendah kepekaannya terhadap erosi (erodibilitas tanah). Karakterisasi agregat tanah yang dapat secara langsung memberikan petunjuk adalah melalui deskripsi sifat morfologi di lapangan, menggunakan teknik analisis perbandingan, atau mengukur distribusi ukuran yang berhubungan dengan pori. Metode lainnya berdasarkan pada pemecahan struktur unit secara parsial oleh dispersi atau fragmentasi. Agregat tanah yang mantap memiliki kemampuan mengikat partikel dan tahan terhadap tekanan lingkungan luar yang menyebabkan disagregasi tanah seperti pengolahan, swelling dan shrinking, energi kinetik tetes hujan dan lain sebagainya (Diaz-Zorita et al. 2002; Rohoskova & Valla 2004). Penutupan tajuk tanaman pada permukaan tanah dapat menghindari erosi karena tetes hujan saat curah hujan tinggi (Cerda 2000).

Struktur tanah dapat dipengaruhi oleh kandungan air di dalam tanah yang jumlahnya sangat beragam dari waktu ke waktu. Hal ini mengacu pada definisi

(5)

mengenai struktur tanah yaitu pengelompokan partikel-partikel primer (pasir, debu, dan liat) membentuk suatu agregat yang lebih besar dalam hal ukuran dan bentuk. Adanya proses penetrasi akar di dalam tanah, siklus pembasahan dan pengeringan yang berkelanjutan serta aktivitas biota tanah yang dikombinasikan dengan bahan anorganik dan organik sebagai agens perekat akan menghasilkan suatu struktur tanah tertentu. Penurunan kadar air akan meningkatkan gugus kontak antara partikel primer dan bahan organik yang pada akhirnya dapat meningkatkan kekuatan daya kohesi tanah. Proses ini terutama terjadi di daerah sekitar perakaran yang secara langsung memfasilitasi terjadinya pembentukan mikroagregat.

Konsep mengenai pembentukan mikroagregat sehubungan dengan fungsinya sebagai penyedia ruang pori tanah untuk air tersedia dikemukakan oleh Cambardella (2005). Konsep tersebut didasarkan pada suatu model yang dikemukakan oleh Tisdall & Oades (1982). Pemecahan makroagregat (>250 µm) akan membentuk mikroagregat (20-250 µm). Sementara itu, proses agregasi pada partikel berukuran <20 µm umumnya diperantarai oleh bahan organik dan aktivitas mikroorganisme. Mikroagregat dengan diameter 2-20 µm terbentuk melalui proses flokulasi partikel debu dan liat. Flokulasi pada partikel liat bermuatan negatif akan meningkat karena keberadaan kation bermuatan tinggi seperti Al3+ dan Ca2+

Lebih lanjut dijelaskan oleh Chenu & Stotzky (2002) bahwa di dalam tanah, bakteri hidup dalam suatu ekosistem yang didominasi oleh partikel padat, beberapa di antaranya memiliki area permukaan yang luas. Tanah memiliki area permukaan spesifik yang sangat bervariasi tergantung pada tekstur dan mineraloginya. Fraksi koloidal dari partikel-partikel ini dapat memiliki muatan permanen (sebagian besar mineral liat) atau muatan variabel (oksihidroksida dan bahan organik). Koloid-koloid ini merupakan permukaan aktif partikel yang dapat menjadi tempat penyimpanan metabolit bakteri. Interaksi permukaan antara bakteri dengan partikel tanah melalui beberapa tahap yaitu: (i) transport ke permukaan, (ii) melakukan kontak dan pelekatan awal, (iii) penempelan pada . Bahan organik dapat meningkatkan proses agregasi tersebut melalui pembentukan kompleks ikatan dengan liat dan kation bermuatan tinggi.

(6)

permukaan partikel, dan (iv) pertumbuhan membentuk mikrokoloni atau biofilm yang menempel pada substrat. Berdasarkan pengamatan dengan mikroskop elektron transmisi (TEM) diketahui bahwa bakteri dapat menempel pada partikel yang lebih besar daripada selnya seperti butiran pasir atau residu tanaman. Pelekatan bakteri pada partikel yang lebih kecil menyebabkan partikel tersebut terbungkus oleh sel bakteri dan ini sering disebut sebagai mikroagregasi bakteri.

Agens yang Mempengaruhi Agregasi

Kemantapan agregat dalam jangka panjang selalu berhubungan dengan keberadaan senyawa yang bersifat sukar lapuk dan ion-ion logam lainnya di dalam tanah. Penjenuhan dengan natrium yang dapat dipertukarkan, kadar besi, aluminium oksida dan hidroksida, dan bahan organik memegang peranan penting terhadap kemantapan agregat tanah (Le Bissonais 1996). Dalam mengukur kekuatan tanah diasumsikan bahwa kekuatan tanah secara langsung tergantung pada area permukaan spesifik atau secara tidak langsung tergantung pada tipe liat dan kandungan bahan pengikat atau cementing agents seperti bahan organik dan eksopolisakarida. Kemantapan agregat akan meningkat dengan meningkatnya kandungan liat dan bahan organik (Perfect et al. 1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa kemantapan agregat tanah dipengaruhi oleh (i) jumlah dan jenis bahan organik di dalam tanah, khususnya lem dan musilage, (ii) keberadaan bakteri dan fungi serta akar tanaman berukuran mikro, (iii) pembasahan dan pengeringan, (iv) freezing dan thawing, (v) situs pertukaran kation alami, dan (vi) aktivitas biota tanah khususnya cacing tanah.

Karbon

Sumber karbon baik itu karbon organik tanah atau karbon inorganik tanah, komposisi dan konsentrasinya di dalam tanah mempengaruhi agregasi melalui asosiasi dengan kation dan partikel tanah. Komposisi karbon organik tanah dapat terlihat melalui laju dekomposisi dan pelepasan kation di dalam larutan tanah seperti halnya kemampuannya membentuk kompleks dengan kation di dalam tanah.

(7)

Karbon inorganik tanah berada di dalam mineral primer dan sekunder tanah. Karbonat berasal dari bahan induk serta merupakan sumber bahan pembentukan karbon sekunder ketika bahan ini dilarutkan dan ditranslokasikan oleh air dan asam organik atau CO2 dari tanah dan atmosfer. Karbonat sekunder terbentuk

ketika CO2 terlarut mengendapkan karbonat dan bikarbonat dengan Ca2+ dan

Mg2+. Di bawah kondisi kelembaban rendah dan peningkatan pH, kation, bikarbonat (HCO3- ), karbonat terlarut dan CO2 dapat bereaksi dengan kation

yang tersedia untuk membentuk karbonat sekunder yang menyelimuti partikel primer tanah. Sementara itu, karbon organik tanah berperan dalam meningkatkan respirasi mikroorganisme tanah dan CO2 serta sebagai sumber Ca2+ dan Mg2+

(Bronick & Lal 2005).

Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah diperkirakan mengandung 5 – 25% karbohidrat dan oleh karena itu karbohidrat merupakan komponen yang paling banyak di dalam bahan organik yang telah mengalami dekomposisi lanjut. Tanaman berkontribusi terhadap kelimpahan karbohidrat di dalam tanah. Karbohidrat yang dihasilkan tanaman dalam bentuk sederhana seperti gula, hemiselulosa, dan selulosa. Akar tanaman memberikan konstribusi terhadap kelimpahan bahan organik tanah dan kemantapan agregat tanah secara langsung melalui material akar tersebut dan secara tidak langsung melalui stimulasi aktivitas mikroorganisme di daerah sekitar perakaran (Watt et al. 1993). Bahan organik tanah yang berperan dalam agregasi adalah: (i) karbohidrat, (ii) polisakarida, (iii) fenol, (iv) lignin, (v) lipid, dan (vi) bahan humik. Jumlah karbohidrat cukup signifikan di dalam tanah. Hal tersebut dapat dilihat dalam kemampuan kompleks polisakarida tersebut mengikat partikel an-organik tanah untuk membentuk agregat yang mantap (Stevenson 1994). Karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan umumnya berukuran besar dan kebanyakan ditemukan pada fraksi pasir, sedangkan karbohidrat yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme tanah banyak ditemukan di dalam fraksi debu dan liat. Kitin adalah salah satu contoh polisakarida yang tersusun atas unit N-asetilglukosamin. Senyawa ini merupakan komponen utama dari struktur dinding

(8)

sel fungi. Polisakarida yang terjerap kuat dalam permukaan mineral, bersifat sebagai jembatan untuk mengikat partikel tanah (Manjaiah et al. 2010)

Liat

Sifat mineral liat yang mempengaruhi agregasi antara lain area permukaan, kapasitas tukar kation, perubahan bobot isi, kemampuan pendispersi dan mengembang. Interaksi liat dengan karbon organik tanah dipengaruhi oleh pH tanah, kapasitas tukar kation, ion Na+, Ca2+, Mg2+. Liat beraktivitas rendah seperti kaolinit dan haloisit sering dijumpai pada Alfisol, Ultisol dan Oxisol, sedangkan yang beraktivitas tinggi dijumpai di Vertisol. Liat berada dalam bentuk mineral kristalin dan non kristalin dengan struktur amorfous. Pada beberapa tanah, bentuk liat non kristalin merupakan faktor penting dalam agregasi tanah. Kation, terutama Ca2+ dan Na2+ , elektrolit, pH dapat mempengaruhi dispersi liat (Bronick & Lal 2005).

Kation

Kation bivalen seperti Ca2+ dan Mg2+ memperbaiki struktur tanah melalui pembentukan jembatan kationik dengan partikel liat dan karbon organik tanah. Pada umumnya Ca2+ lebih efektif daripada Mg2+ dalam memperbaiki struktur tanah. Sementara itu, kation polivalen Al3+ dan Fe3+ memperbaiki struktur tanah melalui pembentukan jembatan kationik dan pembentukan kompleks senyawa logam-organik dan gel. Kelarutan dan pergerakan kation ini di dalam larutan tanah tergantung pada pH, di mana kelarutan tertinggi terjadi pada pH rendah. Al3+ dan Fe3+ mengendalikan agregasi pada tanah masam dengan kandungan liat dan karbon organik rendah seperti di tanah jenis Oxisol (Bronick & Lal 2005).

Bakteri Penghasil Eksopolisakarida

Bahan karbohidrat di dalam tanah sebagian besar berasal dari produk mikroorganisme. Pada umumnya, karbohidrat hasil metabolisme mikroorganisme tanah mengandung xilosa dan glukosa yang relatif rendah (jenis karbohidrat ini cukup banyak dijumpai pada polisakarida tanaman). Sejumlah monosakarida cukup tinggi berasal dari eksoselular dan kapsular polisakarida bakteri.

(9)

Peran eksopolisakarida dalam meningkatkan kemantapan agregat terutama sebagai agen pengikat atau perekat. Interaksi antara liat dengan eksopolisakarida sangat diperlukan untuk memantapkan agregat. Sebagai contoh, interaksi antara partikel mineral melalui adsorpsi liat dan permukaan oksihidroksida serta pada tanah-tanah yang kaya akan seskuioksida maka kemantapannya sangat dipengaruhi oleh eksopolisakarida (Hayes & Cheshire 1990).

Eksopolisakarida dapat dihasilkan secara cepat sehingga sangat mempengaruhi kemantapan agregat. Beberapa eksopolisakarida yang terdapat di antara agregat tidak dapat dihancurkan secara biologi selama agregat tersebut tidak dirusak dan dikeluarkan dari bagian dalam. Eksopolisakarida mikroorganisme yang tidak terganggu akan bertahan lama di dalam tanah. Ketahanan eksopolisakarida di dalam tanah mungkin juga melalui pembentukan kompleks dengan logam atau dengan pengikatan pada gugus aktif dari senyawa organik lainnya dan mineral liat.

Dalam memahami dinamika tanah, informasi mengenai mekanisme interaksi mikroorganisme tanah dengan tanah tekstur berpasir yang berhubungan dengan kemantapan agregat dan penyediaan unsur hara bagi tanaman pertanian dan perkebunan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada peran bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) serta multi interaksinya dalam suatu mekanisme pembentukan agregat pada tanah tekstur berpasir. Penelitian yang bertujuan untuk mengoptimalisasi potensi tanah tekstur berpasir telah dilakukan, namun hampir semuanya menyangkut aspek kimia tanah, agronomi dan managemen pengelolaan secara praktis, tanpa melibatkan unsur mikrobiologi tanah.

Bioamelioran

Filosofi penggunaan pembenah hayati (bioamelioran) untuk memantapkan agregat tanah pada prinsipnya adalah untuk meningkatkan kapasitas tanah melalui perbaikan sifat tanah baik secara fisik, kimia, dan biologi. Terkait dengan upaya mengoptimalkan agregasi pada tanah tekstur berpasir, pembentukan agregat tanah melalui kontribusi aktivitas mikroorganisme tanah dapat dilakukan melalui teknik augmentasi bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) potensial di rizosfer. Untuk

(10)

mempermudah aplikasi teknik augmentasi ini, BPE yang akan diinokulasikan di rizosfer dapat dikemas di dalam suatu bahan pembawa yang sesuai untuk menunjang aktivitas dan viabilitas BPE bahan aktif.

Dalam pembuatan bioamelioran, pada dasarnya bahan pembawa yang digunakan untuk inokulan bakteri harus memiliki sifat: (i) non toksik terhadap inokulan, (ii) memiliki kapasitas absorpsi yang baik, (iii) mudah untuk diproses dan bebas dari bahan yang dapat membentuk bongkahan, (iv) mudah untuk disterilisasi atau dipasteurisasi, (v) tersedia dalam jumlah yang banyak, (vi) harga tidak mahal, (vii) memiliki kapasitas penyangga yang baik, dan (viii) tidak bersifat toksik terhadap tanaman (FNCA 2006). Untuk inokulan yang diaplikasikan ke dalam tanah, bahan pembawa dapat berbentuk granular dengan diameter 0.5 – 1.5 mm atau ≤ 3 mm. Beberapa kriteria kesesuaian bahan pembawa terhadap inokulan dianalisis melalui: (i) kemampuan inokulan tumbuh dan berkembang biak di dalam bahan tanah/benih yang diinokulasi dan (ii) kemampuan tumbuh inokulan selama periode penyimpanan tertentu. Setelah diinokulasikan ke dalam tanah, bakteri akan secara langsung berkompetisi dengan mikroorganisme lain untuk memperoleh nutrisi dan habitat nichenya, serta protozoa. Oleh karena itu, bahan pembawa yang baik juga mampu menyediakan nutrisi dan dapat digunakan sebagai habitat yang sesuai bagi inokulan (FNCA 2006).

Ruang Lingkup Kegiatan Penelitian

Pengembangan budidaya kelapa sawit telah masuk ke wilayah dengan tanah tekstur berpasir. Tanah jenis ini memiliki faktor pembatas berupa agregasi tidak mantap. Butir–butir tanah lepas satu sama lain sehingga jumlah pori drainasenya tergolong tinggi dan kemampuan menahan air, nutrisi, dan memegang akar tanaman sangat rendah. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Fairhurst & McLaughlin (2009), tanah dengan tekstur berpasir di pulau Kalimantan kemungkinan dapat dijumpai pada jenis tanah dengan luasan masing-masing: Andisol (162.446 ha), Entisol (3.882.986 ha), Inceptisol (8.175.970 ha), dan Spodosol (1.944.534 ha).

(11)

Pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh porositas, aerasi, kelembaban, dan kelimpahan bahan organik tanah. Oleh karena itu kondisi ini akan membatasi pertumbuhan akar dan produksi tanaman. Mantel et al. (2007) menyatakan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah yang cukup beragam. Kondisi tanah yang paling tidak sesuai untuk kultivasi jangka panjang adalah tanah miskin drainase, kapasitas menahan air rendah, pada tanah dengan kandungan miskin hara dan tanah masam serta jenis tanah yang memiliki ruang pori besar (pasir). Bagaimanapun juga, upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini masih sangat terbatas. Solusi yang diperlukan diperkirakan dapat dirumuskan jika interaksi antara mikroorganisme tanah, mineral, dan komponen organik tanah lainnya dapat dipahami.

Pada umumnya untuk mengupayakan peningkatan agregasi pada tanah tekstur berpasir dilakukan dengan menggunakan bahan organik yang berasal dari proses dekomposisi tumbuhan. Kebutuhan akan bahan organik yang cukup besar pada aplikasi di lapang merupakan suatu kendala tersendiri dalam mencapai efisiensi teknik pengelolaan tanah khususnya tanah dengan dominasi fraksi pasir yang tinggi. Khusus untuk perkebunan kelapa sawit, kebutuhan bahan organik berupa kompos asal tandan kosong kelapa sawit dapat mencapai 40 ton/ha/thn selama lima tahun pertama.

Terkait dengan tidak adanya kemantapan agregat yang menjadi faktor pembatas pada tanah tekstur berpasir, maka penggunaan bakteri indigenous penghasil eksopolisakarida untuk memantapkan agregat menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi faktor pembatas tersebut. Dalam penelitian ini sistematika kegiatan penelitian dibagi secara bertahap dalam empat judul kegiatan penelitian dengan maksud memberikan keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian berikutnya. Diagram alir ruang lingkup kegiatan penelitian disajikan dalam Gambar 1.

Bagian 1 menjelaskan mengenai kegiatan isolasi bakteri penghasil eksopolisakarida dan identifikasinya dengan menggunakan teknik molekuler (sekuensing). Potensi lain dari bakteri potensial penghasil eksopolisakarida diamati, khususnya yang terkait dengan pengujian sesuai kondisi di lapang.

(12)

Bagian 2 menganalisis sumber karbon terbaik untuk produksi eksopolisakarida dengan menggunakan enam jenis sumber karbon. Karakteristik gugus fungsional eksopolisakarida juga diidentifikasi menggunakan fourier-transformed infrared spectroscopy (FTIR) untuk mempelajari mekanisme agregasi yang terjadi antara eksopolisakarida dengan permukaan partikel pasir.

Bagian 3 memfokuskan pada peran bakteri penghasil eksopolisakarida dalam agregasi bahan tanah tekstur berpasir. Potensi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan bahan jerami, kompos jerami dan fungi tingkat tinggi maupun tingkat rendah dalam agregasi tanah tekstur berpasir.

Bagian 4 merupakan penelitian tahap lanjut di lapang untuk menguji peran bakteri penghasil eksopolisakarida dalam agregasi tanah tekstur berpasir. Pengujian di lapang menggunakan indikator pertumbuhan bibit kelapa sawit jenis Dura x Pisifera (DxP). Teknologi penggunaan bakteri penghasil eksopolisakarida yang dikemas dalam bentuk bioamelioran agregat berbentuk granul disampaikan untuk memberikan gambaran bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam aplikasi secara luas.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas bahan tanah tekstur berpasir sebagai media pertumbuhan tanaman melalui peningkatan agregasi dan retensi air dengan memanfaatkan bakteri penghasil eksopolisakarida. Tahapan kegiatan dilakukan dengan mengisolasi, seleksi, dan identifikasi bakteri potensial penghasil eksopolisakarida, kemudian menetapkan karakteristik gugus fungsional eksopolisakarida bakteri tersebut. Atas dasar informasi yang diterima dilakukan pengujian laboratorium untuk mengetahui potensi bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) dalam memantapkan agregat bahan tanah tekstur berpasir. Berdasarkan hasil yang diperoleh di laboratorium tahap kegiatan pengujian efektivitas bakteri penghasil eksopolisakarida dilanjutkan di lapang. Penggunaan bahan tanah tekstur berpasir sebagai media tanam bibit kelapa sawit dimanfaatkan dalam penelitian ini sebagai upaya memperoleh konfirmasi potensi BPE yang dikemas dalam bentuk bioamelioran untuk aplikasi dalam skala yang lebih luas.

(13)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah eksopolisakarida bakteri dapat meningkatkan kemantapan agregat bahan tanah tekstur berpasir. Informasi mengenai karakteristik gugus fungsional eksopolisakarida memegang peran kunci dalam memahami mekanisme agregasi bahan tanah tekstur berpasir oleh bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE). Peningkatan kemantapan agregat pada bahan tanah tekstur berpasir oleh BPE berdampak terhadap retensi hara dan air tersedia.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memperoleh informasi teknologi untuk meningkatkan potensi tanah tekstur berpasir yang digunakan sebagai media tanam bibit kelapa sawit. Meningkatnya efisiensi pengelolaan tanah beragregasi rendah tersebut melalui teknologi perbanyakan sel bakteri penghasil eksopolisakarida yang relatif murah dan kemudahan teknik aplikasi di lapang. Manfaat yang lebih luas dari penelitian ini adalah meningkatkan potensi luas lahan yang sesuai untuk kelapa sawit khususnya tanah bertekstur pasir melalui perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi.

Kebaruan Penelitian

Adapun kebaruan dari penelitian ini adalah menyangkut (i) informasi gugus fungsional eksopolisakarida Burkholderia cenocepacia strain KTG dalam medium yang mengandung bahan tanah tekstur berpasir, (ii) peran bakteri penghasil eksopolisakarida Burkholderia cenocepacia strain KTG untuk memantapkan agregat bahan tanah tekstur berpasir, dan (iii) informasi potensi bahan tanah fraksi pasir 60-65% untuk media tanam bibit kelapa sawit.

(14)

Gambar 1 Ruang lingkup kegiatan penelitian

Agregasi yang rendah pada tanah tekstur berpasir merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan tanaman secara optimal.

Pemanfaatan bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) dalam agregasi tanah tekstur berpasir belum banyak dikembangkan

Agregat yang lebih stabil pada tanah tekstur berpasir akan meningkatkan kemampuan menahan air dan unsur hara sehingga mengoptimalkan fungsi tanah tekstur berpasir untuk pengembangan

pertanian dan perkebunan.

Bag. 1 Isolasi, seleksi, dan identifikasi BPE

Bag. 2 Produksi biomassa BPE, karakterisasi

eksopolisakarida

Bag. 3 Studi interaksi BPE,

bahan organik, bahan tanah tekstur berpasir

Pembuatan bioamelioran berbahan aktif BPE potensial spesifik untuk tanah

tekstur berpasir

Bag. 4 Uji keefektifan BPE dalam media bahan tanah tekstur berpasir dan

vegetatif bibit kelapa sawit

Teknologi ameliorasi untuk agregasi tanah tekstur berpasir dengan menggunakan

bakteri penghasil eksopolisakarida Ekstensifikasi kebun kelapa sawit di lahan tekstur berpasir

Referensi

Dokumen terkait

Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM) Bidang Cipta Karya merupakan dokumen perencanaan dan pemrograman pembangunan infrastruktur

Program MQTT publisher yang diimplementasikan pada NMS Server juga sudah terintegrasi dengan SNMP dan sudah bisa mendapatkan informasi perangkat yang dimonitor seperti

Pengajaran mikro merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk mengambil mata kuliah PPL. Pengajaran mikro merupakan kegiatan praktik

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap semangat kerja, untuk mengetahui pengaruh iklim kerja terhadap

Justeru, berdasarkan kepada senario permasalahan dan persoalan tentang bahasa Melayu di atas, kajian terbaru ini dilakukan bagi meninjau tahap keyakinan tenaga akademik di IPT

Ngaji dan mengajar bagi Mbah Ma’shoem merupakan salah satu Thariqah yang bisa dilakukan secara istiqomah. Beliau selalu memerintahkan para santrinya untuk mengajar

Dengan demikian, lubang alur menerima ujung taper dan lubang taper diimbangi oleh selubang yang distandarisasi (dinormalisasikan). Ujung taper tidak digunakan untuk

Kesirnpulan dari keputusan pembelian susu formula pada keluarga berpendapatan rendah rnenunjukkan bahwa tahapan-tahapan proses keputusan pembelian sangat