• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SITUS CAGAR BUDAYA SOKOLIMAN BAGI MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA SITUS CAGAR BUDAYA SOKOLIMAN BAGI MASYARAKAT"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA SITUS CAGAR BUDAYA SOKOLIMAN BAGI

MASYARAKAT

Putri Novita Taniardi (Balai Arkeologi Yogyakarta)

Abstract

Artifacts store messages from the past. An artifact is a refl ection of human culture whose support the culture of using artifact. Similarly, artifacts found in Sokoliman’s Cultural Heritage which consist of megalithic objects. These artifacts have undergone a transformation; experienced manufacture, use, until the deposition. Today, these artifacts are in the midst of community and given a new meaning based on their own perspective. Giving meaning is closely related to the existence of sites community’s perspective. The meaning that given by community can be a refl ection on the preservation of the site itself.

Key words: Sokoliman’s Cultural Heritage Sites, community, meaning

Pendahuluan

Objek-objek megalitik pada mulanya berasal dari periode yang berbeda-beda: sebagian dibangun selama masa prasejarah, sebagian ditengarai berada pada masa sejarah, dan beberapa dikonstruksi pada masa sekarang. Benda-benda mengalitik ada yang merupakan tinggalan dari masyarakat yang sudah punah, akan tetapi ada juga yang sampai sekarang masih memainkan peranan penting di tengah-tengah masyarakat (Soejono, 1982 dalam Byung Mo-Kim, 1982: 74).

Keseluruhan benda-benda megalitik yang ada di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kubur, objek tunggal, dan struktur. Kubur megalitik terdiri atas berbagai bentuk yang dibangun sekurang-kurangnya dari dua buah batu besar. Kubur megalitik ini misalnya sarkofagus, kubur dolmen, bilik batu, dan lain-lain (ibid, hlm. 75-79).

(2)

Objek tunggal terdiri atas benda megalitik yang pada umumnya terbuat dari satu bagian atau satu blok batu, baik besar maupun kecil. Setiap objek memiliki beberapa fungsi yang terkait dengan pemujaan terhadap nenek moyang, tetapi sebagian tipe masih menyimpan teka-teki dalam pemanfaatan fungsinya (ibid, hlm. 80-84).

Struktur dibangun dari susunan batu besar dalam jumlah banyak, baik yang alami maupun yang ditatah. Punden berundak merupakan contoh dari struktur (ibid, hlm. 88). Benda megalitik ini sebagaimana diuraikan sebelumnya merupakan benda yang dibuat dalam rentang waktu yang panjang. Bahkan, dapat dikatakan lintas periode. Untuk itulah, para ahli arkeologi sepakat untuk menyebut megalitik ini sebagai tradisi, bukan sebagai masa, karena megalitik lebih merepresentasikan sebagai tradisi hasil budaya manusia pendukungnya. Tradisi megalitik adalah suatu tradisi yang menghasilkan benda-benda atau bangunan dari batu yang berhubungan dengan upacara atau penguburan. Pendukung tradisi megalitik percaya bahwa benda-benda ataupun bangunan megalitik tersebut dipercaya dapat menghubungkan manusia dan dunia arwah sebagai media komunikasi.

Benda-benda megalitik dijumpai pula di Kabupaten Gunungkidul, salah satunya di Dukuh Sokoliman II, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Pada tahun 1982, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY melakukan kegiatan pemetaan, penggambaran, serta pengamatan lingkungan situs di Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Dari kegiatan tersebut dihasilkan laporan berupa gambaran mengenai potensi arkeologi di Desa Bejiharjo, termasuk di dalamnya Dukuh Sokoliman II. Disebutkan dalam laporan tersebut, Dukuh Sokoliman II memiliki situs arkeologi yang sangat luas yang terdiri atas dua kelompok, yang disebut kelompok I dan kelompok II. Jarak kedua kelompok tersebut sekitar 100 m.

Kelompok I merupakan komplek peti batu yang diperkirakan seluas 1,5 ha dan merupakan tegalan penduduk. Sebagian besar batu-batu konstruksi kubur peti batu telah dibuat sebagi penahan/tanggul pematang tegalan, tetapi masih ada yang utuh dan insitu. Orientasi kubur peti batu tersebut adalah barat-timur. Bahan yang digunakan untuk membuat kubur peti batu adalah batu putih dengan tebal 10-12 cm, panjang 200-225 cm, dan lebar 100-125 cm. Pada bagian pertemuan antarbatu dibuat takikan dan di bagian luarnya terdapat patok-patok sebagai penyangga papan batu. Selain kubur peti batu, terdapat pula dua buah arca di situs tersebut. Arca terbuat dari batu padas putih dengan ciri-ciri mata bulat, hidung pesek, leher dan badan menjadi satu, dan secara keseluruhan muka telah aus.

(3)

Situs kelompok II terletak di lapangan Sokoliman. Arca-arca menhir dan tiang-tiang batu kebanyakan sudah diletakkan di pinggir lapangan. Dari arca-arca yang tampak, ada yang masih utuh, tetapi ada yang tinggal badannya saja. Sedangkan tiang-tiang batu keadaanya telah banyak yang rusak.

Pada tahun 1985, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY melakukan inventarisasi benda-benda arkeologi di Kelurahan Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, tidak terkecuali di Dukuh Sokoliman II. Situs yang diinventarisasi masih meliputi dua kelompok, yaitu kelompok I dan kelompok II.

Pada kelompok I, didapati kubur batu yang terdapat di tegalan milik warga. Kubur batu-kubur batu tersebut di antaranya dengan nomor inventaris D.22 dengan panjang 243 cm, lebar 91 cm, dan tinggi 47 cm, terbuat dari batu putih. Kubur batu dengan inventaris D.23 yang memiliki panjang 200 cm, lebar 116 cm, dan tinggi 48 cm. Kubur batu dengan nomor inventaris D.24 yang memiliki panjang 200 cm, lebar 116 cm, dan tinggi 54 cm. Kubur batu dengan nomor inventaris D.25 memiliki panjang 200 cm, lebar 105 cm, dan tinggi 33 cm. Arca menhir dengan nomor inventaris D.26 memiliki tinggi 53 cm, panjang muka 30 cm, lebar muka 21 cm, dan panjang leher 23 cm. Secara keseluruhan arca ini sudah terlihat aus. Arca menhir dengan nomor inventaris D. 27 memiliki tinggi 65 cm, panjang muka 30 cm, lebar muka 19 cm, panjang leher 35 cm, dan lebar leher 13 cm. Mua arca sudah sangat rusak, sehingga tidak dapat diketahui bentuk mukanya.

Pada kelompok II didapati arca menhir dengan nomor inventaris D.9 yang memiliki panjang 90 cm, diameter bawah 22 cm, diameter atas 18 cm. pada saat diinventaris, menhir tersebut digunakan sebagai penahan tanah selokan di Barat Laut lapangan dan sudah sangat aus. Arca menhir dengan nomor inventaris D.10 memiliki panjang 90 cm, diameter bawah 22 cm, dan diameter atas 17 cm. Arca menhir dengan nomor inventaris D.11 memiliki tinggi 78 cm, lebar 16 cm, dan panjang muka 24 cm. Temuan ini sudah patah mulai bagian pundaknya dan ditemukan di sebelah lapangan Sokoliman. Arca menhir dengan nomor inventaris D.12 memiliki tinggi 54 cm, lebar bagian kepala 29 cm, panjang muka 26 cm, dan panjang leher 28 cm. Arca menhir ini telah patah pada bagian lehernya. Mata arca sudah tidak terlihat lagi dan mukanya berbentuk oval. Arca menhir dengan nomor inventaris D.13 memiliki panjang 137 cm, lebar atas 24 cm, lebar bawah 34 cm. Kepala arca sudah tidak ada dan sudah sangat aus. Fragmen arca menhir dengan nomor inventaris D.14 memiliki tinggi 61 cm, lebar bawah 19 cm, lebar atas 25 cm lebar bagian tengah 18 cm. Fragmen arca ini berbentuk segi delapan pada bagian

(4)

kehernya, sedangkan kepala arca sudah tidak ada. Arca menhir dengan nomor inventaris D.15 memiliki tinggi 44 cm, panjang muka 37 cm, lebar muka 19 cm, leher 7 cm, lebar leher 14 cm, panjang telinga 26 cm. Arca menhir dengan nomor inventaris D.16 memiliki tinggi 46 cm, panjang muka 24 cm, lebar muka 18 cm, diameter leher 18 cm. Arca menhir dengan nomor inventaris D.17 memiliki tinggi 44 cm, panjang muka 37 cm, lebar muka 19 cm, panjang leher 7 cm, lebar leher 14 cm. Arca menhir dengan nomor inventaris D.18 memiliki tinggi 46 cm, panjang muka 30 cm, lebar muka 20 cm, panjang leher 16 cm, lebar leher 18 cm. Arca sudah sangat aus dan patah pada lehernya. Arca menhir dengan nomor inventaris D.19 memiliki tinggi 60 cm, panjang muka 40 cm, lebar muka 26 cm, panjang leher 20 cm, dan lebar leher 20 cm. Arca menhir ini sudah patah pada bagian lehernya dan sudah sangat aus.

Kini, selang 25 tahun berlalu sejak inventarisasi yang dilakukan oleh SPSP DIY, temuan-temuan di Dukuh Sokoliman II sebagian besar telah dijadikan satu di penampungan yang terletak di Dukuh Sokoliman II, tepatnya di RT 01 RW 20. Keputusan untuk menampung seluruh benda megalitik ini untuk menjaga kelestarian situs itu sendiri. Pemindahan beberapa menhir dan peti batu ini dilakukan oleh BP3 D.I. Yogyakarta (dulu bernama SPSP DIY). Penampungan ini dipercantik dengan adanya pohon-pohon jambu mete dan rumput-rumput yang tertata rapi. Beberapa bangku juga sengaja diletakkan di dalam penampungan ini sebagai pemanisnya. Untuk memberi pengamanan, tempat penampungan ini diberi pagar kawat keliling dengan pintu yang selalu terkunci rapat. Seorang warga setempat yang juga pemilik lahan sebelumnya dipercaya sebagai juru pelihara.

Masyarakat Dukuh Sokoliman II, baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan interaksi dengan cagar budaya tersebut. Bila penduduk hendak pergi ke perladangan, beberapa orang melintasi sisi luar penampungan ini, karena lokasi penampungan ini berada di antara perladangan penduduk. Penduduk sekitar penampungan cagar budaya atau yang dikenal sebagai situs cagar budaya Sokoliman tidak lagi memanfaatkan benda-benda megalitik tersebut dalam keseharian mereka, baik untuk kepentingan profane maupun sacral. Hal ini dikarenakan masyarakat Sokoliman II bukanlah masyarakat pendukung tradisi megalitik yang berlanjut. Mereka telah meninggalkan tradisi megalitik yang memanfaatkan benda-benda yang terbuat dari batu besar. Meskipun tidak memanfaatkan benda-benda megalitik tersebut, bukan berarti masyarakat Sokoliman II tidak memberi makna terhadap keberadaan benda-benda

(5)

megalitik yang terdapat di situs cagar budaya Sokoliman tersebut. Untuk itulah tulisan ini bertujuan mengungkap makna situs cagar budaya Sokoliman bagi masyarakat Dukuh Sokoliman II dengan menjawab pertanyaan berupa: Bagaimana masyarakat Dukuh Sokoliman II memaknai keberadaan situs cagar budaya Sokoliman II?

Selama ini, penelitian yang mengungkap relasi antara masyarakat dan keberadaan situs Sokoliman belum pernah dilakukan. Padahal, mengungkap sudut pandang masyarakat terhadap keberadaan suatu situs juga merupakan salah satu bentuk upaya pelestarian situs. Apresiasi masyarakat terhadap keberadaan situs penting untuk diketahui dalam menentukan upaya-upaya menjaga kelestarian situs itu sendiri.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dukuh Sokoliman II RT 01 RW 20, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul. Metode penelitian ini adalah kualitatif. Untuk menunjang kelengkapan data, digunakan teknik wawancara mendalam. Teknik ini digunakan untuk dapat menangkap gagasan informan dari sudut pandang mereka sendiri. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball, yaitu dengan terlebih dulu mendatangi seorang informan, lalu mengarahkan ke informan yang lain. Jumlah informan dalam penelitian ini ada empat orang. Selain wawancara, pemenuhan data ditunjang pula dengan studi pustaka, berupa tulisan-tulisan pada hasil penelitian sebelumnya, terutama yang terkait dengan penelitian megalitik di Dukuh Sokoliman II, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul. Dengan demikian, penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik dan sebuah tulisan yang runtut tentang makna yang diberikan oleh masyarakat Dukuh Sokoliman II terhadap situs cagar budaya Sokoliman akhirnya dapat terwujud.

Deskripsi Situs Cagar Budaya Sokoliman

Gambaran Situs Sokoliman II

Situs Sokoliman II terletak di Dukuh Sokoliman II, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Situs ini merupakan kelompok tinggalan budaya megalitik yang terkonsentrasi di dua tempat. Kelompok yang pertama terdapat di sebelah timur Sungai Oyo, di daerah dengan ketinggian 195,6 dpl. Sementara, kelompok

(6)

bangunan megalitik yang kedua berada di sebelah timur jalan desa, yaitu di lapangan desa Sokoliman II (Suhamdani, 1994: 31).

Situs Sokoliman II kini dikenal sebagai situs cagar budaya Sokoliman. Situs ini merupakan penampungan dari artefak-artefak yang terdapat di Dukuh Sokoliman II. Artefak yang ditampung di tempat ini tidak seluruhnya, tetapi dipilih yang kondisinya masih utuh dan direkontruksi ulang dengan posisi yang baru. Situs cagar budaya Sokoliman II terletak di lahan milik juru pelihara situs yang bernama Mentopawiro. Situs cagar budaya Sokoliman dipersiapkan sebagai objek wisata karena di dalamnya terlihat bahwa situs tersebut sengaja ditata dan dipercantik dengan penambahan fasilitas berupa bangku-bangku taman. Penataan kubur batu dan menhir pun terlihat rapi.

Legenda Mbah Kekok

Masyarakat Dukuh Sokoliman II percaya bahwa keberadaan mereka di Dukuh Sokoliman II ini tidak lepas dari peranan Mbah Kekok. Tokoh ini dipercaya sebagai cikal bakal masyarakat Dukuh Sokoliman. Nama Mbah Kekok sendiri tidak ada yang tahu apakah nama ini adalah nama asli atau nama samaran. Hingga saat ini, keturunan Mbah Kekok di Dukuh Sokoliman II ini sudah mencapai generasi ke lima. Bukti keberadaan Mbah Kekok sebagai prajurit Kraton Surakarta ditandai dengan adanya peninggalan-peninggalan miliknya, di antaranya udeng gilig, rompi, dan tombak. Kini, peninggalan-peninggalan Mbah Kekok tersebut tersimpan di rumah keturunannya yang juga berlokasi di Dukuh Sokoliman II.

Mbah Kekok dipercaya sebagai pelarian dari prajurit Kraton Surakarta. Sekira tahun 1700-an, Mbah Kekok sampai di alas Sokoliman. Ketika keadaan dirasa sudah cukup tenang, Mbah Kekok akhirnya mengambil istri dari daerah Ngemplek, di wilayah Kecamatan Wonosari. Keduanya lantas dikaruniai tiga orang putra. Bersama keluarganya, Mbah Kekok menetap di Dukuh Sokoliman II sambil bertani. Beberapa saat kemudian, banyak penduduk berdatangan ke Sokoliman untuk menetap.

Tadinya, Mbah Kekok dan para pendatang tersebut mendiami wilayah di bawah pemerintahan Dukuh Gunung Bang, sebelah selatan Dukuh Sokoliman. Putra Mbah Kekok akhirnya berniat untuk memberi nama baru pada wilayahnya ini. Terkait dengan penamaan Dukuh Sokoliman, terdapat dua versi cerita yang beredar di masyarakat. Versi yang pertama, terdapat tiang di lokasi yang saat ini menjadi lapangan Sokoliman II

(7)

sebanyak lima buah. Nama Sokoliman akhirnya diambil dari adanya tiang yang berjumlah lima tersebut. Sokoliman berasal dari kata soko (tiang) dan lima.

Versi yang kedua menyebutkan di dekat tanah lapang di sebelah utara situs cagar budaya Sokoliman terdapat sumber air berupa sumur alam yang dinamakan Sumur Gedhe. Di dekat Sumur Gedhe ini terdapat pohon soka yang berjumlah lima. Untuk itulah kemudian, dukuh ini dinamakan Sokoliman.

Terkait dengan benda-benda purbakala yang ada di Dukuh Sokoliman, Mbah Kekok dipercaya sebagai orang yang awalnya menemukan benda-benda tersebut. Pada saat itu, Indonesia sudah berada dalam penjajahan Belanda. Orang-orang Belanda pula yang awalnya mengamati benda-benda tersebut.

Warga Dukuh Sokoliman II mempercayai bahwa Mbah Kekok adalah orang pertama yang ada di Sokoliman ini. Bila memang di Sokoliman pernah ada manusia yang menghuni, tidak ada yang mengetahui tentang hal ini. 1

Proses Penampungan Artefak

Sebelum ditampung di penampungan, artefak-artefak tersebar di beberapa tempat di wilayah Dukuh Sokoliman II. Diantaranya, di lapangan Dukuh Sokoliman II dan perladangan milik masyarakat. Bahkan, artefak-artefak di lapangan Dukuh Sokoliman II, sebagian ada yang digunakan sebagai penahan tanggul oleh warga.

Untuk melestarikan artefak-artefak tersebut, SPSP DIY akhirnya membuat penampungan. Penampungan ini terletak di ladang milik Mentopawiro, juru pelihara cagar budaya situs Sokoliman saat ini. SPSP DIY membebaskan tanah milik keluarga Mento dan membuat pagar keliling untuk menjaga keamanannya.

Selain artefak-artefak yang memang terdapat di lokasi perladangan tersebut, terdapat pula artefak yang didatangkan dari tempat lain. Seperti dari lapangan Dukuh Sokoliman II. Hingga akhirnya, saat ini dapat ditemui beberapa peti kubur batu dan menhir yang ditata ulang di dalam penampungan situs.

Menurut penuturan Jumiyem, istri dari Mentopawiro, dulu, pada saat proses pemindahan artefak-artefak dari lokasi di luar perladangan, dilakukan ritual terlebih dahulu. Saat itu, terdapat artefak berupa menhir yang awalnya tidak mau dipindah. Komunikasi antara penunggu batu tersebut dengan masyarakat setempat melalui media 1 Cerita mengenai Dukuh Sokoliman II dan legenda Mbah Kekok ini dituturkan oleh Yuwono (56) Kepala Dukuh Sokoliman II

(8)

mimpi, atau disebut diprimpeni. Menurut kepercayaan orang saat itu, penunggu batu tersebut mengajukan syarat bila hendak dipindah ke penampungan. Demi melengkapi syarat tersebut, dibuatlah aneka sesaji menurut kepercayaan masyarakat Jawi. Sesaji tersebut dinamakan syarat Jawi. Kelengkapan sesaji diantaranya, ingkung dan

arak-arakan, yang terdiri dari ketan, uwi gembili, kimpul, kupat, dan pula (ketan ditumbuk,

diberi gula, dan dibentuk bulat-bulat kecil). 2

Makna Situs Cagar Budaya Sokoliman Bagi Masyarakat Dukuh Sokoliman II

Masyarakat Dukuh Sokoliman II baru mengetahui bahwa batu-batu besar yang ada di sekitar mereka selama ini adalah benda arkeologi setelah ada penelitian dari lembaga arkeologi. Penelitian yang awalnya dilakukan oleh Haris Sukendar ini memang mengantarkan pengetahuan baru bagi masyarakat setempat. Apalagi, penelitian yang dilakukan selanjutnya oleh para arkeolog, masyarakat dilibatkan sebagai tenaga lokal.

Sebelum mengetahui tentang artefak-artefak tersebut, masyarakat Dukuh Sokoliman II menganggap batu-batu tersebut tidak lebih dari batu biasa. Mengingat, batu-batu tersebut banyak ditemui di perladangan maupun tanah lapang dalam jumlah yang besar. Bahkan, oleh masyarakat, batu-batu tersebut ada yang digunakan sebagai penahan tanggul. Begitu pula dengan batu-batu yang ada di sekitar perladangan warga. Batu-batu besar dimanfaatkan sebagai pembatas ladang antarwarga.

Oleh sebagian masyarakat, batu-batu tersebut dikenal sebagai kramat (kuburan)

budo. Nama ini mereka dapatkan dari cerita turun temurun. Bila dirunut, nama kramat budo sudah dikenal sejak tiga generasi di atas informan berusia di atas 60 tahun, atau

dari kakek-nenek buyut informan. Nama budo di sini tidak merujuk pada nama salah satu agama saat ini, yaitu Budha. Budo diartikan sebagai orang yang tidak diketahui asal-usulnya, dan saat disadari, kuburannya sudah berada di Dukuh Sokoliman II.3 Warga

Dukuh Sokoliman sendiri mengetahui bahwa batu-batu yang dulu diketahui sebagai

kramat budo adalah benda purbakala sejak adanya penelitian oleh instansi arkeologi.

Saat ini keberadaan situs cagar budaya Sokoliman tidak lagi dimaknai sebagai makam. Keberadaan batu-batu ini hanya dianggap sebagai bagian dari fenomena alam.

“kula nggih namung ngliwati mawon menawi badhe dateng baon. Nggih boten lajeng

2 Dituturkan oleh Jumiyem (60), warga Dukuh Sokoliman II RT 01 RW 20 3 Dituturkan oleh Karso (60) warga Dukuh Sokoliman II RT 01 RW 20

(9)

pripun-pripun” (saya cuma lewat saja kalau mau ke kebun. Ya tidak terus

bagaimana-bagaimana) kata Karso. Bahkan, sejak generasi Karso, batu-batu yang disebut kramat

budo ini tidak ada yang tahu apakah benar-benar makam atau bukan. Tidak ada yang tahu

apakah benar-benar ada orang yang dimakamkan di bawahnya.

Senada dengan Karso, Wastinah4, istri dari juru kunci situs cagar budaya Sokoliman

saat ini juga tidak mengetahui asal-usul keberadaan batu-batu besar tersebut. “Rumiyin,

kula malah sok keset wonten watu niku menawi saking sabin. Lha sikile nggedebol lemah. Lajeng keset wonten watu ingkang wonteng ing lapangan. Kula mboten ngertos menawi niku purbakala” (dulu, saya malah sering keset di batu itu kalau dari sawah. Lha kakinya

penuh tanah. Lalu keset di batu yang ada di lapangan. Saya tidak tahu kalau itu (benda) purbakala).

Setelah mengetahui bahwa batu-batu tersebut adalah benda purbakala, Wastinah tidak lantas memaknainya secara khusus. Hal ini dikarenakan Wastinah merasa tidak ada hubungan emosional dengan keberadaan batu-batu tersebut. Hanya saja, sebagai istri dari juru kunci, Wastinah memaknai situs cagar budaya tersebut sebagai tempat kerja suaminya. Pemaknaan benda-benda megalitik yang ada di situs cagar budaya Sokoliman juga diberikan oleh Warto Yuwono. “Kami tidak mengeramatkan batu-batu itu. Kami

hanya percaya bahwa ada kekuatan besar di balik batu itu” ungkap Warto Yuwono.5

Pernyataan Warto Yuwono ini menyiratkan bahwa keberadaan benda-benda megalitik tersebut sekalipun ada di tengah-tengah masyarakat Dukuh Sokoliman II, tidak lantas memberikan arti khusus bagi mereka. Benda-benda megalitik yang dalam ingatan mereka sudah ada sejak generasi ketiga di atas informan yang berusia 60 tahun, dianggap sebagai batu besar yang hanya perlu disadari keberadaannya, tidak perlu dimaknai secara khusus.

Masyarakat Dukuh Sokoliman II pada akhirnya mengenal benda-benda megalitik ini sebagai Kramat Budo atau kuburan Budo. Penamaan ini diperoleh secara turun temurun dari generasi sebelumnya. Lokasi Kuburan Budo merujuk pada lokasi situs cagar budaya Sokoliman saat ini. Di tempat ini, sebagian besar artefak yang berada di Dukuh Sokoliman II ditemukan. Peti batu dan menhir ditemukan dalam jarak yang berdekatan. Akan tetapi, sekalipun disebut sebagai Kramat Budo, masyarakat Dukuh Sokoliman II tidak lantas memperlakukannya sebagai layaknya makam. Para warga tidak berziarah ke tempat tersebut. Hal ini dikarenakan mereka tidak ada ikatan emosional dengan yang 4 Berusia 25 tahun, warga Dukuh Sokoliman RT 01 RW 20

(10)

dimakamkan. Ziarah ke makam merupakan sebuah bentuk kebudayaan masyarakat Jawa, terutama yang memeluk agama Islam. Bahkan, terdapat bulan khusus dalam hitungan kalender Jawa untuk beramai-ramai melakukan ziarah ke makam keluarga. Bulan tersebut adalah bulan Ruwah, yaitu bulan sebelum Ramadhan. Ziarah sendiri berarti menunjukkan penghormatan kepada orang yang sudah meninggal dan sebuah cara untuk memperlihatkan adanya hubungan antara orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup (Subadio, 1998).

Perlakuan Terhadap Situs Cagar Budaya Sokoliman

Hingga saat ini, warga Dukuh Sokoliman tidak memberikan perlakuan khusus terhadap situs cagar budaya Sokoliman. Bahkan, ketika ditanya tentang keberadaan situs cagar budaya Sokoliman, mereka cenderung tidak tahu. Para warga tersebut justru mengarahkan untuk bertanya kepada juru kunci saat ini. Situs cagar budaya Sokoliman lebih dimaknai sebagai sebuah tempat milik pemerintah. Informasi tentang keberadaan benda-benda purbakala yang ada di situs cagar budaya Sokoliman seolah monopoli sang juru kunci. Masyarakat sekitar tidak menguasai informasi tersebut meskipun benda-benda purbakala tersebut berada di tengah-tengah mereka.

Seperti yang telah diuraikan dalam paparan sebelumnya, perilaku khusus yang terekam dalam benak para warga adalah saat proses pemindahan artefak-artefak. Pada saat artefak-artefak tersebut hendak dijadikan satu dalam penampungan, perlu dibuat sesaji sebagai syarat yang diajukan penunggunya. Masyarakat lebih merekam diperlukannya sesaji tersebut dalam proses pemindahan

dan cerita-cerita mistis seputar benda-benda purbakala tersebut. Sementara, asal-usul keberadaan benda-benda tersebut tidak melekat dalam ingatan mereka.

Keberadaan situs cagar budaya Sokoliman telah menjadi hal yang biasa. Keberadaannya yang berdampingan dengan aktivitas warga selama turun-temurun tidak lantas menjadi hal yang istimewa. Batu-batu besar yang masih mereka temui saat ini sering dilewati ketika pergi ke ladang. Keberadaan batu-batu besar tersebut dimaknai sebagai batu besar yang belakangan dikenal sebagai benda purbakala.

(11)

Transformasi Makna Situs Cagar Budaya Sokoliman

Situs cagar budaya Sokoliman memang menyimpan potensi arkeologi yang layak untuk dikembangkan.Potensi arkeologis ini memiliki makna yang penting bagi dunia ilmu pengetahuan. Mengingat, artefak-artefak ini menyimpan sejarah panjang kebudayaan manusia pendukungnya.

Lain halnya dengan masyarakat Dukuh Sokoliman II. Keberadaan batu-batu ini, yang mereka sebut sebagai kramat budo tidak meninggalkan makna khusus. Mereka baru tahu bahwa batu-batu tersebut adalah benda purbakala sekitar tahun 1960-an, pada awal penelitian di tempat ini. Dulunya, secara turun-temurun, batu-batu ini telah ada di sekitar mereka. Menyatu dengan kehidupan mereka. Batu-batu

tersebut dengan mudah ditemui di area perladangan dan tanah lapang. Tidak ada ritual khusus yang diperuntukkan bagi batu-batu tersebut.

Sebagaimana yang telah dituturkan oleh keempat informan, benda-benda megalitik yang mereka kenal sebagai kramat budo ini tidak mereka ketahui asal-usulnya. Sebelum ada penelitian ilmiah dari lembaga arkeologi terkait, informan yang berusia 60 tahun seperti Karso menganggap keberadaan batu-batu besar tersebut adalah batu besar biasa yang tidak memiliki peran yang penting. Dirinya baru tahu keistimewaan batu tersebut sebagai benda purbakala setelah adanya penelitian arkeologi. Sedangkan Jumiyem, memiliki kesan mendalam tentang keberadaan batu-batu ini karena suaminya pernah mendapat mimpi oleh makhluk yang mengaku sebagai penunggu batu-batu besar tersebut. Generasi di bawah keduanya, yaitu Warto Yuwono terkesan menghargai keberadaan batu-batu tersebut sebagai batu-batu yang dipercaya memiliki kekuatan besar. Meskipun demikian, Ia tidak lantas mengeramatkan batu-batu tersebut. Generasi di bawah Warto Yuwono, yaitu Wasiah, memiliki pandangan yang berbeda lagi. Sebagai istri dari juru pelihara situs cagar budaya Sokoliman saat ini, Ia memaknai keberadaan batu-batu besar tersebut sebagai tanggung jawab suami dan dirinya. Untuk itu, secara berkala, Wasiah membantu suaminya untuk membersihkan lingkungan situs. Benda-benda megalitik tersebut adalah mata pencaharian keluarganya.

Beragam pemaknaan ini menunjukkan bahwa pandangan masyarakat Dukuh Sokoliman II terhadap situs cagar budaya Sokoliman sebatas pengetahuan mereka bahwa batu-batu tersebut adalah benda purbakala. Pengetahuan lebih jauh tentang asal-usul di balik keberadaan batu-batu tersebut di tengah-tengah permukiman mereka tidak mereka ketahui.

(12)

Benda-benda purbakala tersebut memang telah menembus rentang waktu yang panjang. Meskipun saat ini keberadaan benda-benda purbakala tersebut tak lagi dimanfaatkan, tetap saja dinamakan artefak. Artefak merupakan tinggalan manusia yang dulu pernah digunakan oleh manusia pendukung kebudayaannya. Perjalanan benda tersebut menembus jaman dan generasi kemudian dikenal pula dengan istilah cultural

heritage (warisan budaya). Warisan budaya memiliki nilai sejarah dan kultural yang

melekat pada dirinya, ia juga selalu dimaknai berbeda dari generasi ke generasi (Hia, 2009). Sebuah benda akan memiliki makna yang berbeda ketika masyarakat pendukungnya juga sudah mengalami perubahan. Pemberian makna pada benda tersebut dapat dikaitkan juga dengan material symbolisation. Menurut Ian Hodder, material symbolisation is

not a passive process, because objects and activities actively represent and act upon society (Hodder, 2000 dalam Thomas, 2000: 48). Bila dikaitkan dengan simbol yang ada

dalam batu-batu megalitik di situs cagar budaya Sokoliman, masyarakat sekitar sudah memberikan makna yang berbeda. Simbol yang terdapat dalam benda-benda megalitik tersebut tidak lagi terkait dengan penguburan atau pemujaan nenek moyang. Tiap-tiap orang memiliki pandangan yang berbeda. Satu kesamaan di antaranya adalah mereka sepakat bahwa batu-batu tersebut merupakan simbol dari benda purbakala dan memiliki kekuatan di belakangnya, namun tidak perlu diberi perlakuan khusus, seperti misalnya mengeramatkannya.

Artefak dilihat dari sudut pandang budaya materi memang menyimpan kebudayaan manusia pendukungnya. Pada masa lampau, peti batu dan menhir yang ada di Dukuh Sokoliman II bisa saja dimaknai sebagai benda dalam ritual penguburan. Akan tetapi, keberadaan benda-benda tersebut saat ini tidak lagi merefl eksikan perilaku masyarakat di sekitarnya. Masyarakat Dukuh Sokoliman II sudah meninggalkan tradisi-tradisi megalitik yang menggunakan batu-batu besar tersebut sebagai media.

Masyarakat di Dukuh Sokoliman II tidak menggunakan benda-benda tersebut dalam menjalankan ritual kematian. Warga yang mayoritas memeluk Islam ini menguburkan orang meninggal di dalam tanah dengan jirat dan nisan di atasnya. Sehingga, ada semacam keterputusan fungsi dari keberadaan artefak-artefak tersebut. Artefak tersebut telah mengalami proses panjang, mulai dari artefak tersebut dulu dibuat, dipakai, hingga akhirnya ditinggalkan. Kini, setelah masa berlalu, artefak tersebut ditemukan kembali oleh manusia pada masa kini dan diberi makna. Pemaknaan tersebut tidak lagi bersifat sakral, tetapi bersifat profan. Benda-benda tersebut telah ditampung dalam sebuah cagar

(13)

budaya dan diberi pagar kawat keliling. Masyarakat sekitar kini memaknai artefak ini sebagai benda purbakala yang keberadaannya dilindungi oleh undang-undang.

Tidak ada perlakukan khusus yang diberikan oleh warga terhadap benda-benda purbakala. Bila pun ada, lebih sebagai sebuah transformasi. Dulu, mereka takut memindahkan batu-batu tersebut karena percaya ada kekuatan besar di dalamnya. Walaupun ketakutan ini hanya dimiliki oleh generasi yang berusia di atas 60 tahun dan masih mempercayainya. Kini, mereka takut memindahkan batu-batu tersebut karena takut oleh undang-undang yang melindunginya.

Masyarakat Dukuh Sokoliman II justru lebih akrab dengan legenda Mbah Kekok. Tokoh ini dipercaya sebagai orang nomor satu yang ada di Sokoliman. Tokoh Mbah Kekok menjadi lebih familiar bagi warga karena keberadaannya masih dapat dirunut. Generasi ke lima keturunan Mbah Kekok sendiri masih tinggal di Dukuh Sokoliman II hingga saat ini. Legenda tentang Mbah Kekok ini yang mengikat warga Dukuh Sokoliman II dalam sebuah ikatan emosional, yaitu berasal dari keturunan yang sama.

Rentang waktu yang panjang antara asal artefak dan masyarakat masa kini membuat adanya transformasi makna dan pemanfaatan. Kebudayaan masyarakat Dukuh Sokoliman II saat ini berbeda dengan kebudayaan masyarakat pendukung artefak-artefak tersebut dulu. Hal ini karena manusia hanya menanggapi saja dan bertindak melalui media kebudayaan yang mereka ciptakan dan tinggali (Hodder, Ian, 1988:10). Masyarakat Dukuh Sokoliman II menanggapi keberadaan benda-benda megalitik sebagai benda yang telah ada di antara mereka selama mereka tinggal di Dukuh Sokoliman II. Benda-benda megalitik tersebut tidak lagi dimanfaatkan karena mereka bukan manusia pendukung kebudayaan tradisi megalitik tersebut. Kini, mereka hidup dengan media kebudayaan yang mereka ciptakan dan tinggali sendiri. Media kebudayaan tersebut merupakan produk dari masyarakat Dukuh Sokoliman II sebagai pendukung kebudayaan sekarang yang tidak lagi memanfaatkan benda-benda megalitik tersebut.

Potensi Situs Cagar Budaya Sokoliman dan Partisipasi Masyarakat

Sebagai situs megalitik, situs cagar budaya Sokoliman menyimpan potensi yang layak untuk dikembangkan. Misalnya saja sebagai objek wisata minat khusus, yaitu wisata sejarah. Dengan mengunjungi situs cagar budaya Sokoliman, para pengunjung dapat memperoleh informasi tentang kebudayaan manusia pada masa lampau melalui

(14)

artefak-artefak yang ditinggalkan. Tinggalan-tinggalan berupa bangunan megalitik ini setidaknya menambah referensi pengunjung tentang tinggalan dari masa lalu. Sehingga, masyarakat tidak hanya mengenal candi saja sebagai bentuk kebudayaan dari masa lampau yang ditinggalkan oleh manusia. Tradisi megalitik ditengarai muncul lebih dulu dari masa klasik, ketika candi-candi didirikan.

Akan tetapi, sebelum mewujudkan situs cagar budaya Sokoliman sebagai objek wisata yang ditangani secara serius, ada satu hal yang penting untuk dilakukan. Masyarakat di sekitar situs sudah saatnya dilibatkan secara aktif. Partisipasi masyarakat ini tidak hanya mendukung terwujudnya sebuah objek wisata dengan nilai ekonomis, tetapi linier dengan upaya pelestarian situs itu sendiri. Partisipasi masyarakat berperan penuh dalam menjaga kelangsungan situs cagar budaya Sokoliman.

Bentuk partisipasi masyarakat yang paling nyata adalah pemenuhan pengetahuan akan situs itu sendiri. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pengetahuan masyarakat akan keberadaan situs megalitik di Dusun Sokoliman II terbatas. Terdapat kesan bahwa informasi hanyalah milik juru kunci seorang. Kemungkinan lain, masyarakat tidak merasa harus memiliki pengetahuan akan keberadaan situs megalitik tersebut karena sudah ada juru kunci yang siap membagi informasi kepada pengunjung. Kondisi ini tentu sangat disayangkan. Masyarakat yang tinggal berdampingan dengan situs cagar budaya Sokoliman seharusnya juga menguasai informasi tentang keberadaan situs tersebut.

Selama ini, masyarakat Dukuh Sokoliman II memaknai keberadaan benda-benda megalitik tersebut sebagai benda purbakala yang erat hubungannya dengan pemerintah atau instansi arkeologi. Sehingga, walaupun benda-benda megalitik yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya tersebut terkesan sebagai kesatuan yang terpisah dari masyarakat Dukuh Sokoliman II. Padahal, tidak dapat dipungkiri bahwa antara masyarakat dan situs cagar budaya Sokoliman tidak terpisahkan secara wilayah, sama-sama mendiami wilayah yang sama. Sudah saatnya masyarakat memberikan makna yang baru terhadap keberadaan situs cagar budaya Sokoliman. Seperti misalnya sebagai media yang menjembatani masyarakat Sokoliman II dengan leluhurnya. Akan tetapi, media ini tidak dimanfaatkan sebagai media pemujaan, melainkan sebagai media pengetahuan.

Transfer pengetahuan akan keberadaan benda-benda purbakala dalam situs cagar budaya Sokoliman merupakan tanggung jawab bersama. Salah satunya adalah arkeolog. Beban tanggung jawab yang diemban tidak hanya sebatas melakukan penelitian terhadap benda purbakala tersebut, tetapi juga menyampaikan informasi seputar

(15)

benda-benda purbakala tersebut kepada masyarakat. Dengan adanya transfer informasi ini, masyarakat Sokoliman II akan merasa ikut memiliki situs cagar budaya Sokoliman dan dapat lebih menghargai keberadaannya.

Pengetahuan dan informasi seputar situs cagar budaya Sokoliman sudah saatnya diberikan kepada masyarakat setempat. Instansi-instansi terkait dapat segera menempuh langkah ini melalui Focus Group Discussion (FGD) dan sosialisasi. Dengan cara ini, masyarakat telah dibekali pengetahuan bahwa situs-situs tersebut merupakan warisan nenek moyang terdahulu yang penting untuk dilestarikan. Pada akhirnya, rasa memiliki akan timbul dan masyarakat berpartisipasi dalam menjaga kelestarian situs tersebut. Situs cagar budaya Sokoliman tidak lagi menjadi milik instansi pemerintah dan juru kunci, tetapi juga menjadi milik masyarakat. By giving people access to the past, we foster

appreciation of, respect for, and increased activism behalf of our irreplaceable heritage

(Hoffman dalam Jameson Jr, 1997: 73).

Kesimpulan

Situs cagar budaya Sokoliman yang ada di Dukuh Sokoliman II, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul merupakan tinggalan arkeologi yang potensial. Keberadaannya memberikan sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, hingga saat ini, masih banyak yang mengunjungi situs ini sebagai wahana pengetahuan. Tidak terkecuali mahasiswa arkeologi.

Masyarakat Dukuh Sokoliman II sendiri baru mengetahui bahwa batu-batu besar di sekitar mereka adalah benda purbakala. Sekira tahun 1960-an, ketika dilakukan penelitian, mereka dilibatkan sebagai tenaga lokal. Sebelum itu, mereka mengenal batu-batu tersebut sebagai kramat budo. Bahkan, hingga generasi berikutnya, nama itu diwariskan turun-temurun.

Masyarakat sekitar tidak memanfaatkan benda-benda tersebut dalam ritual keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Mereka hanya menyadari keberadaan batu-batu tersebut namun tidak tahu latar belakangnya. Hal ini terjadi karena telah ada rentang waktu yang panjang antara masyarakat pendukung kebudayaan artefak tersebut dan masyarakat masa kini. Selain itu, masyarakat tidak menguasai pengetahuan dan informasi seputar keberadaan situs tersebut. Masyarakat Dukuh Sokoliman memaknai situs cagar budaya Sokoliman sebagai aset pemerintah. Keberadaannya dilindungi oleh undang-undang cagar budaya.

(16)

Proses transformasi terjadi di situs cagar budaya Sokoliman ini. Artefak dalam situs ini mengalami proses pembuatan, kemudian dipakai, dan ketika manusia pendukungnya sudah punah, kemudian ditinggalkan atau dibuang. Situs ini kemudian masuk dalam konteks arkeologi. Sebuah pemaknaan baru akan diberikan kepada situs ini. Bila awalnya artefak dalam situs ini digunakan dalam ritual keagamaan, kini artefak ini merupakan sebuah objek. Artefak dalam situs ini dimanfaatkan sebagai objek penelitian dan pariwisata. Masyarakat pun hanya mengetahui fungsi dari artefak ini pada masa sekarang dan memanfaatkannya sesuai dengan konteksnya kini. Terlebih, pemerintah pun mengintervensi pemberian makna ini. Hal ini dilakukan agar masyarakat turut menjaga kelestarian situs. Sehingga, masyarakat takut untuk melakukan pencurian karena jeratan hukum. Bukan karena kesadaran mereka sendiri akan pentingnya melestarikan situs cagar budaya Sokoliman sebagai sebuah warisan budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Fahlander, Fredrik, Terje Oestigaard. 2004. Material Culture and Post-disciplinary

sciences dalam Fahlander, Fedrik dan Terje Oestigaard (eds). Material Culture and Other Things. Gothenburg: Elander Gothab.

Hodder, Ian, 1988. Reading The Past. USA: Cambridge University Press.

_________ dalam Thomas, Julian. 2000. Theoretical Archaeology, a Reactionary View dalam Interpretive Archaeology. New York: Leicester University Press.

Hoffman, Teresa L dalam Jameson Jr dan John H (eds). 1997. The Role of Public

Participation:Arizona’s Public Archaeology Program dalam Presenting Archaeology to the Public, Digging for Truths. California: Altamira Press.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. 2008. Metode Penelitian

Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

Soejono, RP. 1982. On the Megaliths In Indonesia dalam Kim Byung-mo(ed.). Megaliths

(17)

Sukendar, Haris. 1996/1997. Album Tradisi Megalitik di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Subandio, Haryati, dkk (ed), 1998. Indonesian Heritage, Religion and Ritual. Singapura: Archipelago Press.

Suhamdani, 1994. Pola Distribusi Situs-Situs Megalitik di Gunungkidul. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Suherman, dkk. 1982. Laporan Pemetaan Situs Kepurbakalaan di Situs Sokoliman dan

Gunung Bang. Yogyakarta: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Tanudirdjo, Daud Aris. 1987. Laporan Penelitian Penerapan Etnoarkeologi di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Thomas, Julian. 2005. Materiality and The Social dalam Funari, Pedro Paulo A. Global

Archaelogical Theory. New York: Plenum Publisher.

Tim Penelitian SPSP DIY. 1985. Laporan Inventarisasi Kepurbakalaan di Kecamatan

Karangmoho, Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta: Suaka Peninggalan Sejarah

Referensi

Dokumen terkait

Keberadaan DuPont Crop Protection yang bergerak dalam industri bahan kimia perlindungan tanaman atau pestisida, dimulai sebagai mitra bisnis di Indonesia pada tahun 1975

Pada Gambar 6a menunjukkan bahwa dalam simulasi ETAP nilai tegangan disisi sumber dari penyulang Cengkong Abang setelah dilakukan rekonfigurasi dengan penyulang

Melalui kegiatan presentasi kelompok, siswa dapat mengkomunikasikan hasil diskusi tentang sikap kebersamaan dalam perbedaan kegemaran di rumah dengan percaya diri..

Berdasarkan uraian tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam

335 Ni Wayan Rati, S.Pd., M.Pd 197612142009122002 Pendidikan Guru Sekolah Dasar 2013 Penerapan Iptek Pendampingan Penyusunan Lembar Kerja Siswa (LKS) Siaga Bencana Berbasiskan

Oleh karena itu siswa-siswi TK Dharmawanita Persatuan Terung Kulon Krian, dan anak-anak remaja tersebut adalah anggota Karang Taruna Perumahan MCA, RW 5 desa Boro

--- Menimbang, bahwa setelah Pengadilan Tinggi meneliti dan mempelajari dengan seksama berkas perkara yang terdiri dari Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik, Berita

1. Metode Studi Pustaka dengan pencatatan secara cermat terhadap obyek yang diamati yaitu mengenai game 2D. Data diperoleh yakni dari buku, jurnal, artikel