• Tidak ada hasil yang ditemukan

ُلُجَّرلا

اَهْ نِم ْبَثُ ي َْلَ اَم ِوِتَبِِبِ ُّقَحَأ

»

57

“Dari Abi Hurairah ra, ia berkata; Rasulullah Saw bersabda; seorang laki-laki lebih berhak atas hibah yang diberikannya kepada orang lain selama hibah tersebut belum diganti.”

Disamping itu, al-Kāsāni juga mendasarkan pendapatnya tersebut kepada Ijma‟ Sahabat. Hal ini sebagaimana dalam pendapatnya Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Abu Darda‟, Fadhalah bin Ubaid, dan sahabat-sahabat lain, faktanya memang mengatakan hal yang sama dengan madzhab yang dipegang oleh al-Kāsāni, yakni Hanafiyyah.58 Oleh karena itu mereka memperbolehkan penarikan kembali

harta hibah selama belum diberikan ganti oleh penerimanya.

B. PEMBAHASAN

1. Titik Temu Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanafi

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa Imam Hanafi hidup lebih awal dari pada Imam Syafi‟i. Perbedaan kultur, kondisi sosial dan politik telah membentuk pola berpikir yang berbeda pada kedua Ulama‟ tersebut. Imam Hanafi lebih terkesan rasionalis, sementara Imam Syafi‟i lebih terlihat tekstualis. Hal ini dapat kita lihat dalam penerimaan keduanya terhadap kekuatan hadis āhād sebagai dasar hukum, yang mana Imam Syafi‟i menjadikan hadis āhād sebagai salah satu dasar

57Ibnu Mājah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu

Mājah, (Beirut: Dār Ihya‟ Kutub al-„Arabiyyah, t.t), Juz II, hlm. 798 (Nomor Hadis:

2377).

58Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi, Badāi‟u al-Shanāi‟..., Juz VIII, hlm. 120.

yang dapat digunakan dalam menentukan hukum atas sesuatu permasalahan, sedangkan Imam Hanafi justru menolaknya dan lebih mendahulukan qiyas. Penolakan ini paling tidak telah menunjukan pola berpikirnya yang lebih mengedepankan rasio.

Berbicara tentang titik temu keduanya dalam permasalahan penarikan kembali harta hibah, maka dapat penulis rumuskan dalam poin-poin berikut ini:

Pertama, berdasarkan dari penelusuran yang penulis lakukan, baik Imam Syafi‟i maupun Imam Hanafi sebenarnya menggunakan riwayat yang sama mengenai pencabutan hibah tersebut. Yakni sama-sama menggunakan riwayat dari Umar ra, yang mana dalam al-Umm, Imam Syafi‟i menulis:

أ

ٍفيِرَط ِنْب َناَفَطَغ ِبَِأ ْنَع ِْيَْصُْلْا ِنْب دُواَد ْنَع ٍسَنَأ ُنْب ُكِلاَم اَنَرَ بْخ

َْلْا ِنْب َناَوْرَم ْنَع َّييرُمْلا

ًةَبِى َبَىَو ْنَم :َلاَق ِباَّطَْلْا َنْب َرَمُع َّنَأ ِمَك

ىَرَ ي ًةَبِى َبَىَو ْنَمَو اَهيِف ُعِجْرَ ي َلا ُوَّنِإَف ٍةَقَدَص ِوْجَو ىَلَع ْوَأ ٍمِحَر ِةَلِصِل

َهْ نِم َضْرَ ي َْلَ ْنإ اَهيِف ُعِجْرَ ي ِوِتَبِى ىَلَع َوُهَ ف َباَوَّ ثلا َداَرَأ اََّنَّإ ُوَّنَأ

ا

59

Artinya: “Malik memberitakan kepadaku, dari Daud ibn

al-Husayn dari Abu Ghatafan ibn Tarif al-Murri dari Marwan bin Hakam; bahwa Umar ibn al-Khattab berkata: (jika seseorang memberikan hibah untuk tujuan agar memperkuat ikatan keluarga (silaturahmi) ataupun sebagai shadaqah, maka ia tidak dapat mengambilnya kembali. Akan tetapi jika seseorang memberikan hibah karena menginginkan imbalan, maka ia diperbolehkan untuk meminta kembali hibah tersebut jika ia tidak rela).”

Sementara dalam riwayat Muhammad bin Hasan (murid Imam Hanafi) tertulis:

59 Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Umm, (Riyadh: Bait Afkār al-Daulah, t.t), hlm. 678.

ٍفيِرَط ِنْب َناَفَطَغ ِبَِأ ْنَع ،ِْيَْصُْلْا ُنْب ُدُواَد اَنَرَ بْخَأ ،ٌكِلاَم اَنَرَ بْخَأ

ُنْب ُرَمُع َلاَق :َلاَق ُوَّنَأ ،ِمَكَْلْا ِنْب َناَوْرَم ْنَع ،يييرُمْلا

ُوَّللا َيِضَر ِباَّطَْلْا

لا ُوَّنِإَف ،ٍةَقَدَص ِوْجَو ىَلَع ْوَأ ،ٍمِحَر ِةَلَصِل ًةَبِى َبَىَو ْنَم " :ُوْنَع َلَاَعَ ت

ىَلَع َوُهَ ف ،َباَوَّ ثلا اَِبِ َداَرَأ اََّنَِّإ ُوَّنَأ ىَرَ ي ًةَبِى َبَىَو ْنَمَو ،اَهيِف ُعِجْرَ ي

َْلَ ْنِإ اَهيِف ُعِجْرَ ي ،ِوِتَبِى

َبَىَو ْنَم ،ُذُخْأَن اَذَِبَِو :ٌدَّمَُمُ َلاَق .اَهْ نِم َضْرَ ي

َسْيَلَ ف ،ُوَل ُبوُىْوَمْلا اَهَضَبَقَ ف ،ٍةَقَدَص ِوْجَو ىَلَع ْوَأ ،ٍمَرَْمُ ٍمِحَر يِذِل ًةَبِى

َبَ قَو ٍمَرَْمُ ٍمِحَر يِذ ِْيَْغِل ًةَبِى َبَىَو ْنَمَو ،اَهيِف َعِجْرَ ي ْنَأ ِبِىاَوْلِل

ُوَلَ ف اَهَض

ْنِم ْجُرَْيَ ْوَأ ،ِهِدَي ِفِ اًرْ يَخ ْدَزُ ي ْوَأ ،اَهْ نِم ْبَثُ ي َْلَ ْنِإ ،اَهيِف َعِجْرَ ي ْنَأ

اَنِئاَهَقُ ف ْنِم ِةَّماَعْلاَو ،َةَفيِنَح ِبَِأ ُلْوَ ق َوُىَو.ِهِْيَْغ ِكْلِم َلَِإ ِوِكْلِم

60

Artinya: “Malik meberitakan kepadaku, dari Daud ibn al-Husayn

dari Abu Ghatafan ibn Tarif al-Murri dari Marwan bin Hakam; bahwa Umar ibn al-Khattab berkata: (jika seseorang memberikan hibah untuk tujuan agar memperkuat ikatan keluarga (silaturahmi) ataupun sebagai shadaqah, maka ia tidak dapat mengambilnya kembali. Akan tetapi jika seseorang memberikan hibah karena menginginkan imbalan, maka ia diperbolehkan untuk meminta kembali hibah tersebut jika ia tidak rela). Muhammad bin Hasan berkata: dan dengan riwayat inilah kami berpendapat bahwa jika seseorang memberikan hibah kepada saudara yang memiliki ikatan mahram, atau karena alasan untuk shadaqah, kemudian mauhūb lah (penerima hibah) menerimanya, maka tidak diperbolehkan bagi pemberinya untuk menarik kembali hibah tersebut. Dan apabila seseorang memberikan hibah pada orang lain yang bukan se-mahram, kemudian orang tersebut menerimanya,maka pemberinya diperbolehkan menarik kembali hibah tersebut selama belum diberikan ganti oleh penerimanya, atau belum bertambah banyak di tangan penerima, dan belum keluar dari kepemilikan penerima hibah kepada orang lain. Pendapat tersebut adalah yang dipegangi oleh Abu Hanīfah dan Ahli Fiqh madzhab kita secara umum.”

Berdasarkan dari riwayat Umar ra tersebut baik Imam Syafi‟i maupun Imam Hanafi, keduanya terlihat sepakat bahwa hibah yang dilakukan untuk

60 Malik bin Anas, al-Muwatha‟ – Riwayat Muhammad bin Hasan al-Syaibani, (Mesir: Lajnah Ihyā‟ al-Turats, 1994), hlm. 259.

memperkuat tali silaturrahmi atau karena murni untuk tujuan shadaqah maka hukumnya tidak boleh ditarik kembali oleh pemberinya. Dari kesamaan sumber ijtihād tersebut penulis menilai walaupun pandangan Imam Hanafi tersebut tidak ia tulis sendiri, yakni hanya terdapat dalam catatan muridnya (Muhammad bin Hasan), namun paling tidak temuan tersebut mengasumsikan bahwa Imam Hanafi dalam hal ini menggunakan metodologi

ijtihād yang sama dengan Imam Syafi‟i, yang mana keduanya sama-sama

berdasarkan pada Qaul al-Shahabi. Ini artinya dua-duanya sebanding secara metodologis.

Kedua, dalam riwayat Umar ra tersebut secara eksplisit dijelaskan tentang hibah yang ada gantinya. Hibah semacam ini dalam istilah fikih sering disebut dengan Hibah al-Tsawab (باوثلاَ ةبه).61 Dalam hal ini Imam Syafi‟i menyatakan bahwa jika tujuannya untuk mendapatkan ganti maka hibah boleh ditarik kembali jika pemberinya merasa tidak rela. Statemen Imam Syafi‟i tersebut sangat berbeda dengan yang disampaikan Imam Hanafi, yang mana ia menganggap selama belum ada ganti dari penerimanya, maka hibah tersebut masih dapat ditarik kembali oleh pemberinya.

Imam Syafi‟i dalam kasus tersebut lebih menekankan pada aspek “tujuan” si pemberi hibah, walaupun belum ada gantinya jika tujuannya memang murni untuk mendapatkan ganti maka hibah yang semacam itu boleh ditarik kembali. Sedangkan dalam perspektif Imam Hanafi, selama belum ada

61Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Beirut: Dār al-Fikr, 1985), Cet. II, Juz V, hlm. 29.

ganti dari penerimanya, walaupun tujuannya untuk mendapatkan ganti, maka hibah tetap boleh ditarik kembali.

Dari perbedaan tersebut Imam Syafi‟i dalam hal ini lebih mengedepankan aspek dhahir al-riwayat (apa yang nampak dalam riwayat), kalimat َباَوَّ ثلا اَهِب َداَرَأ اَمَّنِإ dipahami oleh Imam Syafi‟i sebagai konteks “tujuan”

pemberinya. Hal ini kemudian mengasumsikan bahwa cara berpikir Imam Syafi‟i dalam proses ijtihād tersebut lebih mengedepankan aspek tekstualitas dalil (nash) yang ia gunakan. Berbeda dengan Imam Hanafi yang lebih cenderung menggunakan rasionalitas. Rasionalisasi Imam Hanafi ini menurut penulis berhubungan dengan sulitnya untuk membuktikan apa yang ada dalam hati seseorang. Jika acuannya adalah tujuan, maka hal tersebut tentu sulit untuk dibuktikan. Sedangkan jika yang jadi titik tekannya adalah fakta pemberian ganti dari penerimanya, maka tentu ini lebih mudah dibuktikan. Di samping itu, mayoritas Ulama‟ Hanafiyyah juga mendasarkan pada sebuah Hadis:62

اَهْ نِم ْبَثُ ي َْلَ اَم ِوِتَبِِبِ ُّقَحَأ ُبِىاَولا

“Pemberi hibah lebih berhak atas hibahnya selama belum diberikan ganti oleh penerimanya”

Mengenai permasalahan “ganti” („Iwadh) dalam hibah ini, Wahbah al-Zuhaili mengklasifikasikannya menjadi dua, yakni;