43 A. HASIL PENELITIAN
1. Imam Syafi’i
a. Biografi Imam Syafi’i
Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al- Abbas ibn Usman ibn Syafi‟i ibn al-Sa‟ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.1Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah Saw pada kakeknya tersebut, yakni Abdul Manaf. Lahir di Ghaza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H/767 M, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja‟far al Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan meninggal di Mesir pada tahun 204 H/820 M.2
Imam Syafi'i lahir dari keturunan bangsawan yang paling terhormat di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar. Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan mereka. Dari didikan ibundanya, Imam Syafi‟i telah dapat menghafal
1
Syeikh Ahmad Farid, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman,
“Biografi Ulama Salaf”, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm. 355.
2Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 27.
Qur‟an dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian menghafalkan hadis-hadis dan menuliskannya kembali. Hal tersebut ia lakukan dengan perlatan yang sangat sederhana, dengan membaca dari atas tembikar dan terkadang ia baca dari hadis yang tertulis di atas kulit-kulit binatang. Bahkan, seringkali ia pergi ke tempat pembuangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat dipakai guna menuliskan hadis-hadis yang telah ia hafal.3
Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari pengaruh non-Arab yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.Ia pergi ke Kabilah Hudzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi‟i tinggal di pedusunan itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang amat indah susunan bahasanya, yang mana digubah dari kabilah Hudzail tersebut. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itulah Imam Syafi‟i menghafal Al-Qur'an, menghafal hadis, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Bādiyah (pelosok). Imam Syafi‟i belajar pada Ulama‟-Ulama‟ Mekkah, baik pada Ulama‟ fikih, maupun Ulama‟-Ulama‟ hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fikih dan memperoleh pengakuan dan kedudukan yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya, Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, bahkan kemudian merekomendasikan Imam Syafi‟i agar
3Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 17.
bertindak sebagai mufti (pemberi fatwa) di Makkah. Namun, Imam Syafi‟i justru masih saja terus berkeinginan untuk mencari ilmu.4
Sehingga ketika mendengar di Madinah ada seorang yang sangat „alim (menguasai ilmu) dan merupakan salah satu Ulama‟ besar kota Madinah yang sudah tersohor di mana-mana, yakni Imam Malik, Imam Syafi‟i pun tertarik untuk berguru padanya. Namun karena karya terbesar5
Imam Malik pada saat itu penyebarannya sudah sampai di kota Makkah, Imam Syafi‟i pun menyempatkan diri untuk menghafalkannya terlebih dahulu sebelum meninggalkan kota Makkah. Kemudian ia berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur Mekkah. Mulai sejak itulah ia memusatkan perhatian mendalami fikih di samping sembari mempelajari hadis yang terdapat dalam kitab al-Muwatha‟. Imam Syafi‟i sering berdialog dengan Imam Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan oleh Imam Malik. Di saat Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa dan matang secara intelektual.6
Secara intelektual, Imam Syafi‟i lebih tertarik terhadap metode pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah, ia mulai menekuni bidang tersebut dengan menggarap kaidah-kaidah baku yang harus diperhatikan dalam melakukan Ijtihād. Meskipun para Ulama‟ sebelumnya dalam berIjtihād juga sudah berpegang pada kaidah-kaidah tertentu, namun secara umum
4
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum..., hlm. 28. 5Karya tersebut adalah Kitab al-Muwatha‟
6TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 480 – 481.
kaidah-kaidah tersebut belum tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu yang dapat dijadikan standar baku oleh para Mujtahid dalam melakukan istinbath (penemuan hukum) atas permasalahan hukum baru yang muncul. Dalam kondisi demikianlah Imam Syafi'i tampil sebagai orang pertama yang menyusun karya dalam bidang tersebut, yang di kemudian hari gagasan Imam Syafi‟i tersebut lebih dikenal dengan sebutan Ushūl al-Fiqh. Idenya membukukan kajian tersebut didukung pula dengan adanya permintaan dari seorangahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar Imam Syafi‟i menyusun metodologi istinbath dalam sebuah buku yang dapat diakses oleh semua orang.7
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M, ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan buku itu disusun ketika Imam Syafi‟iberada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada di Mekkah. Imam Syafi'i memberi judul bukunya dengan “al-
Kitāb” (Kitab, atau Buku) atau "Kitābī" (Kitabku), kemudian lebih dikenal
dengan sebutan “al-Risālah” yang berarti "sepucuk surat". Dinamakan demikian, karena buku itu merupakan surat Imam Syafi‟i kepada Abdurrahman bin Mahdi. Kitab al-Risālah yang pertama ia susun dikenal dengan al-Risālah al-Qadīmah (Risalah Lama). Hal ini mengingat karena di dalamnya memuat buah-buah pikiran Imam Syafi‟i sebelum pindah ke Mesir. Setelah sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka
penyempurnaan dan ada beberapa yang direvisinya, sehingga kemudian di kenal dengan sebutan al-Risālah al-Jadīdah (Risalah Baru). Mayoritas Ulama‟ Ushūl al-Fiqh sepakat menyatakan bahwa kitab ar-Risālah karya Imam Syafi‟i ini merupakan kitab pertama yang memuat masalah-masalah
Ushūl al-Fiqh secara lebih sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia
dikenal sebagai penyusun pertama dalam bidang Ushūl al-Fiqh sebagai satu disiplin ilmu.8
b. Pendidikan dan Karir Intelektual Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i belajar fikih dan hadis dari banyak guru yang mempunyai manhāj (metode) sendiri-sendiri dan tinggal di tempat yang berjauhan satu sama lain. Imam Syafi‟i menerima ilmunya dari Ulama‟ Mekkah, Ulama‟ Madinah, Ulama‟ Iraq dan Ulama‟ Yaman.9
Ulama‟ Mekkah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan Ibn Uyainah, Muslim ibn Khalid al-Zanji, Said ibn Salim al-Kadlah, Daud ibn abd-Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid ibn Abdul Azizi Ibn Abi Zuwad. Sedangkan Ulama‟ Madinah yang pernah menjadi gurunya ialah: Imam Malik ibn Annas, Ibrahim ibn Saad al-Anshari Abdul Aziz ibn Muhammad ad- Dahrawardi, Ibrahim ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad ibn Said Ibn Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi‟ teman ibn Abi Zuwaib.10
8
Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, 60
Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 361. 9Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh..., hlm. 18.
Sementara di Yaman ia pernah belajar dari: Mutharraf ibn Mazim, Hisyam ibn Yusuf, Umar ibn abi Salamah, dan Yahya Ibn Hasan. Di Irak ia belajar dari: Waki‟ ibn Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah, Ismail ibn „Ulaiyah dan Abdul Wahab ibn Abdul Majid (dua Ulama‟ ternama dari Basrah). Imam Syafi‟i juga menimba ilmu dari Muhammad ibn al-Hasan yaitu dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya, dari al-Hasan tersebutlah kemudian Imam Syafi‟i dapat menguasai fikih yang bercorak Irāqi.11
Setelah sekian lama haus akan ilmu dan melakukan pengembaraan yang panjang, pada tahun 186 H Imam Syafi‟i kembali ke Makkah. Di Masjid al-Haram ia mulai mengajar dan mengembangkan ilmunya dan mulai ber-ijtihād secara mandiri melalui berbagai fatwa-fatwa fikih-nya. Tugas mengajar dalam rangka menyampaikan hasil-hasil Ijtihād-nya tersebut ia tekuni dengan berpindah-pindah tempat. Selain di Makkah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197 H), dan akhirnya di Mesir (198-204 H). Dari daerah-daerah itu pula Imam Syafi‟i memiliki murid yang banyak, yang mana di kemudian hari merekalah yang menyebarluaskan pemikirannya dalam bidang fikih dan Ushūl al-Fiqh. Di antara murid-muridnya yang terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhab Hanbali), Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), dan Imam al-Rabi bin Sulaiman Marawi (174-270 H). Tiga muridnya tersebut (Buwaiti,
Muzani, dan al-Marawi), di kemudian hari mempunyai peranan penting dalam menghimpun dan menyebarluaskan fikih ala madzhab Imam Syafi‟i.12
Imam Syafi‟i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum‟at tanggal 30 Rajab 204 H, setelah sekian lama hidupnya hanya dihabiskan untuk begelut dengan ilmu.Walhasil, sampai sekarang pun karya-karya Imam Syafi‟i masih banyak digandrungi oleh para peminat kajian hukum Islam. Di samping itu makamnya di Mesir sampai detik ini masih banyak dikunjungi para peziarah.13
c. Karya-Karya Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i merupakan salah satu Ulama‟ yang terbilang produktif dalam berkarya, di sela-sela kesibukannya mengajar dan berdiskusi dengan Ulama‟ lain, Imam Syafi‟i masih saja menyempatkan untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam sebuah buku. Selama hidupnya, ia sudah banyak menghasilkan banyak buku yang di kemudian hari buku-bukunya tersebut menjadi pegangan bagi Ulama‟-Ulama‟ lain setelahnya. Di antara karya-karya Imam Syafi'i tersebut yakni:
(1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam Syafi‟i secara sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama dalam Mazhab Syafi‟i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi‟i dalam berbagai masalah fikih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam Syafi'i yang dikenal dengan sebutan qaul al-qadim (pendapat lama) dan qaul al-jadid
12Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 1680.
(pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam delapan jilid bersamaan dengan kitab Ushūl Fiqh Imam Syafi'i yang berjudul
al-Risālah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar al-Sya‟b Mesir,
kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.14
(2) Kitab al-Risālah. Ini merupakan kitab Ushūl al-Fiqh yang pertama kali dikarang oleh para Ulama‟, oleh karena itu Imam Syafi'i kemudian dikenal sebagai peletak dasar ilmu Ushūl al-Fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pemikiran Imam Syafi‟i dalam menetapkan hukum (Ijtihād).15
Dua kitab tersebut merupakan karya Imam Syafi‟i yang paling fenomenal, sebab sampai detik ini pun dua karya Imam Syafi‟i tersebut masih saja dikaji oleh para peminat kajian hukum Islam. Selain dua karya tersebut, Imam Syafi‟i juga tercatat pernah menulis;
1) Musnad Li al-Syafi‟i 2) Al-Hujjah 3) Al-Mabsuth 4) Imla al-Shagir 5) Amali al-Kubra 6) Mukhtasar al-Buwaithi 7) Mukhtasar al-Rabi 8) Mukhtasar al-Muzani 9) Jizyah
14TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan..., hlm. 488. 15Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 131-132.
Selain kitab-kitab fikih tersebut, Imam Syafi‟i juga aktif menulis tentang kajian tafsir dan sastra. Siradjuddin Abbas dalam bukunya bahkan mencatat ada 97 (sembilan puluh tujuh) buah karya Imam Syafi‟i dalam bidang fikih,namun dalam bukunya itu tidak diulas satu persatu dari karya-karya Imam Syafi‟i tersebut.16
d. Metodologi Istinbāth Hukum Imam Syafi’i
Imam Syafi‟i menyusun konsep pemikirannya dalam karya monumental yang berjudul al-Risālah. Di samping karya tersebut, dalam kitabnya al-Umm banyak pula ditemukan prinsip-prinsip Ushūl al-Fiqh yang telah ia susun sebagai pedoman dalam melakukan istinbāth. Di atas landasan Ushūl al-Fiqh yang dirumuskannya sendiri itulah ia membangun fatwa-fatwa fikihnya yang kemudian dikenal dengan madzhab Syafi‟i. Menurut Imam Syafi‟i “ilmu itu bertingkat-tingkat”. Sehingga dalam mendasarkan pemikirannya beliau membagi tingkatan sumber-sumber ilmu tersebut sebagai berikut:17
a) Ilmu yang diambil dari kitab (Al-Qur‟an) dan Sunnah Rasulullah Saw yang dianggap Shahih.
b) Ilmu yang didapatkan dari Ijmā‟ dalam hal-hal yang tidak dibicarakan oleh Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah Saw.
c) Fatwa sebagian Sahabat yang tidak diingkari oleh Sahabat lain. d) Pendapat yang diperselisihkan di kalangan sahabat.
16
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2004), hlm. 182-186.
17 Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Umm,(Riyadh: Bait Afkār al-Daulah, t.t), hlm. 1562.
e) Qiyas apabila dalam ke-empat sumber sebelumnya tidak ada keterangan yang jelas.
Pemberlakuan sumber-sumber tersebut selama dalam Al-Qur‟an dan Sunnah masih ada yang dapat dijadikan dasar dalam pemecahan suatu masalah hukum, maka tidak boleh menggunakan sumber yang tingkatannya berada di bawah Al-Qur‟an dan Sunnah. Hal ini dilakukan agar hukum yang dihasilkan benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dengan metodologi yang sistematis.
Apa yang disampaikan Imam Syafi‟i tersebut secara tidak langsung telah menggambarkan metodologi yang ia terapkan dalam berfatwa. Seperti halnya pada madzhab lainnya, bagi Imam Syafi‟i Al-Qur‟an adalah sumber pertama yang harus didahulukan dalam mengonstruk sebuah hukum, kemudian jika dalam Al-Qur‟an tidak dibicarakan maka Sunnah akan dijadikan landasan selanjutnya bilamana predikat ke-shahih-annya benar-benar dapat teruji.
Dalam urutan sumber hukum di atas, Imam Syafi‟i meletakkan Sunnah sejajar dengan Al-Qur‟an pada urutan pertama, hal ini mengingat Sunnah sendiri adalah sebagai mubayyin (penjelas) bagi keterangan-keterangan yang ada dalam Al-Qur‟an. Walaupun demikian, Imam Syafi‟i tidak mau gegabah dalam menerima Sunnah sebagai landasan hukum yang sedang ia kaji, ia tetap berlaku secara selektif. Hal ini dibuktikan dengan syarat yang ia ajukan dalam menerima hadis Āhād sebagai dasar suatu
hukum.18 Secara umum, sebelum Imam Syafi‟i menggunakan suatu hadis sebagai landasan hukum, maka terlebih dahulu Imam Syafi‟i menguji kelayakan hadis tersebut. Imam Syafi‟i meneliti apakah para perawi hadis-hadis itu layak dipercaya kejujurannya atau tidak, kemudian diteliti pula makna yang dimaksud. Ia menolak hadis-hadis yang para perawinya diragukan kejujuran dan ketakwaannya. Ia menolak hadis yang menyalahi
nash Al-Qur‟an atau menyalahi Sunnah Nabi yang masyhur (populer).
Selanjutnya Imam Syafi‟i juga menganggap apa yang disepakati oleh semua Mujtahid (Ijma‟) dalam sebuah kurun waktu tertentu dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Karena Ijmā‟ tersebut adalah kesepakatan seluruh Mujtahid, maka jika benar-benar telah terjadi Ijmā‟ secara otomatis dapat mengikat seluruh kaum Muslim untuk mematuhi keputusan tersebut. Oleh karena itu pula Imam Syafi‟i tidak mengakui Ijmā‟ penduduk Madinah (Amal Ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya sebagian kecil dari jumlah Mujtahid yang ada pada saat itu.19
Imam Syafi‟i juga berpegang pada fatwa-fatwa Sahabat Rasulullah Saw dalam membentuk madzhab fikih-nya. Baik yang diperselisihkan di antara mereka, maupun yang telah mereka sepakati. Mengenai ini Imam Syafi‟i mengatakan:20
18
Imam Syafi'i dalam menerima hadis Āhād mensyaratkan lima hal. Pertama, perawinya harus Tsiqqah (terpercaya), maksudnya perawi tersebut tidak menerima hadis dari orang yang tidak dapat dipercaya. Kedua, perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkan. Ketiga, perawinya dhabit (kuat ingatannya). Keempat, perawinya benar-benar mendengar sendiri dari orang yang meriwayatkan kepadanya. Kelima, perawinya tersebut tidak menyalahi para ahli ilmu, yang juga meriwayatkan hadis. Lihat: T.M. hasbi ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan..., hlm. 248.
19Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Risalah, (Mesir: Dār al-„Ilmiyah, t.t), hlm. 534. 20T.M. Hasbi ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan..., hlm. 271.
ْمُهُ يْأَر
اَنِسُفْ نَلأ اَنِيْأَر ْنِم ٌرْ يَخ اَنَل
Artinya: “Pendapat mereka (para Sahabat) lebih baik dari
pada pendapat kita sendiri untuk kita amalkan”
Bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam sumber-sumber hukum tersebut di atas, dalam membentuk
mazhabnya, Imam Syafi‟i melakukan Ijtihād. Dengan Ijtihād, menurutnya
seorang Mujtahid akan mampu mengangkat kandungan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw secara lebih maksimal ke dalam bentuk yang siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian penting fungsinya, maka melakukan Ijtihād dalam pandangan Imam Syafi'i adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya, atau bagi orang yang benar-benar mampu melakukan Ijtihād. Dalam kitabnya al-Risalah, Imam Syafi'i mengatakan, “Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk ber-Ijtihād dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah”.21
Metode utama yang digunakannya dalam ber-Ijtihād adalah Qiyas. Imam Syafi‟i membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam menentukan mana pendapat (al-ra‟yu) yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia kemudian membuat kriteria khusus bagi istinbath-istinbath yang tidak dapat dibenarkan. Ia juga menentukan batasan-batasan Qiyas, klasifikasi, kedudukan, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan
Qiyas. Imam Syafi‟i juga menjelaskan syarat-syarat yang harus ada pada
proses Qiyas yang dilakukan. Ia juga menjelaskan perbedaan antara Qiyas dengan metodologi istinbath lain selain Qiyas.
Dalam mendefinisikan Qiyas, Imam Syafi‟i menawarkan bahwa
Qiyas adalah: menyamakan suatu urusan yang tidak ditetapkan hukumnya
dengan suatu urusan yang sudah diketahui hukumnya karena ada persamaan dalam „illat hukum.22
Dengan demikian Imam Syafi‟i diklaim sebagai orang pertama yang menerangkan esensi dari Qiyas. Sedangkan terhadap Istihsān, Imam Syafi‟i secara tegas menolaknya. Khusus mengenai Istihsān ia mengarang kitab yang berjudul Ibthālu al-Istihsān. Dalil-dalil yang dikemukakannya untuk menolak istihsan, juga disebutkan dalam kitab Jimā‟ul Ilmi,
al-Risālah dan al-Umm.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa setiap Ijtihād yang tidak bersumber dari Al-Qur‟an, Sunnah, Ātsar (pendapat para Sahabat), Ijma‟ atau Qiyas dipandang sebagai Ijtihād yang dilakukan dengan metode
Istihsān. Adapun Ijtihād dengan jalan Istihsān ini adalah Ijtihād yang batal
dan tidak dapat dijadikan dasar hukum.23 Jadi alasan Imam Syafi‟i menolak Istihsān adalah karena kurang bias dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalil hukum lainnya yang dipakai Imam Syafi'i adalah Maslahah
al-Mursalah. Menurut Imam Syafi‟i, Maslahah al-Mursalah adalah cara
menemukan hukum atas suatu masalah yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al-Qur‟an maupun dalam hadis, yang mana didasarkan
22Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Risalah... hlm. 477. 23Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Risalah... hlm. 146.
terhadap pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.24
Berkaitan dengan permasalahan penarikan kembali harta hibah oleh pemberinya, Imam Syafi‟i dalam karyanya al-Umm tidak menjelaskan secara rinci bagaimana metodologi Istinbāth yang ia gunakan. Namun, riwayat dari Umar ra yang ia sampaikan paling tidak dapat kita jadikan sebagai tolak ukur untuk mengetahui bagaimana sebenarnya metodologi Imam Syafi‟i dalam menentukan hukum penarikan kembali harta hibah.
Garis besar pendapat Imam Syafi‟i adalah pada dasarnya tidak memperbolehkan penarikan kembali harta hibah jika tujuannya adalah untuk shadaqah atau untuk mempererat tali silaturrahmi, akan tetapi jika tujuannya adalah untuk mengharapkan agar mendapatkan ganti dari hibah yang diberikan, maka hibah dengan tujuan semacam itu dapat ditarik kembali oleh pemberinya. Jadi, di sini Imam Syafi‟i terlihat menekankan pada aspek tujuan pemberinya, atau yang dijadikan barometer hibah dapat ditarik kembali atau tidak adalah mengacu pada tujuan hibah itu sendiri.
Kesimpulan Imam Syafi‟i ini secara metodologis dapat kita anggap sebagai upayanya mendasarkan Ijtihād yang ia lakukan terhadap pendapat salah seorang Sahabat Nabi, yakni Umar ra. Praktek yang demikian dalam istilah Ushūl al-Fiqh sering disebut dengan Ijtihād yang berdasar kepada
Qaul al-Shahābi. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya,
bahwa Imam Syafi‟i dalam ber-Ijtihād memang sering mendasarkan
pendapatnya pada Qaul al-Shahābi jika dalam ketiga sumber sebelumnya (Al-Qur‟an, Hadis, dan Ijmā‟) tidak didapatkan penjelasan terkait masalah yang sedang ia kaji.
Dalam memahami riwayat yang berasal dari Umar ra tersebut, sebagaimana telah penulis sampaikan sebelumnya, Imam Syafi‟i terlihat menerapkan prinsip tekstualitas yang sangat ketat. Artinya, Imam Syafi‟i tidak berani keluar dari makna lahiriyah teks yang ia jadikan dasar dalam menentukan hukum penarikan kembali harta hibah. Hal ini dapat kita lihat dalam kesimpulannya ketika memahami ungkapan م ِحَر ِةَلِصِل , ةَقَدَص ِهْجَو ىَلَع ْوَأ, dan kalimat َباَوَّ ثلا َداَرَأ اَمَّنإ , semuanya dipahami oleh Imam Syafi‟i sebagai tujuan dari si pemberi hibah. Jadi wajar jika kemudian Imam Syafi‟i menentukan barometer boleh tidaknya harta hibah diminta kembali oleh pemberinya adalah tergantung dari tujuan dari pemberinya. Ini kemudian mengasumsikan bahwa dalam memahami riwayat tersebut Imam Syafi‟i terlihat sangat tekstual dan memperlakukan teks dengan apa adanya seperti makna lahirnya.
2. Imam Hanafi
a. Biografi Imam Hanafi
Abu Hanafi dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah (bertepatan pada tahun 699 M) di kota Khufah. Nama aslinya adalah Nu‟man ibn Tsabit ibn Zautha ibn Mah. Ia berasal dari keturunan Persia, karena ayahnya Tsabit adalah keturunan Persia kelahiran Kabul, Afganistan. Pada mulanya ia tinggal di Kabul kemudian pindah ke Kufah. Dia dilahirkan pada waktu
pemerintahan Islam dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan, keturunan Bani Umayyah ke-V.25
Abu Hanīfah hidup dalam lingkungan sosio-politik yang sedang berkecamuk, yakni dalam masa transisi kekuasaan dinasti bani Umayyah menuju tampuk kepemimpinan dinasti „Abbasiyyah.26
Konon ia dipanggil dengan sebutan “Abu Hanīfah” karena beberapa alasan. Pertama, ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Hanīfah, maka ia diberi julukan Abu Hanīfah (bapak atau ayah) dari Hanīfah. Kedua, ia adalah seorang yang sejak kecil sangat tekun belajar dan menghayatinya, maka ia dianggap seorang yang hanīf (cenderung) kepada agama. Ketiga, menurut bahasa Persi, “hanīfah” berarti tinta, yang mana Imam Hanafi dalam kesehariannya sangat rajin menulis hadis-hadis, ke mana pun ia pergi selalu membawa tinta, karena itu ia diberi nama Abu Hanīfah yang berarti bapak tinta, sehingga ia masyhur dengan nama Abu Hanīfah.27
Ayah Abu Hanīfah adalah seorang saudagar besar. Sejak kecil, Abu Hanīfah selalu bekerja membantu ayahnya. Ia selalu mengikuti ayahnya ke tempat-tempat perniagaan. Di sana, ia banyak bercakap-cakap dengan pedagang-pedagang besar sambil belajar tentang perdagangan dan rahasia-rahasianya.28 Di samping berniaga, ia tekun pula menghafal Al-Qur‟an dan
25Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan Empat Imam Mazhab, (Solo: Ramadhani, 1984), hlm. 12-13.
26Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 95.
27Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan... hlm. 95.
28Abdurrahman Syarqawi, A‟immah Fiqh Tis‟ah, terj. M. A. Haris al-Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqih, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), hlm. 237.
amat gemar membacanya.29 Demikianlah yang dilakukan sehari-hari, kecerdasan otaknya sampai menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya. Hingga al-Sya‟bi, seorang ulama fiqh melihatnya dan menganjurkan supaya Abu Hanīfah mencurahkan perhatiannya kepada Ulama‟. Saran itu dijawab oleh Abu Hanīfah: “minat saya kepada para Ulama‟ hanya sedikit”. Ulama‟ fiqih tersebut menasehatinya: “engkau harus mencurahkan perhatianmu kepada ilmu pengetahuan dan mendekatkan diri kepada para Ulama‟. Saya melihat engkau mempunyai ingatan kuat dan kecerdasan”.30
Sejak itu, Abu Hanīfah mulai mencurahkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan. Namun di sela-sela kesibukannya belajar Abu Hanīfah masih tetap konsisten menjalankan usaha milik ayahnya.31
Kota kelahirannya, Kufah, merupakan salah satu kota yang besar dan sangat maju. Di kota tersebut, tradisi-tradisi lama masih dipegang oleh para penduduknya. Namun, hal tersebut tidak menjadikan mereka kolot, mereka justru mau menerima perubahan dan kemajuan. Hal ini terbukti di kota tersebut ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat cepat. Sehingga hal tersebut memiliki nilai plus tersendiri bagi Abu Hanīfah, yang dalam perkembangan pemikirannya di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai Ulama‟ yang moderat dan lebih mengedepankan ra‟yu dalam
Ijtihād.
29
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 442.
30Abdurrahman al-Syarqawi, A‟immah al-Fiqh..., hlm. 442. 31T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok... hlm. 442.
Imam Abu Hanīfah adalah seorang yang mempunyai tubuh yang sedang saja, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu besar, tingginya sedang dan gemuknya pun sedang. Kulitnya putih kuning, mukanya bercahaya, terbayang ketegasan hatinya, keberanian hatinya, keberanian dan ketangkasannya. Ia berbicara lemah lembut dan halus, sehingga menarik perhatian orang yang mendengarnya. Ia selalu bekerja dengan rajin. Ia berkawan dengan orang-orang baik, tidak suka berteman dengan orang-orang jahat, dari kecil hingga ia dewasa.32 Berani mengatakan salah bagi yang salah, walaupun yang disalahkannya itu orang besar. Ia seorang yang teguh dalam pendirian, mempunyai jiwa merdeka (tidak mudah larut dalam pribadi orang lain), jiwanya suka meneliti segala sesuatu yang dihadapi, dan tidak berhenti pada kulit-kulitnya saja, tetapi harus mendalami isinya. Ia mempunyai daya tangkap yang sangat luar biasa untuk mematahkan hujjah lawan.33 Karena sifat-sifat beliau itulah, maka ia berada pada puncak ilmu di antara para Ulama‟.
b. Pendidikan dan Karir Intelektual Imam Hanafi
Abu Hanīfah merupakan orang yang bijak dan gemar dengan ilmu pengetahuan. Pada mulanya ia belajar sastra Arab, namun sastra dirasanya kurang menantang, maka kemudian ia meninggalkan sastra dan beralih mempelajari fikih, hal ini dilakukannya karena ia lebih suka materi-materi
32Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan... hlm. 15. 33T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok..., hlm. 448.
ilmu yang banyak menggunakan akal (pikiran).34 Meskipun demikian, Abu Hanīfah juga mampu menguasai bidang-bidang lain, ia menguasai ilmu
al-qira‟at, bidang kesusastraan Arab (ilma al-adab) dan ilmu kalām (teologi).
Selain itu Abu Hanīfah juga aktif berdiskusi dalam kelompok-kelompok keagamaan yang muncul pada saat itu.35
Ilmu hadis dan fikih ia dalami dari Ulama‟-Ulama‟ terkemuka di negeri itu. Menurut sebagian dari para ahli sejarah, bahwa ia berguru kepada sahabat-sahabat besar yang ahli dalam bidang fikih.36 Di antara para guru yang paling mempengaruhi dirinya adalah Hammad bin Abi Sulaiman (W. 120 H), gurunya ini sangat kagum dengan kemampuan intelektual yang dimiliki Abu Hanīfah, dan sebaliknya imam Abu Hanīfah juga memandang gurunya yang satu ini sebagai tokoh yang patut diteladani, baik dalam perilaku maupun kepandaian ilmunya.
Mannā‟ al-Qattan (ahli sejarah hukum Islam berkebangsaan Mesir) sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Aziz Dahlan, pernah menceritakan bahwa ketika Hammad bin Sulaiman mengadakan perjalanan, Imam Abu Hanīfah ditunjuk untuk menggantikannya sebagai guru pada halaqah (sistem belajar yang duduk melingkari guru) yang dipimpinnya. Enam puluh pertanyaan yang diajukan oleh peserta pengajian itu dapat dijawabnya dengan lancar, dan jawaban itu sempat dicatatnya. Setelah Hammad kembali dari perjalanan Imam Abu Hanīfah kembali
34
Ahmad al-Syurbasi, al-A‟immāt al-Arba‟ah, terj. Sabil Had dan Ahmadi, Sejarah
dan Biografi Imam Empat Madzhab, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 17. 35T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok..., hlm. 443.
menceritakan seluruh jawabannya itu, lalu Hammad menyatakan setuju dengan 40 jawaban dan berbeda pendapat dengan 20 jawaban. Seraya memberi penjelasan tentang apa yang menjadi sebab perbedaan tersebut. Penjelasan Hammad tersebut paling tidak telah menambah kekaguman Abu Hanīfah terhadap gurunya tersebut, dan ia berjanji tidak akan berpisah dengannya sampai wafat. Sepeninggal gurunya, Imam Abu Hanīfah melakukan ijtihād secara mandiri dan menggantikan posisi gurunya sebagai pengajar di halaqah yang bertempat di masjid Khufah. Hal ini karena hanya dialah yang dipandang layak oleh murid-murid Hammad untuk memegang jabatan itu.37 Kecerdasan Abu Hanīfah memang diakui oleh para ilmuwan, di antaranya adalah Imam Abu Yusuf.Ia berkata: “Aku belum pernah bersahabat dengan seorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal pikiran Abu Hanīfah,” dan masih banyak lagi Ulama‟ yang mengakuinya.
Dalam bidang fikih, Imam Syafi‟i pernah berkata “Manusia seluruhnya adalah menjadi keluarga dalam ilmu fikih, menjadi anak buah Abu Hanīfah”.38 Abu Hanīfah dijuluki al-Imam al-A‟dlam (Imam Agung) oleh murid-muridnya karena kepandaiannya dalam berdiskusi dan kedalaman ilmunya di bidang fikih.39
Abu Hanīfah adalah seorang hamba Allah yang takwa dan saleh beribadah. Setiap hari pekerjaannya tidak ada yang kosong, tetapi
37Abdul Azis Dahlan (et.al.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 12.
38M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 184-185.
seluruhnya digunakan untuk beribadah kepada Allah Swt. Zuhud, wara dan sangat hati-hati dalam urusan hukum. Karakternya sangat kuat dan memiliki ahklak yang sangat mulia.40
Dalam satu riwayat, bahwa Yazid Ibnu Hubairah, gubernur Irak dari khalifah Marwan Ibn Muhammad ingin mengangkatnya menjadi qādhi (hakim), tetapi Abu Hanīfah menolak tawaran tersebut. Ia menganggap bahwa ikut serta dalam kekuasaan yang dlalim sama artinya dengan berbuat dlalim. Penolakan tersebut kemudian menyebabkan Abu Hanīfah harus dimasukkan ke dalam penjara karena dipandang telah mengkhianati dan membangkang kepada pemerintahan.41
Pada awalnya, Abu Hanīfah sebenarnya merupakan orang yang mendukung dinasti Bani Umayyah naik ke pentas kekuasaan, akan tetapi setelah terbukti mereka banyak berbuat dhalim, Abu Hanīfah dengan tegas menyatakan sikapnya yang tidak membenarkan tindakan-tindakan mereka. Ia mengumumkan sikapnya itu dalam halaqah pengajarannya.42
Dari penolakannya tersebut akhirnya ia dijebloskan ke dalam penjara disertai keharusan menjalani hukuman cambuk dalam keadaan usia mencapai 70 tahun. Sambil disiksa, tawaran-tawaran berupa hadiah, pangkat, kedudukan selalu datang dari khalifah, akan tetapi Abu Hanīfah tetap menolaknya.
40
Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan..., hlm. 21
41T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 85.
Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, ia diakui masyarakat sebagai imam besar.43 Perjuangan Imam Abu Hanīfah tidak putus sampai di sini saja, namun masih dilanjutkan oleh murid-muridnya. Dari sekian banyak muridnya, ada 4 orang yang paling terkenal dan akhirnya menjadi ulama besar di dunia Islam, antara lain:
a) Imam Abu Yusuf Ya‟kub ibn Ibrahim al-Anshary. Ia dilahirkan tahun 113 H. Mula-mula ia belajar dengan Imam Abi Layla di kota Kufah, kemudian pindah belajar menjadi murid Imam Hanafi. Karena kepandaiannya, ia dijadikan kepala murid oleh Imam Hanafi. Ia banyak membantu Imam Hanafi dalam menyiarkan madzhabnya, serta banyak mencatat pelajaran dari Imam Hanafi dan menyebarkannya ke beberapa tempat.
b) Imam Hasan bin Ziyad al-Lu‟luy, salah seorang murid yang terkemuka pula. Ia dikenal sebagai seorang ahli fikih yang merencanakan menyusun kitab Imam Hanafi. Ia dikenal pula sebagai ahli Qiyas.
c) Imam Muhammad bin Hasan bin Farqat al-Syaibani. Sejak kecil, ia tinggal di kota Kufah, kemudian pindah ke Baghdad. Ia cenderung kepada ilmu hadis dan belajar kepada Imam Hanafi, akhirnya menjadi ulama terkemuka. Beliau dekat dengan Sultan Harun
Rasyid. Kepada Imam Muhammad inilah tulisan atau kitab al-Kasani dinisbatkan kepada Abu Hanīfah.44
d) Imam Za‟far bin Hudzail bin Qais al-Kūfi. Beliau adalah salah seorang murid yang juga ahli di bidang hadis.
Empat orang murid Imam Hanafi inilah di kemudian hari menjadi Ulama‟ yang terkemuka, yang masing-masing mempunyai keahlian tersendiri dalam ilmu fikih, ilmu hadis, ilmu ra‟yu dan lain sebagainya.45Imam Abu Hanifah tidak menulis sendiri karya-karyanya, keempat muridnya tersebutlah yang kemudian menisbatkan tulisan-tulisan mereka kepada Abu Hanīfah. Salah satu muridnya yang bernama Abu Yusuf merupakan tokoh yang paling berperan dalam pengukuhan madzhab Hanafi, namun sayangnya hanya sedikit karyanya yang sampai di tangan kita. Hal ini kemudian menyebabkan para pengikut madzhab Hanafi lebih cenderung berpegang pada karya-karya murid Imam Hanafi yang lain, yakni Muhammad bin Hasan Syaibani. Diantara karya-karya Syaibani tersebut adalah: Jāmi‟ Kabīr, Jāmi‟ Shaghīr,
al-Mabshūth, al-Siyar al-Kabīr, al-Siyar Ash Shaghīr, dan al-Ziyādāt. c. Metodologi Istinbāth Hukum Imam Hanafi
Dasar-dasar yang dipakai Imam Abu Hanīfah tidak dijelaskan secara rinci. Namun demikian, kaidah-kaidah umum (ushūl kulliyyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fikihnya bercermin pada pernyatan beliau sebagaimana dikutip Romli SA.:
44Abu Bakar bin Mas‟ud Kasani Hanafi, Badāi‟u Shanāi‟, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003), Cet. II, Juz I, hlm. 75.
ِةَّنُسِب ُتْذَخَأ ِوْيِف ْدِجَأ َْلَ اَمَف ُوُتْدَجَو اَذِإ ِللها ِباَتِكِب ُتْذَخَأ ْينِِّإ
ِوْيَلَع ُللها ىَّلَص ِللها ِلْوُسَر
َلاَو ِللها ِباَتِك ِفِ ْدِجَأ َْلَ اَذِإَف ِراَثَلأاَو َمَّلَسَو
ْنَم ِوِباَحْصَأ ِلْوَقِب ُتْذَخَأ َمَلَسَو ِوْيَلَع ُللها ىَّلَص ِللها ِلْوُسَر ِةَّنُس
اَذِإَف , ْمِىِْيَْغ ِلْوَ ق َلَِإ ْمِِلِْوَ ق ْنِم ُجُرْخَأ َلا , ُتْئِش ْنَم ُعْدَاَو ُتْئِش
يَهَ تْ نا
ِنْباِدْيِعَسَو نْيِْيِْس ِنْباَو ِنَسَْلْاَو ِبِْعَّشلا َمْيِىاَرْ بِإ َلَِإ ُرْمَلأْا
...اْوُدَهَ تْجإ اَمَك َدِهَتْجَأ ْنَأ َىلَع ِبَّيَسُمْلا
Artinya: “Saya berpegang kepada kitab Allah (Al-Qur‟an)
apabila menemukannya, jika saya tidak menemukannya saya berpegang kepada sunnah dan atsar, jika saya tidak ditemukan dalam kitab sunnah saya berpegang kepaada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya. Saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka kepada pendapat lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahin al-Sya‟bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Sa‟id Ibnu al-Musayyab, maka saya harus berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad….”46
Kutipan di atas menunjukkan, bahwa Abu Hanīfah dalam melakukan
istinbāth hukum berpegang kepada dalil yang sistematis atau tarkib
susunannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Abu Hanīfah dalam hal ini hanya berpegang kepada riwayat orang-orang yang dapat dipercaya, di samping itu Abu Hanīfah juga sering mendasarkan pendapatnya kepada
qiyas. Akan tetapi jika qiyas tersebut menjadi kurang baik, maka kemudian
ia menggunakan istihsān selama yang demikian itu dapat dia lakukan. Kalau tidak, maka beliau berpegang pada adat atau „urf.47 Dari sini dapat
46Romli SA., Muqaranah Madzahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 21.
disimpulkan bahwa dalil fikih Abu Hanīfah adalah al-Kitab, al-Sunnah,
Aqwal al-Sahabat, Ijma‟, Qiyas, al-Istihsan dan al-„Urf.48
Abu Hanīfah lebih dikenal sebagai Ulama‟ yang rasionalis, artinya dalam menetapkan hukum Abu Hanīfah lebih mengedepankan aspek penggunaan penalaran akal, baik dalam memahami Al-Qur‟an maupun Hadis. Bahkan ia lebih suka menggunakan akal dari pada harus berpegang kepada hadis āhād. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan.49 Namun demikian, beliau tidak mengabaikan dasar Al-Qur‟an dan hadis dalam menetapkan suatu hukum. Hal itu sengaja dilakukan agar tidak ada kesan, bahwa beliau kurang perhatian dengan sunnah Rasul, karena julukan beliau sebagai ahl
al-ra‟yu.
Imam Abu Yusuf berkata: “Saya belum pernah melihat orang yang lebih mengerti tentang hadis dan tafsirnya selain Abu Hanīfah. Ia tahu akan illat-illat hadis, mengerti tentang ta‟dil, tarjih dan tentang tingkatan hadis yang sah atau tidak”. Bahkan Abu Hanīfah sendiri pernah berkata: “Jauhilah olehmu perkataan mengenai urusan agama Allah menurut pendapat sendiri, tidak menurut hadis-hadis Nabi”. Beliau memang sangat selektif terhadap hadis, sehingga hadis yang dipandang lemah ditinggalkan dan lebih mengutamakan rasio.50
Dikarenakan begitu sempitnya wilayah penggunaan Abu Hanīfah terhadap Hadis, maka akibatnya dalam penerimaan Hadis Abu Hanīfah
48T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok..., hlm. 146.
49Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan..., hlm. 98. 50M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab... hlm. 186.
menerapkan sistem yang sangat ketat, karena pada waktu itu di kota Kufah dan Baghdad banyak berkembang Hadis-Hadis Maudhu‟ (palsu), sehingga beliau banyak memakai ra‟yu dan rasionalisasi nash. Penggunaan rasio tersebut di samping dilatarbelakangi alasan di atas, juga karena dalam masyarakat Irak pada waktu itu sangat dinamis dan heterogen, sehingga banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum baru yang tidak dapat menggunakan penalaran dari nash saja, serta juga dikarenakan jauhnya wilayah Irak dari sumber hadis, yaitu Makkah dan Madinah. Oleh sebab itu, beliau dalam berijtihad banyak memakai dasar ra‟yu (rasio), bahkan beliau mendahulukan qiyas daripada hadis āhād.51
Dalam permasalahan penarikan harta hibah Abu Hanīfah tidak menulis hasil pemikirannya sendiri, maka amatlah susah untuk merumuskan bagaimana sebenarnya metodologi yang ditempuh oleh Abu Hanīfah dalam menyoal hukum penarikan kembali harta hibah ini. Namun dalam tahap ini penting kiranya untuk mengemukakan apa yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan al-Syaibani ketika mengomentari riwayat yang berasal dari Umar ra sebagaimana telah penulis sebutkan dalam bab sebelumnya,52 ia menyatakan;
ٍمِحَر يِذِل ًةَبِى َبَىَو ْنَم ،ُذُخْأَن اَذَِبَِو :ٌدَّمَُمُ َلاَق
ىَلَع ْوَأ ،ٍمَرَْمُ
،اَهيِف َعِجْرَ ي ْنَأ ِبِىاَوْلِل َسْيَلَ ف ،ُوَل ُبوُىْوَمْلا اَهَضَبَقَ ف ،ٍةَقَدَص ِوْجَو
ْنِإ ،اَهيِف َعِجْرَ ي ْنَأ ُوَلَ ف اَهَضَبَ قَو ٍمَرَْمُ ٍمِحَر يِذ ِْيَْغِل ًةَبِى َبَىَو ْنَمَو
51Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Surabya: Bina Utama, 1999), hlm. 39.
َي ِفِ اًرْ يَخ ْدَزُ ي ْوَأ ،اَهْ نِم ْبَثُ ي َْلَ
ِكْلِم َلَِإ ِوِكْلِم ْنِم ْجُرَْيَ ْوَأ ،ِهِد
اَنِئاَهَقُ ف ْنِم ِةَّماَعْلاَو ،َةَفيِنَح ِبَِأ ُلْوَ ق َوُىَو .ِهِْيَْغ
“Muhammad bin Hasan berkata: dan dengan riwayat53
inilah kami berpendapat bahwa jika seseorang memberikan hibah kepada saudara yang memiliki ikatan mahram, atau karena alasan untuk shadaqah, kemudian mauhūb lah (penerima hibah) menerimanya, maka tidak diperbolehkan bagi pemberinya untuk menarik kembali hibah tersebut. Dan apabila seseorang memberikan hibah pada orang lain yang bukan se-mahram, kemudian orang tersebut menerimanya,maka pemberinya diperbolehkan menarik kembali hibah tersebut selama belum diberikan ganti oleh penerimanya, atau belum bertambah banyak di tangan penerima, dan belum keluar dari kepemilikan penerima hibahkepada orang lain. Pendapat tersebut adalah yang dipegangi oleh Abu Hanīfah dan Ahli Fiqh madzhab kita secara umum.”54
Dari komentar Muhammad bin Hasan ini dapat diketahui bahwa Abu Hanīfah dalam menghukumi penarikan kembali harta hibah tersebut agaknya menggunakan riwayat yang sama dengan yang digunakan Imam Syafi‟i, yakni berupa riwayat dari Umar ra. Ini artinya metodologi yang digunakan oleh Abu Hanīfah dalam ber-ijtihad terhadap hukum penarikan kembali harta hibah tersebut lebih cenderung mendasarkan pada Qaul
al-Shahabi (pendapat Sahabat).
Riwayat dari Umar ra tersebut dipahami agak berbeda oleh Imam Hanafi dari pada apa yang telah Imam Syafi‟i simpulkan. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, Imam Syafi‟i memahami riwayat tersebut dengan tekstual, artinya statemen yang disampaikan Umar ra tersebut dipahami sesuai makna lahirnya. Imam
53Riwayat yang dimaksud adalah yang berasal dari Umar ra
54 Malik bin Anas, al-Muwatha‟ – Riwayat Muhammad bin Hasan al-Syaibani, (Mesir: Lajnah Ihyā‟ al-Turats, 1994), hlm. 259.
Syafi‟i menganggap barometer boleh tidaknya hibah ditarik kembali oleh pemberinya adalah dengan mengacu pada tujuan si pemberi hibahnya. Kesimpulan itu muncul karena dalam riwayat Umar ra tersebut terdapat beberapa redaksi kalimat yang mengindikasikan keharusan melihat tujuan pemberinya.
Sementara Imam Hanafi dalam hal ini tidak serta merta hanya melihat pada tujuan pemberi hibahnya. Imam Hanafi dalam hal ini justru tidak hanya mengacu pada makna lahiriyah teksnya saja. Imam Hanafi lebih menekankan pada fakta pemberian ganti dari hibah tersebut. Jadi, walaupun dalam redaksi riwayat tersebut ada kalimat َباَوَّ ثلا َداَرَأ اَمَّنإ yang dapat diartikan sebagai tujuan pemberi hibah, namun Imam Hanafi memahaminya justru bukan pada aspek tujuannya, melainkan pada fakta penggantian hibahnya.
Hal ini mengingat dalam beberapa catatan murid Imam Hanafi, banyak bermunculan beberapa argumentasi lain selain riwayat tersebut, sebagaimana yang disampaikan al-Kāsāni dalam karyanya justru mengajukan argumentasi yang menarik. Pertama ia mengajukan Al-Qur‟an sebagai dasar diperbolehkannya menarik kembali hibah yang sudah diberikan, yakni dalam Surat al-Nisā‟ ayat 86;
Artinya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
Kata tahiyyah dalam ayat tersebut menurut al-Kāsāni masih berlaku umum, kata tersebut dapat juga diartikan sebagai ucapan salam, pujian, dan pemberian hadiah berupa harta, dan agaknya al-Kāsāni dalam hal ini mencoba mengartikannya sebagai pemberiah hadiah.55 Oleh karena itu statemen tersebut dapat dipahami bahwa jika kita diberi penghormatan dari orang lain berupa harta, maka kita dianjurkan untuk membalasnya dengan harta yang lebih baik (banyak), atau kita dapat mengembalikannya. Kesimpulan ini menurut al-Kāsāni karena kata
َ د
َ رل
ا
dalam kalimatا
َ ه
َ و
َ د
َ ر
َ و
َ أ
biasanya digunakan untuk menyebutkan A‟yan (benda-benda yang ada wujudnya), karena kata tersebut menunjukkan arti mengembalikan sesuatu.56 Dari ayat inilah al-Kāsāni menyatakan bahwa dalam madzhab yang ia anut (Hanafiyyah) hibah boleh ditarik kembali.Kedua, al-Kāsāni mengajukan salah satu Hadis Nabi sebagai dasar
ijtihad madzhab Hanafiyyah dalam menetapkan hukum penarikan kembali
harta hibah.Yakni;
55Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badāi‟u al-Shanāi‟... Juz VIII, hlm. 118.
ُللها ىَّلَص ِوَّللا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق ،َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع
:َمَّلَسَو ِوْيَلَع
«
ُلُجَّرلا
اَهْ نِم ْبَثُ ي َْلَ اَم ِوِتَبِِبِ ُّقَحَأ
»
57“Dari Abi Hurairah ra, ia berkata; Rasulullah Saw bersabda; seorang laki-laki lebih berhak atas hibah yang diberikannya kepada orang lain selama hibah tersebut belum diganti.”
Disamping itu, al-Kāsāni juga mendasarkan pendapatnya tersebut kepada Ijma‟ Sahabat. Hal ini sebagaimana dalam pendapatnya Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Abu Darda‟, Fadhalah bin Ubaid, dan sahabat-sahabat lain, faktanya memang mengatakan hal yang sama dengan madzhab yang dipegang oleh al-Kāsāni, yakni Hanafiyyah.58 Oleh karena itu mereka memperbolehkan penarikan kembali
harta hibah selama belum diberikan ganti oleh penerimanya.
B. PEMBAHASAN
1. Titik Temu Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanafi
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa Imam Hanafi hidup lebih awal dari pada Imam Syafi‟i. Perbedaan kultur, kondisi sosial dan politik telah membentuk pola berpikir yang berbeda pada kedua Ulama‟ tersebut. Imam Hanafi lebih terkesan rasionalis, sementara Imam Syafi‟i lebih terlihat tekstualis. Hal ini dapat kita lihat dalam penerimaan keduanya terhadap kekuatan hadis āhād sebagai dasar hukum, yang mana Imam Syafi‟i menjadikan hadis āhād sebagai salah satu dasar
57Ibnu Mājah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Mājah, (Beirut: Dār Ihya‟ Kutub al-„Arabiyyah, t.t), Juz II, hlm. 798 (Nomor Hadis:
2377).
58Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badāi‟u al-Shanāi‟..., Juz VIII, hlm. 120.
yang dapat digunakan dalam menentukan hukum atas sesuatu permasalahan, sedangkan Imam Hanafi justru menolaknya dan lebih mendahulukan qiyas. Penolakan ini paling tidak telah menunjukan pola berpikirnya yang lebih mengedepankan rasio.
Berbicara tentang titik temu keduanya dalam permasalahan penarikan kembali harta hibah, maka dapat penulis rumuskan dalam poin-poin berikut ini:
Pertama, berdasarkan dari penelusuran yang penulis lakukan, baik Imam Syafi‟i maupun Imam Hanafi sebenarnya menggunakan riwayat yang sama mengenai pencabutan hibah tersebut. Yakni sama-sama menggunakan riwayat dari Umar ra, yang mana dalam al-Umm, Imam Syafi‟i menulis:
أ
ٍفيِرَط ِنْب َناَفَطَغ ِبَِأ ْنَع ِْيَْصُْلْا ِنْب دُواَد ْنَع ٍسَنَأ ُنْب ُكِلاَم اَنَرَ بْخ
َْلْا ِنْب َناَوْرَم ْنَع َّييرُمْلا
ًةَبِى َبَىَو ْنَم :َلاَق ِباَّطَْلْا َنْب َرَمُع َّنَأ ِمَك
ىَرَ ي ًةَبِى َبَىَو ْنَمَو اَهيِف ُعِجْرَ ي َلا ُوَّنِإَف ٍةَقَدَص ِوْجَو ىَلَع ْوَأ ٍمِحَر ِةَلِصِل
َهْ نِم َضْرَ ي َْلَ ْنإ اَهيِف ُعِجْرَ ي ِوِتَبِى ىَلَع َوُهَ ف َباَوَّ ثلا َداَرَأ اََّنَّإ ُوَّنَأ
ا
59Artinya: “Malik memberitakan kepadaku, dari Daud ibn
al-Husayn dari Abu Ghatafan ibn Tarif al-Murri dari Marwan bin Hakam; bahwa Umar ibn al-Khattab berkata: (jika seseorang memberikan hibah untuk tujuan agar memperkuat ikatan keluarga (silaturahmi) ataupun sebagai shadaqah, maka ia tidak dapat mengambilnya kembali. Akan tetapi jika seseorang memberikan hibah karena menginginkan imbalan, maka ia diperbolehkan untuk meminta kembali hibah tersebut jika ia tidak rela).”
Sementara dalam riwayat Muhammad bin Hasan (murid Imam Hanafi) tertulis:
59 Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Umm, (Riyadh: Bait Afkār al-Daulah, t.t), hlm. 678.
ٍفيِرَط ِنْب َناَفَطَغ ِبَِأ ْنَع ،ِْيَْصُْلْا ُنْب ُدُواَد اَنَرَ بْخَأ ،ٌكِلاَم اَنَرَ بْخَأ
ُنْب ُرَمُع َلاَق :َلاَق ُوَّنَأ ،ِمَكَْلْا ِنْب َناَوْرَم ْنَع ،يييرُمْلا
ُوَّللا َيِضَر ِباَّطَْلْا
لا ُوَّنِإَف ،ٍةَقَدَص ِوْجَو ىَلَع ْوَأ ،ٍمِحَر ِةَلَصِل ًةَبِى َبَىَو ْنَم " :ُوْنَع َلَاَعَ ت
ىَلَع َوُهَ ف ،َباَوَّ ثلا اَِبِ َداَرَأ اََّنَِّإ ُوَّنَأ ىَرَ ي ًةَبِى َبَىَو ْنَمَو ،اَهيِف ُعِجْرَ ي
َْلَ ْنِإ اَهيِف ُعِجْرَ ي ،ِوِتَبِى
َبَىَو ْنَم ،ُذُخْأَن اَذَِبَِو :ٌدَّمَُمُ َلاَق .اَهْ نِم َضْرَ ي
َسْيَلَ ف ،ُوَل ُبوُىْوَمْلا اَهَضَبَقَ ف ،ٍةَقَدَص ِوْجَو ىَلَع ْوَأ ،ٍمَرَْمُ ٍمِحَر يِذِل ًةَبِى
َبَ قَو ٍمَرَْمُ ٍمِحَر يِذ ِْيَْغِل ًةَبِى َبَىَو ْنَمَو ،اَهيِف َعِجْرَ ي ْنَأ ِبِىاَوْلِل
ُوَلَ ف اَهَض
ْنِم ْجُرَْيَ ْوَأ ،ِهِدَي ِفِ اًرْ يَخ ْدَزُ ي ْوَأ ،اَهْ نِم ْبَثُ ي َْلَ ْنِإ ،اَهيِف َعِجْرَ ي ْنَأ
اَنِئاَهَقُ ف ْنِم ِةَّماَعْلاَو ،َةَفيِنَح ِبَِأ ُلْوَ ق َوُىَو.ِهِْيَْغ ِكْلِم َلَِإ ِوِكْلِم
60Artinya: “Malik meberitakan kepadaku, dari Daud ibn al-Husayn
dari Abu Ghatafan ibn Tarif al-Murri dari Marwan bin Hakam; bahwa Umar ibn al-Khattab berkata: (jika seseorang memberikan hibah untuk tujuan agar memperkuat ikatan keluarga (silaturahmi) ataupun sebagai shadaqah, maka ia tidak dapat mengambilnya kembali. Akan tetapi jika seseorang memberikan hibah karena menginginkan imbalan, maka ia diperbolehkan untuk meminta kembali hibah tersebut jika ia tidak rela). Muhammad bin Hasan berkata: dan dengan riwayat inilah kami berpendapat bahwa jika seseorang memberikan hibah kepada saudara yang memiliki ikatan mahram, atau karena alasan untuk shadaqah, kemudian mauhūb lah (penerima hibah) menerimanya, maka tidak diperbolehkan bagi pemberinya untuk menarik kembali hibah tersebut. Dan apabila seseorang memberikan hibah pada orang lain yang bukan se-mahram, kemudian orang tersebut menerimanya,maka pemberinya diperbolehkan menarik kembali hibah tersebut selama belum diberikan ganti oleh penerimanya, atau belum bertambah banyak di tangan penerima, dan belum keluar dari kepemilikan penerima hibah kepada orang lain. Pendapat tersebut adalah yang dipegangi oleh Abu Hanīfah dan Ahli Fiqh madzhab kita secara umum.”
Berdasarkan dari riwayat Umar ra tersebut baik Imam Syafi‟i maupun Imam Hanafi, keduanya terlihat sepakat bahwa hibah yang dilakukan untuk
60 Malik bin Anas, al-Muwatha‟ – Riwayat Muhammad bin Hasan al-Syaibani, (Mesir: Lajnah Ihyā‟ al-Turats, 1994), hlm. 259.
memperkuat tali silaturrahmi atau karena murni untuk tujuan shadaqah maka hukumnya tidak boleh ditarik kembali oleh pemberinya. Dari kesamaan sumber ijtihād tersebut penulis menilai walaupun pandangan Imam Hanafi tersebut tidak ia tulis sendiri, yakni hanya terdapat dalam catatan muridnya (Muhammad bin Hasan), namun paling tidak temuan tersebut mengasumsikan bahwa Imam Hanafi dalam hal ini menggunakan metodologi
ijtihād yang sama dengan Imam Syafi‟i, yang mana keduanya sama-sama
berdasarkan pada Qaul al-Shahabi. Ini artinya dua-duanya sebanding secara metodologis.
Kedua, dalam riwayat Umar ra tersebut secara eksplisit dijelaskan tentang hibah yang ada gantinya. Hibah semacam ini dalam istilah fikih sering disebut dengan Hibah al-Tsawab (باوثلاَ ةبه).61 Dalam hal ini Imam Syafi‟i menyatakan bahwa jika tujuannya untuk mendapatkan ganti maka hibah boleh ditarik kembali jika pemberinya merasa tidak rela. Statemen Imam Syafi‟i tersebut sangat berbeda dengan yang disampaikan Imam Hanafi, yang mana ia menganggap selama belum ada ganti dari penerimanya, maka hibah tersebut masih dapat ditarik kembali oleh pemberinya.
Imam Syafi‟i dalam kasus tersebut lebih menekankan pada aspek “tujuan” si pemberi hibah, walaupun belum ada gantinya jika tujuannya memang murni untuk mendapatkan ganti maka hibah yang semacam itu boleh ditarik kembali. Sedangkan dalam perspektif Imam Hanafi, selama belum ada
61Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Dār al-Fikr, 1985), Cet. II, Juz V, hlm. 29.
ganti dari penerimanya, walaupun tujuannya untuk mendapatkan ganti, maka hibah tetap boleh ditarik kembali.
Dari perbedaan tersebut Imam Syafi‟i dalam hal ini lebih mengedepankan aspek dhahir al-riwayat (apa yang nampak dalam riwayat), kalimat َباَوَّ ثلا اَهِب َداَرَأ اَمَّنِإ dipahami oleh Imam Syafi‟i sebagai konteks “tujuan” pemberinya. Hal ini kemudian mengasumsikan bahwa cara berpikir Imam Syafi‟i dalam proses ijtihād tersebut lebih mengedepankan aspek tekstualitas dalil (nash) yang ia gunakan. Berbeda dengan Imam Hanafi yang lebih cenderung menggunakan rasionalitas. Rasionalisasi Imam Hanafi ini menurut penulis berhubungan dengan sulitnya untuk membuktikan apa yang ada dalam hati seseorang. Jika acuannya adalah tujuan, maka hal tersebut tentu sulit untuk dibuktikan. Sedangkan jika yang jadi titik tekannya adalah fakta pemberian ganti dari penerimanya, maka tentu ini lebih mudah dibuktikan. Di samping itu, mayoritas Ulama‟ Hanafiyyah juga mendasarkan pada sebuah Hadis:62
اَهْ نِم ْبَثُ ي َْلَ اَم ِوِتَبِِبِ ُّقَحَأ ُبِىاَولا
“Pemberi hibah lebih berhak atas hibahnya selama belum diberikan ganti oleh penerimanya”
Mengenai permasalahan “ganti” („Iwadh) dalam hibah ini, Wahbah al-Zuhaili mengklasifikasikannya menjadi dua, yakni;
1. Al-‘Iwadh al-Māliy,
yakni ganti yang berupa harta. Al-„Iwadh al-Māliy ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. „Iwadh (ganti) yang disyaratkan pada waktu akad hibah dilakukan. Seperti seseorang memberikan hibah dengan mengucapkan; “saya
hibahkan pena ini dengan syarat kamu hibahkan pakaianmu kepadaku”. Syarat yang demikian dalam perspektif Aimmah al-Arba‟ah (empat Imam Madzhab) dihukumi sah. Mayoritas Ulama‟
Hanafiyyah menganggap akad yang semacam ini dihukumi hibah pada permulaannya (ibtidā‟an), namun dihukumi jual beli pada akhirnya (intihā‟an). Adapun Ulama‟ Mālikiyyah menganggapnya seperti jual beli. Sementara Ulama‟ Syāfi‟iyyah dan Hanābilah juga menganggapnya seperti jual beli secara mutlak.63
b. „Iwadh (ganti) yang diakhirkan dari akad hibah-nya, ganti yang semacam ini disyaratkan harus disandarkan kepada akad hibah yang dilakukan, yakni semisal dengan mengatakan; “Ini adalah ganti dari
hibahmu”.64
Terkait soal ganti yang diakhirkan dalam hibah,
al-Kāsāni menyatakan bahwa dalam madzhab Hanafiyyah, ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam persoalan ganti tersebut. Pertama, harus ada ucapan yang sebanding dengan hibah ketika memberikan ganti dari hibah yang diberikan. Semisal dengan mengucapkan: ini
ganti dari hibahmu, ini mahar dari hibahmu, ini shadaqah sebagai ganti dari hibahmu, dan ucapan-ucapan lain yang semakna dengan
63Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy..., Juz V, hlm. 29-30. 64Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy... hlm. 29-30.
itu. Kedua, ganti yang diberikan bukan dari barang yang sudah dihibahkan. Ketiga, diterimanya ganti oleh pemberi hibah.65
2. Al-‘Iwadh al-Ma’nawiy,
yaitu ganti secara makna. Wahbah al-Zuhaili menganggap bahwa hibah dengan alasan mengharapkan pahala dari Allah, atau untuk tujuan mempererat silaturrahmi, atau karena alasan zaujiyyah (suami-istri) dianggap sebagai ganti secara makna. Oleh karena itu dalam tiga kondisi tersebut hibah tidak boleh ditarik kembali oleh pemberinya.66
Jadi, „Iwadh dalam hibah merupakan hal yang sangat menentukan boleh tidaknya penarikan kembali harta hibah. Dalam perspektif dua Ulama‟ tersebut (Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi) pada dasarnya tidak memperbolehkan penarikan kembali harta hibah jika ada gantinya dari penerima hibah tersebut. Namun, dalam hal ini Imam Syafi‟i melihat soal ganti tersebut dari niat (tujuan) pelaku (pemberi)-nya.67 Sedangkan Imam Hanafi lebih cenderung melihat fakta hukumnya, bukan niat pemberinya.
65Abu Bakar bin Mas‟ud Kasani Hanafi, Badāi‟u Shanāi‟, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2003), Cet. II, Juz VIII, hlm. 124-125.
66Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badāi‟u al-Shanāi‟... hlm. 31.
67Al-Syirāzi dalam catatannya pernah menyatakan bahwa hibah dapat dinilai dari pelakunya.Jika pemberinya adalah orang yang berada dalam strata ekonomi yang lebih tinggi dari penerimanya, maka secara „Urf (adat) praktek yang semacam itu dapat dinilai sebagai bentuk upaya untuk mempererat tali silaturrahim. Sedangkan jika pemberi dan penerimanya berada dalam strata ekonomi yang sama maka hal itu dapat dianggap sebagai upaya untuk memupuk rasa cinta dan kasih sayang antar sesama. Sementara jika pemberinya adalah orang yang berkedudukan lebih rendah strata ekonominya, maka secara „Urf hal tersebut biasanya bertujuan untuk mendapatkan ganti yang lebih baik. Lihat: Abu Ishaq Ibrahim Syirāzi,
al-Muhadzab Fī Fiqh al-Imam al-Syafi‟i, (Beirut: Dār Kutub al-„Ilmiyyah, 1995), Cet. I, Juz II,
Ketiga, sejauh penelusuran yang penulis lakukan, tawaran definisi
hibah dalam pandangan mayoritas Ulama‟ selalu mengikutkan kata al-Tamlīk. Hal ini sebagaimana yang ditawarkan oleh kalangan Hanafiyah yang
mengartikan hibah dengan;
ِلاَْلْا ِفِ ِضَوِعْلا ِطْرَش َلاِب ِْيَْعْلا ُكْيِلَْتَ
67
Artinya: “Pemilikan suatu barang tanpa adanya syarat untuk
mengganti barang tersebut dan dilaksanakan seketika (ketika pemberi hibah masih hidup).”
Begitu juga dengan tawaran definisi hibah dari kalangan Syafi‟iyyah;
َْتَ
ٍباَْجَِإِب ٍجاَيِتْحاِوَأ ٍباَوَ ث ِلْجَلأ َلاَو ٍماَرْكِِ َلا ٍةاَيَح ِفِ ٍعُّوَطَت ُكْيِل
ٍلْوُ بَ قَو
69
“Pemberian kepemilikan atas sesuatu secara sukarela ketika pemberinya masih hidup, dengan tujuan bukan untuk memuliakan penerimanya (seperti yang berlaku dalam pemberian hadiah), dan bukan untuk mencari pahala atau karena kebutuhan penerima (seperti dalam shadaqah) yang dilakukan dengan ijab dan qabul.”
Kesimpulan dari definisi-definisi tersebut menyebutkan bahwa hibah adalah sebuah akad tamlīk tanpa disertai ganti. Tamlīk secara bahasa berasal dari kata al-Milku, yang mana secara bahasa berarti penguasaan manusia atas suatu harta.70 Sementara dalam istilah fuqaha‟ (ahli fiqh) diartikan sebagai pengkhususan atas sesuatu yang mencegah orang lain darinya, yang mana memungkinkan untuk di-tasharruf-kan (dibelanjakan) sesuai keinginan
68 Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqhi „Ala Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut: Dār Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), Cet. II, Juz III, hlm. 254.
69Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqhi „Ala Madzahib al-Arba‟ah... Juz III, hlm. 256.
pemiliknya dalam hal yang diperbolehkan oleh syara‟.71 Oleh karena itu
Tamlīk diartikan sebagai upaya menjadikan milik atas sesuatu.72
Dari penjelasan tersebut maka dapat dirumuskan bahwa hibah jelas berbeda dengan bai‟ (jual beli) yang mengharuskan adanya ganti yang sepadan atas pemilikan yang dilakukan. Hibah juga berbeda dengan ijārah (sewa menyewa) yang pemilikannya hanya terbatas pada manfaat barangnya saja dan bersifat sementara, atau dengan akad-akad yang lain dalam fiqh
mu‟amalah, yang mana titik perbedaan hibah dengan akad-akad yang lain
terletak pada konteks tidak adanya ganti atas pemilikan yang dilakukan. Dalam pandangan Imam Syafi‟i, konsekuensi dari suatu akad hibah adalah tetapnya kepemilikan kepada penerimanya, atau berpindahnya kepemilikan dari pemberi hibah kepada penerimanya. Sementara dalam perspektif Imam Hanafi, status kepemilikan tersebut sifatnya tidak tetap, artinya bagi pemberi hibah tetap diperbolehkan menarik kembali harta yang telah ia hibahkan selama belum ada ganti dari penerimanya.
Mengenai permasalahan ini, al-Kāsāni tercatat pernah melakukan analisis komparatif terhadap pandangan Imam Syafi‟i dan madzhab yang ia anut (Hanafiyyah). Dalam karyanya ia menulis;
و
ُْلْا ِلْصَأ ِناَيَ ب ِفِ َعِضاَوَم ِث َلاَث ِفِ ِويِف ُم َلاَكْلاَف ِةَبِْلِا ُمْكُح اَّمَأ
ِفَِو ِمْك
ِكْلِمْلا ُتوُبُ ث َوُهَ ف ِمْكُْلْا ُلْصَأ اَّمَأ.َمْكُْلْا ُعَفْرَ ي اَم ِناَيَ ب ِفَِو ِوِتَفِص ِناَيَ ب
ِْيَْغ ْنِم ِْيَْعْلا ُكيِلَْتَ َةَبِْلِا َّنَِلأ ٍضَوِع ِْيَْغ ْنِم ِبوُىْوَمْلا ِفِ ُوَل ِبوُىْوَمْلِل
ْلا َكْلِم اَهُمْكُح َناَكَف ٍضَوِع
ْدَقَ ف ُوُتَفِص اَّمَأَو.ٍضَوِع ِْيَْغ ْنِم ِبوُىْوَم
71Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy..., hlm. 57.