• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM GAZI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM GAZI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

i

UNIVERSITAS INDONESIA

DINAMIKA RELASI SOSIAL DALAM

PROSES MENINGGALKAN JALAN TEROR

DISERTASI

(RINGKASAN)

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

di bidang Psikologi yang dipertahankan dalam Sidang Terbuka Senat Akademik

Universitas Indonesia di bawah pimpinan Rektor Universitas Indonesia

Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M. Met.

Pada hari Rabu, 13 Januari 2016, pukul 10.00 WIB

Gazi

NPM. 1006784115

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI

UNIVERSITAS INDONESIA

(2)

ii

TIM PEMBIMBING

Promotor

Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si

Ko-promotor 1

Dr. Bagus Takwin, M.Hum

Ko-promotor 2

Dr. Mirra Noor Milla, S.Sos., M.Si

TIM PENGUJI

Ketua Sidang

Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA

Anggota

Prof. Dr. Enoch Markum

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Prof. Dr. Faturrahman

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Prof. Dr. Bambang Pranowo

Guru Besar FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si, Ph.D

Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Dr. Adriana Soekandar, M.Sc

Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

KETUA PROGRAM STUDI DOKTOR

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA

Prof. Dr. Guritnaningsih A. Santoso

(3)

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan anugerah dan berkah sehingga dengan perkenan-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Pengalaman dalam proses kuliah dan penulisan disertasi ini menyadarkan penulis bahwa hidup ini adalah rangkaian ikhtiar panjang dalam mencari takdir bagi pribadi penulis. Rasa syukur terus terucap di dalam hati dan lisan karena melalui proses belajar dan penulisan disertasi ini, penulis bertemu dengan orang-orang hebat yang telah memberikan pembelajaran dan hikmah yang luar biasa bagi perjalanan akademis dan karir.

Penghargaan dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si selaku Promotor yang selalu memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan kepada penulis sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini. Terima kasih Prof. Hamdi..Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Dr. Bagus Takwin, M. Hum selaku kopromotor 1 yang telah memberikan masukan dan sentuhan berharga atas disertasi ini. Saya juga harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Mirra Noor Milla selaku kopromotor 2. Masukan dan koreksi Mba Mirra atas disertasi ini membuat isinya semakin halus dan terarah dibandingkan sebelum dikoreksi. Terima kasih Mba Mirra atas waktu dan kesediaan mengoreksi disertasi dengan detil.

Rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Ketua Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Guritnaningsih dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, MA selaku ketua tim sidang promosi. Terima kasih juga kepada Dr. Adriana Soekandar Ginanjar, MS selaku Wakil Dekan bidang pendidikan, peneliitan dan kemahasiswaan, serta Dra. Corrina D.S. Riantoputra, M.Com., Ph.D selaku Wakil Dekan bidang sumber daya, ventura dan administrasi umum beserta segenap jajaran staff di bawahnya atas bantuan administrasi selama menjadi mahasiswa program doktor.

Rasa terima kasih yang dalam dan tulus penulis sampaikan pula kepada Prof. Dr. Bambang Pranowo, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Faturrochman MA, Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si., Ph.D dan Dr. Adriana S. Ginanjar selaku tim penguji. Terima kasih atas saran dan masukan Bapak dan Ibu yang sangat berharga.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, Prof. Dr. Enoch Markum, Prof. Dr. Sarlito Wirawan, Sarwono, Prof. Dr. Ali Nina Liche Seniati, M.Si, Dra. Siti Dharmayati Bambang Utoyo, MA., Ph.D, Robby Muhammad, Ph.D, Dr. Rudolf Woodrow Matindas, Dra. Amarina Ashar Ariyanto, M.Si, Dr. Bagus Takwin, M. Hum, Dra. Ike Anggraika, M.Si. Terima kasih atas ilmu yang Bapak dan Ibu ajarkan sehingga menambah wawasan dan mengilhami penulis untuk mempersiapkan dan menulis disertasi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada para tenaga kependidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yaitu Mas Irwan, Mba Siti Mariam, Mas Robin, Pak Suroko dan lain-lain yang telah membantu kelancaran administrasi. Khusus untuk Pak Suroko terima kasih atas semua bantuan terkait urusan administrasi sehingga melancarkan proses studi doktor saya..

Terima kasih saya ucapkan kepada para guru dan mentor yang telah mengajarkan saya selama kuliah di program sarjana. Di antara mereka perlu saya sebutkan: almarhuman Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ibu Dr. Netty Hartati, M.Si., Ibu Dra Zahratun Nihayah, M.Si., dan Ibu Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si. serta semua dosen dan guru yang tidak disebutkan namanya satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima kasih, semoga ilmu dan pengalaman yang diberikan bisa menjadi amal jariah.

Terima kasih tidak lupa saya ucapkan kepada para mantan dekan Fakultas Psikologi UIN Jakarta (Dr. Netty Hartati, M.Si dan Jahja Umar Ph.D) yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan studi S3 dan memberikan izin untuk konsentrasi belajar demi menambah wawasan dan ilmu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi UIN Jakarta yang telah memberikan kemudahan dan dukungan selama proses penyelesaian studi S3 saya. Terima kasih disampaikan pula kepada Dr. Abdul Rahman Saleh, Ikhwan Lutfi, M.Si dan Dr. Diana Mutiah, M.Si selaku wakil dekan yang telah memberi dukungan moral.

(4)

iv

sehingga semua proses menjalankan tugas dan kewajiban sebagai dosen dan mahasiswa doktoral bisa berjalan dengan lancar.

Terima kasih kepada Pusat Kehidupan Keagamaan dan Pusat Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Kemenag RI, CSRC dan Puslitpen UIN Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari pengalaman meneliti..

Terima kasih kepada para petinggi Densus 88 Mabes Polri yang telah memberikan kesempatan berdiskusi tentang terorisme dan membuka akses untuk bertemu dengan para pelaku teror di Indonesia. Terima kasih disampaikan kepada Bapak dan Ibu petinggi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Bapak Brigjen Agus yang kini menjadi Panglima Kodam, Prof. Dr. Irfan Idris, Bapak Dr. Muslih Nasoha yang saat ini kembali bertugas di Kemenhankam, Bapak Kolonel Marinir Jon, Bapak Kolonel Marinir Andi, Mbak Phobe, Mas Sholehudin dan lain-lain yang tidak disebutkan namanya satu per satu tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mitra dalam kegiatan deradikalisasi BNPT sehingga membuka akses bagi saya dengan para pelaku teror di dalam penjara maupun di luar penjara.

Terima kasih kepada para kepala Lapas yang pernah saya kunjungi. Kalapas Porong, Kalapas Semarang, Kalapas Tangerang, Kalapas Luwuk, Kalapas Makasar, Kalapas Cipinang termasuk jajaran di bawahnya atas izin dan kesempatan berkunjung untuk menemui para warga binaan penjara dari kalangan teroris.

Terima kasih saya sampaikan juga kepada teman-teman seangkatan: Mba Arum, Mba Kiki, Mba Dyah Rini, Mba Okta, Mba Marli, Mba Sita, Mba Rini, Mba Iwus, Mba Beby, Mba Tika, Mba Melani, Pak Lukman, Kang Gume, Mas Lutfi dan Mas Dadang. Kekompakan dan persahabatan yang tulus memberikan warna tersendiri dalam kehidupan akademis saya. Mudah-mudahan persahabatan ini akan meneguhkan jaringan kerja akademis kita di masa depan.

Terima kasih disampaikan pula kepada semua dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan Fakultas Psikologi UIN Jakarta atas dukungan moral dan kehangatan persahabatan dan kemitraan selama penulis berinteraksi dan bekerja di kantor. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Eci dan Diki yang telah bersedia menjadi paranim, semoga dimudahkan dalam proses kuliah dan segera menulis disertasi..

Saya juga harus menyampaikan terima kasih kepada Diktis Kemenag RI yang telah memberikan beasiswa selama tujuh semester dan bantuan studi dari UIN Jakarta selama dua semester sehingga penulis bisa menyelesaikan kuliah dan penulisan disertasi dengan baik. Semoga Diktis dan UIN Jakarta berjaya dalam mengembangkan dunia pendidikan dan perguruan tinggi Islam demi kemaslahatan umat dan bangsa. Terima kasih kepada Muje dan tim yakusanya yang telah membantu dalam proses transkrip rekaman dan proses tehnis lainnya serta nama-nama lain yang tidak disebutkan satu per satu. Semoga kalian selalu sukses dalam mengejar cita-cita dan masa depan.

Saya juga berterima kasih kepada kawan-kawan pegiat “Laboratorium Psikologi Politik UI pimpinan Bang Hamdi : Mba Mira, Mas Cahyo, Mba Whinda, Mba Sukma yang sekarang jadi dosen Unibraw, Mas Diki, Mas Alim dan nama-nama lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih saya kepada kalian. Suasana diskusi dan gairah serta kuriositas intelektual yang saya dapat dalam suasana kontak akademis di ruangan ini membuat saya semakin mencintai ilmu pengetahuan dan gemar membaca.. Saya bersyukur dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti kalian...

(5)

v

Kepada mertua saya, Ibu Faizah dan Drs. Kurtubi almarhum, semua ipar saya: Kang Fatur, Ridwan (alm), Ina Rosdiana dan suami, Syifaurrahmah dan suami, serta Oman yang sedang belajar di Turki, terima kasih atas dukungan dan doa kalian. Semoga Allah memberikan kebahagiaan dan ketenangan.

(6)

vi ABSTRAK

Nama : Gazi

Program Studi : Ilmu Psikologi

Judul Disertasi : Dinamika Relasi Sosial Dalam Proses Meninggalkan

Jalan Teror

Studi tentang proses radikalisasi dan terorisme telah banyak dilakukan, namun studi tentang proses meninggalkan jalan teror masih sangat kurang.

Untuk mengisi kekurangan itu, studi disertasi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa para pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror. Studi disertasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode grounded research. Lima orang mantan pelaku teror dan anggota Jamaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam aksi terorisme dan pelatihan militer dipilih untuk menjadi subyek studi dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan studi. Lebih dari 40 orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan pertemanan dipilih untuk menjadi narasumber studi. Data studi dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan subyek studi dan dianalisis dengan teknik grounded theory.

Dari hasil studi diperoleh tema-tema tertentu melalui proses open coding, pengelompokan ke dalam kategori tertentu atau dikonseptualisasi menjadi relasi sosial dan meninggalkan jalan teror. Kemudian, dihasilkan teori berbasis data tentang dinamika relasi sosial dalam proses meninggalkan jalan teror.

Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa pelaku teror di Indonesia bisa meninggalkan jalan teror, ada rasa bersalah menjadi penyebab penting meninggalkan jalan teror, ada perubahan keyakinan tentang konteks jihad tetapi jihad tetap ada di dalam pikiran subyek. Selain itu, disimpulkan bahwa ada tiga dimensi relasi sosial yang ditemukan yaitu dimensi personal, organisasi dan sosial. Relasi sosial mendorong meninggalkan jalan teror melalui evaluasi individual dan kolektif dan tindakan mengubah keyakinan tentang jihad dan outgroup. Kelemahan dan rekomendasi studi didiskusikan.

(7)

vii ABSTRACT

Name : Gazi

Study Program : Psychology

Judul Disertasi : Dynamic of Social Relation in Process of Leaving Terrorism

Many studies on the radicalization and terrorism processes have been conducted. However the study on process of leaving terrorism is still overlooked.

To fill this gap, present study attempted to address the question of how and why terrorists leave terrorism in Indonesia. This research employed qualitative method with grounded theory as design and tool of analysis. Five former terrorists and members of Jamaah Islamiyah who have involved in terror action and military training were selected as respondents of the study. More than 40 people who have family relation, kindship and friendship were selected as research resources. Data were taken by direct in-depth interview and were analyzed using grounded theory technique.

Through open coding process, specific themes were found and then grouped into some categories, and through selective coding process a theory on leaving terrorism was built. The theory insisted on role of dynamic of social relation in process of leaving terrorism. Based on the analysis, it can be concluded that terrorists could leave terrorism, guilty feeling was one cause of leaving terrorism, and belief about jihad context could be changed although the idea of jihad could not be left. Besides, it was concluded that there were three dimensions of social relation dynamic: personal dimension, organizational dimension, and social dimension. Social relation dynamic pushed terrorists to leave terrorism through individual and collective evaluation and belief change on jihad context and outgroup attitudes. Weaknesses and recommendations of the study were further discussed.

Key words : Grounded research, terrorist, jihad, social relation, deradicalization, disengagement.

(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman Judul Dalam... ... : i

Tim Pembimbing Dan Tim Penguji... ... ... : ii

Ucapan Terima Kasih... ... : iv

Abstrak... ... ... : viii

Daftar Isi... ... : x

Daftar Tabel... ... ... : xii

Daftar Gambar... ... ... : xiii

A Latar Belakang ... ... ... ... : 1

B Pertanyaan Penelitian... ... ... : 5

C Tujuan Penelitian... ... ... : 5

D Telaah Literatur ... ... ... ... ... : 5

E Metode Penelitian... ... ... ... ... : 10

F Hasil Penelitian... ... ... ... ... : 11

G Pembahasan Hasil Penelitian... ... ... ... : 26

H Kesimpulan... ... ... ... ... : 33

H Rekomendasi... ... ... ... ... : 34

Daftar Pustaka... ... ... ... ... : 34

(9)

ix

DAFTAR TABEL

1 Profil subyek penelitian... ... 11

2 Pola meninggalkan jalan teror... ... 12

3 Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek... ... 14

4 Perubahan pandangan tentang konteks jihad... ... 15

5 Dari homogenitas outgroup ke heterogenitas outgroup... ... 15

6 Gambaran rasa bersalah... ... 17

7 Identitas kelompok versus identitas personal... ... 18

8 Konflik nilai personal versus nilai kelompok... ... 18

9 Deideologisasi jihad... ... 20

10 Gambaran penurunan komitmen... 21

11 Konflik interpersonal... ... 24

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

(12)
(13)

1

RINGKASAN A. Latar Belakang Masalah

Pelaku teror meninggalkan jalan teror? Apa mungkin? Inilah pertanyaan dan ungkapan skeptis yang muncul di masyarakat terkait pernyataan mantan pelaku teror yang menyesali aksi pengeboman di Bali. Telah banyak media massa, baik cetak maupun audio-visual termasuk media sosial seperti youtube mengabarkan tentang sejumlah pelaku teror yang menyesali keterlibatan dalam aksi menghancurkan dua tempat hiburan malam Sari Club’s dan Paddy’s Pub yang terkenal di Jalan Legian Kuta Bali (Imron, 2009; 2010; Tim Lazuardi Birru, 2010)

Pelaku teror Bom Bali yang sampai saat ini masih ditahan di penjara narkoba, AI,

menyatakan penyesalannya melalui buku autobiografinya yang berjudul “Ali Imron Sang Pengebom”. AI mengungkapkan bahwa keterlibatannya dalam tragedi Bom Bali 1 adalah suatu kesalahan besar dalam hidupnya. Sebelumnya ia menolak keras rencana pengeboman di Bali walaupun akhirnya ia terlibat dan bahkan berperan penting (Imron, 2009). Pelaku teror lainnya yaitu UP yang pernah dipenjara di Guantanamo, pernah dipenjara di Mako Brimob Depok Jawa Barat dan sekarang dipenjara di Lapas Porong Surabaya Jawa Timur, juga mengungkapkan penyesalannya di depan publik yang diliput media massa. Pria keturunan Arab yang digambarkan

sebagai “orang berbahaya” ini menangis dan menyesali apa yang telah dia lakukan dalam aksi Bom Bali, 10 Oktober 2002 (Balipostvideo, 2012).

Untuk menunjukkan bahwa meninggalkan jalan teror benar-benar dilaksanakan, subyek utama melakukan hal-hal yang memperkuat persepsi publik tentang keputusan mereka. Misalnya, NA, AA, dan AI menghabiskan waktunya untuk memberikan penyadaran kepada rekan-rekan dan mantan anak buahnya di Jamaah Islamiyah melalui program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh Mabes Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Tim Penulis Lazuardi Birru, 2010; 2011). Sementara UP menunjukkannya dengan ikut apel bendera Harkitnas di Lapas Porong Sidoarjo Jawa Timur (Syafidri, 2015).

Fakta ini tentu saja mengagetkan banyak pihak, penyesalan beberapa teroris pelaku bom Bali atas keterlibatan mereka dalam aksi teror menyisakan keraguan dan pertanyaan di tengah masyarakat. Benarkah mereka menyesali keterlibatannya dalam aksi teror? Keraguan ini beralasan karena aksi teror seolah-olah tidak pernah selesai walaupun aparat keamanan terutama Densus 88 Mabes Polri telah melakukan penangkapan besar-besaran, bahkan menembak mati sebagian pelaku teror yang melakukan perlawanan.

Hal itu menjelaskan mengapa muncul adigium “terorist is terrorist” (Horgan & Bjorgo, 2009) yaitu keyakinan sebagian orang bahwa pelaku teror tidak mungkin bertobat atau kembali ke jalan normal. Selain itu, banyak juga pendapat berlawanan yang mengatakan bahwa menjadi teroris bukan karena faktor bawaan melainkan karena multifaktor seperti faktor sosial-politik. Oleh karena itu, kemungkinan meninggalkan jalan teror pada kaum teroris selalu ada karena menjadi teroris lebih sebagai respon terhadap persoalan sosial-politik yang kompleks. Pendapat

yang terakhir ini menyatakan bahwa “a terrorist is made not born” (Moghaddam, 2005; 2006; 2007). Pro-kontra seputar kemungkinan teroris meninggalkan jalan teror menimbulkan teka-teki yang tidak berujung dan perlu dijawab dalam penelitian ini.

Terorisme dan aksi teror dengan segala bentuknya telah berlangsung cukup lama, tetapi ancamannya terhadap masyarakat dunia sampai saat ini belum berakhir (McCormick, 2003; Levin & Amster, 2003; Steven & Gunaratna, 2004; Wright, 2010). Hal itu membuat pemegang kebijakan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, termasukPsikologi, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri terdorong melakukan kajian mendalam tentang motivasi terorisme (Levin & Amster, 2003), guna memahami penyebab terorisme, bagaimana memberantas terorisme dan menanggulangi dampaknya (Sinai, 2008; Lawal, 2002; Ekici & Sahliyeh, 2009; Jacobson, 2010).

(14)

2

Untuk hal ini, diperlukan upaya keras untuk memahami proses dan dinamika psikologi dan sosial yang dialami seorang teroris secara individual. Mengapa meninggalkan jalan teror dan memilih cara-cara non kekerasan untuk mewujudkan cita-cita dan ideologi kelompok adalah pertanyaan penting yang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini (Jacobson, 2010; Horgan, 2005; 2007; 2008; 2011; Crenshaw, 1981; Borum, 2004; Horgan 2009; Bjorgo, 2009; Ashour, 2008). Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terutama dari sisi psikologi diharapkan akan menjelaskan bagaimana mengakhiri kekerasan dan lambat-laun akan mengurangi –untuk tidak mengatakan mengakhiri— radikalisme dengan kekerasan.

Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok memasuki terorisme (Hoffman, 2006; Sageman, 2004; 2003; Crenshaw, 1990; Bloom, 2005; Milla, 2010). Begitupula, peneliti yang menjelaskan mengapa individu atau kelompok bertahan dalam terorisme (Sprinzak, 2005; Kydd & Walter, 2006). Namun penelitian tentang mengapa keluar sangat terbatas (Bjorgo, 2009; Horgan& Bjorgo, 2009; Horgan, 2009; Garfinkel, 2007; Jacobson, 2010). Dari jumlah yang terbatas itu, belum banyak yang dilakukan di Indonesia. Di antaranya, riset Yayasan Prasasti Perdamaian (Andrie, 2012), Hwang dkk (2013) dan Hwang (2015). Menurut saya, riset tim YPPtidak menggunakan basis teori Psikologi yang kuat sehingga tidak tergambar dengan baik dinamika psikologis yang dialami para teroris. Sementara itu, riset Hwang dkk (2013) dan Hwang (2015) lebih fokus pada peristiwa kekerasan di Poso yang lebih banyak bernuansa konflik antarkelompok Islam dan Kristen dengan subyek yang bukan prototipe Jamaah Islamiyah. Kedua riset terakhir meneliti anggota kelompok jihadis yang dibentuk oleh mantan anggota Jamaah Islamiyah, sedangkan penelitian ini lebih difokuskan pada peristiwa bom Bali dengan subyek yang benar-benar prototipe anggota Jamaah Islamiyah.

Pentingnya penelitian tentang pilihan meninggalkan jalan teror pada sebagian mantan narapidana teroris atau narapidana teroris yang masih dipenjara di Indonesia menemukan relevansi dan momentum yang tepat seiring bertambahnya jumlah individu yang mengungkapkan penyesalannya berada di jalan teror. Diketahui sebanyak 160-250 mantan narapidana teroris dan narapidana teroris di penjara-penjara Indonesia telah memilih meninggalkan jalan teror (wawancara personal dengan tim YPI). Fenomena ini tentu saja menarik dan memerlukan penjelasan teoritis dari sudut pandang Ilmu Psikologi terutama Psikologi Sosial. Dengan mengetahui mengapa dan bagaimana para teroris meninggalkan kelompok dan cara kekerasan diharapkan dapat diperoleh informasi penting tentang bagaimana seharusnya menangani teroris dan kelompoknya di Indonesia.

Banyak ilmuwan yang sepakat bahwa gerakan terorisme memiliki sifat mendaur-ulang dirinya sendiri (Fink & Harne, 2008). Ia akan terus mengalami proses patah tumbuh hilang berganti, atau mengalami metamorfosis, baik secara gerakan maupun secara ideologi (Salahuddin, 2011). Akibatnya, menurut Fink dan Harne (2008), tidak banyak ilmuwan yang tertarik dan memberikan perhatian besar terhadap proses atau mekanisme sosial dan psikologi yang dialami anggota teroris secara individual yang keluar dari jaringan teroris(Fink & Harne, 2008).

Horgan dan Bjorgo (2009) menyebutkan bahwa kurangnya perhatian ilmuwan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi individu teroris keluar dari kelompok teror atau faktor-faktor yang mengubahnya menjadi pribadi yang menolak cara-cara kekerasan atau radikal karena perhatian mereka yang lebih fokus untuk membahas akar penyebab radikalisme. Sebagai konsekuensinya, sebagian besar energi tertumpah untuk membahasnya. Setidaknya, taktik ini akan dapat mengurangi jumlah pelaku teroris dan kemungkinan resiko menjadi teroris bagi individu yang radikal atau tergabung dalam kelompok radikal (Horgan, 2009; Jacobson, 2010). Dalam Psikologi terorisme terdapat banyak konsep untuk menjelaskan tindakan dan pengalaman meninggalkan ideologi kekerasan atau perilaku kekerasan, di antaranya adalah konsep deradikalisasi dan disengagement (Horgan, 2009; Muluk, 2009; Ashour, 2009).

(15)

3

meninggalkan jalan teror sangat diperlukan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa meninggalkan jalan teror terjadi.

Selama ini, deradikalisasi lebih banyak difokuskan pada ideologi melalui metode dialog atau debat antara subyek program dengan imam atau ustadz yang menguasai ajaran dan ideologi Islam, tetapi memiliki cara pandang yang moderat (Barret & Bokhari, 2009; Boucek, 2009; Abuza, 2009; Ashour, 2008). Penekanan deradikalisasi pada perubahan ideologi bisa menimbulkan biaya dan konsekuensi yang tinggi, apalagi jika ideologi itu bersumber dari ajaran agama atau kitab suci (Solahuddin, 2010; Ashour, 2009; Horgan, 2009; Amirsyah, 2012). Pada kasus deradikalisasi ideologi pada kaum jihadis-Islamis, muncul persepsi dan pemahaman di kalangan Muslim tertentu bahwa deradikalisasi identik dengan deislamisasi (pendangkalan ajaran Islam) karena ajaran jihad merupakan ajaran penting yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis (Amirsyah, 2012). Maka, bisa dikatakan bahwa ajaran dan perintah berjihad tidak mungkin hilang dari pikiran kaum jihadis. Pro-kontra tentang kemungkinan menghilangkan ideologi negara Islam dan semangat jihad masih menjadi pertanyaan banyak pihak yang belum terjawab sampai saat ini.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa keberhasilan melepaskan individu dari kelompok dan aksi terorisme tidak selalu melalui program deradikalisasi (Milla, 2011; Horgan, 2008; Bjorgo & Horgan, 2008). Individu yang mengikuti program dalam masa penahanan mungkin menunjukkan kerjasama yang sangat baik agar dapat segera keluar dari penjara (Milla, 2011). Jadi, keterlibatan dalam program deradikalisasi hanya digunakan sebagai taktik agar bisa segera keluar dari penjara.

Setelah mereka bebas, diperlukan insentif yang lebih kuat agar dapat menahan mereka kembali dalam aksi (lebih bersifat tingkah laku). Hal ini dapat menjelaskan mengapa santunan ekonomi lebih banyak menunjukkan hasil dibandingkan program counter-ideology (Jhonson, 2009, Muluk, 2009; Morris, 2010; Horgan & Braddock, 2010; Milla, 2011). Selain santuan ekonomi, program yang bersifat rehabilitasi sosial-politik cenderung menunjukkan hasil yang baik (Jones & Libicki, 2008; Reinares, 2011; Ashour, 2009). Itu semuanya menyangkut faktor dari luar diri pelaku teror. Lantas, adakah faktor dari dalam diri sendiri pelaku teror seperti rasa bersalah dan penyesalan seperti yang diperlihatkan AI, UP dan AA sebagai pendorong kuat dalam meninggalkan jalan teror?

Beberapa peneliti telah melakukan studi tentang meninggalkan jalan teror misalnya Horgan (2009), Bjorgo (2009), Jacobson (2009), Garfinkel, (2007) Demant & Graaf, (2010), Reinares (2011), Disley, Weed, Reding, Clutterback, & Warnes (2012), Kruglanski, Gelfand dan Gunaratna, (2011), Kruglanski dan tim (2014) dan Hwang (2015). Ditemukan bahwa faktor fisik dan psikologis menjelaskan kenapa seorang teroris atau radikal meninggalkan jalan kekerasan. Faktor fisik berkaitan dengan perubahan peran di dalam organisasi termasuk pemenjaraan oleh aparat keamanan, sedangkan faktor psikologis berkaitan dengan perasaan kecewa terhadap berbagai hal dan dinamika yang terjadi di dalam kelompok (Horgan, 2009). Penelitian lain oleh Bjorgo (2009) dan Jacobson (2009) menemukan bahwa hal-hal negatif dan tidak mengenakkan yang terjadi di dalam kelompok menjadi penyebab meninggalkan jalan teror dan dianggap sebagai faktor pendorong, dan ada pula hal-hal positif yang menyenangkan di luar kelompok dianggap sebagai daya tarik untuk keluar dari jalan teror. Bjorgo menyebutnya sebagai faktor penarik (Bjorgo, 2009; Jacobson, 2010).

Peneliti lain seperti Demant dan Graaf (2010) melihat dari sisi lain, yaitu dari sisi komitmen. Penelitian Demant dan Graaf (2010) menyimpulkan bahwa pilihan meninggalkan jalan teror berkaitan dengan sejauhmana komitmen seorang pelaku teror atau seorang radikal terhadap kelompok dan ideologi yang diperjuangkan. Jika komitmen menurun atau menghilang maka pilihan meninggalkan kelompok dan jalan teror tidak terelakkan terjadi dalam waktu yang tidak lama. Sedangkan Reinares (2011) menyimpulkan bahwa deradikalisasi dan disengagement berhubungan dengan persepsi personal terhadap berbagai perubahan sosial dan politik yang terjadi pada tingkat negara, dinamika kelompok dan pengalaman yang dialami setiap individu selama menjadi aktivis kelompok ekstrim.

(16)

4

teror terutama yang berkaitan dengan kebermaknaan diri. Jika makna dan kebermaknaan diri telah diraih maka besar kemungkinan deradikalisasi dan disengagement terjadi (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).

Ditegaskan oleh Kruglanksi dkk (2014) bahwa keberhasilan meraih makna dan kebermaknaan merupakan motivasi terbesar mengapa meninggalkan jalan teror. Dugaan peneliti, hal ini justeru tidak terjadi pada kasus teroris Indonesia yang memutuskan meninggalkan jalan teror. Ada motivasi lain yang menggerakkan mengapa mereka meninggalkan jalan teror. Oleh karena itu, motivasi apa yang mendorong para teroris dan radikal di Indonesia memilih meninggalkan jalan teror penting untuk diketahui. Penulis menduga rasa bersalah merupakan faktor pendorong meninggalkan jalan teror pada pelaku teror dari kalangan anggota Jamaah Islamiyah Indonesia. Hal ini hemat penulis belum pernah disinggung oleh para peneliti deradikalisasi dan disengagement sebelumnya.

Ditekankan oleh Kruglanski dkk (2011) dan Kruglanski dkk (2014) bahwa persepsi individu terhadap jihad juga bisa menjelaskan apakah ia telah meninggalkan jalan teror dan ideologi berbasis kekerasan. Jika jihad tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya alat mencapai tujuan kelompok maka deradikalisasi dan disengagement telah terjadi, misalnya cara damai seperti dakwah (Kruglanski, Chen, Dechesne, Fishman, & Orehek, 2009; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011; Kruglanski, Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014). Kruglanski dkk (2014) dan Jacobson (2010) juga menyimpulkan bahwa faktor proses sosial atau dinamika sosial yang meliputi individu berpengaruh besar terhadap pilihan meninggalkan jalan teror. Misalnya, interaksi dan dialog dengan pihak eksternal di luar kelompok (Jacobson, 2010; Hwang, 2015). Bagaimana dengan pelaku teror di Indonesia? Apakah faktor-faktor itu berperang dalam proses meninggalkan jalan teror?

Mengetahui sejauhmana persepsi dan keyakinan terhadap ideologi penting dilakukan untuk menetapkan apakah seorang pelaku teror telah berjarak dengan radikalisme atau justeru semakin mendekat (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014). Sikap dan pandangan terhadap jihad bisa menggambarkan apakah seseorang masih bertahan dalam radikalisme atau beralih menuju sikap moderat (Kanruglanski dkk, 2014; Jacobson, 2010; Milla, 2011).

Jihad adalah kendaraan untuk mencapai cita-cita penegakan daulah Islamiyah atau negara dengan sistem khilafah (Abbas, 2005; Ali, 2006; Abuza, 2007; 2009; Golose, 2010). Tanpa jihad seorang pejuang yang menegakkan negara Islam tidak bisa disebut jihadis atau kaum mujahid (Ashour, 2008). Pelekatan label jihadis atau kaum mujahidin terhadap kelompok yang mengklaim memperjuangkan terwujudnya cita-cita negara Islam atau sistem khilafah menjadi hal yang lumrah (Ashour, 2008; Azuzi, In press; Gunaratna & Ali, 2009). Bahkan kerapkali indikator radikalisme Islam dikaitkan dengan sejauhmana dan bagaimana jihad dipersepsi dan diyakini (Chusniyah, 2012; Hafez, 2006; Kruglanski, 2013; Kruglanski, Gelfand, & Gunaratna, 2011; Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014).

Hal itu karena sejatinya jihad bukan hanya bermakna al-qital (berperang) tetapi bermakna lain yang lebih luas dan berkonotasi positif seperti cara-cara damai untuk mencapai sesuatu yang mulia. (Al-Hadlaq, 2011; Al-Makhzumi, Tanpa Tahun; Ghazali, 2011; Azuzi, In press). Cara memahami jihad dalam konotasi damai tanpa kekerasan inilah yang disebut dengan faham moderasi Islam yang melahirkan kaum muslim moderat (Abuza, 2009; Al-Hadlaq, 2011; Ashour, 2011; Pranowo, 2011; Kruglanski A. W., et al., 2014). Perubahan cara memahami jihad dari domain kekerasan menuju domain kedamaian dan tanpa kekerasan atau perubahan dari kutub Islam radikal menuju kutub Islam moderat dianggap komponen penting dalam proses deradikalisasi dan disengagement (Kruglanski A. W., Gelfand, Belanger, Shaveland, Hetiarachchi, & Gunaratna, 2014; Ashour, 2009). Inilah poin penting yang perlu diketahui dari para jihadis untuk memastikan terjadinya proses meninggalkan jalan teror, yaitu apakah ada perubahan atau perbaikan pemahaman tentang jihad (Azuzi, in press; Ashour, 2009).

(17)

5

Sejumlah penelitian seperti penelitian Bjorgo (2009), Gafinkel (2009), Jacobson (2009), Reinares (2011), Kruglanski dkk (2014) dan Hwang (2015) menekankan pentingnya pengaruh komponen proses sosial terhadap pilihan meninggalkan jalan teror. Dengan merujuk kepada temuan penelitian pada ranah radikalisasi dan keterlibatan dalam jaringan teror, Moghaddam (2007) dan Sageman (2004) juga menduga bahwa proses dan dinamika sosial yang melingkupi teroris dan kaum radikal turut memberikan kontribusi terhadap proses deradikalisasi dan pencegahan terorisme.

Mirahmadi & Farooq (2010) juga menekankan bahwa deradikalisasi berbasis sosial atau komunitas diperlukan untuk mempersempit ruang gerak kaum radikal dalam menyebarkan pemahaman keagamaan yang radikal dan ekstrim di tengah masyarakat. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror di Indonesia?

B. Pertanyaan Penelitian

Dari uraian di atas dan telaah literatur penelitian tentang deradikalisasi dan disengagement di Indonesia, terdapat banyak masalah penelitian yang belum terjawab tentang mengapa para teroris meninggalkan jalan teror. Inilah pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam penelitian disertasi ini. Selain itu, tentu saja terdapat sejumlah pertanyaan turunan dari pertanyaan pokok terutama menyangkut motivasi individual meninggalkan jalan teror, sikap dan persepsi terhadap jihad serta dinamika psiko-sosial atau proses sosial yang dialami para subyek penelitian. Semua itu akan dibuat dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dan akan dicoba untuk dijawab dalam disertasi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:1)Bagaimana pelaku teror di Indonesia meninggalkan jalan teror? 2)Bagaimana rasa bersalah mendorong proses meninggalkan jalan teror? 3)Bagaimana pelaku teror di Indonesia memahami jihad dan kaitannya dengan konteks waktu dan tempat? 4) Bagaimana faktor personal, organisasi dan sosial mendorong pelaku teror di Indonesia dalam meninggalkan jalan teror? 5) Bagaimana dinamika relasi sosial berperan dalam proses meninggalkan jalan teror ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1) Memberikan sumbangan baru dalam pengembangan teori psikologi terorisme, khususnya yang berkaitan dengan meninggalkan jalan terorisme (deradikalisasi dan disengagement). 2) Mengetahui faktor psikologis dan sosial yang mempengaruhi pilihan meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) pada pelaku teror dan anggota organisasi radikal di Indonesia.

D. Tinjauan Literatur

Pengertian Meninggalkan Jalan Teror

Paling tidak ada dua konsep yang kerapkali digunakan para peneliti untuk menjelaskan makna meninggalkan jalan teror yaitu deradikalisasi dan disengagement. Deradikalisasi adalah meninggalkan jalan teror secara kognitif yaitu meninggalkan ideologi yang menjadi basis hidup dan perjuangannya dalam meraih tujuan pribadi dan kelompok dari alam pikirannya. Disengagement adalah meniadakan cara-cara kekerasan dan beralih ke jalan damai dalam mewujudkan tujuan kelompok walaupun dengan tetap menganut ideologi itu (Horgan, 2009; Bjorgo, 2009).

Deradikalisasi

Secara kebahasaan, deradikalisasi adalah anonim dari radikalisasi. Dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa radikalisme berasal dari kata radices yang berarti: “a concerted attempt to change the status quo (Jary & Jary, 1991). Disebutkan oleh Horgan (2009) dan Garfinkel (2007) bahwa upaya perubahan selalu melibatkan mekanisme psikologis dan sosial tertentu. Hal itu sebagaimana disebutkan Jary dan Jary (1991), Moghaddam (2006) dan Choudhury (2009) karena radikalisasi adalah proses psikologis dan sosial di mana kepercayaan terhadap suatu sistem bernegara menurun tajam.

(18)

6

menerima keragaman (deradikalisasi ideologi, deradikalisasi tingkah laku, dan deradikalisasi organisasi.

Kisah tentang Ed Husein seorang anak muda Muslim kelahiran Inggris yang menjadi seorang Muslim fundamentalis pada usia 16 tahun menguatkan hal itu. (Husein, 2007). Kembali kepada moderasi Islam atau kembali menjadi Muslim moderat adalah esensi dari deradikalisasi atau disengagement dalam perspektif teori Significance Quest dari Kruglanski (2004) dan Kruglanski dkk (2014) Ashour (2003). Pengalaman Husein yang tertuang dalam buku “The Islamist” dapat memberikan pemahaman dan dugaan kuat bahwa sikap dan cara pandang keagamaan seseorang bersifat dinamis dan bisa berubah (Husein, 2007).

Keinginan terhadap perubahan radikal bisa terjadi melalui cara damai maupun cara keras. Banyak pihak beranggapan keinginan terhadap perubahan radikal adalah keinginan yang normal, sebaliknya perubahan radikal yang menggunakan cara-cara teror dan kekerasan dikategorikan tidak normal (Sinai, 2008; Bongar, et.al, 2007). Kekerasan berbasis radikalisasi mencakup sikap dan tingkah laku yang terkait kekerasan politik (Choudhury, 2009; Al-Asymawy, 2004). Kekerasan pada ranah tingkah laku bermula dari kekerasan pemikiran dan kognitif (Smelser, 2007)

Tingkah laku bermula dari pikiran, Para psikolog sosial percaya bahwa sikap dapat memprediksi tingkah laku (Prisilia & Crano, 2008), baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Ajzen, 2005; Prisilia & Crano, 2008). Ajzen dkk misalnya menyatakan bahwa sikap dapat memprediksi tingkah laku melalui perantara variabel lain, misalnya intensi (Ajzen, Brown, & Carvajal, 2004; Ajzen, 2005). Fazio dkk (1990) menyimpulkan bahwa jika sikap diaktifkan dengan motivasi dan kapasitas kognitif yang memadai maka sikap akan dapat memprediksi tingkah laku sehingga terjadi konsistensi antara sikap dan tingkah laku (Ajzen, 2005).

Dalam konteks terorisme, seorang biasa menjadi pelaku teror dan kekerasan diawali dari proses radikalisasi pemikiran yang berkombinasi dengan multifaktor seperti solidaritas dan persepsi ketidakadilan (Moghaddam, 2006; Milla, Faturochman, & Ancok, 2012; Talbot, In press; Chusniyah, 2012; Kruglanski, 2014). Kondisi sebaliknya bisa juga terjadi yaitu perubahan dari seorang teroris menjadi orang yang bukan teroris atau orang biasa (Garfinkel, 2007) atau paling tidak dalam posisi meninggalkan jalan teror walaupun ideologi terkait tetap dianut di dalam pikiran mereka (Horgan, 2008; 2009; 2011; Bjorgo & Horgan, 2009).

Terkait itu, para ahli sepakat bahwa sikap dapat berubah karena dinamis dan hasil proses belajar (Maio &Haddock, 2007) termasuk terkait ideologi kekerasan menjadi ideologi perdamaian dan sikap positif terhadap keragaman (Garfinkel, 2007; Jhonson, 2009; Jacobson, 2010). Garfinkel (2007) membuktikan hal itu penelitian kualitatif tentang transformasi personal pada sejumlah tokoh agama Islam dan Kristen di Nigeria Afrik aatau penelitian Jacobson (2010) mengenai sejumlah individu pelaku teror yang memilih meninggalkan jalan teror.

Isu tentang perubahan sikap dan tingkah laku merupakan tema penting dalam psikologi, bahkan dianggap sebagai tugas inti dari Ilmu Psikologi (Prislin & Crano, 2008; Maio & Haddock, 2007). Dalam kajian psikologi terorisme, deradikalisasi dan disengagement seperti yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah upaya persuasif mengubah sikap radikal menjadi sikap yang moderat (BNPT, 2013; Boucek, 2011; Ashour, 2011; Garfinkel, 2007; Jhonson, 2009).

Deradikalisasi dianggap juga sebagai suatu proses tranformasi spiritual atau konversi keagamaan (Garfinkel, 2007; Hood, Hill, & Spilka, 2009; Paloutzian & Park., 2005). Transformasi meliputi reorientasi pandangan dan arah pemikiran tetapi tidak otomatis menimbulkan perubahan struktur kepribadian dasar (Garfinkel, 2007). Ungkapan “sekali menjadi

teroris tetap menjadi teroris” yang kerapkali disampaikan dalam berbagai forum semakin kuat

menunjukkan pesimisme masyarakat terhadap kemungkinan perubahan pada individu-individu teroris, kaum radikal dan ekstrimis (Bjorgo dan Horgan, 2009).

(19)

7

2009; Jacobson, 2010; Solahudin, 2011; Baidlowi, 2011; Helmy, 2011; Thaha, 2011). Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam aksi teror pada akhirnya tidak lagi melakukannya dan bahkan memutuskan untuk meninggalkan jalan kekerasan dan teror selama-lamanya (Bjorgo & Horgan, 2009; Pranowo, 2011).

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggunakan dan rehabilitasi dan mendefinisikannya sebagai upaya sistematis untuk melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi inklusif, damai dan toleran serta melakukan pembinaan keagamaan, kepribadian, dan kemandirian kepada teroris termasuk keluarganya (BNPT, 2013). Mengapa keluarga? Berdasarkan telaah Sagemen (2004) dan Solahudin (2011) tentang jaringan teroris ditemukan bahwa regenerasi ideologi ekstrim terjadi di antara ayah dan anak atau bahkan cucu.

Tahap selanjutnya adalah reedukasi .Penekanan reedukasi adalah penguatan pemikiran, pemahaman, sikap moderat dan terbuka dengan memberikan pencerahan mengenai ajaran agama dan kebangsaan serta nilai-nilai kedamaian dan toleransi (BNPT, 2013). Tahap terakhir adalah resosialisasi yaitu upaya pembinaan yang integratif untuk membaurkan wbp teroris dan mantan wbp teroris serta keluarga agar dapat hidup dengan masyarakat berdasarkan nilai dan tatanan hidup bermasyarakat yang baik, saling menghargai dan penuh kedamaian. (BNPT, 2013).

Disengagement

Disengagement adalah proses menghentikan aktivitas teror. Disengagement tidak selalu berarti perubahan ideologi atau keyakinan. Menurut Horgan dan Altier (In press) disengagement berbeda dengan proses deradikalisasi walaupun kadang-kadang keduanya saling berkaitan. Individu bisa saja meninggalkan terorisme tanpa harus mengalami deradikalisasi dan penghapusan ideologi kekerasan.

Reinares (2011) menguatkan pendapat itu melalui penelitian kualitatif terhadap 35 orang mantan anggota ETA. Keduanya bisa terjadi secara terpisah. Disengagement merupakan proses yang kompleks menyangkut sosial dan psikologis yang dapat membantu kita memahami proses deradikalisasi dan mengandung inisiatif counter-terrorism, (Horgan, 2009; Jhonson, 2009) yang dapat diterapkan dalam mencegah masuknya individu potensial ke dalam jaringan kelompok teror. Menurut Horgan (2009) dan Bjorgo (2009), disengagement lebih penting daripada deradikalisasi.

Hasil wawancara Horgan (2009) yang dilakukan sejak tahun 2006 sampai tahun 2008 menemukan bahwa hampir sebagian besar mantan teroris lebih tepat bila dianggap sebagai individu-individu yang mengalami disengagement dibanding sebagai individu-individu yang mengalami deradikalisasi. Hampir sebagian besar dari mereka sulit untuk mengubah ideologi jihad karena ajaran jihad sendiri memiliki dasar yang kuat di dalam Al-Quran. Kerapkali muncul anggapan bahwa meolak atau menegasikan jihad berarti keluar dari Islam (Imron, 2010; Sarwono, 2012; Amirsyah, 2012).

Menjauhkan seseorang dari lingkungan sosial tertentu yang relevan merupakan langkah penting untuk mencegah keterlibatannya dalam aksi kekerasan atau aksi teror di masa yang akan datang. Dalam kajian psikologi sosial yang paling awal disebutkan bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh dua determinan penting yaitu faktor kepribadian dan faktor lingkungan. Para ahli psikologi sosial seperti Kurt Lewin sepakat bahwa lingkungan sosial kerapkali lebih kuat pengaruhnya dibandingkan kepribadian (Reis, 2010).

Tentu yang dimaksudkan dengan lingkungan sosial di sini adalah lingkungan kelompok yang kohesif sebagaimana pendapat Baumeister (2010) yang menyebutkan bahwa seseorang yang menjadi anggota kelompok yang kohesif bisa jadi akan mengalami deindividuasi yaitu gejala meleburnya jiwa individu ke dalam jiwa kelompok sehingga dalam situasi seperti ini individu tidak lagi bisa mempertahankan pikiran dan perasaannya yang unik. Konsekuensinnya, seseorang bisa terpengaruh oleh gejala groupthink atau termotivasi untuk bergabung dalam kekerasan massal atau kekerasan yang dilakukan banyak orang (Baumeister, 2010) termasuk di antaranya adalah terjebak dalam aksi teror sebagaimana klaim AI mengenai keterlibatannya dalam aksi Bom Bali 2 (Imron, 2010).

(20)

8

yaitu pendekatan yang menekankan proses dalam kelompok dan pendekatan yang menekankan proses antarkelompok. Dalam perspektif yang pertama seseorang yang menjadi anggota kelompok merasa harus menemukan cara-cara tertentu agar bisa diterima dan dianggap sama oleh anggota kelompok yang lain. Kerapkali kelompok mempersyaratkan anggotanya untuk berlaku sama atau bertindak sama dengan yang lain sehingga dicapai kesesuaian dan kecocokan. Perspektif yang kedua menekankan bagaimana individu melakukan identifikasi diri yang kuat dengan kelompoknya sebagai modal atau dasar dalam berinteraksi dengan anggota kelompok lain. Anggota kelompok biasanya akan memperlihatkan loyalitas dan komitmen kepada kelompok yang bersaing, berprasangka dan bahkan memusuhi kelompok lain (Baumeister, 2010).

Anggota kelompok biasanya juga berbagi emosi yang sama tentang anggota kelompok lain atau kelompok lain terutama jika ada sejarah persaingan atau sejarah kerjasama yang berlangsung di antara kelompok-kelompok yang terlibat. Sejauhmana individu dalam kapasitasnya sebagai anggota kelompok tertentu mengalami dan mengekspresikan emosi terhadap kelompok lain atau anggota kelompok lain maka emosi semacam itu dapat disebut sebagai emosi berbasis kelompok atau emosi berbasis antarkelompok (Manstead, 2010).

Pikiran dan emosi yang berbasis kelompok ini akan berakhir manakala seseorang menarik diri atau ditarik dari lingkaran kelompok yang mempengaruhinya, kemudian dimasukkan ke dalam lingkaran pengaruh lain yang berbeda. Turner dkk (2006) menyebut hal itu sebagai akibat dari kecenderungan konformitas yang dialami individu ketika berada dalam kelompok. Walaupun di saat yang sama di dalam kondisi pengaruh kelompok, individu bisa saja memperlihatkan independensinya atau persepsi otonomi untuk memilih kelompok lain dan keluar dari kelompok pertama.

Barelle (in press) menggunakan nalar dalam kriminologi dalam melihat proses meninggalkan jalan teror. Menurutnya, jika ekstrimisme kekerasan dilihat sebagai suatu kejahatan dan meninggalkan jalan teror terjadi sebagai akibat dari penangkapan maka deradikalisasi dan reintegrasi sosial merupakan bidang rehabilitasi. Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa meninggalkan jalan teror mengandung dua dimensi yaitu dimensi meninggalkan terorisme secara kognitif atau secara ideologi (deradicalization) dan meninggalkan kekerasan (disengagement).

Model Meninggalkan Jalan Teror Model Pendorong dan Penarik

Faktor pendorong adalah hal-hal negatif dan tidak mengenakkan di dalam kelompok sedangkan faktor penarik adalah peluang atau kekuatan sosial yang menarik dan lebih menjanjikan di luar lingkungan kelompok. (Bjorgo (2006; 2009) Model dari Bjorgo ini sebenarnya model yang jamak digunakan dalam bidang ilmu sosial, misalnya model dari Cronin (2009) yang menggunakan penjelasan sosiologis untuk melihat fenomena kehancuran kelompok teroris.

Pertama, terbunuhnya atau tertangkapnya pemimpin kelompok oleh pemerintah atau penguasa. Kedua, kegagalan kelompok dalam melaksanakan proses dan mekanisme transisi pada generasi muda. Ketiga, tercapainya tujuan kelompok. Misalnya, pada kasus ETA (Reinares, 2011). Keempat, transisi menuju suatu transisi politik yang legitimate. Misalnya, kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Kelima, kehilangan dukungan dari rakyat atau publik karena rakyat atau publik adalah pihak yang hendak diperjuangkan. Keenam, tindakan represif dari aparat keamanan, misalnya pada kasus Jamaah Islamiyah di Indonesia. Ketujuh, pengalihan bentuk kekerasan dari terorisme ke bentuk kekerasan lainnya.

Model Psikologis dan Fisik

Menurut Horgan (2009) ada dua faktor yang mempengaruhi individu meninggalkan jalan teror, yaitu faktor psikologi dan faktor fisik. Faktor psikologis umumnya berkaitan dengan kekecewaan anggota kelompok terhadap banyak tingkah laku atasan atau rekan sejawat yang tidak senonoh dan tidak sopan, sedangkan faktor fisik diwakili oleh penangkapan, pemenjaraan, dan kematian.

(21)

9

internal mengenai isu-isu taktis. Ketiga, kekecewaan karena perbedaan strategi, politik dan ideologi di dalam internal kelompok teroris. Keempat, pengalam burn-out. Kelima, perubahan dan pertentangan prioritas personal seperti menikah, memiliki anak, menjadi semakin berumur atau semakin tua (Horgan, 2009; 2011; Fink & Hearne, 2008; Garfinkel, 2007; Ebaugh, 1988).

Selain faktor psikologis, terdapat faktor fisik yang juga turut memberikan kontribusi terhadap keputusan atau pilihan seorang teroris dan radikal meninggalkan kelompok atau meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror yang menjadi strategi kelompok. Horgan (2009) menggambarkan faktor fisik sebagai faktor di mana perubahan peran seseorang terjadi dalam suatu organisasi teroris. Berpindah dari posisi sebagai pelaku langsung dalam aksi teror kepada jabatan atau posisi pelengkap merupakan kejadian yang umum terjadi pada jaringan teroris sesuai dengan temuan wawancara Horgan dengan para teroris dan para pendukung teroris.

Model Komitmen

Demant et.al (2008) mencoba menggunakan konsep komitmen organisasi dari Allen & Meyer (1990) untuk menjelaskan proses dan dinamika disengagement dari aksi teror. Menurut mereka, ada tiga faktor yang memberikan sumbangan terhadap disengagement individu yaitu faktor normatif, faktor afektif, dan faktor kontinyuan (Choudhury, 2009; Harris, 2010; Meyer & Allen, 1997).

Kenapa komitmen? Itu karena komitmen mengandung intensi untuk bertahan dalam aksi atau kelompok. Oleh karena itu, kelompok teroris akan berusaha membangkitkan komitmen yang tinggi agar anggota tetap bertahan di dalam kelompok dan tidak memiliki keinginan keluar (Meyer & Allen, 1991; Choudhury, 2009; Harris, 2010) Berdasarkan logika itu, komitmen yang rendah atau yang hilang sama sekali bisa menjelaskan kenapa seorang anggota teroris meninggalkan terorisme (Choudhury, 2009; Harris, 2010)

Model Struktural, Organisasi dan Personal

Reinares (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya tentang para teroris kelompok ETA bahwa faktor penyebab meninggalkan jalan teror terdiri dari 3 yaitu faktor struktural, faktor organisasi dan faktor personal. Reinares (2011) juga menggaribawahi bahwa konsep penting yang menghubungkan antara faktor struktural dan faktor organisasi di satu sisi dengan deradikalisasi dan disengagement di sisi lain adalah persepsi subyektif dari para teror

Model Fisik, Psikologis, Sosial dan Intervensi

Dengan metode REA (Rapid Evidence Assessment) pada sejumlah kelompok ekstrim, gang anak jalanan, sekte kultus keagamaan, kelompok esktrim sayap kanan (right wing extrimist) dan kelompok kejahatan terorganisir, Disley dkk (2012) menemukan 6 faktor yang mempengaruh disengagement, yaitu ikatan sosial yang positif terutama dengan pihak luar, kematangan psikologis dan perubahan dalam prioritas hidup, rasa kecewa terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kelompok dan ideologi, pekerjaan dan pendidikan, serta pengalaman burnout (Horgan, 2009; Bjorgo, 2009; Garfinkel, 2009). Temuan Disley dkk menunjukkan pada kelompk teroris Islam yang dipengaruhi Al-Qaida, faktor pekerjaan/pendidikan dan burnout tidak mempengaruhi disengagement, sedangkan pada kelompok street gang perubahan peran dan burnout sama sekali tidak menjadi pendorong disengagement (Jacobson, 2010). Temuan berbeda diperoleh pada kasus kelompok kultus keagamaan. Hampir keenam faktor tersebut mempengaruhi disengagement pada anggota-anggotanya, sedangkan pada kelompok ekstrimis sayap kanan, hanya faktor rasa kecewa yang tidak mempengaruhi disengagement dan pada kelompok penjahat terorganisir, pengalaman burnout merupakan satu-satunya yang mempengaruhi (Bjorgo, 2009; Demant dkk, 2009).

(22)

10

meragukan keberhasilan program tersebut disebabkan adanya kesulitan dalam menentukan tingkat keberhasilannya (Horgan, 2009)

Model Motivasi, Ideologi dan Proses Sosial

Kruglanski dkk (2014) membuat model radikalisasi dengan tiga komponen penting yaitu komponen motivasi terutama terkait quest for significance, komponen ideologi, dan komponen proses sosial atau dinamika sosial. Motivasi yang dimaksudkan di sini lebih menekankan pada pencarian makna personal yang mengarahkan seseorang dalam mencapai tujuan, sedangkan komponen ideologi merupakan alat untuk meraih kebermaknaan dan komponen proses sosial atau dinamika sosial terkait dengan siapa seseorang berbagi kekerasan, mendapatkan justifikasi ideologi dan bagaimana memprosesnya untuk meraih tujuan

E. Metode Penelitian Pendekatan Penelitian

Peneliti memandang bahwa pendekatan kualitatif adalah pendekatan paling tepat dan relevan yang bisa digunakan dalam penelitian in. Hal itu karena tema penelitian ini yaitu deradikalisasi dan disengagement adalah tema yang langka dan sulit serta tidak banyak dialami oleh banyak teroris termasuk di Indonesia.

Disain Penelitian

Penulis memilih disain grounded theory sebagai disain penelitian dengan beberapa alasan: Pertama, penelitian tentang meninggalkan jalan teror ini berkaitan dengan proses sosial atau aksi sosial dengan penekanan pada pertanyaan: apa yang terjadi dan bagaimana orang-orang saling berhubungan satu sama lain. (Charmaz, 2006; Sbaraini, Carter, Evans, & Blinkhorn, 2011). Kedua, penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan dan mengembangkan suatu teori yang menjelaskan tentang meninggalkan jalan teror (deradikalisasi dan disengagement) yang menjadi concern dan perhatian banyak orang. Ketiga, sebagai metode yang menekankan penemuan dan pengembangan teori dari data empirik di lapangan, grounded theory atau grounded research dianggap mumpuni untuk dijadikan sebagai alat dalam menjelaskan deradikalisasi dan disengagement pada mantan teroris yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah.

Subyek Penelitian

Para subyek penelitian diambil dari kalangan kalangan anggota Jamaah Islamiyah Indonesia dan mantan aktivis Islam radikal lainnya yang dianggap memahami dan bisa menjelaskan perihal kaum jihadis di Indonesia, misalnya mantan anggota NII.

Untuk menggenapkan dan menyempurnakan data penelitian ini, peneliti juga memilih sejumlah individu terkait (stakeholder masalah terorisme) yang dianggap mengetahui masalah terorisme di Indonesia seperti pejabat mabes polri, para petinggi dan staff Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terutama yang membawahi bidang deradikalisasi, Densus 88 Mabes Polri dan LSM yang bekerja dalam bidang penanggulangan terorisme. Mereka dipilih untuk dimintakan masukan dan pendapat mengenai para teroris atau mantan teroris yang bisa diakses dan bisa diwawancarai untuk keperluan penelitian ini. Selanjutnya mereka akan disebut sebagai narasumber penelitian.

Kriteria Subyek Penelitian

Subyek penelitian terdiri dari 5 orang dengan sejumlah kriteria yang sesuai dengan tema dan tujuan penelitian, yaitu:

1. Pelaku teror yang pernah menjadi anggota Jamaah Islamiyah dan pernah terlibat dalam aksi teror atau pelatihan militer, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

2. Menyatakan diri atau dinyatakan telah mengungkapkan penyesalan atas keterlibatan di dalam aksi teror dan keanggotaan dalam jaringan Jamaah Islamiyah.

(23)

11 Informan Penelitian

Untuk memperkuat informasi dan data, sekaligus sebagai penerapan dari tehnik triangulasi maka dipilih sejumlah narasumber peneliti yang berjumlah lebih dari 20 orang. Para subyek terdiri dari lingkaran terdekat para mantan teroris yang menjadi subyek utama seperti keluarga dan kerabat, teman dan sesama anggota Jamaah Islamiyah, mantan anggota Negara Islam Indonesia yang mengerti tentang gerakan Islam radikal di Indonesia, kaum radikal dari kalangan Kristen di Poso, aparat kepolisian, aktivis LSM yang bergerak di bidang deradikalisasi dan disengagement, serta tokoh dan pegiat BNPT. Pengumpulan informasi dan data dari para narasumber dilakukan dengan wawancara, fokus group discussion (FGD) atau perbincangan informal.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik wawancara, pengamatan partisipatif, dan analisis dokumen termasuk dokumen yang tersimpan di situs internet atau media sosial

Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik grounded theory.

F. Hasil Penelitian

Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian berisi gambaran subyek, tema-tema yang diperoleh terutama melalui hasil wawancara dengan para subyek penelitian melalui proses open coding, dan tema inti atau kategori utama (hasil dari proses axial coding)

Gambaran Singkat Subyek Penelitian

Pendidikan SMA Pesantren Pesantren STM dan LPBA SMA

Pelatihan Militer

Afganistan Afganistan Tidak ada Afganistan Afganistan

Posisi Anggota Ketua Mantiqi Anggota Penasehat mantiqi Anggota

Keterlibatan

Meninggalkan jalan teror diwujudkan dengan melakukan banyak hal yang relevan dengan upaya mengurangi aksi teror dan kekerasan berbasis agama. Hal itu dilakukan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kapasitas subyek penelitian.

(24)

12

mempertimbangkan kepentingan umat Islam dan masyarakat Indonesia maka NA akhirnya menerima.

Subyek lain, AA menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, ia memutuskan untuk membantu pemerintah melalui BNPT agar generasi muda selamat dari jeratan ekstrimisme dan radikalisme keagamaan yang dapat mendorong mereka ke dalam terorisme. Pilihan membantu BNPT dalam menyadarkan para yuniornya dalam gerakan Islam radikal bukan tanpa resiko. AA dikecam dan dimusuhi oleh para aktivias gerakan Islam radikal karena dianggap bersekutu dengan thogut.

Sebagian dari subyek penelitian yang memutuskan meninggalkan jalan kekerasan memilih cara lain yang lebih rasional untuk memberi makna dan kemanfaatan bagi umat Islam. Media dakwah dan taklim dipilih karena dianggap strategi yang paling tepat dan tuntunan dari senior mereka dalam gerakan Islam sebagaimana dinyatakan AA. Id, subyek lain yang bermukim di Pekanbaru menyatakan akan berdakwah dan taklim di lingkungan keluarga terdekat. Sebab, selama bergelut dengan dunia jihad, waktunya tersita sehingga menyebabkan dirinya kurang perhatian terhadap anak dan isteri.

AI menyatakan bahwa dialog dan diskusi tentang pemahaman jihad dan bagaimana pelaksanaannya yang tepat dan sesuai dengan kaidah fikih merupakan kegiatan yang akan dia lakukan selama berada di penjara. Sementara UP menyebutkan bahwa dirinya ingin berkumpul dengan keluarga dan menjadi orang Islam yang baik sesuai dengan aturan negara dan pemerintah. Bentuk atau pola meninggalkan jalan teror pada subyek penelitian dapat digambarkan dalam bentuk matrik berikut ini.

Tabel 2. Pola meninggalkan jalan teror

Subyek Gambaran meninggalkan jalan teror

AI Tetap menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak kekerasan atas nama jihad

AA Keluar dari Jamaah Islamiyah dan membantu BNPT dalam kegiatan deradikalisasi

NA Keluar dari Jamaah Islamiyah dan membantu pemerintah dalam melawan teror yang

mengatasnakamakan Islam

UP Ingin mengikuti aturan NKRI

Id Ingin mengajar kajian keislaman, tetapi tidak menyatakan keluar atau tetap bertahan di dalam Jamaah Islamiyah

Keterangan: Kategori 1 (AI), kategori 2 (AA, NA dan UP), dan kategori 3 (Id)

Berdasarkan tabel 2 meninggalkan jalan teror dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tetap menjadi anggota Jamaah Islamiyah tetapi menolak jalan teror, keluar dari Jamaah Islamiyah dan melakukan gerakan deradikalisasi, dan tidak jelas keanggotaannya dalam Jamaah Islamiyah tetapi menolak jalan teror.

Proses Meninggalkan Jalan Teror

Proses meninggalkan jalan teror digambarkan melalui tahap evaluasi kelompok dan evaluasi individual yang kemudian melahirkan perubahan pandangan tentang konteks tempat dan waktu berjihad dan perubahan sikap terhadap musuh. Sebelum evaluasi terkait bom Bali 1, tempat dan waktu berjihad tidak menjadi pertimbangan utama tetapi setelahnya, waktu dan tempat benar-benar menjadi pertimbangan dalam menentukan keterlibatan dalam jihad.

Evaluasi kelompok versus evaluasi personal

Evaluasi atas aksi bom Bali 1 dibagi menjadi dua bagian yaitu evaluasi kelompok yang dihadiri oleh tim eksekutor bom Bali 1 dan orang-orang yang terkait secara tidak langsung dengan pelaksanaan amaliah. Setelah bom meledak di Bali, para pelaku berkumpul di rumah kontrakan AM di Solo bersama anggota Jamaah Islamiyah lainnya yang tidak terlibat langsung. Pertemuan

itu semula hanya untuk merayakan “keberhasilan” peledakan bom di Bali, tetapi ternyata juga

untuk melakukan evaluasi kolektif atas pelaksanaannya.

(25)

13

melakukan ntisipasi yang diperlukan seperti melarikan diri sejauh mungkin dari kejaran aparat keamaan. Oleh karena itu, setiap orang dibekali uang Rp. 500.000 untuk biaya di persembunyian. Ketika AI dan Amrozi datang dari Lamongan ke Solo, UP telah terlebih dahulu ada di rumah kontrakan bersama IS dan AM. UP yang dikenal sebagai ahli intelijen dan penyamaran mengusulkan agar melakukan antisipasi jika polisi melakukan penangkapan besar-besaran terhadap anggota Jamaah Islamiyah. Subyek yang lain, NA dan AA tidak berada di tempat pertemuan karena mereka tidak tahu sama sekali tentang bom Bali. NA dan AA berada di lokasi lain. NA menceritakan situasi pengejaran dan penangkapan oleh aparat kepolisian terutama densus 88 pada saat itu. Itulah yang menjadi pemicu mengapa ia harus bermigrasi atau berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

AA juga menceritakan situasi pasca bom Bali saat mana aparat Densus 88 menangkap siapapun yang pernah melakukan kontak dengan para pelaku utama bom Bali yang telah tertangkap seperti Mukhlas dan Amrozi atau orang yang diduga menjadi anggota Jamaah Islamiyah. Melihat situasi itu, AA berusaha bersembunyi dari kejaran aparat Densus 88 walaupun ia merasa tidak pernah terlibat dalam aksi bom apapun di Indonesia.

Selain evaluasi kelompok, evaluasi yang bersifat individual juga dilakukan oleh subyek penelitian. AI melakukan perenungan dan evaluasi selama pelarian dan pengejaran oleh aparat Densus 88, mulai dari rumahnya di Tenggulun Lamongan Jawa Timur sampai ujung timur Pulau Kalimantan. Perenungan dan evaluasi diri itu membawanya menuju penyesalan yang mendalam atas tragedi Bom Bali yang menewaskan banyak orang yang tidak berdosa. Perenungan dan evaluasi juga dilakukan Id dalam pelarian dan persembunyiannya dari kejaran Densus 88. Id membayangkan betapa menderitanya para korban yang cacat tetapi tidak terkait dengan tujuan dirinya dan kelompoknya. Pengalaman merasakan penderitaan para korban diduga menjadi pemicu Id harus mengevaluasi diri atas apa sepak terjangnya di dunia teror.

Berbeda dengan AI dan Id yang terlibat langsung dalam kasus bom Bali, NA yang juga merupakan anggota dan petinggi JI tidak terlibat langsung. Kendati demikian, NA justru merasakan dampaknya. NA harus melarikan diri karena Densus 88 dan aparat kepolisian melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap semua anggota dan petinggi Jamaah Islamiyah tanpa pandang bulu. NA banyak mengalami kesulitan dalam pelarian. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi NA, seperti kesulitan berkomunikasi dengan isteri dan anak-anaknya setelah tertangkap aparat Densus 88 membawanya kepada kesimpulan bahwa keterlibatannya sebagai aktivis pergerakan Islam radikal seperti Jamaah Islamiyah tidak tepat. Sebagai salah satu petinggi Jamaah Islamiyah, NA tidak pernah setuju dengan penggunaan aksi bom dan kekerasan lainnya seperti fai (mengambil rampasan perang dengan merampok) sebagai cara memperjuangkan Jamaah Islamiyah.

Sementara AA memiliki cerita lain. Seperti NA, AA juga tidak dilibatkan dalam Bom Bali 12 Oktober 2002. Sebagai salah satu petinggi JI, AA sejak lama menyimpan benih ketidakpuasan terhadap sepak terjang Jamaah Islamiyah. Ketidakpuasannya terutama menyangkut perubahan arah perjuangan Jamaah Islamiyah yang semula dalam jangka pendek dan menengah ditujukan untuk kepentingan dakwah dan idad serta penanaman ideologi, tetapi diubah untuk berjihad dan aksi kekerasan.

Kisah yang menarik juga dijelaskan oleh UP. UP adalah pelaku Bom Bali I yang paling akhir ditangkap. UP menjelaskan, setelah melaksanakan aksi bom Bali ia segera melarikan diri dan bersembunyi di berbagai tempat termasuk ke Filipina dan menikahi gadis setempat. Kemudian bersama isterinya ia melanjutkan pelarian ke Afganistan. Menurut UP, keputusannya ke Afganistan sebagai hasil evaluasi diri yang mengantarkannya pada kesimpulan bahwa ia tidak boleh lagi melaksanakan jihad di luar wilayah konflik seperti Bali. Banyak korban tidak berdosa dari bangsa sendiri yang berjatuhan dan menimbulkan nestapa bagi keluarga mereka. Hal itu mendorongnya ke dalam satu titik di mana UP harus melakukan evaluasi diri terkait perjuangannya dalam gerakan Islam.

(26)

14

Tabel 3 Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek

Subyek Evaluasi Kelompok Evaluasi Individual

Id Bom Bali lebih banyak

mudharat dibanding manfaat

Menyesal, banyak korban tidak berdosa.

AI Banyak kesalahan dalam tahap

perencanaan dan praktek

NA Mengapa banyak kesulitan dihadapi pasca bom Bali 1

AA Sering tidak setuju dengan teman-temanya, harus segera

keluar dari JI dan memilih jalur dakwah

Berdasarkan tabel 3 ada dua subyek yang tidak mengikuti evaluasi kelompok karena keduanya tidak menjadi eksekutor langsung bom Bali 2, sedangkan ketiga lainnya adalah pelaku bom Bali dan oleh karenanya ikut dalam evaluasi kelompok, sedangkan evaluasi individual dilakukan oleh kelima subyek di tempat pelarian atau di tempat persembunyian.

Perubahan Penilaian tentang Konteks Jihad

Hasil evaluasi yang lama dan proses menyerap makna dari pengalaman beraktivitas di Jamaah Islamiyah adalah munculnya perubahan penilaian tentang konteks jihad. Perubahan penilaian tentang konteks jihad dialami oleh pelaku teror. Misalnya, AI yang semula menganggap Indonesia sebagai tempat jihad yang sah dengan indikasi keterlibatannya dalam berbagai aksi pengeboman seperti bom Filipina dan bom Bali, pada akhirnya berpandangan bahwa Bali bukan tempat yang tepat untuk pelaksanaan jihad. Perubahan itu menggambarkan dinamika berpikir AI tentang bagaimana menerapkan jihad.

NA yang pernah memimpin mantiqi 3 (Poso dan Philipina) berpandangan bahwa Hambali dan kawan-kawan yang terlibat dalam berbagai aksi pengeboman di Indonesia, mulai dari bom natal 2000, bom kedubes Philipina, bom Bali dan bom Mariot tidak sabar menunggu waktu yang tepat untuk menggelorakan jihad. Dalam pandangan NA, persiapan secara ekonomi dan keuangan perlu disiapkan, oleh karena itu, Poso sebagai bagian dari mantiqi 3 yang NA pimpin direncanakan menjadi sentra ekonomi dan keuangan untuk membiayai aktivitas Jamaah Islamiyah. Tim ekonomi dan tim dakwah Jamaah Islamiyah menyiapkan situasi dan kondisi sampai datang waktu berjihad.

DaIam pandangan NA, idad bukan hanya mencakup persiapan yang bersifat militeristik tetapi juga persiapan secara finansial dan ekonomi. Hal itu karena gerakan Islam seperti Jamaah Islamiyah membutuhkan dana operasional yang tidak sedikit. Keinginan dan rencana NA, salah satu mantan petinggi Jamaah Islamiyah yang sekarang berbalik melawan teman-temanya sesama anggota Jamaah Islamiyah untuk menjadikan Poso dan sekitarnya sebagai zona aman (qaidah aminah), tidak mendapatkan tanggapan positif dari pimpinan pusat JI di Pulau Jawa. Meledaknya Bom Bali membuat rencana baik tersebut menjadi hancur berantakan. Bahkan, bukan hanya itu, seluruh jaringan kerja Jamaah Islamiyah dilumpuhkan oleh aparat kepolisian dengan melakukan pengejaran dan penangkapan.

Id menyatakan bahwa jihad adalah perang. Tidak ada pengertian lain jihad di luar perang. Di belakang hari, Id dan kawan-kawan menyadari bahwa pelaksanaan jihad di Bali tidak sesuai konteks waktu dan tempat menurut fikih jihad yang mereka pelajari. Konsekuensi dari kesalahan menentukan konteks jihad adalah kegagalan karena bertentangan dengan apa yang dikehendaki Islam tentang jihad.

Gambar

Gambaran Singkat Subyek Penelitian Tabel 1.Profil subyek  penelitian  AI NA
Tabel 3 Evaluasi kelompok dan individual yang dilakukan subyek Subyek Evaluasi Kelompok Evaluasi Individual
Tabel 4. Perubahan pandangan tentang konteks jihad Subyek Pandangan semula
Tabel 7.Identitas Kelompok versus Identitas Personal No Subyek  Identitas kelompok sebelum bom
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kelebihan dari LBS yang telah terintegrasi dengan sistem SCADA via Remote Control Motorized yakni mempunyai kemampuan kontrol jarak jauh dengan prinsip kerja yaitu

Hasil deployment terbaik diperoleh pada proses deployment menggunakan daya pancar -25 dB dengan pencapaian jarak antara dua node sensor maksimal tetapi daya yang

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara efikasi diri dan dukungan keluarga dengan perilaku koping siswa tidak

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain. Jika skripsi

Schubungan dcngan hal tcrscbut kami mnhon ij in dan bantuan bagi mahasiswa yang bcrsangk ulan agar dapat mcnyebarkan angkct di tcmpat yang Bapak/1 bu pi m pin.

Cara pembuatan gel adalah dengan melarutkan gel bubuk yang khusus digunakan untuk elektroforesis pada erlenmeyer,pada kemudian di cetak pada cetakan khusus yang telah

Indikator dari adanya iman kepada Allah adalah rajin shalat, dzikir, berdo’a dan rajin melakukan ibadah lainnya. Indikator nilai iman kepada Allah dapat dilihat dari

Diberikan tugas melakukan pengukuran tentang volume dan luas sebuah benda siswa diharapkan dapat menunjukkan prilaku.. Memiliki rasa ingin tahu tentang cara menentukan volume