• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI POLA PERKAWINAN SAPI POTONG DI WILAYAH SENTRA PERBIBITAN DAN PENGEMBANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI POLA PERKAWINAN SAPI POTONG DI WILAYAH SENTRA PERBIBITAN DAN PENGEMBANGAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI POLA PERKAWINAN SAPI POTONG DI

WILAYAH SENTRA PERBIBITAN DAN PENGEMBANGAN

(Identifiying Mating Patterns of Beef Farming at the Center

and Developing Areas)

PENI WAHYU PRIHANDINI,W.C.PRATIWI,D.PAMUNGKAS danL.AFFANDHY Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan 67184

ABSTRACT

The proper mating management should be conducted to anticipate high repeated mating and the long calving interval, especially in the cow-calf operation. The survey which held on small holder farming (invloving 400 respondents) at four provinces (East Java, Central Java, DIY and Bali), aimed to identify mating pattern in beef farming at the center and developing areas. Respondent were kept as purposive random sampling based on regimes, cow possesion and the level of AI acceptors (beginner or advance). The data was performed descriptively. Result showed that farmer in the center area’s used the bull (natural mating) as of 51.7% (Bali); 4.3% (DIY); 5.0% (Central Java) and 17.6% (East Java). Meanwhile, farmer used AI as much as 91.4% (DIY), 45.8% (East Java), 45.0% (Central Java) and 20.7% (Bali). Service per conception (S/C) of AI in DIY showed the highest (2.5) followed by Central Java (2.0), East Java (1.7) and Bali (1.3). S/C of natural mating in Central Java and Bali showed the lowest which was 1,4. In East Java and DIY were 1,6 and 2.3, respectively. Most of farmers declared using combination AI and natural mating which were 50% (Central Java), 36.6% (East Java), 27.6% (Bali) and 4.3% (DIY). In developing areas, natural mating mostly occured in Bali (72.7%). Meanwhile, the combination of AI-natural mating mostly happened in DIY (91,7%). This pattern was conducted by farmers regarding to the failed of AI (over four times inseminating). It can be concluded that mating pattern of beef farming either in central or developing areas was dominated by AI which was over 20.7%. However in developing area’s of Bali, the natural mating was predominantly.

Key Words: Cow, Mating Patterns, Central and Developing Areas

ABSTRAK

Managemen perkawinan yang tepat merupakan salah satu faktor yang harus dilakukan guna mengantisipasi tingginya kawin berulang dan selang beranak yang panjang, utamanya dalam cow-calf

operation di usaha peternakan rakyat. Suatu survei terhadap 400 responden yang tersebar di empat propinsi

(Jatim, Jateng, DIY dan Bali) bertujuan untuk mengidentifikasi pola perkawinan sapi potong di wilayah sentra perbibitan dan pengembangan telah dilakukan. Responden diambil secara purposive random sampling berdasarkan kriteria wilayah, kepemilikan induk dan tingkat kelompok akseptor IB (pemula/lanjutan). Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peternak di wilayah sentra menggunakan pejantan (kawin kawin alam) sebesar 51,7% (Bali); 4,3% (DIY); 5,0% (Jateng) dan 17,6% (Jatim). Namun demikian peternak yang menggunakan jasa IB sebanyak 91,4% (DIY), 45,8% (Jatim), 45,0% (Jateng) dan 20,7% (Bali). Service per conception (S/C) dengan menggunakan IB di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tampak paling tinggi (2,5) diikuti Jateng (2,0), Jatim (1,7) dan Bali (1,3). Sedangkan S/C hasil kawin alam di Jateng dan Bali menunjukkan paling rendah yakni 1,4; di Jatim 1,6 dan di DIY 2,3. Sebagian peternak menyatakan menggunakan kombinasi IB-kawin kawin alam, yakni 50% (Jateng), 36,6% (Jatim), 27,6% (Bali) dan 4,3% (DIY). Di wilayah pengembangan, pola kawin alam banyak terdapat di Bali (72,7%); sedangkan pola kombinasi IB-kawin alam banyak dilakukan oleh peternak di DIY (91,7%). Pola kombinasi tersebut dilakukan oleh peternak mengingat gagalnya IB sampai maksimal 4 kali inseminasi. Disimpulkan bahwa pola perkawinan sapi potong diwilayah sentra maupun pengembangan didominasi > 20,7% IB, tetapi di Bali di wilayah pengembangan didominasi oleh kawin alam.

(2)

PENDAHULUAN

Penurun produktivitas dan populasi sapi potong merupakan permasalahan pada penanganan reproduksi sapi potong. Penurunan tersebut dapat disebabkan oleh faktor managemen dan perkawinan yang kurang tepat sehingga akan berdampak pada terlambatnya umur beranak pertama, rendahnya angka konsepsi (S/C >) serta panjangnya jarak beranak (> 15 bulan). Managemen perkawinan yang tepat merupakan salah satu faktor yang harus dilakukan guna mengantisipasi tingginya kawin berulang dan selang beranak yang panjang, utamanya kawin alam cow-calf

operation di usaha peternakan rakyat.

Dalam rangka mewujudkan managemen perkawinan yang tepat tersebut, identifikasi pola perkawinan termasuk didalamnya pengamatan S/C dan pengalaman peternak sebagai akseptor IB perlu dilakukan sebagai langkah awal antisipasi.

Pola perkawinan yang sering dilakukan di wilayah sentra perbibitan dan pengembangan sapi potong adalah kawin alam, kawin suntik (IB) dan kombinasi keduanya (kawin alam dan IB). Wilayah sentra bibit adalah wilayah yang mempunyai populasi induk tertinggi dan ada kebijakan dari instansi setempat sebagai daerah bibit, sedangkan wilayah pengembangan adalah wilayah yang mempunyai populasi induk rendah dan adanya rencana dari dinas terkait untuk dijadikan daerah perbibitan.

Kawin alam banyak diminati para peternak yang berada di wilayah terpencil yang jauh dari jangkauan dan pengawasan petugas IB. Kawin suntik sering dilakukan oleh para peternak yang modern, skala besar dan dekat dengan wilayah petugas kawin suntik. Sementara itu, kombinasi kawin alam dan suntik banyak dilakukan oleh peternak yang karena kawinnya berulang mereka mencoba untuk kawin suntik supaya cepat bunting begitu juga sebaliknya.

Ada beberapa faktor lingkungan dan sosiologi yaitu pengetahuan peternak dalam deteksi birahi, perilaku peternak dalam memutuskan untuk mengawinkan sapinya secara IB/kawin alam, pengalaman peternak dalam memelihara sapi, keahlian inseminator, kualitas straw yang disuntikkan, daya jangkau wilayah dari inseminator yang dapat mempengaruhi pola perkawinan di wilayah sentra dan pengembangan sapi potong.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan pola perkawinan yang terdiri dari cara perkawinan dan gambaran akseptor IB antara wilayah sentra perbibitan dan pengembangan sapi potong sebagai langkah strategis penentu kebijakan, terkait dengan managemen perkawinan sapi potong dalam usaha cow-calf operation.

MATERI DAN METODE

Kegiatan diawali dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi kendala dan permasalahan aktivitas reproduksi serta dinamika pelaksanaan kawin secara IB dan kawin alam dalam kerangka managemen perkawinan sapi potong di wilayah sentra bibit (populasi induk tertinggi dan kebijakan instansi setempat) dan wilayah pengembangan (populasi induk rendah dan adanya rencana untuk dijadikan daerah perbibitan).

Data dikumpulkan melalui metode survei dan wawancara dengan pengisian kuisioner secara terbuka dan terstruktur. Lokasi penelitian di kawasan sentra (Jatim: Tuban, Malang – Singosari, Pasuruan – Nguling, Lumajang; Jateng: Blora-Jepon; DIY: Bantul; Bali: Tabanan) dan kawasan pengembangan sapi potong (Jatim: Situbondo, Malang – Wajak, Pasuruan – Wonorejo, Lumajang); Jateng: Blora – Tunjungan; DIY: Sleman; Bali: Tegal Saka). Responden pada masing-masing lokasi minimal 100 peternak yang mempunyai sapi potong induk. Beberapa key persons adalah: ketua kelompok, perangkat desa, petugas inseminator/mantri hewan dan staf dinas peternakan setempat. Sample diambil dengan teknik purposive dan proporsional random terhadap peternak yang menggunakan kawin: IB, kawin alam dan kombinasi IB-kawin alam. Data yang diperoleh diolah dan disajikan secara diskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil peternak

Identifikasi pola perkawinan di wilayah sentra dan pengembangan dilakukan dengan wawancara kepada 400 responden masing-masing wilayah (Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Bali) adalah 100 responden

(3)

yang mempunyai sapi betina sudah pernah beranak dan dikawinkan secara IB, kawin alam atau kombinasi keduanya (IB-kawin alam).

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan peternak kooperator di empat wilayah (Jawa Timur, Jawa Tengah, Tabel 1. Profil peternak koperator

Lokasi survei Uraian

Jawa Timur Jawa Tengah DI Yogyakarta Bali Daerah sentra Pendidikan (%) Non SD SD SLP SLA Perguruan Tinggi 20,44 73,48 3,87 2,21 0 40,91 45,45 11,36 2,27 0 4,35 34,78 34,78 26,09 0 10,34 62,07 6,90 13,79 6,9 Umur (%)

Belum produktif (1 - 20 tahun) Produktif (21 – 60 tahun) Tidak produktif (61 – 100 tahun)

1,10 91,16 7,72 0 88,64 11,36 0 95,65 4,35 3,45 82,76 13,79 Kepemilikan sapi (%) Pedet Dara

Induk belum bunting Induk bunting Induk laktasi Induk kering Jantan 21,64 4,61 0,80 34,87 17,84 12,22 8,02 11,27 7,04 2,82 30,99 18,31 21,13 8,45 5,13 2,56 10,26 48,72 5,13 25,64 2,56 19,70 1,52 3,03 45,45 13,64 6,06 10,61

Unit Ternak (UT) 1,98 1,61 1,61 2,28

Pengalaman beternak (%) 1 – 10 tahun

11 – 20 tahun 21 tahun atau lebih

69,61 24,86 5,52 64,29 33,33 2,38 95,83 4,17 0 58,82 17,65 23,53 Daerah pengembangan Pendidikan (%) Non SD SD SLP SLA Perguruan Tinggi Umur (%)

Belum produktif (1 - 20 tahun) Produktif (21 – 60 tahun) Tidak produktif (61 – 100 tahun)

20,79 70,30 5,94 0,99 1,98 0,99 91,09 7,92 18,18 77,27 1,52 1,52 1,52 0 88,06 11,94 8,33 29,17 50 12,5 0 0 95,83 4,17 13,64 40,91 13,64 27,27 4,55 0 90,91 9,09 Kepemilikan sapi (%) Pedet Dara

Induk belum bunting Induk bunting Induk laktasi Induk kering Jantan 11,33 3,45 7,88 34,98 14,29 25,12 2,96 7,19 6,47 5,76 30,22 12,23 30,94 7,19 5,56 8,33 30,56 5,56 2,78 38,89 8,33 2,38 0 9,52 42,86 35,71 4,76 4,76

Unit Ternak (UT) 1,79 1,38 1,88 1,92

Pengalaman beternak (%) 1 – 10 tahun

11 – 20 tahun 21 tahun atau lebih

62,38 25,74 11,88 83,33 12,12 4,55 79,17 8,33 12,50 45,45 18,18 36,36

(4)

DI Yogyakarta dan Bali) adalah tamat SD masing-masing (73,48; 45,45; 34,78; 62,07%) dan sisanya tidak tamat SD, tamat SLP, SLA dan Perguruan Tinggi. Hal yang demikian tidak menunjukkan rendahnya kemampuan peternak dalam memelihara sapi, mengingat peternak di keempat wilayah tersebut > 80% masih dalam kategori usia produktif (21 – 60 tahun) dan telah berpengalaman dalam merawat ternak, khususnya sapi potong.

Persentase kepemilikan sapi bunting peternak kooperator paling tinggi di wilayah sentra maupun pengembangan. Pada umumnya peternak kooperator adalah peternak kecil yang jumlah pemeliharaannya juga relatif kecil (Tabel 1). Rataan jumlah pemeliharaan sapi potong di daerah sentra berkisar antara 1,61 UT – 2,28 UT. Sementara itu, daerah pengembangan berkisar antara 1,38 UT – 1,92 UT. Jumlah pemeliharaan yang relatif kecil ada keterkaitan dengan sistem penyediaan pakan. HASTONO et al. (2000) mengemukakan bahwa pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan kecepatan laju pertumbuhan sapi. Pertumbuhan sapi akan terhambat apabila pakan tidak diperhatikan dengan baik dari jumlah maupun kualitasnya. Apabila pertumbuhan sapi terhambat maka akan sangat mempengaruhi waktu birahi pertama sapi sehingga memperlambat perkawinan untuk meghasilkan keturunan.

Pengadaan hijauan pakan berkualitas di wilayah sentra maupun wilayah pengembangan terkadang menjadi permasalahan yang berarti terutama saat musim kemarau. Pada saat musim kemarau peternak terkadang hanya

memberikan pakan berupa jerami padi kering. Pemberian pakan berupa jerami yang terlalu lama akan menghambat pertumbuhan sapi.

Pola perkawinan

Persentase hasil masing-masing komponen cara perkawinan di keempat wilayah sentra dan pengembangan disajikan pada Tabel 2. Pada penelitian ini ternyata bahwa untuk wilayah sentra pembibitan, cara perkawinan IB yang tertinggi adalah DI Yogyakarta (91,4%) dan terendah Bali (20,7%); Kawin alam yang tertinggi adalah di Bali (51,7%) dan terendah DIY (4,3%); IB-Kawin alam tertinggi Jawa Tengah (50%) dan terendah DI Yogyakarta (4,3%); untuk wilayah pengembangan, cara perkawinan IB tertinggi Jawa Timur (27%) dan terendah Bali (4,6%); Kawin alam tertinggi Bali (72,7%) dan terendah DI Yogyakarta (0%); IB-Kawin alam tertinggi DI Yogyakarta (91,7%) dan terendah Bali (22,7%).

Dengan hasil tersebut diatas menunjukkan bahwa di wilayah sentra pembibitan (DIY) para peternaknya sudah mulai sadar akan pentingnya cara perkawinan secara IB, walaupun S/C di DIY tertinggi (Tabel 3). Cara perkawinan secara IB mempunyai beberapa kebaikan apabila peternak tahu secara tepat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan IB, sehingga dapat mengantisipasi terlambatnya umur beranak pertama, rendahnya angka konsepsi (S/C >2) serta panjangnya jarak beranak (> 15 bulan). AFFANDHY et al. (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi cara Tabel 2. Cara perkawinan sapi potong di peternak wilayah sentra perbibitan dan pengembangan sapi potong

di Jatim, Jateng, DIY dan Bali

Lokasi survei Parameter

Jawa Timur Jawa Tengah DI Yogyakarta Bali Daerah sentra IB (%) 45,8 45 91,4 20,7 IB-kawin alam(%) 36,6 50 4,3 27,6 Kawin alam (%) 17,6 5 4,3 51,7 Daerah pengembangan IB (%) IB-kawin alam(%) Kawin alam (%) 27,0 33,3 39,7 19 36 45 8,3 91,7 0 4,6 22,7 72,7

(5)

perkawinan IB di wilayah sentra dan pengembangan sapi potong adalah pengetahuan peternak, sikap peternak dan persepsi peternak tentang IB. Faktor pengetahuan, sikap dan persepsi peternak yang terkait dengan keberhasilan program IB sangat ditentukan oleh pemahaman tentang manfaat IB itu sendiri, yaitu bahwa IB telah dirasakan oleh peternak untuk menanggulangi kekurangan pejantan dan anak hasil IB telah terbukti mempunyai sifat pertumbuhan lebih cepat.

S/C yang tinggi di DI Yogyakarta disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah dikemukan oleh YUSRAN et al. (2001) bahwa masalah internal peternak pada program IB sapi potong yang secara nyata telah menekan kinerja hasil program IB sapi potong di Jawa Timur.

Masalah internal tersebut adalah skor kondisi tubuh induk rendah; daya beli peternak untuk straw-straw berkualitas tinggi (elite

straw) rendah; rendahnya kualitas nutrisi

ransum untuk sapi-sapi hasil IB setelah lepas sapih atau setelah umur 4 bulan; masih adanya sapi-sapi jantan dewasa yang berfungsi sebagai pejantan untuk kawin alam (pemacek) di wilayah IB; sapi-sapi hasil IB tidak seragam

performance-nya; kurangnya pengadaan serta

disiplinnya pengisian kartu IB untuk setiap sapi akseptor IB dan tidak adanya pencatatan individu sapi (sistem recording) untuk

sapi-sapi hasil IB; belum berfungsi secara penuh petugas ATR yang dikarenakan tidak memperoleh laporan dan kurangnya komunikasi dengan petugas pemeriksa kebuntingan (PKB)/inseminator.

Jumlah inseminator yang kurang dapat menjadi masalah apabila didasarkan target semua sapi induk di Jawa Timur harus kawin IB. Selain itu, permasalahan internal layanan pada program IB sapi potong yang secara nyata telah menekan kinerja hasil program IB sapi potong di Jawa Timur adalah ketersediaan kontainer straw semen beku di tingkat inseminator yang kurang dan berkualitas rendah (banyak yang bocor); kelengkapan peralatan untuk inseminasi yang kurang sempurna dalam jumlah maupun kualitas.

Kondisi reproduksi induk sapi potong

Kondisi reproduksi induk sapi potong pada peternak di wilayah sentra perbibitan maupun di wilayah pengembangan sapi potong menunjukkan bahwa status reproduksinya normal, yaitu tidak mengalami keguguran, distosia, dan telah mengalami beranak, namun S/C dari induk-induk tersebut baik pada perkawinan secara kawin alam (menggunakan pejantan setempat) maupun IB tampaknya lebih dari dua kali kawin.

Tabel 3. Kondisi reproduksi induk sapi potong di peternak wilayah sentra perbibitan dan pengembangan sapi

potong di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Bali

Lokasi survei Parameter

Jawa Timur Jawa Tengah DI Yogyakarta Bali Daerah sentra Normal (%) Tidak normal (%) 100 0 100 0 100 0 100 0 S/C IB Kawin alam 1,7 ± 0,3 1,6 ± 0,3 2,0 ± 1,0 1,4 ± 0,6 2,5 ± 0,9 2,3 ± 0,6 1,3 ± 0,3 1,4 ± 0,4 Daerah pengembangan Normal (%) Tidak normal (%) 100 0 100 0 100 0 100 0 S/C IB Kawin alam 2,0 ± 0,6 1,8 ± 0,3 1,9 ± 1,2 1,9 ± 1,6 2,2 ± 0,6 2,3 ± 0,6 1,2 ± 0,4 1,3 ± 0,5 S/C = Service per conception

(6)

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kondisi reproduksi induk (normal/tidak normal, S/C) di empat wilayah (Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Bali) cara perkawinan secara kawin alam (menggunakan pejantan setempat) maupun IB tampaknya lebih dari dua kali kawin sampai ternak tersebut bunting. Dengan demikian kondisi induk di peternak apabila dipandang dari keabnormalan reproduksinya masih dalam batas sehat/normal. Hal ini dikarenakan induk sapi pernah beranak sehingga dapat diartikan bahwa induk memiliki aktivitas reproduksi yang normal. Namun S/C yang masih tinggi akan sangat mempengaruhi

calving interval yang berkepanjangan.

Servis per konsepsi (S/C) yang lebih dari 1,6 kali dan saat mulai mengawinkan sapi perah induk yang lebih dari 50 hari setelah beranak akan berakibat pada jarak beranak (calving interval) yang lebih panjang dari 365 hari (SORI dan RAYS, 1992). Tingginya kawin berulang baik melalui kawin kawin alam atau IB dan angka kebuntingan < 60% dapat menyebabkan panjangnya calving interval (AFFANDHY et al., 2004; YUSRAN et al., 2001).

Hasil S/C IB dan kawin alam di wilayah sentra dan pengembangan adalah sama yaitu tertinggi DIY dan terendah Bali. Hasil S/C dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain adalah kualitas pejantan atau straw yang disuntikkan, keahlian inseminator, dan deteksi birahi yang tepat.

Akseptor IB

Pada Gambar 1 dan 2 tentang tingkat kelompok akseptor IB di wilayah sentra yang banyak pemulanya di DI Yogyakarta (47,8%) tertinggi, Jawa Tengah (2,4%) terendah dan lanjutan di Jawa Tengah (97,6%) tertinggi, DI Yogyakarta (52,2%) terendah. Pada wilayah pengembangan yang banyak pemulanya adalah Jawa Timur (35,9%) tertinggi, DI Yogyakarta (4,2%) terendah dan lanjutan di DI Yogyakarta (95,8%) tertinggi, Jawa Timur (64,1%) terendah.

Pada kedua wilayah tersebut yaitu sentra dan pengembangan tingkat kelompok akseptor IB sangat tergantung pada kondisi lingkungan masing-masing wilayah. 37. 6 2. 4 47. 8 21. 4 62. 4 97. 6 52. 2 78. 6 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pemula Mainded Jatim Jateng DIY Bali

Gambar 1. Akseptor IB sapi potong di peternak wilayah sentra perbibitan sapi potong di Jawa Timur,

(7)

35. 9 16. 2 4. 2 16. 7 64. 1 83. 8 95. 8 83. 3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pemula Mainded Jatim Jateng DIY Bali

Gambar 2. Akseptor IB sapi potong di peternak wilayah pengembangan sapi potong di Jawa Timur,

Jawa Tengah DI Yogyakarta dan Bali

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pola perkawinan sapi potong diwilayah

sentra maupun pengembangan didominasi > 20,7% IB, tetapi di Bali di wilayah pengembangan didominasi oleh kawin alam. Namun demikian S/C di kedua wilayah tersebut tidak menunjukkan perbedaan.

2. Pola perkawinan di wilayah sentra dan pengembangan dipengaruhi oleh faktor internal peternak dan eksternal (inseminator/dinas terkait).

SARAN

Guna meminimalkan tingginya kawin berulang dan selang beranak, perlu adanya pemantapan program IB secara teknis yang disesuaikan dengan kondisi agroekosistem dan sosial budaya baik di wilayah sentra maupun pengembangan.

DAFTAR PUSTAKA

AFFANDHY, L., D. PAMUNGKAS, P.W. PRIHANDINI, W.C.PRATIWI,D.B.WIJONO,P.SITUMORANG, T.SUSILOWATI,HARTATI. 2005. Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui Efisiensi Reproduksi. Laporan Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong.

AFFANDHY, L., D. PAMUNGKAS. MARIYONO dan P. SITUMORANG. 2004. Efisiensi Penggunaan Semen Cair Melalui Suplementasi Mineral Zn dan Vitamin E pada Sapi Potong. Laporan Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong. HASTONO, I-W. MATHIUS, E. HANDIWIRAWAN,

I-GEDE PUTU dan P. SITUMORANG. 2000. Penampilan Anak Sapi Keturunan Brang-Bal di NTB. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 September 2000. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 80 – 85.

SORI, B. dan .K. RAYS. 1992. Dampak Jarak Beranak api Perah Induk Terhadap Pendapatan Peternak Sapi Perah. J. Ilmu dan

Peternakan. Balai Penelitian Ternak.

YUSRAN,M.A.,L.AFFANDHY dan SUYAMTO. 2001. Pengkajian Keragaan, Permasalahan dan Alternatif Solusi Program IB Sapi Potong di Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17 – 18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 155 – 167.

(8)

DISKUSI Pertanyaan:

Bagaimana penerapan studi ini dengan rencana Dirjen untuk meningkatkan IB?

Jawaban:

Perlu diperbaiki infrastrukturnya supaya program IB dapat berhasil seperti yang diharapkan oleh Dirjen.

Gambar

Gambar 1. Akseptor IB sapi potong di peternak wilayah sentra perbibitan sapi potong di Jawa Timur,   Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Bali
Gambar 2. Akseptor IB sapi potong di peternak wilayah pengembangan sapi potong di Jawa Timur,  Jawa Tengah DI Yogyakarta dan Bali

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media animasi partikel materi berbasis representasi kimia untuk siswa pada tingkat Sekolah Menengah Pertama;

Uji aktivitas Penangkapan Radikal Bebas Dari Ekstrak Petroleum Eter, Etil Astat dan Etanol Rhizome Binahong Anredera cordifolia (Ten) Steenis dengan Metode DPPH

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kondisi fisiografi dan fisiko-kimia zona litoral danau Rawa Pening relatif sama pada semua stasiun penelitian.. Zona litoral

Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik berbasis problem solving materi wilayah NKRIpada mata pelajaran PPKn untuk

Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (MSPK) yang merupakan komponen dari Sistem Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan (SPPMP) telah dikembangkan

Dalam kaitan dengan upaya yang sedang dilakukan, para informan mengungkapkan bahwa hal yang paling penting adalah memahami komunikasi interpersonal, menempatkan baik orang tua

Kebanyakan adalah mejadi “Pandhiga” awak kapal daerah tersebut karena memang Nelayan disana lebih maju di bandingkan Nelayan Desa Lobuk sendiri, dengan adanya

Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi