• Tidak ada hasil yang ditemukan

representasi kolonialisme dalam tjerita a25289df

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "representasi kolonialisme dalam tjerita a25289df"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM

TJERITA NJI PAINA

KARYA H. KOMMER

REPRESENTATION OF COLONIALISM IN “TJERITA NJI PAINA” BY H. KOMMER

Diah Meutia Harum

Kantor Bahasa Provinsi Lampung

Jalan Beringin II No. 40 Kompleks Gubernur Telukbetung, Bandarlampung, Indonesia Telepon (0721) 486407, Faksimile (0721) 486408

Pos-el: dmharum@gmail.com

Naskah diterima: 28 Juli 2017; direvisi: 3 Desember 2017; disetujui: 14 Desember 2017

Abstrak

Karya H Kommer yang berjudul “Tjerita Nji Paina” ini bercerita tentang represen-tasi dan perlakuan kaum kolonial terhadap pribumi di masa penjajahan Belanda. H.

Kommer adalah salah satu penulis di zaman Hindia Belanda yang sering mengkritik

pemerintah pendudukan Belanda, khususnya terhadap kaum pengusaha gula. Karya-karyanya menyuarakan perlawanan terhadap pengusaha gula yang menindas pekerja pribumi di masa itu. Rumusan masalah penelitian ini untuk mengungkapkan representasi kolonial Belanda melalui penokohannya dan memahami mekanisme tatanan kolonial antara penjajah dan bangsa jajahannya yang melahirkan hegemoni dan dominasi di antara kedua oposisi biner. Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode pustaka dengan teknik baca catat. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan pengungkapan gambaran kolonialisme melalui deskripsi tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita ini, yang dianalisis dengan menggunakan teori penokohan. Teori poskolonial digunakan untuk mengungkap-kan fakta cerita dalam cerita pendek ini. Metode penelitian yang digunamengungkap-kan adalah analisis deskriptif dengan teknik interpretatif. Hasil dan pembahasan ini menunjukkan bahwa setiap tokoh merepresentasikan oposisi biner, superior, dan inferior dalam masyarakat kolonial di Hindia Belanda pada masa itu. Cerpen “Tjerita Nji Paina”memperlihatkan hegemoni dan dominasi yang mendapat legitimasi dari penguasa Belanda, yang memperdaya tokoh Niti sebagai bawahan di pabrik gula melalui Tokoh Tuan Briot untuk menyerahkan anak gadisnya menjadi nyai atau gundik. Dominasi dan hegemoni terhadap perempuan juga tampak pada penokohan Nji Paina yang diposisikan sebagai liyan karena ia seorang pribumi sekaligus juga perempuan yang tidak memiliki suara. Oleh karena itu, melalui tokoh-tokoh pribumi dalam cerpen ini dapat dilihat bentuk representasi kolonial Belanda terhadap penjajahan pribumi.

Kata kunci: representasi, poskolonialisme, pribumi, dominasi, hegemoni

Abstract

(2)

and dominance between the two binary opposition. The data collection method used litera-ture method with reading technique. This type of research is descriptive qualitative about the expression of colonialism through the description of the characters contained in this story, which is analyzed using the theory of characterization. Postcolonial theories are used to reveal the facts of the story in this short story.The research method used is descriptive analysis with interpretative technique. The results shows that each character represents the binary, superior, and inferior opposition in colonial society in the Dutch East Indies at that time. “Tjerita Nji Paina” short story shows the hegemony and domination that has been legitimized by the Dutch ruler, who deceived Niti’s character as a subordinate in the sugar mill through Mr. Briot’s token to hand over his to be a concubine or mistress. Domination and hegemony against women also appears in Nji Paina’s stance as ‘other’ because she as well as a woman who has no voice. Therefore, through indigenous character in this short story can be seen the form of Dutch colonial representation of indigenous occupation.

Keywords: representation, postcolonialism, pribumi, dominance, hegemony

PENDAHULUAN

Dalam rentang ratusan tahun penjajahan, bangsa Indonesia mengalami penderitaan di bawah jajahan pemerintahan kolonial Belanda. Di masa-masa pendudukan itulah, karya-karya sastra Hindia Belanda berkembang. Kisah-kisah yang berasal dari awal abad ke-20 di Indonesia tentunya berkaitan erat dengan masa

pendudukan Belanda. Pada zaman itu,

karya-karya sastra banyak ditulis oleh sastrawan yang didominasi oleh pengarang keturunan Belanda dan pengarang peranakan Cina. Literatur di masa itu cenderung membawakan tema seputar kehidupan masyarakat kolonial Belanda dan pribumi di Indonesia. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar yang umum dipakai masyarakat pada masa itu.

Genre yang paling umum ditulis pada

zaman itu adalah karya sastra dalam bentuk

cerita pendek dan puisi. Hal ini disebabkan oleh jenis cerita pendek ataupun puisi yang lebih mudah untuk dipublikasikan di majalah mingguan atau bulanan dan ini berlaku hingga tahun 1970-an. Penulisan cerita pendek dan puisi ini umumnya diterbitkan di surat kabar. Penerbitan dalam bentuk buku semacam novel amat jarang ditemui. Bahkan, proses penerbitan yang memakan waktu

yang lama hingga lima sampai sepuluh tahun sampai sebuah karya sastra dapat diterbitkan (Sumardjo, 2004, hlm. 4).

Berbicara tentang sastra di awal abad ke-20, tidak dapat lepas dari operasi kekuasaan kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi. Cara pandang penjajah terhadap koloninya berpengaruh pada setiap elemen masyarakat yang berkuasa terhadap jajahannya. Cerpen Tjerita Nji Paina yang dimuat dalam antologi sastra pra-Indonesia yang dikumpulkan oleh Pramoedya Ananta Toer (2003), mengisahkan tokoh utama yang bernama Niti Atmojo dan anak perempuannya Nji Paina. Diceritakan bahwa Niti Atmojo adalah seorang pribumi dari suku Jawa yang memiliki kehidupan serba lumayan karena pekerjaannya di sebuah pabrik gula. Dalam pengantar buku antologi yang disusun oleh Toer (2003) tersebut dijelaskan bahwa karya H. Kommer yang berjudul lengkap Tjerita Nji Paina”-Satoe Anak Gadis jang Amat Berboedi dan Satiawan, pertama kali dicetak pada tahun 1900 di percetakan A. Veit & Co, Batavia.

(3)

Betawi pada tahun 1900. Beberapa ulasan disampaikan terhadap karya Kommer dalam karyanya “Tjerita Nji Paina”karena dianggap telah melancarkan kecaman tajam terhadap kaum gula, yang justru pada saat itu menjadi tulang punggung pemerintahan kolonial Belanda. Seorang pengamat pada masa itu, W.V. Sykorsky (1980, hlm. 136) mengatakan bahwa tulisannya ini mengandung nada anti kolonial dan sosial. Dengan membaca kisah Nji Paina, kita dapat memperoleh

gambaran tentang Jawa di zaman kolonial

dan ketidakadilan sosial yang terjadi di segala tingkat, juga gambaran tentang feodalisme Jawa.

Kisah “Tjerita Nji Paina” yang dikarang oleh H. Kommer ini berkisah tentang kuasa penjajah terhadap jajahannya. Selama ini telah ada beberapa penelitian yang dilakukan terha-dap novel Nji Paina diantaranya dilakukan oleh Andri R.M. (2015) dengan judul Feminisme Dalam Prosa Lama “Tjerita Nji Paina” Karan-gan H. Kommer, dalam tulisannya, ia mengam-bil premis tentang “Tjerita Nji Paina” bahwa kesediaan Paina menjadi nyai demi sang ayah adalah bentuk aksi yang menyatakan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk bertindak dan memutuskan sesuatu tidak hanya berdasar-kan pada orientasi tubuh semata. Perempuan yang berdasarkan budaya patriarkat selalu ditempatkan dalam posisi inferior ternyata mampu menyelamatkan dan melindungi laki-laki, golongan yang selama ini menyudutkan-nya dengan kelemahan dan keterbatasan yang perempuan miliki. Selain itu, ada pula peneli-tian yang dilakukan oleh Pujiharto dkk. (2014) yang berjudul Identitas Pra-Indonesia Dalam Cerita-Cerita Pra-Indonesia. Tulisan tersebut membahas tokoh Nji Paina yang sadar diri akan ketertindasannya dan kemudian melakukan perlawanan terhadap yang menindas dan per-lawanannya pun berhasil.

Ada pula penelitian Maier (1990, hlm.172) yang menyatakan bahwa Kommer tidak

me-nampilkan tokoh nyai untuk menunjukkan adanya pertentangan rasial, tetapi untuk me-nyadarkan para pembaca akan ketidakadilan so-sial di sekitarnya, dan kedua untuk membebas-kannya dari ketergantungan ‘sindrom Caliban’ (sindrom yang disebutkan oleh Shakespeare tentang kepribadian yang saling beroposisi, baik-buruk, terang ataupun gelap).

Penelitian ini mengungkapkan bahwa bagaimana seorang pribumi yang berposisi sebagai inferior mengalami kekerasan dalam keluarga dan masyarakat. Hegemoni itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan kerangka pemikiran individu yang dibentuk oleh tatanan masyarakat patriarkat, dan mendapat legitimasi dalam sistem kolonial. Dipilihnya cerpen Tjerita Nji Paina

berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, cerpen Tjerita Nji Paina merupakan karya yang kaya dan sarat makna tentang kemanusiaan; kedua cerpen Tjerita Nji Paina” ini salah satunya berbicara tentang poskolonialisme yang merepresentasikan oposisi biner, superior dan inferior yang beroperasi dalam kehidupan tokoh utama dalam cerita ini, yaitu Briot, Niti dan Nyi Paina. Cerpen tersebut dianalisis dengan beberapa teori, yaitu pertama, teori penokohan. Kedua, teori poskolonialisme milik Edward Said untuk mengungkap fakta yang terdapat dalam cerpen “Tjerita Nji Paina”.

(4)

apabila cerita berkaitan dengan peran abstrak maka narasi melibatkan konkretisasi dari penceritaan dengan melihat berbagai unsur di dalamnya. Bagaimanakah sebuah penokohan direpresentasikan dalam narasi menjadi sebuah pertanyaan utama dalam membedah sebuah cerita. Melalui analisis penokohan dapat melihat bagaimana penokohan ini dapat menjalin menjadi sebuah teks. Ada beberapa metode yang dapat diterapkan dalam menganalisis penokohan.

Konsep dasar poskolonial didasarkan pada pemikiran Said (1977, hlm. 54) yang mempermasalahkan wacana tentang Timur sebagai sumber pengetahuan yang berlandaskan ideologi dan kepentingan kolonial. Wacana ini didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaga dan disebarluaskan sebagai suatu ilmu pengetahuan baru yang membatasi dirinya pada pengetahuan tentang tanah jajahan. Wacana tersebut menciptakan mitos dan stereotip tentang Timur yang dikontraskan dengan Barat. Hal itu merupakan cermin negatif untuk membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban.

Kaum kolonial menciptakan dan memben-tuk serangkaian wacana tentang masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi sendiri akhirnya menerima wacana tersebut sebagai suatu ketetapan dan kebenaran yang memengaruhi hidupnya. Di sisi lain, ukuran nilai antara pen-jajah dan terpen-jajah tentunya tidak sama dan yang diterima oleh kaum pribumi adalah nilai-nilai yang dianut oleh kaum penjajah.

Boehmer dalam Hartono (2005, hlm.3) menjelaskan bahwa poskolonial bisa dipahami sebagai efek tekstual atau strategi pembacaan. Secara praktis postkolonial bekerja dalam dua tataran. Pada tataran pertama, postkolonial diartikan sebagai upaya untuk menjelaskan postkolonialisme yang melekat pada teks-teks tertentu. Pada tataran kedua, poskolonial diartikan sebagai upaya untuk menyingkap dan membongkar (dekonstruksi) kekuasaan

kolonialisme yang teraktualisasi dalam wacana sastra poskolonial. Wacana sastra poskolonial adalah wacana sastra yang melihat secara kritis hubungan kekuasaan yang terjadi dalam sistem kolonialisme yang terlihat dalam teks-teks sastra. Secara umum sastra poskolonial menunjuk pada semua praktik penulisan dan pembacaan tentang pengalaman-pengalaman kolonial yang terjadi di luar Eropa sebagai akibat ekspansi dan eksploitasi yang dilakukan oleh bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa lain.

Era kolonialisme menghadirkan dominasi dalam hal apapun, dan cenderung melahirkan ketidaksetaraan karena satu pihak ingin mengontrol pihak lainnya. Kecenderungan tersebut terlihat dari posisi superior-inferior antara kedua belah pihak. Dengan demikian terjadi relasi tidak seimbang, salah satu menduduki posisi subordinat. Dalam masyarakat kolonial, dominasi terjadi dalam relasi majikan dan hamba. Pihak yang lebih kuat dalam hal ini adalah majikan menginternalisasikan visi dominan mereka dan menyesuaikannya dengan kehendak mereka. Tulisan ini mencoba membongkar praktik kolonialisme terhadap pribumi yang menghasilkan dominasi dan kekerasan. Hal tersebut akan diungkap melalui penokohannya, yaitu tokoh Niti, Briot, dan Nji Paina sendiri. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu wawasan untuk mengetahui posisi perempuan di Indonesia yang kebanyakan masyarakatnya menganut sistem patriarkat.

METODE

(5)

secara logis. Unsur-unsur pembentuk struktur dianalisis dan dimaknai dalam kaitan dengan pengungkapan relasi kuasa pada cerita pendek ini.

Sumber data dalam penelitian ini adalah cerita pendek berjudul “Tjerita Nji Paina”. Dalam penelitian kualitatif, data formal menurut Ratna (2004, hlm. 24) adalah kata-kata, kalimat, dan wacana. Untuk itulah, wujud data dalam penelitian ini berupa kata-kata, frasa, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam cerpen “Tjerita Nji Paina” karya H. Kommer. Langkah-langkah yang dilakukan adalah mengumpulkan data kualitatif berupa latar kolonial dan representasi yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang terdapat dalam teks. Pendeskripsian ini dilakukan dengan mengkaji salah satu unsur pembentuknya, yaitu tokoh dan penokohan.

Metode yang digunakan adalah metode analisis data. Data yang diperoleh dari cerita pendek Tjerita Nji Paina dianalisis dan diinterpretasi lalu dideskripsikan agar didapatkan pemahaman yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Teknik yang dilakukan adalah dengan mengadakan studi kepustakaan untuk mendapatkan data kolonialisasi dari teks cerpen melalui penggambaran dan dialog tokoh. Selanjutnya

mengindentiikasi data yang diperoleh yang

berkaitan dengan representasi poskolonial dan pada akhirnya merumuskan simpulan penelitian tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cerita pendek “Tjerita Nji Paina” mengambil tempat di Pulau Jawa di tahun 1900-an berkisah tentang keluarga Niti yang memunyai dua orang anak, salah seorang di antaranya bernama Nyi Paina. Niti adalah seorang pekerja di pabrik gula milik Belanda. Ia diserahi tanggung jawab menulis buku keuangan pabrik sehingga upah yang didapatkannya pun cukup besar. Dengan keuangan yang memadai, Niti

hidup berkecukupan bersama keluarganya. Permasalahan bagi Niti dimulai ketika pabrik tempat Niti bekerja berganti kepemilikan.

Sabermoela di tjeritaken, adalah satoe roemah ketjil di desa Poerwo di tanah Djawa Wetan, poenjanja saorang Djawa, bernama Niti Atmodjo, djoeroetoelis fabriek goela, dan roemah itoe ada terdiri di bawah satoe boekit, iang adanja di pinggir kali, iang tiada dalam airnja. Di roemah itoe, Niti tinggal sama istri dan anak-anaknya, laki-laki dan prampoean (Toer, 2003, hlm. 377).

Selanjutnya, pembahasan difokuskan pada karakter dalam cerita pendek “Tjerita Nji Paina”. Teori penokohan digunakan untuk melihat karakter tokoh yang terdapat dalam cerita pendek ini dan alasan yang melegitimasi mereka untuk melakukan hegemoni dan dominasi terhadap oposisi biner.

Penokohan Cerpen “Tjerita Nji Paina”

Ada beberapa penokohan utama dalam cerpen “Tjerita Nji Paina”. Tiga tokoh utama yang menjadi sentral penceritaan adalah Niti, Tuan Briot, dan Nji Paina. Berikut karakteristik masing-masing tokoh utama penelitian ini.

Penokohan Niti Atmodjo

Niti Atmodjo adalah seorang pekerja di sebuah pabrik gula milik Belanda. Ia adalah seorang pekerja keras dan jujur sehingga kariernya di pabrik gula cukup cemerlang. Niti dipercaya oleh administratur pabrik gula untuk mengisi buku besar keuangan. Pekerjaannya cukup memuaskan sehingga Niti diberi gaji yang cukup besar bagi pegawai dari golongan pribumi di masa itu.

(6)

pabrik dari pekerja-pekerja yang suka berbuat curang.

“Maka Niti Admodjo sampei sekarang ini ada hidoep beroentoeng sekali. Ia sendiri dapet gadjih f 60 seboelan, dan gajih itoe boleh di kata betoel banjak, djikaloe di piker iang pada waktoe itoe ada moesin soesah” (Toer, 2003, hlm. 378).

Niti hidup berada berkat keuletannya dalam bekerja sehingga kehidupan keluarganya tercukupi dan harmonis. Kesuksesan Niti dalam pekerjaan meningkatkan status sosialnya dalam masyarakat. Keberadaan Niti di pabrik dengan posisi penting yang diberikan oleh administratur membuat Niti sering dimintai tolong oleh kerabatnya untuk memasukkan mereka untuk bekerja di pabrik gula.

Soedah 15 taon Niti kerdja di fabriek itoe, maka koeliling ia telah berkenal pada semoea orang iang kerdja di fabriek dan pada bebrapa orang iang dateng dari tempat djaoeh aken mentjari pekerdjahan (Toer, 2003, hlm. 378).

Sampai suatu saat, pabrik tempat Niti bekerja mengalami kebangkrutan sehingga pabrik gula itu dijual. Sementara itu, administratur dan beberapa orang kepercayaan pergi mencari pekerjaan baru. Pemilik pabrik yang baru pun menunjuk administratur baru.

Pengelola yang baru ini rupanya adalah seorang Belanda yang kikir, ia menganggap para pekerja pabrik gula itu dibayar terlalu tinggi oleh pemilik sebelumnya. Niti menjadi sasaran ketidaksukaan administratur yang baru karena dianggap pekerjaannya terlalu ringan, tetapi gaji yang diterima terlalu besar. Administratur baru memanggil para pekerjanya untuk memberikan tugas-tugas baru yang lebih berat dari pada biasanya.

Niti dengan tipikal watak Jawanya hanya bisa patuh ketika ia diserahi pekerjaan yang jauh lebih berat. Prinsip hidup orang Jawa yang

banyak pengaruhnya terhadap ketentraman hati ialah ikhlas (nrimo). Dengan prinsip ini, orang Jawa merasa puas dengan nasibnya. Apapun yang sudah terpegang di tangannya dikerjakan dengan senang hati.

Kehormatan ia boleh dapet, kerna orang iang dipertjajaken satoe kas di dalem satoe fabriek, nistjaja orang itoe dihormati oleh koeli-koeli tiada maoe-maoenja. Aken tetapi perkara pegang kas boleh membikin soesah pada Niti, djikaloe ia tiada maoe kakoerangan satoe cent, dan kaloe ada kakoerangan satoe cent, tentoe djoeroe pegang boekoe nanti timboel marahnja jang amat besar. Niti sudah mengarti ini hlm. Maka takoetnja soedah djadi satoe dengan kebentjiannja pada Toean Briot dan seboleh-boleh Niti maoe djaga, soepaja tiada djadi roesoeh (Toer, 2003, hlm. 381).

Nrimo berarti tidak menginginkan milik orang lain serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain. Mereka percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu (Herusatoto, 2008, hlm. 68).

Bahkan Tuan administratur menunjuk seorang Belanda yang kasar perangainya untuk mengawasi Niti. Selama ini Niti telah terbiasa dengan tugas lama yang biasa diembannya, tetapi sekarang harus mendapat tugas tambahan untuk membayar upah kuli harian dan berada di bawah pengawasan Tuan Briott, mandor yang diberi wewenang untuk mengawasi para pekerja pabrik. Penderitaan Niti dimulai ketika Briott ditunjuk sebagai atasannya langsung, dari sinilah segala permasalahan menimpa keluarga Niti.

Penokohan Briot

(7)

tugasnya membayarkan upah buruh harian yang bekerja di pabrik gula itu.

Tiada lama. Datenglah satoe toean iang tegap badannja dan moekanja bengis bolong-bolong, tiada disoekai orang, serta ramboetnya ada amat kasar, maka toean ini berdiri di hadapan administrateur beberapa lamanja. (Toer, 2003, hlm. 380).

Briott dikenal suka mabuk-mabukan. Ia dipercaya menjadi mandor yang mengawasi para pekerja di pabrik gula. Wataknya sangat culas sehingga tidak disukai oleh Niti. Kesukaan Briot yang suka mabuk-mabukan terkenal di kalangan warga pribumi sehingga tidak ayal lagi, ia dijuluki sebagai si celeng.

Hatta, maka Ma Baira iang anter Nji Paina, tiada boleh tahan lagi aken tjeritaken tingkah lakunja Toean Briot pada waktoe itoe. Purwo soedah djadi amat gregetan dan soedah tjelah tingkah lakoenja Toean Briot. Hingga anak-anak kampoeng moesti tertawa, mendengar satoe soeara seperti soearanja babi. Anak-anak itoe lantas bertreak “tjeleng tjeleng”, dan nama tjeleng ini soedah dibriken pada Toean Briot (Toer, 2003, hlm. 384).

Di samping sifatnya yang kasar dan berperangai buruk, Briot juga senang main perempuan disebabkan oleh kegemarannya yang suka mabuk-mabukan. Dunianya hanya berkisar dari pabrik dan minuman keras membuatnya tidak awas dengan lingkungan sekelilingnya. Ditambah lagi dengan sifatnya yang buruk.

Briot digambarkan dalam narasi sebagai perwujudan kolonial. Hartono (2005,hlm. 248) menyatakan, di kalangan masyarakat kolonial dikenal tiga pembagian golongan masyarakat, yaitu masyarakat Belanda, masyarakat Indo, keturunan Cina, dan Arab, dan terakhir masyarakat pribumi. Briot dalam kedudukannya sebagai pejabat di pabrik gula berperan sebagai majikan atas Niti yang

seorang bangsa pribumi.

Penokohan Nyi Paina

Nyi Paina adalah salah satu tokoh sentral yang menjadi pusat penceritaan. Ia adalah salah satu anak Niti Atmodjo. Selain status sosial Nyi Paina yang berasal dari keluarga terpandang, Ia digambarkan sebagai gadis yang cantik.

“Karna Nji Paina amat tjantiknja, koelitnja langsep dan ramboetnja patah majang, teroerai-oerai ditioep angin, maka toean Briot lantas djatoh birahi, dan tiada dapet menahan hatinja lagi, sahingga ia mengaloearken soeara seperti satoe babi roesa iang baroe mendapet makanan di oetan” (Toer, 2003, hlm. 382).

Sebagaimana adat istiadat yang berlaku di Jawa, sejak kecil, ia sudah dijodohkan oleh orang tuanya. Apalagi paras kedua putri Niti Atmadja cantik rupanya, sehingga masing-masing putrinya sudah memiliki jodoh untuk dinikahi ketika mereka telah beranjak dewasa. Lihat dalam kutipan berikut.

Maka menoeroet adat bangsa Djawa, kadoea anak ini koetika masih ketjil soedah dikasih nikah, satoe sama putranja mantri oeloe-oeloe, dan iang lain sama poetranja saorang Djawa hartawan iang ada poenja banjak sawah dan hewan (Toer, 2003, hlm. 378).

Kecantikan Nyi Paina inilah yang di kemudian hari menjadi sumber petaka ketika pada suatu hari ia pulang berkunjung dari rumah calon mertuanya, tanpa sengaja berpapasan dengan Tuan Briot yang segera saja jatuh hati padanya dan berniat untuk memilikinya.

(8)

perempuan. Nji Paina harus merelakan diri berkorban demi ayahnya agar tidak dipenjara dengan kesediaannya diperistri oleh Briot.

Hegemoni dan Dominasi terhadap Pribumi dan Perempuan

Cerpen ini berhasil menunjukkan kejahatan kolonialisme dalam posisi superior terhadap inferior, seperti: dominasi, diskriminasi ras, gender, dan hukum yang kejam dan tidak adil, dan egois. Hegemoni kolonial bermain di setiap sisi kehidupan manusia saat itu. Dominasi kolonial menjadi hubungan antara pihak superior dengan inferior. Hubungan yang terjadi adalah pribumi yang berada dalam posisi inferior menerimanya dengan tunduk dan kepatuhan. Dominasi secara nyata maupun

secara simbolik biasanya terjadi berailiasi

pada kekerasan. Kekerasan semacam ini

berpotensi mengarah pada kekerasan isik.

Dalam wacana kolonial, menurut Said (1977, hlm. 42), masyarakat pribumi adalah masyarakat yang belum beradab sehingga penjajahan merupakan salah satu upaya untuk memberadabkan masyarakat pribumi (civilizing mission). Posisi masyarakat pribumi sebagai the other (liyan) dianggap tidak memiliki peradaban dan dengan dalih menjalankan misi pemberadaban, kaum penjajah justru melakukan eksploitasi di tanah jajahan. Status Niti sebagai seorang pribumi menjadikannya berada pada posisi inferior dan tidak memiliki hak, serta harus menghamba pada majikannya di pabrik.

Maka lantas datenglah saorang Djawa, iang tiada moeda lagi dan iang berdjalan di dalem pekarangan fabriek, teroes jongkok dengan hormat di depan pintoe dan koetika di prentah masoek ia masoek dengan manggut serta bertindak iang amat pantesnja dan kain saroengnja iang dikandji ada berboenji-boenji. Kamoedian ia menoenggoe titah toeannja (Toer, 2003, hlm.379).

Niti yang sudah bekerja begitu lama mengemban tugas-tugas yang cukup banyak, namun dianggap masih belum sesuai dengan jumlah gaji yang diterimanya sehingga ia ditambahi pekerjaan yang seharusnya menjadi tugas Tuan Briot. Kepala pabrik gula tersebut menganggap bahwa Niti seorang pribumi tidak pantas digaji dalam jumlah banyak, bahwa setiap sen yang dikeluarkan harus dibayar oleh keringat Niti. Ini terlihat dalam kutipan berikut.

“Hamba pegang boekoe besar soepaja pekerdjahan djangan djadi kablakangan, joega hamba pegang boekoe kahar kahar teboe, boekoe besi rail, boekoe goelingan dan lain sebaginja,” menjahoet Niti dengan soeara takoet (hlm. 380).

“Nah, sekarang kaoe dari ini hari moesti pegang kas ketjil djoega dan kaoe saben hari moesti bajar oerang koeli, tetapi panggil djoeroe pegang boekoe, kami maoe bitjara padanja” (Toer, 2003, hlm. 380).

Niti sebagai seorang juru tulis pabrik yang sudah bekerja cukup lama, dianggap tidak kompeten dalam tugas-tugasnya sehingga harus diawasi pekerjaannya. Ketidakpercayaan ini datang dari administratur pabrik yang baru, menganggap bangsa pribumi harus mendapat pengawasan dari orang Belanda sehingga ia menunjuk Tuan Briot. Padahal dalam kenyataannya, Tuan Briot adalah orang sangat tidak kompeten karena wataknya yang culas dan kegemarannya mabuk-mabukan.

(9)

Pembedaan rasial dan status sosial menjadi isu utama dalam masyarakat kolonial. Keluarga Niti dan statusnya sebagai pribumi membuatnya rendah di mata hukum. Hukum kolonial bermain sampai pada tataran yang paling dalam bahwa dengan status dan kedudukannya sebagai pribumi akan membuatnya kehilangan hak-haknya sebagai pekerja walaupun ia jujur dan sangat rajin.

Sjahadan toean Administrateur doedoek di krosinya dan bunjikan ginta ketjil. Ia maoe liat semoea djoeroetoelis bangsa djawa (Toer, 2003, hlm. 379).

Di mana pada zaman ini orang dengar iang satoe djoeroetoelis Djawa makan gadjih begitoe besar. Doea poeloeh lima roepiah masih terlaloe banjak boeat satoe djoeroetoelis orang Djawa (Toer, 2003, hlm. 379).

Permasalahan bagi Niti dimulai ketika Briott mendapat mandat untuk mengawasi para pekerja di pabrik gula. Sejak awal Niti tidak menyukai Tuan Briott karena ia adalah seorang yang kasar, kurang sopan, dan tidak dapat dipercaya.

Tuan administratur menunjuk Briot untuk mengawasi pabriknya karena Briot juga orang Belanda sehingga Tuan Administratur lebih nyaman menyerahkan tugas kepadanya. Dalam pandangan pemilik baru, pribumi bukanlah orang yang bisa diserahi tanggung jawab. Oleh karena itu, ia lebih memilih menyerahkan wewenang kepada sesama orang Belanda.

Sjahadan sedatengnja di kantor, Toean Briot boeang dirinja di satoe korsi males, dan sambil tertawa palsoe ia pandang pada Niti iang lagi berdjongkok. “Kami nanti bri padamoe ini hari f200 boeat ongkos-ongkos ketjil,”kata Toean Briot, “ tetapi kaoe moesti djaga baik-baik, jikaloe nanti ada koerang satoe doeit, kami nanti bikin perkara dan kaoe masoek boei atau dihoekoem krakal” (Toer, 2003, hlm. 381).

Niti memikul tanggung jawab besar karena ia harus membayar upah buruh harian sehingga ia membawa uang tersebut ke sana ke mari. Briott yang memang sejak awal tidak menyukai Niti, berencana menjebak Niti agar ia lalai dalam menjaga kaleng pembayaran upah buruh harian. Briot menjalankan skenario untuk menjebak Niti agar ia dapat mengambil putri Niti sebagai nyainya.

Tuan Briot dengan sengadja panggil padanja, tiap-tiap ia maoe bajar orang koeli (Toer, 2003, hlm. 384).

Maka koetika itoe hari Niti dipanggil oleh toean Briot, ia tinggalken tommol oeangnja terboeka dan satoe mandoer koeli laloeh tjoeri ampat ringgit dengan tiada diliat satoe orang. Dari hari itu oewangnja ditjoeri saban-saban ia dipanggil oleh Toean Briot, kadang-kadang ditjoeri banjak kadang-kadang ditjoeri sedikit (Toer, 2003, hlm. 384).

Penggambaran kejahatan terhadap pe-rem puan juga sangat terasa dalam teks ini. Perjuangan dan penderitaan perempuan yang diwakili oleh tokoh Nyi Paina. Ia terdominasi oleh hegemoni laki-laki dan sistem kolonial pada masa itu. Nyi Paina dipaksa untuk menjadi nyai atau gundik Tuan Briot dengan ancaman ayahnya akan dipenjara apabila keinginan Briot tidak dipenuhi.

Hatinja Niti amat soesah dan dengan soewara goemetar ia ingatken perkatahannya toean Briot, iang tiada maoe oewang, tetapi maoe Nji Paina djoega, kaloe tiada, nistjaja Toean Briot soeroeh boei padanja.

“... Sasoedahnja, terkoenjoeng-koenjoeng is bangoen berdiri di depan ajahnja, seperti satoe oerang iang memoetoeskan perkara, seraya berkata: “Baiklah koetoeroet maoenja Toean Briot aken djadi njainja (Toer, 2003, hlm. 389).

(10)

ke dunia, maka telah dibebankan beragam norma, kewajiban dan setumpuk harapan kelu-arga terhadapnya. Berbagai aturan dan atribut budaya telah diterima melalui beragam media, seperti ritual adat, teks agama, pola asuh, jenis permainan, tayangan televisi, buku bacaan,

petuah, atau ilosoi hidup.

Hal-hal sepele yang terjadi sehari-hari selama berpuluh tahun yang bersumber dari norma-norma budaya telah membentuk suatu pencitraan diri dalam kehidupan seorang perem-puan. Kondisi ini dapat dilihat dari selera dan cara berpakaian, penampilan, bentuk aktivitas, cara bergaul, cara penyelesaian permasalahan, ekspresi verbal maupun nonverbal hingga jenis aksesoris tubuh yang dipakai (Vigorito et.al., 1998, hlm.1).

Dunia sastra, sebagaimana dijelaskan oleh Aristoteles dalam Luxembourg (1986, hlm.17), merupakan gambaran dari sebuah dunia ke-nyataan dan ide-ide yang berkaitan satu sama lainnya sehingga karya sastra khas mewakili individu dan perjuangan tentang memaknai identitas adalah perjuangan dalam diri individu, dan antara individu dengan kelompok. Kara-kter perjuangan semacam ini sesungguhnya melawan sekaligus mematuhi norma sosial dan harapan.

Sebuah karya sastra yang ditulis dengan berdasarkan atas keprihatinan mengenai apa artinya menjadi perempuan, itu artinya karya tersebut juga menjelajahi bagaimana tuntutan masyarakat (maskulin) membatasi kemung-kinan-kemungkinan individu (feminin). Ini terlihat dari perlakuan Briot terhadap Nyi Paina. Briot memaksa Niti, ayah Nyi Paina untuk mengambil Paina menjadi Nyai.

Pada masa itu, status Nyai menjadi sebuah kehinaan di kalangan masyarakat pribumi karena kebanyakan Nyai hanya dijadikan gun-dik atau perempuan peliharaan saja. Niti, ayah Nyi Paina, secara tidak langsung melakukan ke-kerasan simbolik ketika ia meminta Nyi Paina untuk menjadi Nyai dari Tuan Briot sebagai

ganti agar dirinya tidak masuk penjara.

“Apa, djadi njainja tjeleng itoe?” tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe” (Toer, 2003, hlm. 389).

Dalam hal ini, Fromm (2002, hlm.177) berpendapat bahwa budaya patriarkal tidak hanya berwujud ideologi, melainkan terkait pula dengan struktur sosial, yakni laki-laki memiliki superioritas, bahkan berhak men-dominasi perempuan dengan berbagai cara. Pendominasian tersebut sering pula diperkuat oleh agama sehingga subordinasi laki-laki atas perempuan tidak hanya bercorak dominasi, tetapi juga mengarah kepada hegemoni.

Tiba-tiba Paina mendengar ajahnja berpantoen satoe tjerita, iang betoel tiada bedahnya dengan perkara ini, di mana diambil lakonnya Briot, Niti, dan Paina, saolah-olah Niti menjindir, soepaya atinja Paina tergerak dan maoe toeroet pada toean itoe iang ditakoeti orang, apabila tiada, nistjaja moesnalah roemah tangganja Niti dan ia moesti masoek boei (Toer, 2003, hlm. 389).

Budaya yang melandasi pendominasian dan penghegemonian laki-laki atas perempuan diinternalisasikan lewat pendidikan di ling-kungan keluarga. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari fungsi keluarga, yakni menyumbangkan kelahiran, pemeliharaan fisik anggota ke-luarga, penempatan anak dalam masyarakat, pemasyarakatan, dan kontrol sosial sehingga eksistensi masyarakat tetap terjaga (Goode, 1983, hlm. 68).

(11)

tangga melayani suami dan anak-anak.

Maka menoeroet adat bangsa Djawa, kadoea anak ini koetika masih ketjil soedah dikasih nikah, satoe sama putranja mantri oeloe-oeloe, dan iang lain sama poetranja saorang Djawa hartawan iang ada poenja banjak sawah dan hewan (Toer, 2003, hlm. 378).

Pembatasan-pembatasan peran perem-puan dalam budaya patriarkat membuat perempuan terbelenggu. Budaya patriarki memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Selain itu pelekatan berbagai stereotip terhadap tubuh perempuan juga memperparah kondisi perempuan. Menurut Hall (1998, hlm.15—16), stereotipdigunakan

untuk mendeinisikan perempuan dan mengontrol mereka. Perempuan dideinisikan

dalam hubungannya dengan laki-laki, bahwa perempuan dilekatkan dengan ciri feminim. Perempuan diarahkan untuk bersikap dan berpenampilan seperti yang diharapkan laki-laki (Toer, 2003, hlm.57).

“Karna Nji Paina amat tjantiknja, koelitnja langsep dan ramboetnja patah majang, teroerai-oerai ditioep angin, maka toean Briot lantas djatoh birahi, dan tiada dapet menahan hatinja lagi, sahingga ia mengaloearken soeara seperti satoe babi roesa iang baroe mendapet makanan di oetan” (Toer, 2003, hlm.382).

Stereotip ini merepresentasikan peran laki-laki dan perempuan tradisional, egaliterian, kontemporer, dan peran ganda. Perbedaan gender merepresentasikan bahwa perempuan cenderung distereotipkan dan bahkan diharus-kan agar bersifat lemah lembut, halus, sabar, menjaga tata krama (tertib), setia, menerima (nrimo), pasrah, lemah, tidak banyak bicara, pasif, lebih mengedepankan perasaan dari pada pikirannya, dan sejenisnya.

Ketika Niti dalam keadaan kesulitan pekerjaan akibat jebakan Tuan Briot untuk

mengambil Paina sebagai nyainya, ia meminta kepada anaknya untuk secara ikhlas menyerah-kan dirinya kepada Tuan Briot. Keputusan agar Paina menyerahkan diri kepada Briot dimusy-awarahkan oleh keluarga Niti. Secara tidak langsung Nyi Paina dipaksa untuk menyerahkan diri sebagai ganti hukuman yang harus diterima ayahnya dari Tuan Briot. Dominasi yang dilaku-kan oleh si kuat terhadap yang lemah biasanya terjadi karena mendapatkan persetujuan dari pihak tertindas sendiri sebagai pemaknaan atas kepatuhan yang berlangsung dalam wa-cana patriarki. Dominasi dilakukan dengan pembenaran sebagai norma yang berlaku dan harus diikuti.

Koetika Niti sampei di roemahnya ia lantas panggil istrinya dan Paina, teroes tjeritaken kehendaknja Toean Briot. Nji Paina tiada menjahoet satoe apa, tjoema ia mengkeretkan giginya dari marah serta liatin ajahnja dengan berdiri angkat kepala, iang amat bagoesnya. Hatinja tiada karoewan rasa, seperti ombak membanting dirinja, pikirannja poen soedah kalang kaboet, koetika dengar tjerita ajahnja. Kamoedian Nji Paina tabahkan hatinja dan dengan soewara tetap ia berkata: “Apa, jadi njai tjeleng itoe?” Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe” (Toer, 2003, hlm. 389).

(12)

Maka menoeroet adat bangsa Djawa kadoea anak ini keotika masih ketjil soedah dikasih nikah, satoe sama poetranya mantri oeloe oeleoe, dan iang lain sama poetranja saorang Djawa hartaan iang ada poenja banjak sawah dan hewan. (Toer, 2003, hlm.378).

Pembacaan cerpen Nji Paina tentang kehidupan perempuan dalam masyarakat kolonialisme dengan konstruksi maskulin, dibentuk oleh masyarakat patriarkis. Ini terlihat dari tokoh Nji Paina yang mengalami opresi dari Briot, atasan ayahnya ditempatnya bekerja. Nji Paina sebenarnya tidak terhubung langsung dengan Briot, namun ia tetap terkena dampak akibat relasi Niti dan Briot. Briot merasa memiliki kuasa atas hidup Niti karena Niti adalah bawahannya di kantor.

Kecantikan Nyi Paina menjadi sebab bagi penderitaannya. Keindahan perempuan dalam persepsi dunia maskulin dilihat dari wujud kecantikan secara lahiriah sehingga ketertarikan lelaki terhadap perempuan cantik bagaikan ngengat yang terbang mendekati nyala lilin. Nji Paina yang cantik dan elok, dengan kulitnya yang langsat dan rambut seperti mayang terurai menjadi sumber inspirasi Briot untuk melakukan kejahatan pada Niti untuk dapat memiliki Nyi Paina.

Nji Paina soedah timboelkan birahi dalem atinja Toean Briot, maka lantas ia berpikir, apa tiada ada daja aken dapet Nji Paina, iang amat elok itoe (Toer, 2003, hlm. 383).

Briot menjadi terobsesi dengan keindahan Nyi Paina, Briot bertekad menjadikan Nyi Paina sebagai gundiknya, yang pada masa itu disebut dengan julukan Nyai. Dalam masyarakat pribumi, status Nyai dipandang rendah oleh masyarakat karena biasanya perempuan semacam itu menjadi peliharaan tuan-tuan Belanda untuk memuaskan nafsu syahwat mereka.

Hal ini juga disadari betul oleh Nyi Paina karena ia memrotes keinginan ayahnya untuk menjadikan dirinya sebagai nyai Tuan Briot. Bagi Nyi Paina, status baru tersebut akan menjerumuskannya ke dalam jurang kesengsaraan dan menjadi sarana pemuas nafsu Tuan Briot. Ditambah lagi, status sosial dan kondisi ekonomi keluarga Niti selama ini dipandang tinggi oleh masyarakat sehingga Nyi Paina mendapatkan pendidikan yang cukup dan membuatnya menjadi seorang perempuan terpelajar yang paham betul akan harkat dan martabat dirinya sebagai seorang perempuan.

Kamoedian Nji Paina tabahkan hatinja dan dengan soewara tetap ia berkata:

“Apa, jadi njai tjeleng itoe?” Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe” (Toer, 2003, hlm. 389).

Pada akhirnya Nji Paina sampai pada kesadaran bahwa ia harus membantu ayahnya agar tidak dijebloskan ke dalam penjara. Untuk itu ia harus menyetujui lamaran Tuan Briot, meskipun bertentangan dengan nuraninya, apalagi ia tidak mencintai Tuan Briot.

Tidak mudah bagi Nji Paina untuk memutuskan menyerah pada kehendak ayahnya, tetapi kewajiban sebagai anak harus didahulukan dan sebagai seorang perempuan ia harus patuh sesuai dengan nilai-nilai lama bahwa perempuan harus selalu menurut. Dalam tatanan masyarakat patriarkat, kaum perempuan memiliki posisi yang lemah dibandingkan dengan yang lainnya, pada akhirnya nasib Nji Paina ditentukan oleh keluarga besarnya (Toer, 2003, hlm.389). Dengan berat hati Nji Paina menyetujui permintaan Tuan Briot.

(13)

orang jang memoetoeskan perkara, seraja berkata:”Baiklah koe toeroet maoenja toean Briot aken djadi njainja” (Toer, 2003, hlm. 389).

Nji Paina dapat mengontrol emosinya dengan menerima lamaran Briot. Akan tetapi di balik penerimaan Nji Paina, tersusun rencana untuk melakukan pembalasan terhadap Briot. Ia tetap tidak rela menjadi gundik Tuan Briot, apalagi ia telah dijodohkan sebelumnya. Sebagai seorang perempuan dengan latar belakang pendidikan dan status terpandang dalam masyarakat, ia tidak hendak pasrah dan menerima begitu saja. Pada masa itu penyakit cacar sedang mewabah di kampung Nji Paina. Ia berketetapan hendak menulari Tuan Briot dengan penyakit tersebut. Oleh karena itu ia menyusun rencana untuk bercampur gaul dengan penderita cacar. Di masa lalu penyakit cacar cukup mematikan dan membuat penderitanya menderita kerusakan pada wajahnya.

Adapoen Nji Paina soedah ambil satoe kepoetoesan. Sering kali ia dapet dengar dari ajahnja dan dari orangorang lain kaloe satoe orang iang waras dateng bertjampoer orang pada iang sakit tjatjar, penjakit itoe nanti mendjangkit dan menoelar padanja. Penjakit itoe gampang di pindahken dari satoe ka lain orang. Maka Nji Paina soedah tetapken atinja aken bikin mati toean Briot dengan djalan iang sedemikian (Toer, 2003, hlm. 390).

Pengorbanan Nji Paina dilakukan dengan kesadaran bahwa ia tidak mungkin menolak permintaan Tuan Briot dan mengorbankan ayahnya untuk masuk penjara sehingga ia memilih untuk mengorbankan dirinya. Ia rela mengambil resiko tertular penyakit cacar yang mematikan. Dengan demikian, ia sekaligus membalas perbuatan Tuan Briot terhadap keluarganya dan menolak untuk menyerahkan

dirinya tanpa perlawanan. Sebelum pergi menyerahkan dirinya kepada Tuan Briot, Nji Paina sengaja menulari dirinya dengan virus cacar dari penduduk setempat yang sedang menderita cacar. Ini dilakukan agar ketika bertemu dengan Briot, ia sudah membawa virus yang mematikan tersebut dan menularinya kepada Briot (Toer, 2003, hlm. 390).

Kemoedian Nji Paina berangkat keroemah toean Briot, iang memang soedah toenggoe datengnja dengen tiada sabaran. Koetika ia lihat Nji Paina dari djaoeh, ia sigrah hampirken padanja, teroes pelok dan tjioem Nji Paina, iang amat tjantik dan elok itoe. Sagenap hari Nji Paina moesti doedoek di pangkoenja toean Briot dan tiada brentinja ia ditjioemi oleh toean itoe. Hata maka sepoeloeh hari kemoedian, toean Briot kena penjakit tjatjar amat sangetnja. Bagimana djoega di obatin, toean Briot tiada djadi semboeh, maka ampat hari kamoedian, orang dapetin toean Briot mati terletak di atas oebin di depan roemahnja dan roepanja seperti ia soedah menanggoeng sangsara besar selama sakitnja itoe (Toer, 2003, hlm. 390—391).

(14)

SIMPULAN

Analisis yang telah dilakukan terhadap cerita pendek yang berjudul “Tjerita Nji Paina” memperlihatkan bahwa cerita pendek tersebut hendak mengkritik sistem kolonial pendudukan Belanda. Dalam kisah ini dapat dilihat tiga tatanan masyarakat sekaligus, yaitu tatanan hukum kolonial yang diwakili oleh perwujudan Tuan Briot, tatanan masyarakat feodalisme dapat dilihat pada latar belakang masyarakat pribumi dalam hal ini diwakili oleh Niti, dan tatanan masyarakat patriarkis di dalamnya selaras dengan tatanan kolonial dan tatanan feodal.

Nji Paina memosisikan diri sebagai seorang perempuan yang berada dalam hegemoni laki-laki, sehingga ia rela berkorban menuruti keinginan ayahnya dan menyerahkan diri kepada Briot, walaupun diceritakan Nji Paina melakukan pembalasan tetapi tetap saja Nji Paina harus menanggung akibat pembalasannya, yaitu dengan kerusakan permanen pada wajahnya.

Sistem pemerintahan kolonial dengan sendirinya memfasilitasi segala bentuk dominasi dan hegemoni terhadap kaum pribumi, khususnya perempuan yang paling terdampak dengan tatanan masyarakat kolonial. Cerita pendek “Tjerita Nji Paina” menyuarakan masyarakat terpinggirkan oleh sistem masyarakat, khususnya suara perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Andri R.M., L. (2015). “Feminisme dalam Prosa LamaTjerita Nji Paina Karan-gan H. Komer”. Humanika,Volume 22, Nomor 2, hlm. 22—33. https://ejournal. undip.ac.id/index.php/humanika/article/ view/11735/8978.

Fromm, E. (2002). Cinta Seksualitas Matriarki Gender. Terjemahan Pipit Maizier. Yogya

-karta: Jalasutra.

Goode, W.J. (1983). Sosiologi Keluarga. Ter-jemahan Sahat Simamora. Jakarta: Bina Aksara.

Hall, S. (1996). “Who Needs Identity”. Ques-tions of Cultural Identity. In S. Hall and P. Du Gay (Eds.). London: Sage.

Hartono. (2005). “Mimikri Pribumi Terha-dap Kolonialisme Belanda Dalam Novel Sitti Nurbaya Karya Marah Rusli (Kajian Postkolonialisme)”. Jurnal Diksi, Vol. 12, No. 2, Juli 2005, hlm. 248—266. https:// journal.uny.ac.id/index.php/diksi/article/ view/5267/4567.

Herman, L. and Bart Ver-vaeck. (2001). Hand-book of Narrative Analysis. Lincoln: Uni-versity Of Nebraska Press.

Herusatoto, B. (2008). Simbolisme Jawa. Yog-yakarta: Penerbit Ombak.

Karim, M.R. (1995). ”Konlik Islam Kontem -porer di Indonesia, Berbagai Variasi dan Kerumitannya”. Prisma, No. 5 Mei 1995.

Luxemburg, J.V. (1984). Pengantar Ilmu Sas-tra. Jakarta: Gramedia.

Maier, H.M.J. (1990). “Some genealogical re-marks on the emergence of modern Malay literature”. Journal of the Japan-Nether-lands Institute 2, hlm. 159--177. (Papers of the Dutch-Japanese Symposium on the History of Dutch and Japanese Expansion,

In Memory of the Late Nagazumi Akira,

Tokyo and Kyoto, 9—14 October 1989).

Moleong. L.J. (2005). Metode Penelitian Kuali-tatif. Bandung: Remaja Karya.

(15)

article/view/2581/2136.

Ratna, N.K. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Said, E. (1977). Orentalism. London: Penguin.

Sumardjo, J. (2004). Kesusastraan Melayu Rendah (Low Malay Literature)(in Indo-nesian). Yogyakarta: Galang Press.

Sykorsky, W.V. (1980). “Some Additional Remarks on Antecedents of Modern

Indo-nesian Literature”. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde, 136 (4e), 1980, h. 503.

Toer, P.A. (2003). Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara.

Vigorito, A.J. and Timothy J.C. (1998). “Mar-keting Masculinity: Gender Identity and

(16)

Referensi

Dokumen terkait

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI. UNIVERSITAS TRISAKTI

Sub Total = ( Tarif Kamar x Lama Inap ) + ( Tarif Dokter x Lama Inap ) Tentukan Resume Pendapatan untuk masing - masing type kamar Hitung resume pendapatan untuk masing - masing

Dari tabel 19 tergambar bahwa paling banyak subyek mengatakan aplikasi komputer dapat digunakan untuk mengatasi masalah mahasiswa dalam menyusun instrumen yaitu sejumlah 58 dosen

Metode ekstraksi dengan nilai koefisien korelasi yang nyata terhadap hasil tanaman dapat dipilih karena mempunyai kemampuan terbaik untuk mengekstraksi hara P tanah yang

Filtrasi merupakan proses penjernihan atau penyaringan air limbah melalui media (pada penelitian ini digunakan variabel massa kerikil, pasir, pasir silika dan arang

Hukum nun yang terletak pada atas sukun bagi izhar dan hukum pada selepas nun sakinah yang disembunyikan tanpa harakat makna pada dua kalimah fa¶la bacaan khalaf bagi hamzah

Penilaian jalan napas sulit pada pasien anak sama seperti orang dewasa yang dimulai dengan anamnesis dan seterusnya pemeriksaan-pemeriksaan yang