Abstract: This paper seeks to find the erotic metaphors in Serat Anglingdarma. Here, the erotic
metaphors are used to depict sexual activities among the actors. The metaphors are brought into play as kind of flavouring which is seemingly difficult to avoid. Erotic metaphors are not the same as porn, for erotic metaphors in this literary work are even to soften the direct decriptions of sexual activities. The metaphors for sex in this ancient Javanes novel take the concept of food or fruits for the source domain of metaphorical expressions.
Kata Kunci: erotisme; metafora; ranah sasaran; ranah sumber Pendahuluan
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan suatu bangsa terwujud dalam tiga unsur, yaitu (1 ) kompleks gagasan, nilai, norma, dan peraturan; (2) kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat; dan (3) benda-benda hasil karya manusia. Unsur pertama, yang disebut juga kebudayaan ideal, antara lain terdapat dalam karya sastra karena di dalamnya tersimpan ungkapan pikiran, cita-cita, dan renungan manusia pada masa tertentu (1985:5). Kebudayaan ideal merupakan landasan perilaku manusia dalam masyarakat dan menjadi latar seluruh kebudayaan materiil masyarakat tersebut yang masih dapat diamati dan dipahami. Ungkapan yang terdapat di dalam kebudayaan ideal diwujudkan dalam berbagai bentuk, antara lain, adat-istiadat, upacara peribadatan, doa, mantra, dan cerita rakyat, yang seluruhnya tergolong dalam karya sastra. Sejumlah warisan kebudayaan, dalam hal ini masyarakat Jawa, terekam dalam berbagai jenis karya sastra seperti tembang, suluk, serat, babad, saloka, bebasan dan lain-lain sejak abad IX hingga sekarang.
Sastra Jawa pernah mencapai zaman keemasannya pada abad XVIII dan XIX. Pada masa tersebut, kodifikasi karya sastra banyak dilakukan, baik dalam bentuk gubahan maupun karya baru oleh para pengarang terkenal pada masa pemerintahan Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pada zaman keemasan inilah cerita tentang Prabu Anglingdarma atau Serat Anglingdarma ditulis, tepatnya selesai ditulis pada tahun 1859. Karya ini dipersembahkan oleh penulisnya untuk raja Surakarta, yang ditulis tangan menggunakan huruf Jawa. Namun, yang akan menjadi sumber data pada makalah ini bukan manuskrip tersebut tetapi karya yang sudah dialih- aksarakan ke dalam huruf Latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indo- nesia oleh Sujadi Pratomo (1 981 ). Serat sendiri merupakan cerita naratif yang ditulis dengan gaya dan bahasa puitis.
Serat Anglingdarma termasuk ke dalam golongan sastra Jawa klasik, yaitu karya sastra yang diciptakan sebelum zaman modern atau sebelum ada pengaruh Barat (Robson, 1978:9). Shadily menyatakan bahwa secara substansial sastra Jawa klasik dapat dianggap sebagai karya sastra yang bernilai tinggi, luhur, langgeng, dan tidak luntur sepanjang masa (1982: 1793). Cerita tentang Prabu Anglingdarma ini lebih terkenal di masyarakat Jawa timur dari pada di Jawa Tengah atau Yogyakarta, khususnya Bojonegoro dan sekitarnya. Salah satu sebabnya adalah karena latar lokasi ceritanya adalah Bojonegoro. Oleh masyarakat, cerita ini dianggap mengan- dung banyak petunjuk dan pedoman bagi para
calon pemimpin, prajurit dan kehidupan yang berkaitan dengan hubungan antara pria dan wanita. Oleh sebab itu, cukup relevan untuk memilih karya ini sebagai objek analisis.
Serat Anglingdarma berisi cerita tentang seorang raja bernama Angling- darma. Dia mendapat kutukan dari Dewi Uma dan Dewi Ratih karena diang- gap tidak menepati sumpahnya untuk tidak tergoda lagi dengan wanita sepeninggal istrinya, Dewi Ambarwatya. Kutukan tersebut mengharus- kannya berkelana selama delapan tahun tanpa boleh pulang ke negaranya, Malawapati. Ditemani patihnya yang setia, Batikmadrim, sepanjang perja- lanan, Anglingdarma melakukan banyak penaklukan dengan cara menga- wini putri-putri kerajaan lain dengan berbagai cara. Petualangan Angling- darma selama delapan tahun menjalani kutukan itu merupakan bagian yang paling menarik. Cerita diakhiri dengan penobatan Anglingkusuma sebagai raja Malawapati menggantikan ayahnya, Anglingdarma. Sementara itu, Anglingdarma menghabiskan masa tuanya dengan bertapa di gunung.
Tulisan ini akan membahas pernyataan-pernyataan metaforis yang terkait dengan erotisme dalam Serat Anglingdarma. Perlu diketahui bahwa teks yang mengandung unsur erotisme harus dibedakan dengan pornografi. Erotisme lebih mengarah pada penggambaran perilaku, keadaan atau sua- sana yang didasari oleh libido, dalam arti keinginan seksual. Sementara itu, pornografi lebih cenderung pada perilaku seksual yang ditonjolkan untuk membangkitkan nafsu birahi (Hoed, 1994:1 -3). Terkait dengan erotisme dalam karya sastra, Steinberg (1954:201 -220) menyatakan bahwa kategori sastra erotis mencakup: Pertama, karya sastra yang menampilkan hubungan pria dan wanita dengan penekanan pada aspek spiritual, intelektual, dan hubungan seksual yang dinyatakan secara terselubung. Kedua, karya sastra yang menggambarkan seksualitas secara lebih menarik, tetapi tidak menjadi inti cerita. Ketiga, karya sastra yang bersifat pornografi murni. Pada karya jenis ini, pengarang menyajikan adegan seksualitas dengan maksud membangkitkan birahi seksual.
Untuk menilai apakah suatu teks itu erotis atau pornografis memang tidak selalu mudah. Hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan usia, jenis kelamin, cara pandang, pengalaman, pengetahuan, budaya, dan norma tiap-tiap indi- vidu pembaca teks tersebut. Namun, sejalan dengan apa yang dinyatakan Steinberg di atas, penggunaan istilah erotisme pada penelitian ini tentu lebih sesuai daripada pornografi.
Sementara itu, metafora merupakan alat yang melibatkan konseptualisasi suatu wilayah untuk merepresentasikan sesuatu yang lain. Proses ini diberi istilah pemetaan pemetaan (mapping). Jadi, metafora merupakan pene- rapan satuan konseptual ke satuan konseptual lainnya.. Penutur memilih sendiri cara pandangnya terhadap sesuatu. Radden mengutip pernyataan Aristoteles (Radden dan Dirven, 2007 :15): A good metaphor implies an intuitive perception of the similarity in dissimilars. Pernyataan ini sesuai dengan konsep mapping. Contoh: The microprocessor is the brain of a computer. Brain ‘otak’ manusia diterapkan pada komputer karena dianggap ada persamaan, yaitu pusat pengatur kegiatan. Secara intuitif, penutur dapat membuat persamaan semacam itu. Yang perlu diingat dari konsep metafora adalah kesamaan makna ‘similarity of sense’ (Ullman, 1964:212).
Talmy (2001:168) mengutip Lakoff dan Johnson yang mengatakan bahwa metafora selaras dengan konsep rekaan (general fictivity). Dengan metafora, penutur merepresentasikan suatu konsep dari medan sumber (source domain) ke medan sasaran (target domain). Representasi pada medan sumber dipahami sebagai sesuatu yang faktual dan merupakan kebenaran; sebaliknya pada medan sasaran representasi tersebut dianggap sebagai suatu rekaan.
David Lee (2001 :6) berpandangan sama dengan kedua tokoh di atas. Ia menambahkan bahwa medan sumber berkaitan dengan wilayah kongkret, sedangkan medan sasaran berkaitan dengan wilayah yang lebih abstrak. Kita lihat kutipan contoh dari bait ke-18 pada pupuh ke-13 tembang sinom. Pupuh ini diawali dengan penceritaan Anglingdarma yang sedang bertamu ke rumah Ken Retna.
Sang nata datan darana Sang Ayu den parepeki, sinambut ingaras-a ras, binekta ing tilamsari, sampun atangkep samir, Srinarendra langkung ba ut, Dhasar estri diwasa,
Tembe sinandhing wong pekik, Asrah jiwa solahe karagan-ragan.“Sang raja tidak sabar lagi, segera mendekati Ken Retna. Diciumnya berulang-ulang, selanjutnya dibawa ke peraduan. Terjadi sudah pertemuan dua insan, sang raja sangat mahir. Si putri sudah dewasa, baru perta ma bersanding dengan pria dewasa, ia pasrah tak tentu ulahnya“.
Kata sinandhing ‘bersanding/berdekatan‘ merupakan kata metaforis. Kata tersebut sebenarnya untuk hal yang kongkret, yaitu berdekatan dalam artian tidak berada pada posisi yang berjauhan. Akan tetapi, pada kutipan dari serat di atas kata sinandhing memiliki makna yang lebih dari sekadar berdekatan tetapi bersetubuh. Hal ini dapat dilihat dari konteks penceri- taannya, yaitu Ken Retna yang ingin mengobati Anglingdarma yang sedang patah hati dengan mengajaknya tidur di rumahnya (bait ke-17 ).
Metafora penting, setidaknya dilihat dari dua segi. Pertama, kaitannya de- ngan hubungan antarkata itu sendiri: metafora merupakan proses dasar dalam penyusunan kata dan maknanya. Konsep dan makna dileksikalisasi, atau diekspresikan dengan kata-kata, melalui metafora. Kedua, kaitannya dengan wacana: metafora penting karena fungsinya— menjelaskan, meng- klarifikasi, menjabarkan, mengekspresikan, mengevaluasi, menghibur. Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan metafora dalam ujaran atau tulisan: tidak sekadar disebabkan tidak tersedianya kata lain untuk mengacu ke hal tertentu. Akan tetapi, ketika seseorang mempunyai pilihan, dia menggunakan metafora untuk menyatakan apa yang dia pikir atau bagai- mana ia merasakan sesuatu; untuk menjelaskan kekhasan suatu objek; untuk mengungkapkan makna dengan lebih menarik atau kreatif (Knowles dan Moon, 2006: 4).
Metafora Erotis
Melalui tulisan ini, penulis ingin menjelaskan realisasi metafora dan mene- mukan ranah sumber apa saja yang digunakan untuk mengungkapkan unsur erotisme dalam Serat Anglingdarma.
Tulisan ini mencakup pernyataan-pernyataan yang bermakna metaforis pada tataran kata, frasa, dan kalimat yang mengarah dan menggambarkan erotisme dalam Serat Anglingdarma. Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Hoed (1994:1 -3), erotisme adalah penggambaran perilaku, keadaan atau suasana yang didasari oleh libido, dalam arti keinginan seksual. Oleh karena itu, yang akan menjadi menjadi bahan penelitian adalah penceritaan yang hanya mengandung motif-motif seksual.
Objek analisis pada tulisan ini adalah serat Anglingdarma yang telah dialihaksarakan dalam aksara latin dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan alasan bahwa naskah asli Serat Anglingdarma tidak mudah ditemukan dan adanya kendala keterbacaan oleh penulis. Data dalam tulisan ini berupa kata, frasa atau kalimat metaforis yang mengan- dung unsur erotisme dari Serat Anglingdarma. Karena keterbatasan tem- pat, data hanya diambil dari satu pupuh, yaitu pupuh ke-14 Tembang Kinanti. Hal
lain yang penulis curigai banyak mengan- dung unsur erotisme adalah ke-2, 7 , 13, 21, 23, 27 , 28, 30, 31, dan ke-45.
Pupuh XIV (Kinanti) menceritakan kisah tentang pertemuan antara Anglingdarma dengan dua adik Ken Retna, yaitu Ken Wiyati dan Ken Witarsih. Keduanya dijadikan pula kekasih oleh Anglingdarma atas perse- tujuan Ken Retna. Adegan percintaan antara Anglingdarma dengan Ken Wiyati dan juga dengan Ken Witarsih diceritakan di sini.
Karena analisis hanya terbatas pada adegan-adegan yang mengandung unsur erotisme, kutipan teks pun hanya sampai pada bagian yang mengan- dung pernyataan-pernyataan yang erotis. Pembatasan ini bisa jadi mele- paskan kebulatan dan keutuhan teks sebagai suatu karya sastra. Kemung- kinan ini memang sulit dihindari. Di samping keterbatasan waktu untuk menjajikan kutipan teks secara utuh yang memiliki jumlah halaman cukup banyak, pembatasan ini dimaksud untuk lebih mencurahkan perhatian pada pernyataan-pernyataan yang mengandung motif-motif seksual. Namun demikian, peristiwa-peristiwa yang melatari cerita-cerita yang mengandung pernyataan erotis akan dicerita-ceritakan seperlunya untuk memberikan konteks.
Identifikasi Metafora
Untuk menganalisis metafora, Knowles dan Moon (2006:9-10) mengajukan tiga elemen yang harus diperhatikan supaya identifikasi menjadi berterima. Tiga elemen tersebut yaitu: metafora (kata, frasa, atau satuan bahasa yang lebih luas); makna (apa yang diacu secara metaforis); dan kemiripan atau hubungan antara dua hal. Ketiga elemen tersebut biasa dikenal secara berturut-turut sebagai (1 ) vehicle, (2) topic, dan (3) ground. Vehicle adalah unsur kebahasaan yang dapat berupa kata, frasa, atau kalimat yang diduga mengandung makna metaforis. Topic adalah makna yang dikehendaki, dalam arti bukan makna denotatif. Artinya kata atau frasa tersebut mengalami perubahan dari makna dasarnya. Sebuah kata, frasa atau kalimat masuk ke dalam kategori metafora apabila mengalami perubahan makna. Hal ini dapat diamati dengan melihat konteks dalam suatu ujaran. Sementara itu, ground adalah hubungan atau titik kemiripan antara makna dasar dengan makna metaforis. Metafora juga bisa dikenali melalui beberapa ciri yang dimiliki. Ciri tersebut misalnya dapat diubah menjadi simile dengan menyisipkan kata-kata seperti bagaikan, umpama, laksana, serupa dan seperti dalam bahasa Indonesia. Metafora juga muncul dalam bentuk ketidakcocokan kolokasi.
Pemetaan Konseptual
Metafora dapat diungkapkan dalam berbagai ranah. Menurut Nida (1975: 229), ranah merupakan suatu medan berupa pengalaman budaya yang direalisasikan oleh sekelompok istilah yang berhubungan dan dapat dijelaskan; penjelas dalam ranah diwakili oleh komponen umum dari makna istilah dalam ranah. Nida menambahkan bahwa ranah dapat juga disebut sebagai medan makna. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa ranah merupakan sekelompok istilah yang tiap-tiap istilah tersebut mengandung komponen umum yang sama sehingga maknanya berhubungan. Jadi, istilah-istilah dalam bidang tertentu dapat dimasukkan ke dalam suatu ranah tertentu. Lakoff (dalam Stern, 2000:177 ) menyebut bahwa metafora dapat dilihat sebagai pemetaan dasar sebuah pengalaman di stu ranah untuk sebuah pengalaman di ranah lain. Ungkapan metaforis adalah ungkapan bahasa (kata, frasa, atau kalimat) yang merupakan wujud lahiriah lintas ranah. Stern sendiri mengatakan bahwa “metaphor are not linguistic expressions (or
interpretation) but cross-domain mappings in the conceptual system.” Dengan demikian, metafora merupakan sebuah pemetaan lintas ranah dalam sistem konseptual. Hal ini berarti bahwa metafora bekerja di antara dua ranah, yaitu ranah sumber (source domain) dan ranah sasaran (target domain).
Knowles dan Moon (2006: 33) memberikan penjelasan mengenai sumber dan sasaran ini sebagai berikut “the term source domain is used for the concept area from which the metaphor is drawn; target domain is used for the concept area to which the metaphor is applied.” Jadi ranah sasaran merupakan penayangan sesuatu yang berhubungan antara ranah sasaran dan ranah sumber, sedangkan ranah sumber merupakan penayangan sesuatu berdasarkan makna dasar sebuah kata. Hubungan antara konsep sasaran dan sumber inilah yang disebut pemetaan (correspondences or mapping). Dari perny ataan tersebut, dapat dikatakan bahwa hal-hal yang konkret dan realistis dalam ranah sumber dipetakan kepada ranah sasaran. Dari pemetaan tersebut dapat dilihat persamaan dan perbedaan dari dua ranah yang berbeda.
Untuk pemetan ranah sumber dan sasaran, Lakoff mengemukakan contoh, yaitu argument is war, seorang yang berargumen diibaratkan sedang berperang. Argument merupakan ranah sasaran, sedangkan war adalah ranah sumber. Oleh karena itu, dapat dibuat penamaan perdebatan sebagai peperangan. Ketika seseorang berdebat, secara struktur dipahami, ditampilkan dan dibicarakan dalam ranah perang.
Argument is war.
Your claims a re inde fensible.
His criti cisms were rig ht on target. I dem olished his argument. I’ve never w on an argument with him.
Yang dicetak tebal merupakan metafora. Penggunaan kata indefensible ‘tidak dapat diterima’, right on ‘tepat sasaran’, demolished ‘menjatuhkan’, dan won ‘menang’ biasanya digunakan dalam ranah peperangan. Namun kata-kata tersebut dipakai ketika seseorang sedang berbdebat. Dari contoh di atas, ada pemetaan dasar dari sebuah pengalaman di ranah perang (ranah sumber) untuk sebuah engalaman di ranah argumen (ranah sasaran). Hubungan antara ranah perang dengan ranah argument ini dapat diperlihatkan melalui table pemetaan konseptual sebagai berikut.
Tabel 1. pemetaan konseptual perdebatan sebagai peperangan (argu- ment is war)
Ranah Sasaran Ranah Sumber
Perdebatan yang muncul dipicu oleh adanya pendapat yang berbeda.
Peperangan adalah akibat dari dua kubu karena ada perbedaan secara prinsipil.
Pendapat yang dikemukakan sesuai dengan persoalan yang dibicarakan.
Tembakan saat perang tepat mengenai sasaran.
Dalam perdebatan ada pihak yang menang karena
pendapatnya dianggap paling tepat untuk mengatasi
Di saat perang, musuh dapat dikalahkan atau dijatuhkan melalui strategi perang yang jitu.
Teori lakoff dan Johnson mengenai pemetaan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara ranah sumber dan ranah sasaran yang ditemukan pada data. Dalam pembahasan mengenai metafora, Saeed (1997 :305 -306) berpendapat bahwa metafora dapat dilihat dari beberapa karakteristik yang dimiliki, yaitu:
Kesepakatan (Conventionality)
Kesepakatan (Conventionality) didefinisikan Saeed sebagai “raises the issue of the novelty of the metaphor”. Jadi, dapat dikatakan bahwa metafora jenis ini adalah metafora yang naik status. Saeed sependapat dengan Searle (1 97 9) yang menganggap bahwa ada metafora mati ‘dead metaphor’, yaitu metafora yang sudah tidak dianggap lagi sebagai metafora dan berganti sebagai kata yang memiliki makna literal. Saeed mencontohkan.
When scientists have asked giant computers to make forecast, they have pointed the digital finger at changes in ocean currents of the North Atlantic with remarkable regularity.
Ungkapan asked giant computers to make forecast ‘meminta komputer raksasa untuk meramal cuaca’ mengganggap bahwa komputer bisa berpikir seperti manusia. Penyerupaan kemam- puan komputer dengan manusia yang bisa berpikir, dirasa sudah dimafhumi secara umum. Oleh karena itu, ada kesan rasanya itu bukan lagi metafora.
Kesistem atisan (Systematicity)
Kesistematisan (Systematicity) terjadi karena proses pemetaan (mapping), yaitu metafora yang tidak sekadar satuan perban- dingan: fitur pada medan sumber dan medan target begitu melekat sehingga memiliki logika internalnya. Proses ini ber- kembang mengikuti pola induk, contoh: pada kalimat “Life is a journey,” journey diterapkan sebagai life. Bertolak dari konsep tersebut, lahirlah secara sistematis metafora-metafora berikut:
- kelahiran sebagai kedatangan: The baby is due next week. - kematian sebagai kepergian: She passed away this morning.
Asimetris (Asymmetry)
Asimetris (Asymmetry) mengacu pada sifat satu arah, yaitu dari medan sumber ke medan sasaran. Ia bukan perbandingan simetris diantara dua konsep, yang membentuk similaritas. Jadi, Life is a journey tidak dapat dibalik *Journey is a life. Kita tidak bersepakat memerikan journey ‘perjalanan’ dengan istilah life ‘kehidupan’, sehingga akan ganjil untuk mengatakan Our flight was born (born ‘lahir’ diserupakan dengan arrive ‘datang’) a few minutes early. Meskipun kita bisa saja memakainya, tetap saja akan ada perbedaan maknanya.
Abstraksi (Abstraction)
Abstraksi (Abstraction) terjadi karena metafora pada umumnya bertolak dari sumber yang kongkrit ke sasaran yang lebih abs- trak. Kita ambil contoh karirnya jatuh. Kata jatuh adalah untuk konsep kongkrit misalnya buah jatuh, batu jatuh dan sebagainya.
Erotisme
Secara etimologis erotisme berasal dari kata bahasa Yunani eros, nama dewa cinta, putra Aphrodite yang merupakan simbol hasrat yang kekuatannya berasal dari libido. Eros dapat dianggap sebagai penyam- bung antara dunia yang bersifat inderawi dengan dunia yang hanya terbuka bagi rasio. Eros merupakan pendorong dalam mencapai penge- tahuan tentang idea-idea yang hanya ditemukan di dalam dunia yang terbuka bagi rasio. Kerinduan pada
dunia rasio yang ditimbulkan oleh eros berkaitan dengan keindahan dalam arti kesesuaian antara gam- baran yang dikenal dalam dunia yang bersifat inderawi dengan idea yang ada di dalam dunia rasio. Di dalam keindahan itu tercakup badan, jiwa, moral, pengetahuan, dan keindahan itu sendiri (Muller/Halder dalam Darmojuwono, 1994:24). Erotis dalam arti luas adalah segala bentuk pengungkapan adegan intim antara pria-wanita, antara jenis kelamin yang sama, dan cinta terhadap diri sendiri. Dalam arti sempit, erotis tidak hanya berarti seksualitas yang bersifat jasmaniah, tetapi juga mencakup aspek mental dalam seksualitas dan pengembangan rangsangan-rangsangan yang ditimbulkan oleh seksualitas. Hal ini dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya karya sastra, iklan, mode dan lain-lain.
Menurut Hoed (1994:1 ) erotisme berkaitan erat, dan bahkan didasari oleh libido, yang dalam perkembangan selanjutnya teraktualisasi dalam keinginan seksual. Dengan kata lain, erotisme adalah penggambaran perilaku, keadaan atau suasana yang didasari oleh libido, dalam arti keinginan seksual.
Sementara itu, Carson (dalam Mills, 1993: 5) mengatakan bahwa membaca atau pun menulis merupakan hal yang erotis karena membaca adalah permainan imajinasi yang memberi ruang di antara pembaca dan objek pengetahuannya. Penyair dan novelis serupa de- ngan kekasih yang mengisih ruang tersebut dengan metafora. Pendapat Carson tersebut menunjukkan bahwa erotisme tidak hanya mengacu pada persoalan seksual dalam teks. Erotisme dapat terjadi ketika seseorang pembaca memaknai sebuah karya. Kebebasan berimajinasi itulah yang dimaksud dengan erotis.
Terkait dengan erotisme dalam karya sastra, Steinberg (1954:201-220) menyatakan bahwa kategori sastra erotis mencakup: pertama, karya sastra yang menampilkan hubungan pria dan wanita dengan penekanan pada aspek spiritual, intelektual, dan hubungan seksual yang dinya- takan secara terselubung. Kedua, karya sastra yang menggambarkan seksualitas secara lebih menarik, tetapi tidak menjadi inti cerita. Ketiga, karya sastra yang bersifat pornografi murni. Pada karya jenis ini, pengarang menyajikan adegan seksualitas dengan maksud membang- kitkan birahi seksual.
Perlu diketahui bahwa teks yang mengandung unsur erotisme harus dibedakan dengan pornografi. Pornografi adalah semua karya manusia baik berupa cerita, gambar, film, tarian, atau pun lagu yang diciptakan dengan sengaja untuk membakar nafsu birahi orang lain, merangsang syahwat dan menimbulkan pikiran-pikiran jorok (Lesmana, 1994: 110). Jadi, dapat disimpulkan bahwa salah satu letak perbedaan antara erotisme dan pornografi dalam karya seni adalah pada tujuan dan cara penyajiannya.
Untuk menilai apakah suatu teks itu erotis atau pornografis memang tidak selalu mudah. Hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan usia, jenis kelamin, cara pandang, pengalaman, pengetahuan, budaya, dan norma tiap-tiap individu pembaca teks tersebut. Namun, sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas, penggunaan istilah erotisme pada tulisan ini tentu lebih sesuai daripada pornografi.
Analisis
Bagian ini membahas metafora yang mengandung unsur erotisme dalam Serat Anglingdarma pupuh ke-14 (Kinanti). Cerita pada pupuh ini masih terkait dengan pupuh sebelumnya yang bercerita tentang Ken Wiyati yang sedang bertamu ke rumah kakaknya, Ken Retna, yang saat itu sudah menjadi kekasih Anglingdarma dan tinggal bersama dalam satu
rumah. Pupuh ke-14 diawali dengan penceritaan tentang pertemuan antara Retna Wiyati, adik Ken Retna, dengan Anglingdarma (bait I).
Cangkelak anulya wangsul, Retna Wiyati tanya ris, apa sira wis uninga, marang ipemu kang guling, Retna Wiyati lingira, inggih kakang wus udani
‘cepat-cepat kembali ke tempat duduk, R etna Wiyati ditanya (kakaknya), “apa kamu sudah melihat sendiri wajah iparmu?” Retna Wiyati menjawab, “iya, adinda sudah melihatnya.”’
Menyaksikan ketampanan Anglingdarma, Retna Wiyati langsung jatuh hati. Hal ini diungkapkan pada bait selanjutnya.
Tuhu kelamun abagus, Baya Kamajaya nitis, Kawula mulat sadhela, Tanbuh rasa nig ati, Baya ta sariraningwang, Kena guna lan dhesti.
‘Sungguh tampan sekali, sep erti Kamajaya yang menitis ke raganya. Baru sebentar aku melihatnya, tak karuan rasa di hati. Apa mungkin aku kena guna-guna dan sihir?’
Setelah itu Retna Wiyati mengajukan permohonan agar dapat berbagi kekasih dengan kakaknya. Cerita ini diungkapkan di bait ketiga.
Kadya andulu cempaluk, kepengen temen alaki, Kangbok kawula anedha, paduka sunga na nempil, sanadyan angundjakana, pangugunge sun k uwa wi
Penulis mengambil kata metaforis yang mengandung unsur erotisme yang muncul pada kata keenam, alaki, pada bait ke-3 di atas. Berdasar pada konteks kata ini muncul, alaki ‘mencipi’ tentu tidak dapat dimaknai secara literal, ada maksud lain dari ungkapan tersebut. Pada kalimat yang mengawali bait ketiga ini, Ken Wiyati memohon kepada kakaknya agar dapat ikut serta bersuamikan Anglingdarma, kadya andulu cempaluk, kepengen temen alaki ‘ibarat buah asam muda, ingin sekali mencicipi’. Subjek dari verba alaki adalah Ken Wiyati, sedangkan objeknya adalah buah asam, yang diungkapkan secara simile, mengacu ke Anglingdarma. Hal ini akan lebih jelas jika membaca empat baris pertama pada bait berikutnya, bait ke-4. Pada bait ini, Ken Retna menyetujui permintaan adiknya tersebut.
Kang raka alon amuwus, sakarsanira ta yayi, ananging wewekas i ngwang, pangarepmu den agemi ‘Sang kakak lekas mengetahui kehendak adiknya, katanya, “sekiranya me- mang menginginkan, akan saya kabulkan.’
Dari konteks tersebut, pilihan data ini dianggap tepat karena motivasi adegan tersebut didasari oleh motif-motif seksual, sesuai dengan apa yang dikemukakan Hoed (1994:3). Pada contoh analisis ini, pembahasan akan difokuskan pada kata alaki ‘mencicipi’. Mengacu apa yang dinyatakan Knowles dan Moon (2006:9), dapat dikatakan bahwa alaki merupakan vehicle atau metafora yang berupa kata. Kata alaki merupakan kata meta- foris karena mengalami perubahan dari makna dasarnya. Makna dasar alaki adalah menjilat dan mengecap makanan untuk mengetahui rasanya.2 Na- mun, setelah dilihat konteks tempat frasa tersebut muncul, barulah keli- hatan bahwa di situ ada makna metaforis. Dengan demikian, karena objek dari kata alaki tersebut adalah orang (anglingdarma), dapat dilihat bahwa topic-ny a adalah ‘bercinta’. Ken Wiyata menyamakan Anglingdarma dengan buah asam muda. Oleh karena itu, letak kemiripannya (ground) antara makna dasar dan makna sumber adalah sama-sama bisa dirasai.
Dari analisis di atas, dapat diketahui bahwa pernyataan yang mengandung unsur erotis tersebut, alaki, menggunakan istilah dalam bidang lain. Istilah lain inilah yang disebut sebagai ranah sumber. Ranah sumber digunakan untuk konsep yang darinya metafora digambarkan, sementara ranah sasaran adalah ranah konsep yang kepadanya metafora dilekatkan (Knowles dan Moon, 2006:33). Dalam thesaurus (1991:394) alaki ‘mencicipi’ masuk ke dalam ranah
kelezatan (savoriness). Dengan begitu dapat dibuat penamaan erotisme sebagai kelezatan. Penjelasan metafora erotis, alaki, sebagai kelezatan dapat dilihat dari tabel pemetaan konseptual sebagai berikut.
Tabel 2. Pemetaan kata EROTIS sebagai KELEZATAN
Ranah Sasaran Ranah Sumber
Subjek adalah pelaku percintaan (manusia)
Subjek adalah seorang manusia Objek berupa lelaki Objek berupa makanan (buah) Adegan cinta dapat terjadi karena
ada hasrat seksual
Perbuatan mencicipi kelezatan suatu makanan timbul karena selera yang tergugah
Bercinta dapat mengaki batkan ketagihan bagi p elakunya
Orang yang menyukai suatu makanan akan selalu tergiur untuk menikmatinya
Dari tabel pemetaan konseptual tersbut, terlihat bahwa kata alaki digunakan sebagai kata metaforis karena adanya kesamaan konsep kata tersebut dengan proses percintaan, yaitu ada seseorang yang menikmati suatu objek. Dalam ranah sasaran objek yang dinikmati bukan benda mati seperti buah atau masakan, melainkan seorang lelaki. Sosok lelaki diibaratkan sebagai buah yang dapat dinikmati, dirasakan, disentuh oleh orang lain dengan cara berhubungan seksual.
Dari proses pemetaan konseptual di atas, dapat dilihat bahwa fitur pada medan sumber dan medan sasaran begitu melekat. Kemungkinan metafora tersebut lahir dari sebuah pola induk, yaitu “bercinta itu lezat.” Lezat diterapkan sebagai bercinta. Bertolak dari konsep tersebut, maka muncul metafora-metafora lain seperti akali ‘nyicipi’ dan lain-lain yang masih dalam ranah kelezatan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa akali adalah jenis metafora sistematis (metaphor of sistematicity) (lihat Saeed 1997 :305 - 306).
Kesimpulan
Kelihatannya erotisme dalam karya sastra, setidaknya, menjadi semacam bumbu penyedap yang terkadang “sulit” ditinggalkan, lintas generasi, budaya dan lintas bangsa. Meskipun demikian, adegan percintaan dalam Serat Anglingdarma ini dikisahkan dengan bahasa yang santun, sehingga tidak mencukupi syarat untuk dikatakan porno. Y ang dapat dicatat adalah bahwa dalam kultur maysarakat Jawa—setidaknya dari pengamatan teks yang dianalisis—konsep rasa pada makanan atau buah dapat dialihkan untuk konsep lain seputar hubungan seksual. Karakter pengalihan konsep seperti ini belum tentu terdapat dalam budaya lain.
Bibliografi
Bloomfield, Leonard, Language, Terj. I. Sutikno (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995). Darmojuwono, Setiawati, “Erotisme dalam Bahasa,” dalam Lembaran Sastra (Edisi
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007).
Hoed, B.H., “Erotisme dalam Bahasa: Sebuah Kajian Linguistik dan Semiotik,” dalam Lembaran Sastra (Edisi Khusus) (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994). Knowles, Murray dan Rosamund Moon, Introducing Metaphor
(London/New York: Routledge, 2006).
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Aksara, 1969).
Lakoff, George dan Mark Johnson, Metaphore We Live By (Chicago: The University of Chicago Press, 1980).
Lee, David, Cognitive Linguistics. An Introduction (Ox ford: Ox ford University Press, 2001).
Lesmana, Tjipta, Pornografi dalam Media Massa (Jakarta: Puspa Swara, 1995). Marsiwarsito, L., Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Flores: Nusa Indah, 1986).
Merriam-Webster, Thesaurus New Webster’s dictionary and Thesaurus and Medical Dictionary (Massachusetts: Merriam-Webster, incor- porated, 1991 ).
Mills, Jane, ed. Erotic Literature (Great Britain: Harper Collins Publisher, 1993).
M.S., Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007 ).
Murtadho, Nurul, “Metafora dalam Al-Qur’an aan Terjemahannya dalam Bahasa Indonesia: Kajian atas Metafora Cahaya, Kegelapan, dan Beberapa Sifat Allah.” Disertasi tidak diterbitkan. Program Pen- didikan Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999.
Noth, Winfried, “Semiotic Aspects of Metaphor” dalam The Ubiquity of Metaphor: Metaphor in Language and Thought. Edited by Wolf Paprotte dan Rene Dirven. (Amsterdan: John Benjamins Publishing Company, 1985).
Parera, J.D., Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 2004)
Pratomo, Sujadi (Alih Aksara), Serat Anglingdarma (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981 ).
Radden, Günter dan René Dirven, Cognitive English Grammar (Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2007 ).
Renkema, Jan, Introduction to Discourse Studies (A msterdam: John Benjamins Publishing Co, 2004).
Robson, S.O. “Pengkajian Sastra-Sastra tradisional Indonesia,” dalam Bahasa dan Sastra. Nomor 6, Tahun IV (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978). Saeed, John I., Semantics (Massachusetts: Blackwell Publishers, 1997 ).
Shadily, Hassan (Pemimpin Redaksi), Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Aksara Baru-Van Hoeve, 1982).
Steinberg (Ed.), Cassel’s Encyclopedia of World Literature (New York: Funk & Wagnalls Company, 1954), Vol. I.
Talmy, Leonard, Toward a Cognitive Semantics, (Cambridge: The MIT Press, 2000), Vol. I.
Ullman, S., Semantics: an Introduction to the Science of Meaning (Ox ford: Basil Blackwell Publisher, 1964).
Utomo, Imam Budi, Slamet Riyadi, Suwardi, dan Titi Mumfangati, Erotisme dalam Sastra Jawa Klasik (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2001 ).