IPTEK PADA PERBAIKAN JALAN DESA YANG MEMILIKI SIFAT LICIN
TANAH MERAH KUNING
Budi Utomo1, Darma Bakti2, Kasmir Tandjung3 aFakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Medan, 20152
bFakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, 20152 cFakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan, 20152
email: budi2@usu.ac.id
Abstract
Wilayah selatan perbatasan Provinsi Sumatera Utara-Aceh merupakan salah satu wilayah yang
paling tertinggal. Karena rendahnya perhatian pemerintah Jarak ke ibu kota Provinsi Aceh yang
jauh (18 jam perjalanan darat). Penduduk wilayah ini mayoritas suku Phak Phak dan Karo.
Pemekaran wilayah sudah selayaknya mendapat respon postif bagi wilayah terdampak. Namun
tidak demikian halnya dengan desa-desa yang letaknya di ujung wilayah. Desa-desa di wilayah
Kabupaten Singkil tidak memiliki kejelasan batas baik secara konvensional maupun secara
administrasi. Hal ini pula yang dihadapi oleh Dusun Lae Rambung yang berada di antara
Kecamatan Singkohor dan Kecamatan Kota Baharu. Masing-masing desa mengklaim namun juga
meragukan status wilayah administrasi dusun ini. Oleh karena keraguan tersebut maka dusun ini
terus ditinggalkan ketika setiap desa merencanakan pembangunan di wilayahnya karena khawatir
dana pembangunan akan tersedot ke wilayah desa tetangganya. Buruknya akses jalan
mengakibatkan biaya transport hasil bumi sangat tinggi. Sifat tanah di wilayah ini yang tergolong
tanah merah dengan kandungan liat yang sangat tinggi menyebabkan jalan menjadi licin dikala
hujan. Untuk mengatasi hal tersebut maka Tim PPM USU membantu dengan melakukan
pengerasan jalan menggunakan pasir batu (sirtu) yang dikombinasi dengan iptek perguruan tinggi
berupa campuran perekat (soil stabilizer) yang berfungsi menghilangkan sifat licin dari tanah
merah sekaligus meningkatakan daya dukung beban jalan.
Keywords: jalan rusak, tanah merah licin, sirtu, perbaikan
1. PENDAHULUAN
Analisis Situasi
Wilayah perbatasan hingga kini menjadi
wilayah tertinggal karena minimnya perhatian
dan jauhnya jarak dari pusat administrasi di
Provinsi. Desa Singkohor yang terletak di
wilayah perbatasan antara Provinsi Sumatera
Utara dan Provinsi Aceh merupakan salah
satu desa yang merasakan dampak tersebut.
Sebagai ilustrasi wilayah ini termasuk
wilayah administrasi Provinsi Aceh, namun
terpaut jarak 14 jam perjalanan darat
(800-900 km) untuk mencapai ibukota provinsinya.
Sementara ke Medan sebagai ibukota Provinsi
Sumatera Utara hanya berjarak < 200 km
yang dapat ditempuh 4-5 jam perjalanan
darat. Lamanya perjalanan disebabkan jalan
yang melewati lereng gunung sehingga
banyak
tikungan
tajam
di
sepanjang
perjalanan.
Oleh
karena
itu
tidak
mengherankan jika hampir seluruh penduduk
di wilayah ini merupakan suku phakphak
yang berasal dari Sumatera Utara di
perbatasan (BPS, 2014).
berkembang.
Pemekaran wilayah sudah selayaknya
mendapat
respon
postif
bagi
wilayah
terdampak. Namun tidak demikian halnya
dengan desa-desa yang letaknya di ujung
wilayah. Desa-desa di wilayah Kabupaten
Singkil tidak memiliki kejelasan batas baik
secara
konvensional
maupun
secara
administrasi. Hasil penelitian Utomo, dkk.
(2015)menunjukkan bahwa hampir seluruh
batas desa belum tertata baik di Kabupaten
Singkil, apalagi untuk wilayah-wilayah yang
letaknya di ujung kabupaten/kecamatan. Hasil
penelitian ke instansi terkait seperti Bappeda,
BPN, Dinas PU kabupaten setempat maupun
Kecamatan Singkohor menunjukkan belum
ada peta batas desa di kebanyakan wilayah
Kabupaten
Singkil.
Peta
batas
masih
mencakup batas antar kecamatan saja. Hal ini
pula yang dihadapi oleh Dusun Lae Rambung.
Dusun ini terletak di ujung perbatasan antara
4 desa yakni Desa Singkohor dan Desa Mukti
Jaya di Kecamatan Singkohor, serta Desa
Mukti Lincir (Transmigrasi D-3) dan Desa
Sumber Mukti (Transmigrasi Km-10) di
Kecamatan Kuta Baharu. Masing-masing desa
mengklaim namun juga meragukan status
wilayah administrasi dusun ini. Oleh karena
keraguan tersebut maka dusun ini terus
ditinggalkan ketika setiap desa merencanakan
pembangunan di wilayahnya karena khawatir
dana pembangunan akan tersedot ke wilayah
desa tetangganya.
Asal penduduk yang berasal dari suku
pendatang
(Phakphak
dan
Karo)
mengakibatkan jumlah penduduk di wilayah
desa sasaran tergolong sedikit. Namun
demikian Karena luasnya wilayah desa dan
mata pencaharian penduduk yang berkebun
maka jarak antar rumah penduduk juga sangat
jarang.
Akses
jalan
yang
rusak
mengakibatkan keengganan masyarakat untuk
ke pasar kecamatan/keramaian, baik untuk
memasarkan hasil bumi atau berbelanja.
Jalan di dusun ini merupakan jalan
alternatif yang menghubungkan antara Desa
Singkohor dengan Desa Mukti Lincir di
Kabupaten Singkil sekaligus merupakan jalan
alternatif menuju ke Desa Darul Aman
(Transmigrasi A-3) di Kecamatan Longkib
Kota Subulussalam. Karena alasan yang telah
disebutkan di atas maka jalan di wilayah ini
hingga kini sangat memprihatinkan karena
tidak mendapat perhatian pembangunan.
Padahal jalan ini banyak digunakan oleh
masyarakat setempat untuk bepergian dan
mengeluarkan hasil panen masyarakat. Jika
hujan turun praktis jalan sulit dilalui
pengendara roda 2 dan 4 karena jalan masih
berupa tanah kuning-merah yang licin,
berlumpur dan rentan erosi. Mata pencaharian
penduduk umumnya berkebun karet dan
kelapa sawit, hanya sebagian penduduk yang
bertani palawija. Buruknya akses jalan juga
mengakibatkan biaya transport hasil bumi
sangat tinggi. Akibatnya masyarakat harus
menanggung biaya tersebut yang berakibat
pada terpangkasnya harga hasil panennya
yang berakibat pada penurunan pendapatan
masyarakat (Arfianto dan Balahmar, 2014).
2. METODE
Untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa terutama yang tinggal dan mencari nafkah di wilayah pedalaman desa ini tentu akses jalan menjadi hal yang amat penting. Luasnya cakupan wilayah serta mahalnya biaya perbaikan jalan/ pengerasan mengakibatkan penduduk harus bersabar menanti datangnya perbaikan jalan. Sementara dari sisi pemerintahan desa sendiri enggan untuk meluangkan dana desanya bagi perbaikan jalan wilayah ini karena ketidak jelasan status
batas administrasi. Permasalahan kerusakan jalan desa ini kiranya menjadi sorotan tim PPM USU untuk dapat memberikan solusi khususnya bagi masyarakat desa agar perekonomiannya segera bangkit. Oleh Karena itu Tim PPM USU menawarkan solusi penyelesaian permasalahan berupa:
1. Untuk dapat memperbaiki jalan desa, masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk membeli pasir batu (sirtu) dan menyewa apalagi membeli alat berat stump walls roller compactor yang harganya mencapai 1 milyar. Oleh Karena itu perlu dukungan dana Non PNBP USU akan dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan ini. Bantuan dana ini akan dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi perbaikan jalan di wilayah ini.
2. Sifat tanah di wilayah ini yang tergolong tanah merah dengan kandungan liat yang sangat tinggi menyebabkan jalan menjadi licin dikala hujan. Untuk mengatasi hal tersebut maka Tim PPM berencana untuk mengatasi permasalahan ini dengan melakukan pengerasan jalan menggunakan pasir batu (sirtu) yang dikombinasi dengan iptek perguruan tinggi berupa campuran perekat yang berfungsi menghilangkan sifat licin dari tanah merah ini. Hasil penelitian Tandjung, dkk. (2014) menyatakan pencampuran 30% pasir sungai telah dapat mengurangi sifat licin dari tanah liat. Kandungan batu kerikil yang diperoleh dari sungai turut menghasilkan ikatan pada tanah yang licin. Kombinasi pasir dan batu dengan perbandingan 70:30 akan menghasilkan ikatan yang kompak pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi. Walau demikian perbandingan 80:20 masih layak digunakan untuk menghilangkan sifat licin dari tanah liat. Selanjutnya Tandjung, dkk (2015) menambahkan untuk menambah kekompakan tanah, penggunaan bahan pengeras jalan tanah (soil stabilizer) perlu diberikan. Penelitian penggunaan soil stabilizer mampu memberikan kekuatan untuk menahan beban hingga 300% dibandingkan tanpa pemberian bahan ini. 3. Kebutuhan sirtu untuk pengerasan jalan
selebar 5 m adalah 6.000m3 atau setara 200 dump truk setiap kilometernya. Ini berarti dengan panjang jalan yang akan diperbaiki sepanjang 5 km maka seharusnya dibutuhkan 30.000 m3 atau setara 1.000 dump truk sirtu. Namun dengan penerapan iptek perguruan tinggi maka penggunaan sirtu dapat dihemat hingga 50% nya. Karena
kebutuhan perbaikan jalan sepanjang 5 km, maka Tim PPM USU berencana melakukan perbaikan jalan secara terputus-putus. Ini berarti hanya pada jalan-jalan yang rusak dan berpotensi rusak saja yang akan mendapat pengerasan sirtu ini. Penyerakan (penyebaran) dan perataan sirtu di badan jalan akan dilakukan oleh masyarakat desa secara bergotong royong. Ketebalan sirtu diupayakan setipis mungkin untuk menjangkau sejauh mungkin badan jalan yang dapat diakomodir. Diharapkan dengan 200 dump truk (6.000 m3) sirtu akan dapat memperbaiki dan menyelesaikan permasalahan jalan di wilayah ini. Hal ini diharapkan akan berdampak pada percepatan kemajuan perkembangan wilayah ini.
Tim PPM juga akan melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat agar bersama-sama mensukseskan kegiatan PPM ini. Masyarakat telah menyatakan kesediaannya untuk bergotong royong, baik dalam hal menyebar dan meratakan sirtu ke badan jalan. Dengan kesepakatan kerjasama ini maka Tim PPM USU yakin pendanaan program PPM Non PNBP USU diharapkan dapat mengatasi permasalahan akses jalan desa di wilayah ini.