• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Landak Jawa (Hystrix javanica)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Landak Jawa (Hystrix javanica)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Klasifikasi Ilmiah

Menurut International Union for The Conservation of Nature tahun 2009 (Lunde dan Aplin, 2008), klasifikasi ilmiah dari landak jawa adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Famili : Hystricidae Genus : Hystrix

Spesies : Hystrix javanica F. Cuvier, 1823

Gambar 1. Landak Jawa (Hystrix javanica) (Sumber : Karima, 2012)

Habitat

Landak merupakan hewan mamalia yang aktif di malam hari (nocturnal). Landak memiliki pendengaran yang baik, namun penglihatan yang buruk. Sebagian besar spesies landak adalah herbivora yang memakan biji-bijian, buah, kacang, daun, dan tanaman seperti tebu, nanas, melon, kakao, jagung, kacang tanah, kentang, singkong, wortel dan labu (African Wildlife Foundation, 2012).

(2)

4 Landak umumnya dapat ditemukan di semua tipe hutan, perkebunan, area berbatuan, semak-semak, padang rumput, padang pasir, bahkan sampai di ketinggian 3500 m dpl. Landak aktif mencari makan setelah matahari terbenam dan tidur di dalam gua-gua, celah batu, atau di vegetasi yang padat. Terkadang landak dapat ditemukan di luar sarang ketika sedang berjemur di bawah sinar matahari (Nowak, 1999).

Landak merupakan satwa terestrial (hidup di atas tanah) dengan membuat lubang sarang hingga kedalaman sekitar 5 meter. Lubang tersebut bercabang-cabang di dalam tanah dengan beberapa lubang kecil untuk pintu keluar. Habitatnya yang berdekatan dengan pemukiman dan ladang, landak seringkali dianggap sebagai hama perusak tanaman (Olson dan Lewis, 1999).

Penyebaran

Penyebaran landak meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Landak raya tersebar di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan landak jawa tersebar hanya di pulau Jawa. Landak jawa merupakan hewan endemik di pulau Jawa yang berukuran besar (Farida dan Ridwan, 2011). Penyebaran landak jawa yaitu dari Jawa bagian barat hingga timur, Madura, dan Bali (Lunde dan Aplin, 2008). Populasi landak cenderung stabil meskipun permintaan akan duri landak menjadi dekorasi interior dan souvenir semakin meningkat seperti yang dinyatakan oleh IUCN (2009).

Morfologi

Landak merupakan mamalia yang tubuh bagian atasnya ditutupi oleh duri kecuali moncong dan telinga. Bagian atas tubuhnya berduri panjang, keras, tajam dan berbentuk silinder dengan motif garis hitam dan putih kekuningan. Duri-duri tersebut berfungsi untuk melindungi dirinya dari predator. Duri tersebut akan berdiri dan dilepaskan apabila landak merasa terancam. Duri landak yang telah hilang, akan ditumbuhi dengan duri yang baru (Clarkson, 2009). Panjang durinya sekitar 20-25 cm. Landak memiliki panjang tubuh sekitar 60-90 cm dan berat 5-15 kg. Kakinya pendek dan memiliki cakar yang melengkung panjang. Jumlah jari pada kaki depan adalah empat sedangkan pada kaki belakang adalah lima buah (Olson dan Lewis, 1999).

(3)

5 Reproduksi

Menurut Van Aarde (1985), panjang siklus estrus pada landak sekitar 30 hingga 37 hari. Landak yang hidup di dalam penangkaran akan berkembang biak sepanjang tahun. Selama satu tahun, landak mengalami dua kali musim kawin. Estrus pertama pada landak betina terjadi pada umur delapan bulan dengan kisaran bobot badan 11-12,3 kg. Periode kebuntingan pada landak sekitar 93-94 hari dengan jumlah anak per kelahiran sekitar satu hingga tiga ekor. Bobot lahir anak landak bervariasi yaitu antara 300-440 g.

Bentuk kelenjar susu pada landak adalah segitiga dan terletak di posisi dada

posterior lateralis di belakang kaki depan. Kelenjar susu mulai berkembang pada

hari ke-30 hingga hari ke-60 setelah pembuahan. Posisi induk ketika menyusui anaknya adalah dengan cara berjongkok. Lamanya periode menyusui pada landak adalah sekitar 37-163 hari. Setelah 20 minggu umur landak muda akan disapih oleh induknya (Van Aarde, 1985).

Tingkah Laku

Landak memiliki bulu yang keras yang disebut dengan duri. Duri landak ini memiliki fungsi sebagai alat pertahanan dari pemangsa. Duri landak akan berdiri apabila landak diserang atau merasa terancam. Landak akan berjalan mundur dan melepaskan durinya sehingga duri-duri tersebut menikam tubuh predator (Yong, 2008). Saat landak merasa terancam, landak akan menyentakkan ekornya sehingga timbul bunyi gemerincing yang berasal dari durinya yang bergetar, kemudian landak membalikkan badannya dan bergerak mundur, dan menaikkan duri-duri di seluruh tubuhnya sebagai senjata (Sastrapradja et al., 1982).

Kualitas Fisik Daging

Kualitas daging ditentukan oleh penerimaan konsumen terhadap sifat-sifat daging yang meliputi ciri-ciri visual dan sensorik, termasuk daging yang diperoleh harus aman untuk dikonsumsi dan berasal dari ternak yang sehat, serta status kesejahteraan ternak selama sistem produksi yang baik (Becker, 2000). Kualitas fisik daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging sebelum pemotongan antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif

(4)

6 (hormon, antibiotik, dan mineral), dan stres. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon, antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno, 2005).

Sifat-sifat fisik daging merupakan salah satu sifat yang dapat menentukan kualitas daging. Sifat-sifat fisik daging yang umum diamati untuk mengetahui kualitas daging antara lain nilai pH daging, keempukan, susut masak (cooking loss), daya mengikat air, warna dan tekstur daging. Selain itu, penilaian konsumen terhadap kualitas daging juga ditentukan dari flavor, aroma yang termasuk bau dan citarasa serta juiciness yang berasal dari lemak intramuskuler (marbling) (Glitsch, 2000; Soeparno, 2005).

Warna Daging

Warna merupakan salah satu parameter yang digunakan konsumen dalam memilih suatu produk makanan. Warna berperan penting dalam penerimaan konsumen terhadap makanan, selain itu warna juga dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan (Deman, 1997).

Warna merah pada daging mentah dipengaruhi oleh kandungan protein mioglobin. Protein mioglobin dalam darah berfungsi untuk mengangkut oksigen ke dalam sel otot untuk proses metabolisme. Warna daging ditentukan oleh konsentrasi pigmen mioglobin dalam serabut otot. Pigmen yang mengandung globulin merupakan protein gugus heme yang terdiri atas cincin porfirin dan atom besi. Panas yang ditimbulkan dari pengaruh pemasakan akan menyebabkan terkoagulasinya protein (globulin) sehingga heme yang terdapat pada molekul terbuka sehingga terjadi oksidasi antara zat besi dengan cincin heme (Gomez dan Gomez, 1995).

Menurut Keeton (2003), proses perubahan warna daging saat pemasakan disebabkan oleh proses oksidasi atom besi yang terkandung dalam mioglobin. Sebelum proses pemasakan daging, mioglobin terkena oksigen, tingkat oksidasi atom besi menjadi 2+ (Fe 2+) danterikat oleh oksigen (O2) sehingga daging akan berwarna merah cerah (oksimyoglobin). Ketika proses pemasakan daging, Fe2+ akan

(5)

7 kehilangan elektron dan tingkat oksidasi atom besi menjadi +3 (Fe3+). Hal ini akan membuat daging tampak berwarna cokelat (metmyoglobin).

Menurut Soeparno (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi warna daging antara lain pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH, dan oksigen. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi konsentrasi dan status kimia mioglobin, kondisi kimia serta fisik dari komponen lain dalam daging yang berperan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie, 2003).

Menurut Soeparno (2005), perbedaan warna daging antar spesies disebabkan oleh adanya perbedaan konsentrasi mioglobin. Secara umum, seiring bertambahnya umur suatu ternak maka konsentrasi mioglobin pun akan meningkat tetapi peningkatan ini tidak konstan. Hal ini disebabkan oleh perubahan deposisi mioglobin dari serabut otot merah selama pertambahan umur ternak. Warris (2000) menyatakan bahwa konsentrasi mioglobin yang tinggi dapat ditemukan pada otot-otot yang digunakan secara aktif, lalu pada ternak yang dipelihara secara bebas, dan pada ternak yang sudah tua.

Warna daging juga dapat dipengaruhi oleh daya mengikat air, seperti yang dinyatakan Prasetyo et al. (2009) dalam penelitiannya bahwa daya mengikat air yang tinggi dapat menyebabkan keadaan serabut otot menjadi lebih besar dan cahaya yang diserap lebih banyak daripada dipantulkan oleh permukaan daging sehingga warna daging menjadi lebih gelap.

Nilai pH Daging

Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan dalam kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan daging (Lukman et al., 2007). Menurut Soeparno (2005), perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, dan glikogen otot. Winarso (2003) menyatakan dalam penelitiannya, umur dan tipe otot yang berbeda pada ayam kampung mempengaruhi nilai pH. Nilai pH daging ayam kampung berumur 6 bulan lebih tinggi daripada ayam kampung yang berumur 3 bulan sedangkan nilai pH otot dada (Pectoralis

(6)

8 Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi nilai pH daging antara lain temperatur lingkungan, perlakuan aditif sebelum pemotongan dan stres setelah pemotongan (Soeparno, 2005). Menurut Rianto et al. (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aktivitas yang sama ketika pemeliharaan dan sebelum pemotongan menyebabkan nilai pH yang tidak berbeda diantara otot Longissimus dorsi dan

Biceps femoris karena aktivitas yang sama sebelum dipotong akan membentuk asam

laktat yang relatif sama pula sehingga pH yang terbentuk berada di kisaran yang sama yaitu 5,57-5,59.

Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak. Perubahan pH tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan. Glikogen adalah substrat metabolik dalam proses glikolisis postmortem yang menghasilkan asam laktat sehingga dapat menurunkan nilai pH daging. Saat ternak dipotong terjadi perubahan proses glikolisis aerob menjadi anaerob. Glikolisis anaerob sangat tergantung pada ketersediaan glikogen dalam otot. Proses yang terjadi adalah perombakan glikogen menjadi asam laktat secara terus menerus hingga cadangan glikogen habis dan pH daging menjadi rendah sehingga dapat menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik. Nilai pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis dan enzim glikolitik tidak aktif pada pH rendah disebut pH ultimat daging. Nilai pH ultimat daging postmortem yaitu antara 5,4-5,5 karena umumnya glikogen tidak dapat ditemukan pada pH tersebut (Soeparno, 2005).

Susut Masak Daging

Susut masak merupakan persentase dari selisih antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Nilai susut masak daging sapi menurut Soeparno (2005) yaitu 15%-40%. Daging yang memiliki kualitas yang relatif baik adalah daging yang susut masaknya rendah karena resiko hilangnya nutrisi selama pemasakan lebih sedikit. Susut masak berkaitan dengan nilai nutrisi pada daging dengan banyaknya air yang terdapat di dalam dan di antara serabut otot atau daya mengikat air. Daya mengikat air yang rendah akan menyebabkan nilai susut masak yang tinggi. Hal yang mempengaruhi daya mengikat air adalah nilai pH. Nilai pH yang tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0-5,1) maka nilai susut masak daging menjadi rendah.

(7)

9 Perbedaan umur, bangsa ternak, konsumsi pakan, dan bobot potong terutama bila terdapat perbedaan disposisi lemak intramuskuler dapat menyebabkan perbedaan susut masak (Soeparno, 2005). Menurut Winarso (2003), ternak dewasa memiliki susut masak yang lebih kecil dibandingkan ternak muda. Hal ini disebabkan kandungan lemak pada ternak dewasa yang lebih banyak daripada ternak muda sehingga dapat menahan keluarnya cairan daging selama perebusan. Selain itu, Rianto et al. (2010) menyatakan bahwa bobot potong yang tinggi menunjukkan peningkatan deposisi lemak intramuskuler (marbling) pada otot terutama pada otot L.

dorsi.

Kenaikan temperatur dan lama perebusan dapat mempengaruhi susut masak pada daging. Peningkatan susut masak selama perebusan dapat disebabkan oleh perubahan struktur jaringan dan protein daging terutama protein miofibril dan sarkoplasma sedangkan lama perebusan akan memendekkan panjang serabut otot dan pengerutan protein miofibril sehingga banyak cairan daging yang keluar (Winarso, 2003). Umumnya, makin tinggi temperatur pemasakan dan makin lama waktu pemasakan maka makin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat yang konstan. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Soeparno, 2005).

Keempukan Daging

Keempukan daging merupakan penentu terpenting pada kualitas daging terutama pada penerimaan konsumen untuk membeli dan mengonsumsi daging. Kesan secara keseluruhan keempukan daging meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek. Aspek pertama, awal kemudahan gigi dalam menetrasi ke dalam daging. Kedua, kemudahan daging dipecah menjadi beberapa bagian kecil. Ketiga, jumlah residu yang tertinggal setelah dikunyah (Lawrie, 2003).

Keempukan daging banyak ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan jaringan silangnya, daya ikat air oleh protein serta juiciness daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin, stres, sedangkan faktor postmortem yang mempengaruhi keempukan

(8)

10 diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan, faktor lama dan waktu penyimpanan, metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk (Soeparno, 2005). Winarso (2003) menyatakan bahwa umur, tipe otot, dan kombinasi waktu serta temperatur pemasakan yang berbeda dapat menurunkan keempukan daging ayam kampung.

Jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak aktif selama ternak hidup misalnya otot paha, teksturnya akan terlihat lebih kasar sedangkan otot yang pasif memiliki tekstur yang lebih halus (Natasasmita, 1994). Rianto et al. (2010) menyatakan bahwa L. dorsi merupakan otot pasif sedangkan otot B. femoris merupakan otot aktif. Otot B. femoris yang sering digunakan untuk beraktivitas berpengaruh terhadap keempukan daging karena otot yang sering digunakan untuk bergerak akan memiliki diameter jaringan ikat yang jauh lebih besar daripada otot pasif sehingga keempukan yang dihasilkan rendah.

Jaringan ikat berpengaruh terhadap keempukan daging. Hal ini berhubungan dengan berkembangnya ikatan silang yang tahan dengan panas dan kandungan kolagen, serta pengaruh pemanjangan sarkomer saat penggantungan setelah pemotongan (Harper, 1999; Lepetit et al., 2000). Keempukan daging ditentukan oleh jumlah dan jaringan ikat yang terlarut selama proses pemasakan, pemanjangan sarkomer selama proses rigormotis, proses terjadinya proteolisis pada miofibrilar setelah pemotongan, dan hubungan antara miofibrilar dengan protein. Proses proteolisis yang terjadi karena kandungan protease yang terus meningkat setelah pemotongan dan aktivitas protease selama proses pelayuan (Koohmaraie dan Geesink, 2006).

Tingkat kekasaran tekstur juga meningkat seiring pertambahan umur. Otot dengan serabut otot-otot yang kecil tidak menunjukkan peningkatan kekasaran tekstur secara nyata dengan meningkatnya umur. Selain itu, jenis kelamin dan bangasa ternak dapat mempengaruhi tekstur otot. Umumnya, otot ternak jantan mempunyai tekstur yang lebih kasar daripada otot ternak betina (Soeparno, 2005). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pengaturan pakan sebelum ternak

dipotong mempengaruhi secara langsung variasi sifat urat daging setelah pemotongan, dan ternak-ternak yang digemukkan dalam kandang akan menghasilkan daging yang lebih empuk dibandingkan ternak yang digembalakan. Soeparno (2005)

(9)

11 menyatakan bahwa perbedaan keempukan daging yang dihasilkan dari konsumsi konsentrat dengan energi rendah dan konsumsi konsentrat dengan energi tinggi juga berhubungan dengan jumlah glikogen dan kadar asam laktat, tergantung pada cepat atau lambatnya proses glikolisis postmortem. Menurut Warner et al. (2010), keempukan daging beragam tergantung laju glikolisis dan rigormotis yang terjadi setelah pemotongan, serta pH akhir daging. Jika pH akhir daging lebih dari 6,1 maka daging menjadi alot karena protein banyak mengikat air, dan juga dipengaruhi oleh pemendekkan sarkomer.

Daya Mengikat Air

Daya mengikat air (DMA) oleh protein daging atau water holding capacity adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2005). Tingkat daya mengikat air ini ditentukan oleh spesies, genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan, dan waktu (Honikel, 1998). Penurunan pH postmortem dapat mempengaruhi nilai daya mengikat air, semakin tinggi pH akhir maka semakin sedikit penurunan daya mengikat air. Daya mengikat air yang menurun berasal dari pH tinggi yaitu 7-10 hingga pH titik isoelektrik protein daging antara 5,0-5,1 (Lawrie, 2003).

Kualitas daging berhubungan dengan umur dan lemak intermuskular yang juga berpengaruh terhadap daya mengikat air daging. Otot dengan kandungan lemak intramuskuler tinggi cenderung memiliki daya mengikat air yang tinggi. Hubungan antara lemak intramuskuler dengan daya mengikat air adalah kompleks. Lemak intramuskuler akan melonggarkan mikrostruktur daging sehingga protein daging dapat lebih kuat mengikat air (Soeparno, 2005). Selain itu, semakin tua umur ternak yang dipotong, maka persentase lemak intramuskuler akan semakin tinggi. Daging dengan lemak intramuskuler tinggi akan mempunyai daya mengikat air yang tinggi (Zein, 1991).

Tipe otot yang berbeda dapat mempengaruhi daya mengikat air. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan aktivitas dan kandungan protein pada otot. Daya mengikat air pada otot dada lebih rendah dibandingkan pada otot paha (B.

femoris). Otot yang sering digunakan untuk aktivitas seperti otot B. femoris

(10)

12 ini akan menyebabkan daya mengikat air turun sehingga nilai pH menjadi rendah (Winarso, 2003).

Histologi Daging

Histologi merupakan metode yang banyak digunakan untuk mengamati jaringan biologi secara mikroskopis, terutama digunakan untuk mengetahui tekstur daging pada produk pangan. Teknik ini umumnya melalui tahapan pemotongan jaringan yang sangat tipis dan pewarnaan dengan pewarna tertentu untuk melihat kekontrasan warna dan mempermudah pengamatan jaringan pada mikroskop (Damez dan Clerjon, 2008). Teknik ini telah digunakan untuk mengetahui pengaruh proses setelah pemotongan terhadap serabut otot dalam daging. Salah satunya penelitian Ichinoseki et al. (2006) mengenai pengaruh tekanan tinggi terhadap fibril kolagen dalam jaringan ikat intermuskuler pada sapi, dan penelitian Rusman et al. (2007), mengenai pengaruh tekanan tinggi dan panas terhadap otot sapi sedangkan Laville et

al. (2005) menganalisis karakteristik daging PSE dengan melihat jarak serabut otot

melalui pewarnaan hematoxylin-eosin-safran.

Daging dalam arti luas adalah komponen beberapa organ termasuk hati, ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dikonsumsi di samping urat daging. Daging juga merupakan komponen utama karkas. Komponen utama daging terdiri atas otot, lemak, dan sejumlah jaringan ikat (kolagen, retikulin, dan elastin), pembuluh darah, serta saraf (Lawrie, 2003).

Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Otot adalah jaringan yang mempunyai struktur dan mempunyai fungsi utama sebagai penggerak. Ciri suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya sehingga jumlah jaringan ikat berbeda diantara otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan daging (Soeparno, 2005). Menurut Warris (2000) semua otot memiliki struktur dasar yang sama dan terdiri atas sel otot (serat) yang diikat bersama oleh jaringan ikat menjadi beberapa kelompok.

Struktur Fibrus Otot

Otot tersusun dari banyak ikatan serabut otot yang lazim disebut fasikuli. Fasikuli terdiri atas serabut-serabut otot, sedangkan serabut otot tersusun dari banyak fibril yang disebut miofibril. Miofibril tersusun dari banyak filamen yang disebut

(11)

13 miofilamen. Berdasarkan ukuran otot dari yang terbesar hingga yang terkecil, otot tersusun dari fasikuli, serabut otot, miofibril dan miofilamen. Komponen utama jaringan ikat terdiri atas endomisium, perimisium, dan epimisium (Harper, 1999). Ukuran suatu ikatan serabut otot (fasikuli) ditentukan oleh jumlah serabut dan jumlah perimisium yang mengelilingi dan menyelimuti setiap ikatan serabut otot (Soeparno, 2005). Warris (2000) menyatakan jaringan ikat tersusun dari epimisium yang terdapat di sekeliling otot dan terletak diantara fasikuli dan endomisium terdapat diantara serabut otot. Umumnya, diameter serabut otot yaitu berkisar antara 60-100µm. Namun, untuk ternak yang lebih muda ukuran diameternya dapat lebih kecil dari diameter serabut otot pada umumnya.

Serabut otot tersusun sebagai berkas yang dibungkus oleh jaringan ikat fibrosa. Jaringan pengikat di antara masing-masing serabut otot disebut endomisium. Bungkus berkas serabut otot disebut perimisium dan jaringan pengikat yang membungkus otot itu secara keseluruhan disebut epimisium. Perbandingan antara jaringan pengikat terhadap jaringan otot dan jumlah lemak atau marbling menentukan kekenyalan dan kekerasan relatif sepotong daging (Frandson, 1992).

Gambar 2. Struktur Anatomi Otot Sumber : people.eku.edu

Secara histologi, serabut-serabut otot terdiri atas nukleus, mitokondria, miofibril, sarkolema, dan sarkoplasma. Nukleus berbentuk oval dan ukurannya

(12)

14 bervariasi di bawah sarkolema. Mitokondria mengandung enzim untuk metabolisme aerobik. Retikulum sarkoplasma berfungsi sebagai ruang penyimpanan ion kalsium. Sarkoplasma mengandung lysosom yang berfungsi untuk menyimpan berbagai enzim proteolitik, dan butiran-butiran glikogen (Warris, 2000).

Komponen utama dari jaringan ikat adalah kolagen dan protein elastin. Serat kolagen tidak bercabang, kuat, dan tidak elastis sedangkan elastin memiliki bentuk yang bercabang dan elastis. Kolagen dapat membentuk struktur otot yang kuat yang merupakan komponen utama dalam pembentukan kulit (Warris, 2000). Kolagen merupakan protein yang paling luas terdapat di dalam tubuh hewan meliputi 20%-25% dari total tubuh protein tubuh mamalia. Kolagen merupakan protein struktural pokok pada jaringan ikat dan memiliki pengaruh yang besar terhadap kealotan daging. Kadar kolagen daging dapat berbeda diantara jenis kelamin, umur dan diantara daging pada karkas yang sama. Perbedaan kandungan kolagen ini sangat menentukan nilai ekonomis bagian-bagian karkas dan daging. Ikatan silang kovalen meningkat selama pertumbuhan dan perkembangan ternak. Ternak yang lebih tua akan menghasilkan daging yang cenderung lebih alot daripada daging yang ternak muda pada bagian karkas yang sama (Soeparno, 2005).

Tingkat keempukan daging dapat dihubungkan dengan kategori protein otot yaitu protein jaringan ikat (kolagen, elastin, retikulin, dan mukopolisakarida matriks), miofibril (terutama miosin, aktin, dan tropomiosin), dan sarkoplasma. Kontribusi masing-masing kategori protein tergantung pada tingkat kontraksi miofibril, tipe otot, serta lama dan temperatur pemasakan. Kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4-6,0 lebih banyak ditentukan oleh status kontraksi serabut otot dibandingkan oleh status fisik serabut otot (Soeparno, 2005).

Konsentrat

Konsentrat merupakan suatu bahan pakan yang digunakan secara bersama-sama dengan bahan pakan lain untuk meningkatkan nilai gizi agar menjadi pakan yang bernutrisi lengkap (Tillman et al., 1998). Konsentrat merupakan pakan yang mengandung protein kasar yang tinggi dengan serat kasar yang rendah yaitu di bawah 18% dan mudah untuk dicerna oleh ternak. Fungsi penambahan konsentrat adalah untuk meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang

(13)

15 nilai gizinya rendah sehingga dapat mencukupi kebutuhan gizi ternak yang sedang tumbuh (Church, 1991).

Menurut Prihatman (2000), kelebihan konsentrat adalah sifatnya yang mudah dicerna oleh ternak karena terbuat dari campuran beberapa bahan pakan sumber energi seperti biji-bijian, pakan sumber protein seperti bungkil dan kacang-kacangan serta adanya penambahan vitamin dan mineral. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan konsentrat adalah ketersediaan harga satuan bahan pakan, standar kualitas konsentrat, metode dan teknik pembuatan. Selain mudah dicerna, konsentrat juga dapat meningkatkan bobot karkas pada ternak. Hal sesuai dengan pernyataan Sunarlim dan Setiyanto (2005) dalam penelitiannya bahwa pemberian konsentrat sebanyak 80% mampu meningkatkan bobot hidup, bobot potong, dan persentase karkas pada kambing kacang dan domba lokal.

Referensi

Dokumen terkait

Saputri dkk (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya Manusia Kesehatan dengan menggunakan metode Workload Indicators Of Staffing

Panas yang diberikan ini akan menaikkan suhu bahan yang menyebabkan tekanan uap air di dalam bahan lebih tinggi dari pada tekanan uap air di udara sehingga terjadi perpindahan uap

Candida spp merupakan organisme yang normal didapati di saluran cerna, tetapi pada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun maka jamur ini

Banjir memiliki dua arti yaitu meluapnya air sungai disebabkan oleh debit sungai yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah hujan yang tinggi, dan arti kedua adalah

Motif adalah daya dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu atau keadaan seseorang atau organisme yang menyebabkan kesiapan untuk memulai

Manusia dan spesies kucing yang lebih besar merupakan predator utama dari hewan ini (Vaughan et al. javanica ) termasuk ke dalam hewan herbivora yang memiliki

Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk. Dalam keadaan kering bentuk udara tetapi pada pemaparan dengan cahaya matahari kuat menjadi gelap. Dalam

Menurut Hendriyani (2009) dalam Hermantoro (2011), perlakuan pemberian air berdasarkan perhitungan kapasitas lapang yang diberikan merupakan jumlah air yang mampu