• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terpisah, tetapi kedua lembaga tersebut menggunakan variabel yang hampir sama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terpisah, tetapi kedua lembaga tersebut menggunakan variabel yang hampir sama"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daya Saing Global

World Economic Forum (WEF) dan International Institute for Management Development (IMD) merupakan dua institusi yang sering dijadikan referensi untuk

daya saing global. Walaupun mereka menerbitkan kajian daya saing global secara terpisah, tetapi kedua lembaga tersebut menggunakan variabel yang hampir sama untuk mengukur daya saing. Namun demikian, terdeapat ketidakcocokan yang cukup signifikan dalam urutan negara antar kedua laporan tersebut. Hal ini kemungkinan karena mereka menggunakan metodologi yang berbeda sehingga bobot dari masing-masing variabel juga berbeda.

World Economic Forum (WEF) mempublikasikan laporan daya saing untuk

level negara yang bertajuk “Global Competitiveness Report” sejak tahun 1979. Selama lima tahun sebelum laporan tahun 2006-2007, WEF menggunakan

Growth Competitiveness Index untuk mengetahui daya saing suatu negara.

Dengan pertimbangan semakin majunya penelitian ekonomi, semakin pentingnya factor dimensi internasional, dan juga semakin luasnya cakupan negara, maka publikasi 2006-2007 dilakukan perubahan metodologi. Dengan tujuan mengembangkan suatu metode yang dapat memasukkan factor-faktor yang ditenggarai mempengaruhi daya saing negara secara umum, laporan untuk tahun 2006-2007 mengaplikasikan suatu indeks yang disebut Global Competitiveness

Index sebagai perbaikan dari indeks yang digunakan sebelumnya untuk

(2)

8 Untuk melihat daya saing antar negara secara lebih detail dari sisi mikroekonomi, WEF juga mengembangakan suatu indeks yang disebut Business

Competitiveness Index. Business Competitiveness Index meranking negara-negara

berdasarkan pemeringkatan daya saing mikroekonominya (Microeconomics

Competitiveness) dan mengidentifikasi keunggulan serta keterbatasan dari daya

saing suatu negara dalam hal kondisi lingkungan usaha dan kegiatan dan streategi perusahaan.

2.2 Daya Saing Daerah

Berbeda dengan WEF dan IMD, European Competitiveness Index merupakan publikasi tentang pemeringkatan daya saing yang mengukur, membandingkan dan meneliti daya saing bukan saja hanya antar negara, tetapi juga antar daerah di Eropa. Sejak publikasi pertama tahun 2004, keadaan dari Uni Eropa telah berubah secara dramatis. Sehingga dalam publikasi European Competitiveness Index 2006, negara yang dimasukkan ke dalam pemeringkatan bertambah sepuluh negara. Hal ini sesuai dengan bertambahnya negara yang menjadi anggota negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Sejalan dengan hal tersebut sehingga dengan sendirinya, daerah yang dimasukkan ke dalam pemeringkatan pun bertambah. Di samping itu, sedikit berbeda dengan publikasi tahun 2004, European

Competitiveness Index 2006 lebih menekankan analisis terhadap daya saing

daerah. Hal ini merupakan cerminan dari semakin meningkatnya konsesus yang menyatakan bahwa daerah merupakan unit spasial yang bersaing untuk menarik masuknya investasi, dan tingkat dimana transfer pengetahuan menyebar, sehingga

(3)

9 menghasilkan aglomerasi atau klaster dari perusahaan-perusahaan jasa dan industri.

Sementara itu, metodologi yang dikembangkan dalam European

Competitiveness Index adalah Model Tiga Faktor (Three Factor Model). Model

tersebut merupakan kerangka kerja liniear untuk menganalisis daya saing berdasarkan faktor: (1) input; (2) output; dan (3) outcome. Variabel-variabel yang digunakan sebagai dasar pemeringkatan daya saing mencakup variabel-variabel yang mewakili indikator-indikator sebagai berikut: (1) kreativitas; (2) kinerja ekonomi; (3) infrastrukur dan aksesibilitas; (4) tenaga kerja terdidik; (5) pendidikan. Variabel-variabel dari kelima indikator ini tersebar ke dalam faktor input, outout dan outcome.

Pemeringkatan daya saing daerah juga dilakukan oleh UK dalam UK

Competitiveness Index yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 2000.

Laporan ini didesain sebagai ukuran daya saing terintegrasi yang difokuskan pada perkembangan dan sustainabilitas dunia usaha serta kesejahteraan ekonomi masyarakat. Sejak pertama kali diperkenalkan, jumlah indikator dan variabel indeks daya saing daerah telah banyak mengalami perluasan. Namun demikian, metodologi yang dikembangkan kurang lebih sama. Sama halnya dengan

European Competitiveness Index, metodologi yang dikembangakn dalam UK Competitiveness Index juga menggunakan Model Tiga Faktor (Three Factor Model) yang terdiri dari kerangka kerja liniear untuk menganalisis daya saing

berdasarkan faktor: (1) input; (2) output; dan (3) outcome. Ketiga faktor tersebut terdiri dari variabel-variabel pembentuknya, dimana ketiganya diberikan bobot

(4)

10 yang sama, dengan alasan adanya hipotesis yang menyatakan bahwa satu sama lain saling berkaitan dan secara ekonomi yang satu dibatasi oleh yang lainnya.

Untuk Indonesia, studi daya saing daerah juga pernah dilakukan oleh Bank Indonesia dan FE UNPAD tahun 2001. Studi tersebut mencakup tingkat provinsi. Daya saing daerah dalam studi tersebut didefinisikan sebagai “:kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional”. Temuan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah daerah-daerah yang pada tahun 2001 mengalami konflik dan gangguan keamanan mempunyai peringkat yang tidak baik. Provinsi Aceh, Maluku, dan Provinsi Irian Jaya merupakan daerah-daerah yang mempunyai daya saing daerah yang terburuk. Secara berturut-berturut peringkat provinsi untuk Provinsi Aceh dan Irian Jaya adalah 26 dan 24. Jumlah provinsi yang diteliti mencapai 26 provinsi.

Studi mengenai daya saing daerah di Indonesia juga dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Studi KPPOD ini lebih fokus pada daya saing investasi untuk tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2005, studi yang dilakukan oleh KPPOD mencakup 228 kabupaten/kota seluruh Indonesia. KPPOD (2005) menyatakan bahwa investasi yang akan masuk ke suatu daerah akan bergantung kepada daya saing investasi yang dimiliki oleh suatu daerah yang bersangkutan.

Faktor pembentuk daya saing investasi terus berkembang. Faktor yang ditenggarai oleh KPPOD adalah faktor kelembagaan, faktor keamanan, politik, sosial budaya, faktor ekonomi daerah, faktor tenaga kerja dan faktor infrastruktur

(5)

11 fisik. Masing-masing faktor tersebut dijabarkan dalam variabel-variabel yang secara keseluruhan berjumlah 14 variabel, jumlah ini secara konsisten dijaga oleh KPPOD dalam studinya. Selanjutnya, masing-masing variabel tersebut dijabarkan lagi dalam indikator-indiaktor yang secara keseluruhan, untuk tahun 2005, berjumlah 47 indikator. Masing-masing factor, variabel dan indicator yang telah di identifikasi selanjutnya akan dilakukan pembobotan. KPPOD menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk melakukan pembobotannyaa.

Hasil temuan KPPOD menyebutkan bahwa ada dua karakteristik yang umumnya dimiliki oleh daerah-daerah yang mempunyai daya saing tinggi. Pertama, daerah-daerah tersebut memiliki kondisi perekonomian yang baik. Kedua, daerah yang mempunyai daya saing tinggi adalah daerah yang memiliki kondisi keamanan, politik, sosial budaya, dan birokrasi yang yang ramah terhadap kegiatan usaha. Kombinasi antara kedua faktor dan ketersediaan tenaga kerja yang cukup dengan kualitas yang baik dan infrastrukur fisik yang memadai akan mendukung perkembangan usaha.

2.3 Konsep dan Defenisi Daya Saing

2.3.1 Konsep dan Defenisi Daya Saing Global (Global Competitiveness)

Michael Porter (1990) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan pada level nasional adalah “produktivitas” yang didefinisikannya sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank dunia menyatakan hal yang relative sama dimana “daya saing mengacu kepada besaran serta laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan”. Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta literature-literatur terkini mengenai

(6)

12 daya saing nasional memandang bahwa daya saing tidak secara sempit mencakup hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas, tidak berkutat hanya pada level mikro perusahaan, tetapi juga mencakup aspek diluar perusahaan seperti iklim berusaha (business environment) yang jelas-jelas diluar kendali suatu perusahaan. Aspek-aspek tersebut dapat bersifat firm-specific, region-specific, dan bahkan country-specific.

World Economic Forum (WEF), suatu lembaga yang secara rutin

menerbitkan “Global Competitiveness Report”, mendefenisikan daya saing nasional secara lebih luas namun dalam kalimat yang singkat dan sederhana. WEF mendefenisikan daya saing nasional sebagai “kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan”. Fokusnya kemudian adalah pada kebijakan-kebijakan yang tepat, institusi-institusi yang sesuai, serta karakteristik-karakteristik ekonomi lain yang mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan tersebut.

Lembaga lain yang dikenal luas dalam literatur daya saing nasional adalah

Institute of Management Development (IMD) dengan publikasinya “World Competitiveness Yearbook”. Secara lengkap dan relative lebih formal IMD

mendefenisikan daya saing nasional sebagai “kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola asset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globality dan

proximity, serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut kedalam

suatu model ekonomi dan sosial”. Dengan perkataan yang lebih sederhana, daya saing nasional adalah suatu konsep yang mengukur dan membandingkan seberapa

(7)

13 baik suatu negara dalam menyediakan suatu iklim tertentu yang kondusif untuk mempertahankan daya saing domestic maupun global kepada perusahaan-perusahaan yang berada di wilayahnya.

2.3.2 Konsep dan Defenisi Daya Saing Daerah (Regional Competitiveness) Literatur yang secara eksplisit dan spesifik melakukan studi tentang daya saing daerah, yaitu daya saing suatu wilayah di dalam suatu negara (regions atau sub-nations), lebih sulit ditemukan dibandingkan dengan publikasi mengenai daya saing negara. Dua diantaranya dilakukan oleh Departemen Perdagangan dan Industri Inggris (UK-DTI) yang menerbitkan “Regional Competitiveness

Indicators”, serta Centre for Urban and Regional Studies (CURDS), Inggris,

dengan publikasinya “The Competitiveness Project: 1998 Regional Bench

Marking Report”.

Daya saing daerah menurut defenisi yang dibuat UK-DTI adalah kemempuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional. Sementara itu CURDS mendefenisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sector bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya.

Secara umum, ketika membandingkan kedua defenisi daya saing daerah diatas dengan defenisi daya saing nasional yang dibahas sebelumnya, terdapat kesamaan yang essensial. Dapat dikatakan bahwa perbedaan konsep daya saing hanya terpusat pada cakupan wilayah, dimana yang pertama adalah daerah (bagian suatu negara), sementara yang kedua adalah negara. Dalam berbagai

(8)

14 pembahasan tentang daya saing nasional pun, baik secara eksplisit maupun implicit, terangkum relevansi pengadopsian konsep daya saing nasional kedalam konsep daya saing daerah. Bank dunia misalnya, secara eksplisit menyebutkan betapa aspek penentu daya saing dapat bersifat region-specific.

Walaupun diliat dari substansinya pengadopsian konsep daya saing nasional ke dalam konsep daya saing daerah adalah relevan, namun dalam prakteknya beberapa penyesuaian perlu untuk dilakukan. Kompetisi ekonomi antar negara yang berdaulat tentu tidak mutlak sama dengan kompetisi antar daerah dalam suatu negara. Beberapa prinsip perlu disesuaikan. Contohnya adalah bagaimana kita mendefenisikan keterbukaan ekonomi, atau bagaimana memperlakukan aspek-aspek yang variasinya hanya ada kalau diperbandingkan antar negara.

Dari pembahasan tentang berbagai konsep dan defenisi tentang daya saing suatu negara atau daerah sebagaimana diuraikan diatas, dapat diambil satu kesimpulan bahwa dalam mendefenisikan satu kesimpulan bahwa dalam mendefenisikan daya saing perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

• Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produktifitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefenisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor swasta atau perusahaan”.

• Pelaku ekonomi (economic agent) bukan hanya perusahaan akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu system ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sector swasta perusahaan dalam perekonomian, focus perhatian tidak hanya pada itu saja.

(9)

15 Hal ini diupayakan dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing.

• Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan (level of living) adalah konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan masyarakat.

• Kata kunci dari konsep daya saing adalah “kompetisi”. Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para competitor menjadi relevan. Kata “daya saing” menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup.

2.4 Indikator Utama Daya Saing Daerah

Dari berbagai literatur, teori ekonomi, serta berbagai diskusi, indikator-indikator utama yang dianggap menentukan daya saing daerah yaitu: (Abdullah dkk : 17)

A. Perekonomian Daerah

Perekonomian daerah merupakan ukuran kinerja secara umum dari perekonomian makro (daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral, perekonomian, serta tingkat biaya hidup. Indicator kinerja ekonomi makro mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:

(10)

16 1. Nilai tambah merefleksikan produktivitas perekonomian setidaknya dalam

jangka pendek.

2. Akumulasi modal mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dalam jangka panjang.

3. Kemakmuran suatu daerah mencerminkan kinerja ekonomi di masa lalu.

4. Kompetisi yang didorong mekanisme pasar akan meningkatkan kinerja ekonomi suatu daerah. Semakin ketat kompetisi pada suatu perekonomian daerah, maka akan semakin kompetitif perusahaan-perusahaan yang akan bersaing secara internasional maupun domestik.

B. Keterbukaan

Indikator keterbukaan merupakan ukuran seberapa jauh perekonomian suatu daerah berhubungan dengan daerah lain yang tercermin dari perdagangan daerah tersebut dengan daerah lain dalam cakupan nasional maupun internasional, indicator ini menentukan daya saing melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Keberhasilan suatu daerah dalam perdagangan internasional merefleksikan daya saing perekonomian daerah tersebut.

2. Keterbukaan suatu daerah baik dalam perdagangan domestic maupun internasional meningkatkan kinerja perekonomiannya.

3. Investasi internasional mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien ke seluruh penjuru dunia.

4. Daya saing yang didorong oleh ekspor terkait dengan orientasi pertumbuhan perekonomian daerah.

(11)

17 5. Mempertahankan standar hidup yang tinggi mengharuskan integrasi dengan

ekonomi internasional.

C. Sistem Keuangan

Indikator system keuangan merefleksikan kemampuan sistem finansial perbankan dan non-perbankan di daerah untuk memfasilitasi aktivitas perekonomian yang memberikan nilai tambah. Sistem keuangan suatu daerah akan mempengaruhi alokasi faktor-faktor produksi yang terjadi di perekonomian daerah tersebut. Indicator system keuangan ini mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Sistem keuangan yang baik mutlak diperlukan dalam memfasilitasi aktivitas perekonomian daerah.

2. Sektor keuangan yang efisien dan terintegrasi secara internasional mendukung daya saing daerah.

D. Infrastruktur dan Sumber Daya

Infrastruktur dalam hal ini merupakan indikator seberapa besar sumber daya seperti modal fisik, geografis, dan sumber daya alam dapat mendukung aktivitas perekonomian daerah yang bernilai tambah. Indikator ini mendukung daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Modal fisik berupa infrastruktur baik ketersediaan maupun kualitasnya mendukung aktivitas ekonomi daerah.

2. Modal alamiah baik berupa kondisi geografis maupun kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga mendorong aktifitas perekonomian daerah.

(12)

18 3. Teknologi informasi yang maju merupakan infrastruktur yang mendukung

berjalannya aktifitas bisnis di daerah yang berdaya saing.

E. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Ilmu pengetahuan dan teknologi mengukur kemampuan daerah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya dalam aktifitas ekonomi yang meningkatkan nilai tambah. Indicator ini mempengaruhi daya saing daerah melalui beberapa prinsip dibawah ini:

1. Keunggulan kompetitif dapat dibangun melalui aplikasi teknologi yang sudah ada secara efisien dan inovatif.

2. Investasi pada penelitian dasar dan aktifitas yang inovatif yang menciptakan pengetahuan baru sangat krusial bagi daerah ketika melalui tahapan pembangunan ekonomi yang lebih maju.

3. Investasi jangka pendek berupa R&D akan meningkatkan daya saing sector bisnis.

F. Sumber Daya Manusia

Indikator sumber daya manusia dalam hal ini ditujukan untuk mengukur ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia. Factor SDM ini mempengaruhi daya saing daerah berdasarkan prinsip-prinsip berikut:

1. Angkatan kerja dalam jumlah besar dan berkualitas akan meningkatkan daya saing suatu daerah.

2. Pelatihan dan pendidikan adalah cara yang paling baik dalam meningkatkan tenaga kerja yang berkualitas.

(13)

19 3. Sikap dan nilai yang dianut oleh tenaga kerja juga menentukan daya saing

suatu daerah.

4. Kualitas hidup masyarakat suatu daerah menentukan daya saing daerah tersebut begitu juga sebaliknya.

G. Kelembagaan

Kelembagaan merupakan indikator yang mengukur seberapa jauh iklim social, politik, hukum dan aspek keamanan mampu mempengaruhi secara positif aktivitas perekonomian di daerah. Pengaruh factor kelembagaan terhadap daya saing daerah didasarkan pada beberapa prinsip sebagai berikut:

1. Stabilitas social dan politik melalui system demokrasi yang berfungsi dengan baik merupakan iklim yang kondusif dalam mendorong aktivitas ekonomi daerah yang berdaya saing.

2. Peningkatan daya saing ekonomi suatu daerah tidak akan dapat tercapai tanpa adanya sistem hukum yang baik serta penegakan hukum yang independen. 3. Aktifitas perekonomian suatu daerah tidak akan dapat berjalan secara optimal

tanpa didukung oleh situasi keamanan yang kondusif.

H. Govermance dan Kabijakan Pemerintah

Indikator governance dan kebijakan pemerintah dimaksudkan sebagai ukuran dari kualitas administrasi pemerintahan daerah, khususnya dalam rangka menyediakan infrastruktur fisik dan peraturan-peraturan daerah. Secara umum pengaruh factor governace dan kebijakan pemerintah bagi daya saing daerah dapat didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

(14)

20 1. Dengan tujuan menciptakan iklim persaingan yang sehat intervensi

pemerintah dalam perekonomian sebaiknya diminimalkan.

2. Pemerintah daerah berperan dalam menciptakan kondisi social yang terprediksi serta berperan pula dalam meminimalkan resiko bisnis.

3. Efektifitas administrasi pemerintahan daerah dalam menyediakan infrastruktur dan aturan-aturan berpengaruh terhadap daya saing ekonomi suatu daerah. 4. Efektifitas pemerintah daerah dalam melakukan koordinasi dan menyediakan

informasi tertentu pada sector swasta mendukung daya saing ekonomi suatu daerah.

5. Fleksibilitas pemerintah daerah dalam menyesuaikan kebijakan ekonomi merupakan factor yang kondusif dalam mendukung peningkatan daya saing daerah.

I. Manajemen dan Ekonomi Mikro

Dalam indikator manajemen dan ekonomi mikro pengukuran yang dilakukan dikaitkan dengan pertanyaan seberapa jauh perusahaan di daerah dikelola dengan cara yang inovatif, menguntungkan dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip yang relevan terhadap daya saing daerah diantaranya:

1. Rasio harga/kualitas yang kompetitif dari suatu produk mencerminkan kemampuan managerial perusahaan-perusahaan yang berada di suatu daerah. 2. Orientasi jangka panjang manajemen perusahaan akan meningkatkan daya

(15)

21 3. Efisiensi dalam aktivitas perekonomian ditambah dengan kemampuan

menyesuaikan diri terhadap perubahan adalah keharusan bagi perusahaan yang kompetitif.

4. Kewirausahaan sangat krusial bagi aktifitas ekonomi pada masa-masa awal. 5. Dalam usaha yang sudah mapan, manajemen perushaan memerlukan keahlian

dalam mengintegrasikan serta membedakan kegiatan-kegiatan usaha.

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dijelaskan secara sistematis mengenai hasil-hasil penelitian yang didapat dan berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Beberapa penelitian mengenai daya saing daerah telah dipublikasikan diberbagai jurnal ekonomi dan kajian ilmiah.

Penelitian pertama dilakukan oleh KPPOD (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia”. Hasil dari penelitiannya mengatakan bahwa faktor keamanan, politik, dan sosial budaya menjadi faktor yang memiliki bobot yang paling besar, yakni 27 persen, terhadap daya saing investasi di kabupaten/kota. Faktor selanjutnya yang berpengaruh, secara berturut-turut adalah ekonomi daerah (23%), tenaga kerja (18%), infrastruktur fisik (17%) dan kelembagaan (15%). Hasil temuan KPPOD menyebutkan bahwa ada dua karakteristik yang umumnya dimiliki oleh daerah-daerah yang mempunyai daya saing tinggi. Pertama, daerah-daerah-daerah-daerah tersebut memiliki kondisi perekonomian yang baik. Kedua, daerah yang mempunyai daya saing tinggi adalah daerah yang memiliki kondisi keamanan, politik, sosial budaya, dan birokrasi yang ramah terhadap kegiatan usaha. Kombinasi antara

(16)

22 kedua faktor dan ketersediaan tenaga kerja yang cukup dengan kualitas yang baik dan infrastruktur fisik yang memadai akan mendukung perkembangan dunia usaha.

Penelitian kedua dilakukan oleh Mudarajad Kuncoro (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Daya Tarik Investasi dan Pungli DIY”. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa menurut persepsi pelaku usaha di DIY, faktor Kelembagaan memiliki bobot terbesar dalam menentukan daya tarik investasi/kegiatan berusaha di DIY. Kemudian diikuti oleh faktor Infrastruktur Fisik, yang ketiga adalah factor Sosial Politik. Berikutnya adalah faktor Ekonomi Daerah dan yang terakhir adalah faktor Tenaga Kerja.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Ira Irawati (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah berdasarkan Variabel Perekonomian Daerah, Variabel Infrastruktur dan Sumber Daya Alam, serta Variabel Sumber Daya Manusia di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara”. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa peringkat daya saing terbaik berdasarkan variabel perekonomian daerah, infrastruktur dan sumber daya alam, serta sumber daya alam manusia pada kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, turut mendukung kabupaten/kota tersebut untuk menjadi peringkat terbaik secara umum.

Penelitian keempat yang dilakukan oleh Paidi Hidayat (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Daya Saing Kota Medan”. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa dari hasil pembobotan dan pemeringkatan diperoleh tiga faktor utama penentu daya saing ekonomi di kota medan yaitu factor infrastruktur dengan nilai bobot tertinggi, diikuti faktor perekonomian

(17)

23 daerah dan faktor sistem keuangan. Sedangkan faktor berikutnya dengan nilai bobot cukup rendah adalah faktor kelembagaan dan faktor sosial politik.

Penelitian Kelima dilakukan oleh Miftakhul Huda dan Eko Budi Santoso (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Daya Saing Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur berdasarkan Potensi Daerahnya”. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur memiliki kemampuan daya saing. Hal tersebut bisa dilihat dari munculnya hasil skor daya saing setiap kabupaten/kota. Tetapi adanya perbedaan kemampuan daya saing antara wilayah perkotaan dan kabupaten. Untuk wilayah perkotaan mendominasi sektor SDM dan Ketenagakerjaan, Infrastruktur dan Sarana-Prasarana, serta sektor yang tidak berasal dari alam, seperti sector produktivitas sekunder dan tersier. Untuk wilayah kabupaten, memiliki keunggulan di sektor yang berhubungan dengan alam, seperti sector produktivitas primer dan sumber daya air perkapita.

2.6 Kerangka Konseptual

Penentuan faktor-faktor dan variabel daya saing ekonomi di Kabupaten Labuhanbatu Utara dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan dari penelitian ini. Variabel-variabel yang menjadi indikator utama dalam penelitian ini merupakan perbandingan dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, seperti KPPOD (2005), Mudrajad Kuncoro (2005), Ira Irawati dkk (2008), Paidi Hidayat (2012), dan Miftakhul Huda (2014). Berikut ini indikator utama penentu daya saing ekonomi di Kabupaten Labuhanbatu Utara seperti pada gambar berikut :

(18)

24 Gambar 2.1.

Indikator Utama Penentu Daya Saing Ekonomi Kabupaten Labuhanbatu Utara INFRASTRUKTUR FISIK (Physical Infrastructure) TENAGA KERJA & PRODUKTIVITAS (Labor& productivity) EKONOMI DAERAH (Regional Economic Dynamism) SOSIAL POLITIK (Socio-Political Factors) Ketersediaan Infrastruktur Fisik (Availability of Physical) Infrastructure) Biaya Tenaga Kerja (Labor Cost) Potensi Ekonomi (Economic Potential) Stabilitas Politik (Political Stability) Kepastian Hukum (Legal Certainty) Ketersediaan Tenaga Kerja (Availability of Manpower) Keuangan Daerah (Regional Finance) Keamanan (security) Struktur Ekonomi (Economic Structure) Kualitas Infrastruktur Fisik (Quality of Physical Infrastructure) Produktivitas Tenaga Kerja (Productivity of Labor) Budaya (Cultural) Aparatur (Quality Of Civil Service) Perda / Indikator Perda (Region Policy / Regulation) KELEMBAGAAN (Regulation & Government service)

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan Distribusi Kecepatan Selama Pengaliran dengan Kondisi Awal Sebelum Mulai Tergerus yang Terjadi di Segmen Hilir Abutment 3 (Saluran Lurus Setelah Tikungan 180°) untuk

Perubahan perilaku seksual pranikah siswa membuktikan bahwa layanan bimbingan kelompok teknik diskusi memberikan pengaruh terhadap pemahaman tentang perilaku seksual pranikah

Has il penelitian menunjukan bahwa ris iko tingkat bunga memiliki koefis ien regres i pos itif yang berarti s emakin tinggi ris iko tingkat bunga, maka akan

Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan konstitusi, yang dibentuk diperuntukan menjaga dan menjamin berjalannya pemerintahan sesuai garis konstitusi. Oleh karenanya Mahkamah

Pertanyaan penelitian yang perlu ditelusuri adalah seberapa besar dan pengaruh alokasi waktu kerja dan kontribusi pendapatan yang berasal dari penghidupan pertanian (komoditi

Infeksi saluran kemih bawah (sistitis) tidak dengan komplikasi 1-2 gr/hari sebagai dosis tunggal atau terbagi.. Infeksi saluran kemih lainnya 2gr/hari dalam 2 dosis

Untuk menjaga stabilitas dasar sungai di hilir kolam olak, maka dibuat 2 (dua) buah Groundsill, dengan tinggi 4.5 meter dan 3 meter, dimana fungsi Groundsill pertama

Siswa diberi kebebasan mencari cara untuk membuat barisan kelompoknya sepanjang mungkin (problem solving). Kegiatan berikutnya siswa berlomba lari estafet antar kelompok.