• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

6 A. Tinjauan Pustaka

1. Lingkungan Pembelajaran a. Definisi

Lingkungan pembelajaran didefinisikan sebagai segala sesuatu yang terjadi di dalam suatu kelas, departemen, fakultas, maupun universitas (Genn, 2001b; Mc.Aleer dan Roff, 2001). Lingkungan pembelajaran merupakan hasil manifestasi, operasionalisasi, dan konseptualisasi dari suatu kurikulum yang melibatkan berbagai faktor dan aspek suatu institusi yang kemudian menjadi karakteristik lingkungan dan mempunyai pengaruh terhadap keseluruhan program pendidikan (Soemantri et al, 2008). Kualitas suatu institusi perguruan tinggi ditentukan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah kualitas lingkungan pembelajaran. Kualitas lingkungan pembelajaran yang baik dapat mendorong motivasi mahasiswa untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal melalui perencanaan kurikulum yang efektif (Taramsari et al., 2012).

Ada berbagai faktor yang mempengaruhi lingkungan pembelajaran, diantaranya adalah faktor kepribadian mahasiswa serta lingkungan dimana mahasiswa memperoleh layanan pendidikan (Nijhuis, 2005). Menurut Schiffman dan Kanuk (2008) kepribadian merupakan karakteristik psikologis seseorang yang menentukan dan merefleksikan bagaimana

(2)

seseorang merespon lingkungannya. Perbedaan kepribadian antara mahasiswa yang satu dengan yang lainnya akan memunculkan persepsi yang berbeda terhadap lingkungan pembelajaran yang dianggap sesuai. Sedangkan, layanan pendidikan merupakan bagian dari komponen lingkungan pembelajaran yang menyediakan pemenuhan kebutuhan struktur fisik dan psikososial mahasiswa (Said et al., 2009).

b. Aspek-Aspek Penilaian Lingkungan Pembelajaran

Lingkungan pembelajaran dapat dinilai secara holistik, komprehensif, dan sistematis melalui beberapa aspek, meliputi kualitas pengawasan, kualitas pengajar, fasilitas yang tersedia, serta suasana yang mendukung proses pembelajaran (Taramsari et al., 2012). Kualitas pengawasan institusi dapat dinilai melalui pengorganisasian kurikulum yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa. Suatu kurikulum harus direncanakan secara matang, sehingga mampu mengubah persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi (Pai et al., 2014). Sedangkan kualitas pengajar dapat dilihat dari sejauh mana seorang pengajar mampu memberikan memberikan rasa puas terhadap mahasiswanya yang dibuktikan melalui proses pembelajaran yang aktif, pemenuhan kompetensi, dan peningkatan rasa percaya diri. Seorang pengajar diharapkan menerapkan metode pengajaran yang memiliki tujuan dan sasaran yang jelas, serta mampu memberikan umpan balik yang konstruktif sehingga dapat meningkatkan antusiasme mahasiswa saat proses pembelajaran berlangsung (Al-Qahtani, 2015).

(3)

Fasilitas fisik merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi proses pembelajaran (Hutchinson, 2003). Penyediaan fasilitas dan struktur fisik yang memadai dapat menciptakan iklim pembelajaran yang produktif (Said et al., 2009). Karakteristik fasilitas dan struktur fisik yang baik harus memenuhi beberapa indikator, seperti ruang tempat pembelajaran yang memadai dengan suhu dan pencahayaan yang baik, bebas dari bising, akses yang mudah, sehingga baik mahasiswa maupun pengajar merasa nyaman dalam proses pembelajaran. Ketersediaan fasilitas pendukung lainnya seperti laboratorium dan perpustakaan yang memadai juga menstimulasi mahasiswa untuk belajar (Thistlethwaite, 2010).

Iklim sosial merupakan salah satu komponen penilaian lingkungan pembelajaran berkaitan dengan iklim dalam kelas, iklim dalam lingkup yang lebih luas berupa institusi pendidikan, dan etos institusi pendidikan yang merujuk pada karakteristik pengorganisasian lingkungan psikososial. Termasuk di dalamnya adalah interaksi mahasiswa dengan dirinya sendiri, interaksi mahasiswa dengan dosen pengajar, interaksi sesama mahasiswa, perilaku dan pendekatan pengajaran dosen, manajemen kelas, dan proses kelompok. Iklim sosial yang kondusif dalam institusi pendidikan dapat meningkatkan kesejahteraan mahasiswa sehingga mendorong pencapaian akademik yang optimal (Allodi, 2010).

c. Persepsi terhadap Lingkungan Pembelajaran

Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat

(4)

inderanya. Kemudian stimulus tersebut diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak, dan terjadilah proses psikologis berupa pemahaman, sehingga individu menyadari apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan sebagainya (Sarwono, 2002; Walgito, 2004).

Menurut Sarwono (2002) dan Siagian (1995), ada beberapa faktor yang memengaruhi persepsi, antara lain:

1) Faktor intrinsik, yaitu faktor yang berasal dari diri individu yang bersangkutan, dalam hal ini meliputi:

a) Perhatian

Perhatian merupakan pemusatan dalam penyerapan rangsangan yang tertangkap oleh semua indra kita. Pada umumnya masing-masing individu hanya dapat memfokuskan perhatiannya pada satu atau dua objek karena keterbatasan daya serap dari persepsi (Sarwono, 2002).

b) Mental set

Mental set adalah kesiapan mental seseorang untuk menghadapi suatu rangsangan yang akan timbul dengan cara-cara tertentu yang sesuai dengan rangsangan tersebut (Sarwono, 2002). c) Tipe kepribadian

Tipe kepribadian juga akan meengaruhi persepsi terhadap suatu objek. Individu dengan kepribadian yang tertutup dan tidak mudah bergaul cenderung mempersepsikan suatu rangsangan sebagai hal yang negatif dan tidak menyenangkan. Individu

(5)

dengan kepribadian yang terbuka dan percaya diri cenderung akan mempersepsikan rangsangan sebagai hal yang positif dan menyenangkan (Sarwono, 2002).

d) Motivasi

Motivasi merujuk kepada seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, perilaku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau akhir daripada tindakan atau perbuatan (Siagian, 1995).

e) Sikap

Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak senang, atau netral individu terhadap objek yang dipersepsi. Objek yang dipersepsi bisa berupa benda, peristiwa, situasi orang-orang atau kelompok. Apabila dari hasil persepsi tersebut menimbulkan perasaan senang maka disebut sikap positif. Sebaliknya, apabila yang menimbulkan berupa perasaan tidak senang disebut sikap negatif. Namun, apabila yang tidak menimbulkan sifat apapun yang biasa disebut netral (Sarwono, 2002)

f) Pengalaman

Pengalaman ini erat hubungannya dengan ingatan individu terhadap rangsangan yang didapatkan sebelumnya. Pengalaman ini kemudian memengaruhi persepsi individu terhadap rangsangan yang sama (Siagian, 1995).

(6)

g) Gangguan Psikiatri

Gangguan kejiwaan yang dapat memengaruhi persepsi yaitu halusinasi dan delusi. Individu dengan gejala halusinasi visual seakan-akan melihat sesuatu yang tidak lazim dan ia percaya betul bahwa yang dilihatnya adalah hal yang nyata. Sedangkan individu dengan halusinasi auditif seakan-akan mendengar suara tertentu yang diyakininya sebagai hal yang nyata. Gejala ini bisa terdapat pada satu individu yang menyebabkan dirinya mengalami delusi. Delusi merupakan keyakinan bahwa dirinya adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan (Sarwono, 2002).

2) Faktor ekstrinsik, yaitu faktor yang berasal dari luar individu. Faktor ekstrinsik dibedakan menjadi 2, yaitu sasaran persepsi dan faktor situasi. Sasaran atau objek yang dipersepsi dapat berupa orang, benda, peristiwa, maupun situasi saat persepsi tersebut timbul.

d. Cara Mengukur Persepsi terhadap Lingkungan Pembelajaran

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner Dundee Ready Educational Environment (DREEM). DREEM merupakan instrumen yang tepat untuk mengukur persepsi pembelajaran mahasiswa kedokteran tahap pendidikan sarjana. Lima aspek persepsi yang dinilai adalah: Student’s Perception of Learning (SPL), Student’s Perception of Teachers (SPT), Student’s Academic Self-Perceptions (SASP), Student’s Perception of Atmosphere (SPA), dan Student’s Social Self Perception (SSSP) dengan menggunakan skala lima poin Likert, yaitu 0 - 4 dengan interpretasi 4 =

(7)

sangat setuju, 3 = setuju, 2 = ragu-ragu, 1 = tidak setuju, 0 = sangat tidak setuju. Apabila data hasil penelitian mengenai persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran digolongkan sesuai dengan interpretasi skor total DREEM, maka total skor 0-25% (0-33) dikategorikan sangat buruk, 26-50% (34-66) dikategorikan banyak masalah, 51-75% (67-99) dikategorikan lebih positif daripada negatif, dan 76-100% (100-132) dikategorikan sangat baik. Penilaian kuesioner DREEM pada masing-masing item digunakan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan yang mendetail pada lingkungan belajar dengan menganalisis skor masing-masing item. Item dengan nilai rata-rata ≥ 3 dikategorikan sebagai item positif, item dengan nilai rata-rata ≤ 2 harus diselidiki lebih lanjut sebab mengindikasikan area bermasalah, sedangkan item dengan nilai rata-rata antara 2-3 merupakan item dengan aspek lingkungan belajar yang dapat ditingkatkan (Mc.Aleer dan Roff, 2001).

(8)

Tabel 2.1 Sebaran Pertanyaan pada Kuesioner Dundee Ready Educational Environment (DREEM)

No. Sub Skala Nomor Item Skor

Total 1. Learning (SPL) 1, 4, 12, 13, 16, 27, 31 28 2. Teachers (SPT) 2, 10, 19, 22, 26 20 3. Academic self-perception (SASP) 14, 17, 21, 28, 32 20 4. Atmosphere (SPA) 5, 6, 9, 15, 20, 23, 24, 25, 29, 30, 33 44 5. Social self-perception (SSSP) 3, 7, 8, 11, 18 20 Jumlah 33 132 Sumber: Besmaya, 2014

Kuesioner ini telah teruji validitas dan reliabilitasnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Besmaya (2014) menggunakan nilai signifikansi 0,05. Hasil nilai validitasnya adalah 0,182-0,393 dan nilai konsistensi menggunakan rumus Alpha Cronbach untuk DREEM adalah 0,735 yang berarti bahwa kuesioner ini reliabel untuk dipakai. Di mana suatu skala dinyatakan reliabel jika α berkisar atau lebih dari sama dengan 0,6 (Murti, 2010).

2. Tipe Kepribadian a. Definisi

Istilah kepribadian berasal dari Bahasa Yunani Kuno persona yang berarti topeng. Kemudian kata persona ini diperkenalkan dalam Bahasa Inggris sebagai personality. Istilah kepribadian merujuk pada gambaran identitas diri individu yang akan terlihat sebagai kesan umum. Dengan kata

(9)

lain, kepribadian berkaitan dengan suatu aspek dalam diri individu yang dipilih untuk ditampilkan ke dunia luar (Yusuf dan Nurihsan, 2008).

Jung (1934) menyatakan kepribadian atau psikhe merupakan susunan dari berbagai sistem yang berbeda namun saling berinteraksi. Beberapa sistem yang terpenting adalah ego, ketidaksadaran pribadi beserta kompleks-kompleksnya, ketidaksadaran kolektif beserta arketipus-arketipus, persona, anima dan animus, serta bayang-bayang. Keseluruhan sistem ini kemudian membentuk konsep diri sebagai pusat dari seluruh kepribadian (Hall, 2005).

Allport (1961) menyatakan bahwa kepribadian merupakan suatu organisasi yang terdiri dari aspek psikis dan fisik yang keduanya merupakan suatu struktur dan sekaligus proses. Menurut Jung (1934) kepribadian merupakan seluruh pemikiran, perasaan, dan perilaku nyata baik yang disadari maupun yang tidak disadari (Hall, 2005).

Eysenck (1969) mendefinisikan kepribadian adalah keseluruhan pola perilaku yang nyata atau potensial dari individu yang ditentukan oleh gen dan lingkungan (Feist dan Feist, 2010). Kepribadian tersebut berasal dan berkembang melalui interaksi fungsional dari tiga sektor utama, yaitu sektor konatif (karakter), sektor afektif (temperamen), dan sektor somatis (konstitusi). Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan suatu gambaran perilaku individu yang khas yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Kepribadian merupakan hasil dari pemikiran,

(10)

perasaan, dan perilaku yang terdiri dari aspek psikis dan fisik sebagai suatu proses (Alwisol, 2004).

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian

Perkembangan kepribadian individu dipengaruhi oleh 2 faktor, faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik berperan menentukan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri setelah kelahiran. Hans Eysenck membuat sebuah teori mengenai kepribadian berdasarkan temuan fisiologis dari penelitian Pavlov dalam pengkondisian klasik dan atas dasar konsep eksitasi-inhibisi. Dia mengklaim bahwa sifat-sifat kepribadian mencerminkan adanya perbedaan masing-masing individu dalam hal sistem sarafnya (Vorkapic, 2012).

Pervin dan John (1996) mengemukakan bahwa faktor genetik mempunyai peranan penting dalam menentukan kepribadian individu khususnya yang terkait dengan aspek yang unik dari individu (Mastuti, 2005). Gen secara tidak langsung mampu memengaruhi kepribadian melalui kualitas sistem saraf, keseimbangan biokimia tubuh, dan struktur tubuh. Dengan adanya variasi ketiga hal tersebut, seorang individu akan memiliki perkembangan kepribadian yang berbeda dengan individu lain dalam kaitannya dengan fisik, intelegensi, dan temperamen (Yusuf dan Nurihsan, 2008). Teori Eysenck mengenai genetik serta penentuan pemberlakuan secara umum dan kestabilan kepribadian memberikan kontribusi yang besar dalam mengidentifikasi tiga dimensi kepribadian

(11)

yang utama, yaitu psikotisme, neurotisme (stabil-tidak stabil), dan ekstravesi-introversi (Vorkapic, 2012).

Selain faktor genetik, faktor lingkungan juga turut mempengaruhi kepribadian individu. Faktor lingkungan yang paling berpengaruh diantaranya adalah lingkungan keluarga, sekolah (teman sebaya), dan budaya. Keluarga dipandang sebagai penentu utama pembentukan kepribadian karena keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak. Selain itu, pada masa perkembangannya anak banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, sehingga anggota keluarga merupakan orang-orang yang sangat berpengaruh bagi pembentukan kepribadiannya (Alwisol, 2004). Pengalaman pada masa kecil dan remaja dalam suatu kelompok juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kepribadian individu (Mastuti, 2005).

Faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepribadian adalah pengalaman individu sebagai hasil dari budaya tertentu yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada diri masing-masing individu tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat dimana individu itu dibesarkan. Masing-masing budaya mempunyai aturan dari perilaku yang dipelajari, ritual, dan kepercayaan (Mastuti, 2005).

c. Struktur dan Dimensi Kepribadian Eysenck

Menurut Eysenck (1969) dasar umum sifat suatu kepribadian diturunkan secara genetik dalam bentuk tipe dan trait. Trait kemudian

(12)

dikembangkan untuk menjelaskan perbedaan antara masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh karena trait berkaitan dengan faktor-faktor yang lain dalam fungsi dinamisnya, sehingga akan memunculkan respon stimulus (Feist dan Feist, 2010).

Gambar 2.1 Struktur dan Dinamika Kepribadian Eysenck

Secara umum dimensi kepribadian Eysenck dibagi menjadi 3, dimensi psikotisme, dimensi neurotisme (stabil-tidak stabil), dan dimensi ekstraversi-introversi. Ketiga dimensi ini merupakan bagian dari struktur kepribadian individu normal yang tiap-tiap dimensinya bersifat bipolar. Sifat bipolar dari faktor yang ditemukan oleh Eysenck menunjukkan bahwa kepribadian kebanyakan individu tidak berada dalam satu kutub, namun berada diantara keduanya (Feist dan Feist, 2010; Vorkapic, 2012).

TRAIT

TIPE Faktor Analisis

(13)

1) Dimensi psikotisme

Dimensi psikotisme merupakan dimensi yang memiliki faktor bipolar psikotitisme dan superego. Individu yang bersifat psikotistik bukan berarti psikotik, namun hanya memperlihatkan beberapa gejala yang umumnya terdapat pada individu-individu psikotik. Beberapa gejala yang biasanya ditemukan pada individu psikotistik, di antaranya adalah egosentris, dingin, tidak mudah menyesuaikan diri, impulsive, kejam, agresif, curiga, psikopatik, dan antisosial. Individu superego biasanya cenderung bersifat altruis, mudah bersosialisasi, empati, peduli, kooperatif, mudah menyesuaikan diri, dan konvensional (Feist dan Feist, 2010; Vorkapic, 2012).

Eysenck memiliki hipotesis bahwa orang-orang yang memiliki skor psikotik yang tinggi mempunyai predisposisi untuk menyerah pada stress dan mempunyai penyakit psikotik yang tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa orang-orang yang mempunyai skor psikotik yang tinggi, secara genetis lebih rentan terhadap stress dari pada yang mempunyai skor psikotik yang rendah. Dengan kata lain semakin tinggi skor psikotik suatu individu, semakin rendah kadar stress yang dibutuhkan untuk menimbulkan reaksi psikotik (Feist dan Feist, 2010).

2) Dimensi neurotisme (stabil-tidak stabil)

Dimensi kepribadian neurotisme merupakan dimensi yang memiliki komponen hereditas kuat untuk memprediksi gangguan

(14)

emosi yang dialami oleh individu. Dimensi ini sebelumnya dikenal dengan dimensi emotional stability-instability. Eysenck menyatakan bahwa dasar genetik untuk sifat neurotik, antara lain kecemasan, histeria, dan gangguan obsesif-kompulsif. Individu dengan skor neurotism tinggi memiliki kecenderungan untuk bereaksi berlebihan secara emosional terhadap suatu situasi serta akan mengalami kesulitan untuk kembali ke keadaan semula. Mereka sering mengeluhkan gejala-gejala fisik, seperti sakit kepala dan sakit punggung, serta mempunyai masalah psikologis yang kabur, seperti kekhawatiran dan kecemasan (Feist dan Feist, 2010).

3) Dimensi ekstroversi-introversi

Eysenck dalam teorinya mengungkapkan bahwa individu introvert dapat dideskripsikan sebagai pendiam, pasif, tidak terlalu bersosialisasi, hati-hati, tertutup, penuh perhatian, pesimistis, damai, tenang, dan terkontrol. (Vorkapic, 2012). Individu ekstrovert mempunyai karakteristik yang berkebalikan dari introvert. Ekstrovert secara umum memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu kemampuan bersosialisasi dan sifat impulsive, senang bercanda, penuh gairah, cepat dalam berpikir, optimis, serta sifat-sifat lain yang mengindikasikan orang-orang yang menghargai hubungan mereka dengan orang lain. Akan tetapi, perbedaan paling mendasar antara individu introvert dan ekstrovert bukan terletak pada perilaku, melainkan pada sifat dasar biologis dan genetiknya. Eysenck meyakini

(15)

bahwa penyebab utama perbedaan antara individu ekstrovert dan introvert adalah tingkat rangsangan kortikal yaitu suatu kondisi fisiologis yang sebagian besar diwariskan secara genetik daripada dipelajari melalui lingkungannya (Feist dan Feist, 2010).

Selain Eysenck, terdapat seorang ahli yang membahas dimensi ekstroversi-introversi dalam diri suatu individu, yaitu Carl Gustav Jung. Jung dalam Vorkapic (2012) membahas dimensi melalui pendekatan intrapsikis dan menghubungkannya dengan kesadaran individu. Individu introvert dikaitkan dengan orientasi kesadaran yang bersifat subjektif, sedangkan individu ekstrovert dikaitkan dengan orientasi kesadaran yang bersifat objektif.

d. Aspek-Aspek dalam Dimensi Kepribadian Introvert dan Ekstrovert

Pada setiap dimensi kepribadian, baik introvert maupun ekstrovert, terdapat tujuh aspek yang dimiliki masing-masing individu. Aspek-aspek tersebut normalnya dalam bentuk yang tidak aktif sehingga diperlukan stimulus-stimulus tertentu untuk mengaktifkannya (Feist dan Feist, 2010). Ketujuh aspek tersebut, yaitu :

1) Activity (Aktivitas)

Ekstrovert pada umumnya memiliki nilai yang tinggi pada aspek ini. Mereka menyukai aktivitas fisik yang cenderung aktif dan energik. Mereka cenderung berpindah dengan cepat antara aktivitas yang satu dengan yang lainnya serta mengejar berbagai kepentingan dan minat yang berbeda-beda. Introvert umumnya memiliki nilai yang rendah. Mereka cenderung tidak aktif secara fisik dan mudah lelah.

(16)

Aktivitasnya terbatas pada hal-hal yang bersifat santai (Feist dan Feist, 2010).

2) Sociability (Pergaulan)

Aspek ini memiliki interpretasi yang cukup jelas. Ekstrovert cenderung memiliki nilai tinggi. Mereka mudah bergaul, menyukai kegiatan-kegiatan sosial dan acara keramaian seperti pesta. Sebaliknya, introvert yang memiliki nilai rendah, lebih menyukai teman yang sifatnya khusus, tidak menyukai keramaian sehingga kegiatannya hampir seluruhnya bersifat pribadi, seperti membaca. Selain itu, introvert juga sulit mencari bahan pembicaraan dan menarik diri dari kontak-kontak sosial yang memberinya tekanan (Feist dan Feist, 2010).

3) Risk Taking (Keberanian mengambil risiko)

Dalam aspek ini ekstrovert cenderung bertindak tanpa pertimbangan terlebih dahulu, membuat keputusan dengan terburu-buru dan kadang gegabah, serta tidak memiliki pendirian yang tetap. Introvert mempertimbangkan segala sesuatu dengan sangat hati-hati. Mereka bersifat sistematis, teratur, dan penuh perencanaan (Feist dan Feist, 2010).

4) Impulsiveness (Penurutan dorongan hati)

Ekstrovert dalam trait ini menyukai tantangan dan pekerjaan yang penuh dengan risiko. Mereka merasa bahwa hanya dengan tantangan hidup menjadi lebih bermakna. Sedangkan, introvert lebih

(17)

menyukai bentuk keakraban, keamanan, dan keselamatan. Aspek ini memiliki kaitan yang erat dengan aspek impulsiveness (Feist dan Feist, 2010).

5) Expresiveness (Pernyataan perasaan)

Aspek ini berkaitan dengan kecenderungan individu secara terbuka untuk memerlihatkan emosinya ke luar. Emosi tersebut dapat berupa duka cita, kemarahan, ketakutan, kecintaan, dan kebencian. Aspek ini terutama merupakan komponen dari ekstrovert. Ekstrovert dengan kestabilan emosi yang tinggi cenderung sangat pandai menguasai diri, tenang, tidak memihak, dan terkontrol dalam menyatakan pendapat maupun perasaannya. Sebaliknya apabila kestabilan emosinya rendah, individu tersebut cenderung sentimental, simpatik, mudah berubah pendirian, dan demonstratif (Feist dan Feist, 2010).

6) Reflectiveness (Kedalaman berpikir)

Berbeda dengan aspek lainnya, ekstrovert cenderung memiliki nilai yang rendah pada aspek ini. Sebagian ahli menyebut aspek ini sebagai thinking introvert. Introvert cenderung tertarik pada ide-ide, abstraksi-abstraksi, masalah-masalah filsafat, diskusi-diskusi, dan spekulasi-spekulasi. Sedangkan ekstrovert memiliki bakat untuk bekerja dan lebih tertarik melakukan berbagai hal daripada memikirkan hal tersebut (Feist dan Feist, 2010).

(18)

7) Responsibility (Tanggung jawab)

Individu yang memiliki nilai tinggi, ekstrovert, cenderung berhati-hati, teliti, dapat dipercaya, dapat dijadikan andalan, dan sungguh-sungguh. Sebaliknya, introvert cenderung tidak menyukai kegiatan resmi, terlambat dalam menepati janji, berubah-ubah pendiriannya, dan mungkin juga tidak bertanggung jawab secara sosial, namun masih berada dalam batas normal (Feist dan Feist, 2010).

e. Cara Mengukur Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner Eysenck Inventory Personality (EPI) yang dimodifikasi oleh Susilowati (2013) dari 23 item pernyataan menjadi 21 item pernyataan. Kuesioner ini terdiri dari 7 komponen karakteristik yang digolongkan menjadi introvert dan ekstrovert. Karakteristik komponen tersebut yaitu activity, sociability, risk taking, impulsiveness, dan expresiveness yang memengaruhi kepribadian ekstrovert, serta reflectiveness dan responsibility yang mempengaruhi kepribadian introvert. Penilaian kepribadian introvert dan ekstrovert pada kuesioner EPI ini menggunakan skala Likert dengan dua macam pernyataan, favourable dan unfavourable dengan rentang nilai 1-4. Pada pernyataan favourable angka 1 = sangat tidak setuju sampai angka 4 = sangat setuju, sedangkan pada pernyataan unfavourable angka 1 = sangat setuju sampai angka 4 = sangat tidak setuju. Untuk pernyataan favourable terdapat pada nomor soal 1, 2, 6, 9, 11, 12, 15, 17, 18, 19, dan 21. Sedangkan untuk pertanyaan unfavourable terdapat pada nomor soal 3, 4, 5, 7, 8, 10, 13, 14, 16, dan 20 (Susilowati, 2013).

(19)

Tabel 2.2 Sebaran Pertanyaan pada Kuesioner Tipe Kepribadian Introvert dan Ekstrovert

No. Aspek Nomor Item Jumlah

Favourable Unfavourable 1. Activity 1, 15 4 3 2. Social 9, 11 8, 14, 16 5 3. Risk Taking 2, 18 5 3 4. Impulsiveness 19 10 2 5. Expresiveness 6, 17 3, 13 4 6. Reflectiveness 12 7 2 7. Responsibility 21 20 2 Jumlah 11 10 21 Sumber: Susilowati, 2013

Untuk mengetahui kecenderungan seseorang memiliki kepribadian introvert dan ekstrovert, digunakan harga rata-rata teoritis atau mean teoritis sebagai nilai batas. Skor yang memiliki nilai lebih tinggi dari mean teoritisnya dikategorikan memiliki kepribadian ekstrovert sedangkan skor yang memiliki nilai lebih rendah dari mean teoritisnya dikategorikan memiliki kepribadian introvert (Susilowati, 2013).

Aturan pengkategorisasiannya yaitu : X < µ = rendah (introvert)

X > µ = tinggi (ekstrovert) Keterangan :

X : skor yang didapat

µ : mean teoritis (nilai minimal dikali nilai tengah skor)

Kuesioner tipe kepribadian introvert dan ekstrovert memiliki 21 item pernyataan dengan nilai minimal 21 dan nilai tengah 2,5 sehingga

(20)

didapatkan nilai mean teoritisnya 21 x 2,5 = 52,5. Jadi penggolongan kategorisasi tipe kepribadian ekstrovert dan introvert yaitu :

X < 52,5 = rendah (introvert) X > 52,5 = tinggi (ekstrovert)

Kuesioner ini telah teruji validitas dan reliabilitasnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Susilowati (2013) dengan nilai signifikansi 0,05. Hasil nilai validitasnya adalah 0,392-0,705 dan nilai konsistesi menggunakan rumus Alpha Cronbach untuk EPI modifikasi adalah 0,892 yang berarti bahwa kuesioner ini reliabel untuk dipakai (Murti, 2010). 3. Hubungan Tipe Kepribadian dengan Persepsi Lingkungan Pembelajaran

Tipe kepribadian merupakan salah satu faktor yang memengaruhi persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajarannya. Dalam proses pembelajaran, kepribadian mahasiswa mempengaruhi persepsinya yang terlihat melalui temperamen, kecerdasan dan kemampuan, arah minat dan pandangan, sikap sosial, kecenderungan-kecenderungan dalam motivasinya, dan cara-cara pembawaan diri (Sarwono, 2002).

Kolb (2005) dan Pai (2014) menekankan mengenai pentingnya persepsi terhadap konsep ruang pembelajaran yang sesuai dengan masing-masing individu sebagai kerangka untuk memahami perilaku pembelajaran. Hal tersebut penting untuk dipahami mengingat persepsi mereka akan konsep ruang pembelajaran sangat bervariasi tergantung dari pribadinya. Persepsi lingkungan pembelajaran yang baik akan meningkatkan kinerja akademik mahasiswa, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal.

(21)

B. Kerangka Pemikiran Keterangan Diteliti Tidak diteliti Mempengaruhi C. Hipotesis

Ada perbedaan persepsi lingkungan pembelajaran antara mahasiswa introvert dan ekstrovert di Fakultas Kedokteran UNS.

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran 1. Genetik 2. Lingkungan Introvert Ekstrovert Lingkungan Pembelajaran Faktor Ekstrinsik: 1. Sasaran persepsi 2. Faktor situasi Persepsi Mahasiswa 1. Faktor Pribadi 2. Lingkungan 3. Institusi Faktor Intrinsik: 6. Tipe kepribadian 1. Perhatian 2. Mental set 3. Motivasi 4. Sikap 5. Pengalaman

Gambar

Tabel  2.1 Sebaran  Pertanyaan  pada  Kuesioner  Dundee  Ready  Educational Environment (DREEM)
Gambar 2.1 Struktur dan Dinamika Kepribadian Eysenck
Tabel  2.2 Sebaran  Pertanyaan  pada  Kuesioner  Tipe  Kepribadian  Introvert dan Ekstrovert
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran1. Genetik 2. Lingkungan Introvert EkstrovertLingkungan PembelajaranFaktor Ekstrinsik:1

Referensi

Dokumen terkait

Uskup mempunyai kepenuhan sakramen tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”, terutama dalam Ekaristi… Gereja Kristus sungguh hadir dalam jemaat beriman

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi experiment) dengan metode Posstest-Only Control Design. Dalam rancangan ini sampel dibagi menjadi dua kelompok

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa ke- cenderungan perkembangan riap diameter dan riap tinggi tegakan sebelum umur te- gakan 10 tahun relatif hampir sama, yaitu setelah umur

Kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah kontrol RPMI sebagai kontrol standar dimana sumur (well) tidak diberi perlakuan baik ekstrak buah merah maupun gom arab tetapi

Tujuan dari penelitian ini menguji kualitas air pada sumber air tanah yang ditinjau dari beberapa parameter kimia yaitu suhu, pH dan kandungan Besi (Fe) dimana

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga