• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA BARU BAHASA DAN SASTRA INDONES (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PARADIGMA BARU BAHASA DAN SASTRA INDONES (1)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA BARU BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

DALAM MEMBANGUN KEINDONESIAAN

1

Pudentia MPSS2

Telah diketahui bersama bahwa permasalahan yang berkembang dewasa ini mengenai kesadaran berbangsa, krisis identitas, intoleransi, sektarian, radikalisme dan lemahnya solidaritas menyadarkan kita akan perlunya upaya untuk

mengatasinya dengan kebijakan yang tepat. Bencana budaya seperti yang disebutkan di atas dapat diatasi dengan membuat kebijakan kebudayaan yang

menempatkan manusia sebagai titik sentral dengan mempertimbangkan keragaman dan sekaligus keunikan yang ada di berbagai daerah.

Secara umum kita semua juga sudah sering menyatakan bahwa Indonesia

adalah negara yang beraneka ragam kebudayaan termasuk suku bangsanya, bahasa, dan agama. Kita pun sering menyebutkan berbagai konsep yang berkaitan

dengannya, seperti pluralisme dan multikultur. Konsep multikultur seperti yang dipahami banyak pihak dewasa ini sebenarnya sudah sangat lama berakar di Indonesia walaupun tidak pernah disebutkan sebagai multiculture. Semboyan Bhineka Tunggal Ika (=Eka) yang tertera dalam lambang Burung Garuda dapat

ditemukan pertama kali pada abad ke-14 dalam Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang mengajarkan toleransi agama Hindu Siwa dan agama Budha. Sebelum

semboyan ini dikenal, Indonesia (walaupun pada saat itu belum disebut Indonesia), telah dikenal melalui kebesaran kerajaan Majapahit (1297—1527) yang wilayah kekuasaannya melebihi Negara Kesatuan Republik Indonesia masa kini3.

1 Disampaikan pada Seminar Nasional “Komunikasi Lintas Budaya dalam Membangun Bangsa yang

Berkarakter”, yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTB, Mataram, 2 s.d. 4 September 2013 . Makalah ini merupakan pengembangan dari bahan yang disampaikan penulis kepada Pusat Kurikulum Nasional pada tahun 2011 dalam rangka persiapan pembuatan Materi Tradisi Lisan dalam Kurikulum Nasional dan makalah penulis “Multiculture Education as A Foundation of Peace and Unity in Indonesia” yang disampaikan pada Intercultural and International Dialogue di Sofia, Bulgaria dan Istanbul (Turkey), 20 April—2 Mei 2013.

2 Penulis adalah Dosen tetap di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI),

peneliti, konsultan, dan Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

3 Berita tentang kebesaran dan kejayaan Majapahit dapat dibaca lebih lanjut dalam buku berikut.

(2)

Dengan kekayaan jumlah pulau yang 17.000-an, suku bangsa yang berjumlah sekitar 550 dan kekayaan bahasa sebanyak 780-an, Indonesia memang pantas

dijuluki sebagai negara multikultur terbesar di dunia. Dalam hal bahasa, seperti yang sudah kita ketahui bersama, Indonesia telah mencapai kesepakatan untuk

menggunakan Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi nasional. Melalui Sumpah Pemuda, pernyataaan resmi para pemuda sebagai wakil dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia secara resmi diresmikan sebagai bahasa persatuan Indonesia. Seperti juga yang telah kita ketahui bersama, meskipun bahasa Jawa dipakai oleh sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi karena struktur bahasanya sangat rumit yaitu mengenal adanya tingkatan dalam berbahasa yang membedakan bahasa untuk orang tua dan muda, bangsawan dan bukan atau kelompok terhormat dan kelompok rakyat biasa, bahasa Jawa dan juga bahasa Sunda tidak dipilih sebagai bahasa persatuan rakyat Indonesia. Bahasa Melayu yang sederhana strukturnya dan pada saat itu sudah menjadi lingua franca yang sudah menyebar ke segala penjuru Indonesia akhirnya yang terpilih menjadi bahasa persatuan dan diakui sebagai

bahasa resmi negara. Tidak dikenal adanya dominasi antara yang mayoritas dengan minoritas dalam hal ini. Bahasa daerah yang dipakai di dalam percakapan sehari-hari tetap diakui sebagai bahasa ibu sebagian rakyat Indonesia. Dalam UU Bahasa, tertera bahwa salah satu fungsi bahasa daerah adalah sebagai pemerkaya bahasa Indonesia. Secara implisit ini berarti juga bahwa sastra daerah menjadi pemerkaya sastra Indonesia.

Permasalahannya di sini adalah pada kata Indonesia. Kata Indonesia dalam frasa Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia diartikan sebagai bahasa dan sastra yang memakai bahasa Indonesia bukan bahasa dan sastra yang ada di Indonesia. Karenanya kedudukan bahasa dan sastra yang non-Indonesia, atau yang berbahasa daerah yang ada di Negara Indonesia seakan-akan mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada yang berlabel Indonesia, antara lain dengan alasan kuat adanya Sumpah Pemuda yang telah disebutkan di atas. Saya tidak bermaksud

mempermasalahkan hal ini lebih lanjut karena bukan tujuan utama makalah ini, tetapi saya akan mencoba memperlihatkan betapa kerugian yang diperoleh, khususnya dalam hal ini saya hanya akan merujuk ke ranah sastra saja, karena ketidaksiapan kita melihat temuan-temuan yang diperoleh dari sastra (yang tentunya dalam hal ini menggunakan bahasa daerah). Temuan yang memperkaya genre dan teori sastra pada umumnya yang sebetulnya malah dapat disumbangkan ke tingkat internasional.

(3)

Mengapa kita hanya membatasi sastra dengan prosa, puisi, prosa liris, dan drama, misalnya sementara kita bisa mendapatkan genre-genre baru dari khasanah sastra daerah, seperti tanggomo, cerita pantun, dan Mak Yong? Apakah kita hanya akan mengatakan bahwa cerita adalah faktor penting dari sebuah pementasan drama, sementara dalam pementasan tradisi cerita ternyata tidak dianggap penting. Masih banyak contoh yang dapat diberikan di sini yang menunjukkan belum maksimalnya kita menggunakan kekayaan yang ada dalam khasanah tradisi sastra kita, khususnya yang berasal dari dunia kelisanan atau yang sering disebut sebagai tradisi lisan.

Tradisi lisan sebagai kekuatan kultural penting untuk dikembangkan dalam upaya menempatkannya sebagai (1) salah satu sumber pengetahuan untuk kajian kebudayaan dan kemasyarakatan serta (2) sumber penting pembentukan karakter bangsa. Telah disebutkan dalam Konvensi UNESCO tanggal 16 Oktober 2003, bahwa tradisi lisan merupakan salah satu unsur penting dalam warisan budaya yang

‘tanbendawi’ atau Intangiable Cultural Heritage (ICH).

Tradisi lisan tidak hanya mencakupi dongeng, legenda, mite, mantra, dan cerita lain seperti yang banyak diartikan orang. Pada dasarnya tradisi lisan mencakupi juga berbagai hal seperti kearifan tradisional, sistem nilai, pengetahuan tradisional, sistem kepercayaan dan religi, kaidah dan struktur sosial, sistem pengobatan, sejarah,

hukum adat, upacara adat/ ritual, permainan tradisional, dan berbagai hasil seni4. Berbagai hal tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tuturan. Menurut pakar Folklor, James Danandjaja, tradisi lisan biasa disebutkan orang juga untuk mengatakan folklor, tetapi ia lebih memilih istilah folklor daripada istilah tradisi lisan5. Folklor menurut Jan Harold Brunvand terbagi atas folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan (Danandjaja, 1991: 2). Menurut James

Danandjaja,” folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)”

(Danandjaja,1991:1). Dengan perkenalan mengenai istilah folklor yang demikian ini, tradisi lisan sering diartikan dengan terbatas seperti yang telah disebutkan di atas. Tradisi lisan sesungguhnya meliputi ranah yang luas yang batasannya dapat diambil dari dua kata dasarnya, yaitu tradisi dan lisan6. Tradisi dimaksudkan sebagai sesuatu yang sudah ada sejak lama dan menjadi milik sekaligus menandai sebuah

4 Lihat lebih lanjut batasan yang diberikan oleh Roger Tol dan Pudentia, 1992, Two Directions of ... ,

Warta ATL, no.1, th.1 dan batasan Pudentia tentang tradisi lisan dalam kata pengantar buku

Metodologi Kajian Tradisi Lisan, (ed.Pudentia), 2008.

5 James Danandjaja mengatakan bahwa istilah tradisi lisan lebih sempit daripada istilah folklor. Tradisi

(4)

komunitas atau sekelompok masyarakat. Konsep “lisan” dapat diartikan dalam dua pengertian, yaitu ”lisan” yang terjemahan bahasa Inggrisnya adalah “oral” dan yang dapat dioposisikan dengan “written” (tulisan) dan “literacy” (keberaksaraan). Lisan yang dimaksudkan di sini adalah “oral” yang berkaitan dengan “literacy” (kelisanan dan keberaksaraan). Akan tetapi, beberapa pakar, misalnya Edi Sedyawati dalam ceramahnya di Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara ke VII di Bangka pada bulan November 2010 mengartikan kelisanan tidak hanya berkaitan dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan hal lain yang dipakai dalam pementasan tradisi, yaitu misalnya bunyi-bunyi, gerakan tubuh, dan peralatan yang dipakai untuk mengiringi pementasan. Kandungan yang terdapat dalam tradisi lisan diakui memang begitu luas dan beragam.7Dengan memperhatikan cakupan materi yang meliputi berbagai hal tersebut, maka kajian tradisi lisan merupakan kajian multidisiplin, seperti bahasa, seni (termasuk di dalamnya sastra dan seni pertunjukan), sejarah, antropologi, religi, filasafat, hukum, pengetahuan dan teknologi tradisional.

Tradisi seperti yang diartikan di atas seringkali dipandang sebagai sesuatu yang kuna, yang ketinggalan zaman, yang sudah tidak fungsional dan diminati lagi karena tidak layak hadir pada zaman berkenaan. Sebagai sebuah konsep, tradisi juga seringkali dikontraskan dengan yang modern atau segala hal yang aktual. Dengan kata lain, mengutamakan tradisi berarti juga tidak modern dan tidak aktual.

Pandangan umum seperti inilah yang sesungguhnya pertama-tama akan membatasi kehadiran tradisi dan perannya dalam masa sekarang. Perlu dalam kesempatan ini meluruskan makna dan arti tradisi dalam paradigma keberlangsungan suatu bagian kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah komunitas atau bangsa yang dapat dicermati sebagai warisan yang dimiliki oleh komunitas tersebut sejak beberapa masa yang lampau.

Tradisi tidak selalunya tampil dalam bentuknya yang sama seperti pada masa lalu atau seperti yang dituturkan nara sumber pernah terjadi demikian pada masa lalu. Tradisi dapat tampil dalam bentuknya yang sudah berubah atau dalam bentuk transformasinya, tetapi secara keseluruhan masih dapat dikenali jejak-jejak

tradisinya pada masa lalu.

Tradisi hendaklah dilihat bukan sebagai barang antik yang harus diawetkan, yang beku, yang berasal dari masa lalu dan tidak pernah akan dan boleh berubah

6 Khusus mengenai pengertian “kelisanan” perlu dibaca lebih jauh karya Walter J. Ong, Orality and

Literacy:The Technologizing of the Word, London & New York: The Methuen & Co Ltd., 2000 (Cet. I tahun 1982).

7Edi Sedyawati, “Kedudukan Tradisi Lisan dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu-Ilmu Budaya, Warta ATL,

(5)

yang kemudian diagungkan dan diabadikan. Sudut pandang seperti ini justru akan mengangkat tradisi, khususnya tradisi lisan. Tradisi lisan seolah berada dalam sejarah kegemilangan masa lalunya saja tanpa dapat mengaktualkan diri dalam situasi masa kini. Untuk mengangkat tradisi lisan itu perlu sekali membangun sebuah paradigma yang dapat melihat tradisi lisan sebagai sebuah kekuatan yang mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan lain termasuk kekuatan hegemoni dan

kekuatan di luar dirinya. Paradigma ini dibangun dari suatu pandangan bahwa tradisi lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah komunitas (Pudentia dan Effendy, 1996) .

Kesadaran akan pentingnya tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan mulai terasa ketika sumber pengetahuan modern yang diperoleh dari sumber-sumber tertulis kerap tidak memberi jawaban terhadap keunikan-keunikan lokal yang dihadapi. Hal itu terjadi karena selama ini pada umumnya kita hanya bertumpu pada literatur yang mengagungkan kajian ilmu pengetahuan dalam bentuk-bentuk baku yang tertulis, sementara referensi yang bersumber dari tradisi lisan cenderung diabaikan.

Di sisi lain, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang akibat proses pewarisan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, dari berbagai hasil penelitian dan pembicaraan dalam seminar-seminarnya, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) menyimpulkan bahwa hal yang sangat penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Lembaga pendidikan

mempunyai peran penting menyiapkan program konkret mengubah media pewarisan tradisi lisan tanpa meninggalkan hakikat tradisi lisan itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari komunitasnya. Penting juga memperhatikan upaya pengembangan potensi, penyusunan langkah-langkah perlindungan termasuk perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual kreatif (PaEni, 2008).

Untuk menghindari punahnya dan hilangnya sama sekali khasanah yang begitu bernilai, baik sebagai salah satu sumber pengetahuan maupun sebagai salah satu sumber pembentukan identitas dalam membangun peradaban dunia, tradisi lisan sebagai obyek/barang langka perlu segera diteliti , didokumentasi, dan dikelola dengan pendekatan yang sesuai dengan hakekat tradisi lisan. Hasil penelitian

diharapkan dapat turut memperlihatkan kepedulian dan penghargaan masyarakat akademis pada warisan budayanya dan juga memberikan banyak temuan dan masukan yang berguna bagi banyak pihak terkait.

(6)

tidak dapat dilepaskan dari perubahan budaya. Ada tiga kemungkinan perubahan yang disampaikannya, yaitu (1) revived, yaitu kebudayaan yang telah lama tidak muncul, kemudian dimunculkan kembali oleh pihak tertentu dalam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi saat itu; (2) re-credited atau kebudayaan yang

diciptakan kembali dengan dasar kombinasi dari beberapa tradisi, atau berdasarkan inspirasi suatu tradisi, dan (3) invented, yaitu bentuk baru suatu kebudayaan yang sebelumnya tidak dikenal tetapi kemudian dikenali kembali dan dijadikan identitas formal suatu komunitas atau identitas wilayah administrasi pemerintahan.

Sumber utama kajian adalah penutur, pembawa, termasuk di sini nara sumber pemilik tradisi lisan yang diteliti. Dengan kata lain setiap pementasan, pertunjukan, ritual, atau peragaan menjadi kata kunci. Di samping itu, tradisi dan nara sumber utama yang masih hidup yang merupakan living traditions, ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat dan tradisi tersebut (memory traditions) juga termasuk dalam kategori ini. Informasi dan data dari sumber utama kajian ini ditranskripsi, direkam, didokumentasi, dan diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia yang kemudian menjadi teks kajian dan publikasi. Sumber kedua kajian tradisi lisan meliputi data arsip, dokumen, rekaman, dan dokumentasi terdahulu serta sumber-sumber/referensi dari perpustakaan dan yang terkait.

Langkah selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah pilihan contoh tradisi yang akan dipakai sebagai bahan kajian. Dengan begitu banyaknya kelompok etnis yang terdapat di Indonesia sebanding dengan banyaknya bahasa daerah yang tercatat oleh Badan Bahasa, yaitu sekitar 780-an, tidaklah mudah untuk memilih contoh kajian dengan semua pemikiran yang telah diungkapkan di atas.

Yang menjadi ranah pembidangan tradisi lisan dalam kurikulum ini adalah: 1. Bahasa dengan pengertian bahasa daerah yang digunakan dalam tradisi

lisan bersangkutan dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia;

2. Sastra dan Seni dengan pengertian bahwa sastra diberikan secara tersendiri karena pada kenyataannya hanya bagian teater yang masuk dalam

kurikulum seni. Diperlukan pembahasan khusus mengenai sastra yang tidak saja berkaitan dengan teater tetapi juga prosa, puisi, dan genre lain yang ditemukan dalam sastra daerah bersangkutan. Selain menjadi bagian dalam Seni, sastra masuk dalam Bahasa bila diintegrasikan dalam kurikulum

nasional.

Kekayaan budaya seperti tradisi lisan seharusnya dapat dilindungi dan dikembangkan untuk kepentingan bangsa dan negara, khususnya sebagai sumber pembentukan karakter. Kegagalan dalam membangun karakter bangsa akan

(7)

Indonesia ke depan. Kekayaan budaya tersebut meliputi kekayaan ’bendawi’ (Tangiable Cultural Heritage)dan kekayaan ’tanbendawi’ (Intangiable Cultural

Heritage), sebagaimana telah dikemukakan dalam Konvensi UNESCO tahun 2003 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 2007. Satu di antara kekayaan tanbendawi yang penting adalah tradisi lisan yang mencakup ekspresi dan bahasa. Secara khusus kekayaan budaya tanbendawi atau Intangible Cultural Heritage (ICH) belum mendapatkan perhatian yang proporsional dalam kurikulum pendidikan.

Kekayaan yang luar biasa yang dimiliki Indonesia sebagai Negara yang

multikultur sejak terbentuknya seringkali tidak disadari oleh warganya sendiri. Berapa banyak yang mengetahui dan memahami warisan budaya (cultural heritage) dan warisan budaya yang intangiable yang kita miliki yang sudah diakui oleh UNESCO dalam 3 kategori penghargaan? Berapa banyak waktu dalam pembelajaran di sekolah yang dapat dimasuki oleh materi pemahaman kekayaan budaya Indonesia, baik yang sudah diakui dunia maupun yang belum diakui tetapi sudah terbukti penting

perannya selama ini dalam membangun peradaban Indonesia dan dunia? Untuk sekedar penyegaran awal dapat disebutkan beberapa contoh saja yang relevan dalam pembicaraan ini, yaitu keris, wayang, batik, angklung, noken, dan tari saman yang sudah diakui sebagai Masterpieces of Intangiable Cultural Heritage , Subak dengan filosofi Tri Hita Karana-nya setelah 9 tahun diperjuangkan akhirnya baru-baru ini diakui sebagai Warisan Dunia versi UNESCO, dan I Lagaligo, Negarakertagama, dan Babad Diponogoro sebagai Memory of the World (MOW). Menarik untuk melihat perbandingan penghargaan tersebut di antara berbagai Negara untuk memahami mengapa isu budaya di Indonesia meskipun selalu diwacanakan sebagai sesuatu yang penting tetapi pada kenyataannya tidak diimplementasikan dalam program yang signifikan.

Dua kategori penghargaan telah lama dikenal di dunia dan di Indonesia (tetapi hanya untuk kalangan terbatas) yaitu Masterpieces of Intangiable Cultural Heritage (=MICH) dan World Heritage (=WH). Bandingkan Indonesia yang memiliki paling tidak 17.000 pulau, 870-an bahasa daerah, dan 550 etnis hanya memiliki 6 warisan budaya yang diakui dalam program MICH (keris, wayang, batik, angklung, noken, dan tari saman) sementara China memiliki 31 buah yang terdaftar; Jepang: 21, Korea: 14, dan India: 8. Untuk kategori WH Indonesia memiliki 8 warisan budaya yang diakui dunia, yaitu Borobudur, Prambanan, Sangiran, Subak, Taman Lorentz, Komodo, Ujung Kulon, dan Hutan Tropis di Sumatera yang terkena angka merah karena terbukti tidak

(8)

masing-masing mencatatkan 39 warisan budayanya; India 30 dan Barasil serta Australia mempunyai 19 warisan budaya yang tercatat sebagai warisan dunia. Ini adalah tantangan sekaligus refleksi untuk kita? Bagaimanakah kita akan memperkenalkan warisan budaya dengan segenap kearifan lokal dengan keunggulan seperti yang telah diperlihatkan di atas kepada dunia kalau kita sendiri tidak menyadari akan adanya warisan tersebut dan memahaminya.

Pembelajaran tradisi lisan ditumpukan pertama-tama pada kegiatan mengenali khasanah tradisi budaya yang ada di sekitar siswa, khususnya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tuturan dan cara lain yang termasuk dalam kelisanan. Khasanah budaya yang disebutkan oleh UNESCO sebagai

Intangiable Cultural Heritage (ICH) ini harus didokumentasi dalam berbagai bentuknya: transkripsi, foto, rekaman suara dan gambar, dan catatan lain yang

diperoleh ketika menyaksikan atau mengikuti pertunjukan / pementasan. Pertunjukan atau pementasan atau ritual menjadi kata kunci seperti yang disebutkan di atas. Bila tidak dimungkinkan para siswa menyaksikan atau mengikuti peristiwa kelisanan tersebut, maka rekaman yang sudah dibuat sebelumnya dapat dijadikan bahan pengamatan dan diskusi.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Rendahnya kompetensi paedagogik para guru bahasa dan sastra Indonesia khususnya dalam mengaplikasikan strategi/model pembelajaran sastra Indonesia yang mencerahkan siswa

menjelaskan unsur-unsur penting penelitian, dan juga memuat beberapa contoh proposal yang berkaitan dengan bahasa dan sastra.. Selain menambahkan penjelasan pada beberapa

Dengan diterbitkannya naskah Tutur Candi ini semakin leng- kap pulalah khazanah sastra Indonesia lama yang berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, khususnya mengenai

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan manfaat penggunaan sastra dalam pembelajaran bahasa asing, khususnya bahasa Jepang. Metode yang digunakan adalah salah satu dari

Berdasarkan kondisi upaya membangun karakter tersebut, untuk menimbangkan sastra Jawa modern, khususnya geguritan atau puisi Jawa, karakteristik karakter yang dikembangkan

Berdasarkan teori sastra Profetik, khususnya pada etika humanisasi kumpulan puisi Aku Manusia karya A, Mustofa Bisri mengandung etika humanisasi yang memiliki keterkaitan erat dengan

a) Yang dimaksud dengan sastra pengaruh peralihan dalam sastra Indonesia lama ialah sastra Indonesia lama yang mengandung unsur Hindu dan Islam. Karya sastra yang termasuk

Contoh – contoh kesalahan yang ada di sini dan mekanisme penanganannya bukanlah berasal dari suatu produk kompilator tertentu, meskipun instruksi – instruksi yang