• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENCITRAAN POLITIK DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PENCITRAAN POLITIK DI INDONESIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENCITRAAN POLITIK DI INDONESIA

Satya Irawatiningrum

FISIP Universitas PGRI Ronggolawe Tuban regzinata2012@gmail.com

Pendahuluan

Berbicara mengenai pencitraan politik, tentunya tidak lepas dari kandidat calon eksekutif maupun anggota legislatif. Di Indonesia, pencitraan politik sebagai salah satu konsentrasi kajian dalam komunikasi politik, mulai merebak pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, yang semakin berkembang dan atraktif setelah penerapan sistem pemilihan langsung dalam Pemilu 2004. Sedikitnya, ada empat momentum politik secara langsung bersinggungan dengan publik. Pertama, Pemilihan Umum (pemilihan anggota legislatif). Kedua pemilihan Presiden secara langsung. Ketiga, pemilihan gubernur secara langsung. Keempat, pemilihan Bupati atau Walikota secara langsung.

Pencitraan politik berkaitan dengan pembuatan informasi atau pesan politik oleh komunikator politik (politikus atau kandidat), media politik (media massa, media sosial, dan/atau media format kecil), dan penerima atau khalayak politik (publik). Citra politik yang terbentuk di benak publik, tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sebenarnya, karena mungkin hanya sama dengan realitas media atau realitas buatan media, yang disebut juga sebagai realitas tangan kedua (second hand reality).

Kemampuan mengelola citra menjadi penjelasan yang paling representatif dalam banyak pemilihan umum. Misalnya kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004. Meroketnya karir politik SBY pada masa reformasi kemudian dikait-kaitkan dengan mitos satria piningit yang akan muncul untuk memimpin bangsa Indonesia. Pencitraan satria piningit ini sengaja digulirkan tim kampanye SBY untuk memenangkan pemilu presiden secara langsung yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di Indonesia. SBY yang tampil lebih sederhana, lebih rendah hati daripada lawan politiknya, Megawati. Iklan politik yang ditayangkan pun menampilkan citra pembawa perubahan, pembawa kebersamaan, pemimpin yang sederhana dan santun

(2)

menjadi citra yang melekat pada Jokowi sebagai pemimpin daerah. Sosok Jokowi yang mendapat peluang besar sebagai media darling pada waktu itu bahkan diliput oleh media luar negeri, New York Times, dalam artikel berjudul “Outsider Breathing New Ideas Into Jakarta Election”, juga menonjolkan figur Jokowi dalam Pilkada DKI Jakarta, termasuk keunggulannya atas Fauzi Bowo yang diibaratkan gajah karena didukung partai-partai besar, sementara Jokowi sebagai semut karena hanya didukung dua partai.

Pada 2015 kemarin, Bupati Fathcul Huda kembali memimpin Kabupaten Tuban untuk yang kedua kalinya, setelah didukung oleh 9 dari 10 partai yang ada di Kabupaten Tuban. Citra Huda sebagai seorang kyai yang rendah hati, jujur, dan kharismatik telah mampu untuk menghipnotis masyarakat Tuban untuk tidak mencalonkan diri sebagai calon bupati tandingannya.

Seiring dengan perubahan sistem politik di Indonesia, utamanya dalam Pemilu 2009, dengan masa kampanye lebih lama dan sistem suara terbanyak, membuat komunikasi dan pencitraan politik yang dilakukan politisi, baik secara institusional maupun individual, semakin beragam dan menarik, melalui berbagai strategi yang terkadang mengabaikan etika politik. Pertama, pure publicity, yaitu mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya, perayaan hari-hari besar, Hari Kemerdekaan, dan lain-lain. Pada umumnya, partai maupun kandidat, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencitrakan apa yang disebut Nimmo (2006) sebagai “diri politik” sang politisi. Kedua, free ride publicity, yaitu publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau “menunggangi” pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Tampil menjadi pembicara di sebuah forum, berpartisipasi dalam event-event olah raga, mensponsori kegiatan-kegiatan sosial dan lain-lain. Ketiga, tie-in publicity, yaitu memanfaatkan extra ordinary news – kejadian sangat luar biasa. Peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir misalnya. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sebuah peristiwa luar biasa, selalu menjadi liputan utama media, sehingga partisipasi di dalamnya sangat menguntungkan secara politik. Keempat, paid publicity, yaitu cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, iklan, blocking time program, dan lain-lain.

(3)

untuk menggerakkan mesin politik, pencitraan partai politik dan pemimpin partai politik merupakan kunci penentu kemenangan.

Komunikasi Politik di Indonesia

Sebelum membahas lebih luas tentang komunikasi politik di Indonesia, ada baiknya untuk memahami definisi dari komunikasi politik itu sendiri. Luasnya bidang kajian komunikasi politik, pada akhirnya memunculkan banyak defenisi. Beberapa ilmuwan yang memaparkan definisi komunikasi politik, di antaranya; R.M. Perloff (1998) mendefinisikan komunikasi politik sebagai proses di mana pemimpin, media, dan warganegara suatu bangsa bertukar dan menyerap makna pesan yang berhubungan dengan kebijakan publik. Dalam definisi ini, Perloff menjadikan media sebagai pihak yang ikut melakukan komunikasi politik. Menurut Gabriel Almond (1960), komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. Astrid S. Soesanto (dalam Ardial, 2010) mengartikan komunikasi politik sebagai komunikasi yang diarahkan pada pencapaian pengaruh sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Definisi yang lebih singkat diungkapkan oleh Cangara (2009) bahwa komunikasi politik adalah suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik.

Komunikasi politik adalah fungsi penting dalam sistem politik. Pada setiap proses politik, komunikasi politik menempati posisi yang strategis. Bahkan, komunikasi politik dinyatakan sebagai “urat nadi” proses politik. Berbagai macam struktur politik seperti parlemen, kepresidenan, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, kelompok kepentingan, dan warganegara biasa memperoleh informasi politik melalui komunikasi politik ini. Setiap struktur jadi tahu apa yang telah dan akan dilakukan berdasarkan informasi ini.

Di Indonesia, komunikasi politik mulai berkembang sejak Orde Reformasi. Meskipun kegiatan komunikasi politik sudah dilakukan oleh para aktor politik semenjak Presiden Soekarno dengan slogan-slogan yang dikampanyekannya. Di zaman Orde Baru, Soeharto berhasil memanfaatkan ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan sebelumnya, dengan isu “bahaya laten komunis” dan “melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen” merupakan kata kunci keberhasilan komunikasi politik Soeharto dalam meraih simpati dan dukungan rakyat.

(4)

berbau politik. Akan tetapi semenjak Orde Reformasi membuka keran kebebasan mengemukakan pendapat, studi komunikasi politik mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Komunikasi politik di Indonesia semakin berkembang dengan maraknya media massa yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi politik maupun pembentukan citra, baik media cetak maupun media elektronik. Bahkan saat ini media sosial menjadi sarana yang manjur untuk melancarkan propaganda-propaganda menjelang pemilihan kepala daerah misalnya. Media sosial yang dianggap sebagai kebutuhan oleh masyarakat Indonesia saat ini memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi khalayak. Seperti yang terjadi pada Pemilihan Gubernur DKI 2017, opini publik yang terbentuk di media sosial mempengaruhi partisipasi pemilih, sehingga angka golongan putih (golput) menurun bila dibandingkan dengan Pilkada tahun 2012. Pada Pilkada tahun 2012 warga DKI yang tidak menggunakan hak pilih sebesar 36,6%, sedangkan pada tahun 2017 (putaran pertama) turun menjadi 23% (tempo.co).

(5)

Pencitraan Politik

Salah satu tujuan komunikasi politik adalah membentuk citra politik yang baik pada khalayak. Menurut Ardial (2009), citra politik merupakan gambaran seseorang yang terkait dengan politik (kekuasaan, kewenangan, otoritas, konflik, dan konsensus). Citra politik terbentuk berdasarkan informasi yang diterima, baik langsung maupun media politik, termasuk media massa dan media sosial yang menyampaikan pesan politik yang umum dan aktual. Meskipun demikian, citra politik bisa berbeda dengan realitas yang sesungguhnya atau tidak merefleksikan kenyataan obyektif.

Citra politik tersusun melalui persepsi yang bermakna tentang gejala politik dan kemudian menyatakan makna itu melalui kepercayaan, nilai, dan pengharapan dalam bentuk pendapat pribadi yang selanjutnya dapat berkembang melalui opini publik.

Nimmo (2006) menjelaskan bahwa citra seseorang tentang politik tersusun melalui pikiran, perasaan, dan kesudian subyektif yang akan memberi kepuasan baginya, dan memiliki tiga kegunaan. Pertama, memberi pemahaman tentang peristiwa politik tertentu. Kedua, kesukaan atau ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objek politik. Ketiga, citra diri seseorang dalam cara menghubungkan diri dengan orang lain.

Menurut Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto (2012), terdapat empat komponen pembentukan citra antara lain :

1. Persepsi, diartikan sebagai hasil pengamatan terhadap unsur lingkungan yang dikaitkan dengan suatu proses pemaknaan. Dengan kata lain, individu akan memberikan makna terhadap rangsang berdasarkan pengalamannya mengenai rangsang. Kemampuan mempersepsi inilah yang dapat melanjutkan proses pembentukan citra. Persepsi atau pandangan individu akan positif apabila informasi yang diberikan oleh rangsang dapat memenuhi kognisi individu.

2. Kognisi, yaitu suatu keyakinan diri dari individu terhadap stimulus. Keyakinan ini akan timbul apabila individu telah mengerti rangsang tersebut, sehingga individu harus diberikan informasi-informasi yang cukup yang dapat mempengaruhi perkembangan kognisinya.

(6)

4. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu.

Berikut ini adalah model pembentukan citra dalam struktur kognitif yang dipaparkan oleh John S. Nimpoeno (dalam Soemirat dan Ardianto):

Kognisi

Stimulus Respon

Persepsi Sikap

Motivasi

Gambar 1.1 Model Pembentukan Citra (Soemirat dan Ardianto, 2012:115)

Proses ini menunjukan bagaimana stimulus yang berasal dari luar diorganisasikan dan mempengaruhi respon. Stimulus atau rangsangan yang diberikan pada individu dapat diterima atau ditolak. Jika rangsangan ditolak, maka proses selanjutnya tidak akan berjalan. Hal ini menunjukan bahwa rangsangan tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi individu karena tidak adanya perhatian dari individu tersebut. Sebaliknya, jika rangsangan itu diterima oleh individu, berarti terdapat komunikasi dan perhatian dari organisme, dengan demikian proses selanjutnya dapat berjalan. Begitu pula dengan citra politik dalam hubungannya dengan publik, haruslah senantiasa mengorganisasi pesan agar stimulus yang ada pada publik akan diterima dengan baik, dalam hal ini mencapai citra yang baik.

(7)

Di antara media pencitraan politik yang sangat menonjol saat ini adalah industri media massa. Kekuatan utama media di era informasi adalah kemampuan media dalam mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik (public discourse) yang menarik. Artinya, penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan penguasaan opini publik. Selanjutnya, dengan menguasai opini publik diharapkan akan mudah mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan. Opini dalam perspektif komunikasi dipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus yakni respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari citra dan menyumbang citra.

Dalam konteks komunikasi politik, peran media dalam mengulas Pilkada langsung tak sebatas hanya pada masa kampanye saja. Bisa dikatakan konstruksi citra politik dibangun terus-menerus mulai pendaftaran calon kepala daerah ke dalam berbagai ruang publik yang disediakan media massa. Citra dan stereotip secara sadar merupakan dua hal yang terus diusung media. Efek dari komunikasi politik disengaja atau tidak telah melahirkan keberpihakan media.

Perkembangan teknologi telah mengantarkan bukan hanya media cetak dan elektronik saja untuk membangun citra, tetapi kehadiran media sosial menambah dereten media yang bisa digunakan sebagai “medan perang” para politisi untuk menciptakan citranya. Media sosial memudahkan seluruh pengguna untuk mengaksesnya hanya dengan melalui handphone. Posisi kemudahan dan kecepatan media sosial inilah yang menjadikan media sosial sebagai media yang efektif untuk kampanye.

Media dengan berbagai bentuknya mampu mendongkrak popularitas, membentuk citra, baik good image maupun bad image. Sehingga penggunaan media harus benar-benar memperhatikan isi pesan oleh aktor politik. Kemampuan mengakses media, kemudian mengelola isu, opini, dan persepsi akanmenentukan keberhasilan seorang politisi.

Penutup

(8)

media bisa berjalan harmoni. Media massa bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Media massa adalah ruang lalu lintas bagi segala macam ide-ide yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah membawa media massa di dunia maya, sehingga media massa yang dulunya hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang terbatas secara geografis, maka di dunia maya ini media massa bisa dinikmati secara interaktif dan menjangkau masyarakat lebih luas lagi. Implikasinya, masyarakat Indonesia sendiri sudah tergantung dengan yang namanya internet.

Di Indonesia, penggunaan internet pada tahun 2016 sebanyak 132,7 juta orang, 79 juta di antaranya menggunakan internet untuk media sosial. Jumlah ini setiap tahun diyakini semakin naik. Ini merupakan pasar potensial untuk melacarkan pesan-pesan politik melalui media sosial. Sehingga media sosial sekarang seperti medan pertempuran bagi aktor-aktor politik untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Demikian juga untuk membentuk citra politik para aktor politik, dengan mudahnya mereka membuat kegiatan atau gaya politik untuk menunjukkan citra politiknya melalui media sosial agar tujuannya bisa efisien dan efektif.

Daftar Rujukan:

Almond, Grabriel, The Politics of the Development Areas, 1960 Ardial, Komunikasi Politik, Indeks, Jakarta, 2010

Newman, Bruce. 1 (ed), The Handbook of Political Marketing, Sage, 1999

Nimmo, Dan, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006 Perloff, R.M, Political Communication: Politics, Press, and Public in America (New Jersey

and London : Lawrence Erlbaum, 1998)

Soemirat, Soleh, dan Ardianto, Elvinaro, Dasar-Dasar Public Relations, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012

Gazali, Effendi, Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A Study of Media Performance, Responsibility and Accountability, Doctoral Thesis Radbound University Nijmegen, 2004

https://m.tempo.co/read/news/2017/02/23/072849695/pengamat-media-sosial-pengaruhi-pilihan-di-pilkada-dki

Gambar

Gambar 1.1 Model Pembentukan Citra (Soemirat dan Ardianto, 2012:115)

Referensi

Dokumen terkait

Desentralisasi juga mempunyai keuntungan utama bahwa pejabat lokal dapat secara lebih mudah diawasi dan dikendalikan oleh komunitas lokal daripada

[r]

Dalam prosedur dokumentasi atas sistem dan prosedur pencegahan penyalahgunaan faktur pajak di KPP Pratama Surabaya Gubeng, dokumentasi yang dilakukan, yaitu untuk setiap PKP

Sedangkan Potensi inovasi usaha kecil produk bioteknologi dapat dilakukan pada penekanan inovasi produk dan inovasi kemasan, dimana dalam penelitian ditemukan hasil

Bddan I'cnBelola Sekolah Tinggi llmu Ikonomi Indonesia (STIESIA)

Herewith, I declare that this thesis entitled “ Students‟ Perception on Their Speaking (A Descriptive Study on Fourth Semester Students of English Education Department of

(b) menyatakan banyaknya partikel dikalikan dengan energi kinetik dari masing-masing partikel yang tersimpan pada bin posisi arah sumbu -Y, terlihat bahwa pada

Penanaman biasanya dilakukan oleh tenaga kerja wanita, sedangkan tenaga kerja laki- laki hanya bertugas membawa benih ke lahan yang akan ditanami. Penanaman di Kabupaten