• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT 5.0

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT 5.0"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PEMBELAJARANNYA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT 5.0

© Penerbit Kepel Press Penyunting/Penyelaras:

Sudartomo Macaryus Yoga Pradana Wicaksono

Nur Indah Sholikhati Ermawati Desain Sampul:

Winengku Nugroho Desain Isi:

Safitriyani Cetakan Pertama, 2019

Diterbitkan oleh

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan HISKI

Komisariat UST-UTY

bekerjasama dengan Penerbit Kepel Press Puri Arsita A-6, Jl.

Kalimantan Ringroad Utara, Yogyakarta Telp: (0274) 884500; Hp: 081 227 10912

email: amara_books@yahoo.com Anggota IKAPI

ISBN : 978-602-356-262-6

Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku, tanpa izin tertulis dari penulis

dan penerbit.

Percetakan Amara Books Isi diluar tanggung jawab percetakan

(3)

DAFTAR ISI

Sekapur Sirih Penyunting/Penyelaras ... v Sekapur Sirih Dekan FKIP Universitas Sarjanawiyata

Tamansiswa Yogyakarta ... ix Sekapur Sirih Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa

Yogyakarta ... xiii

WACANA UTAMA

Sastra di Tengah Budaya Teknologis dan Imperatif Pembelajarannya

• Prof. Dr. Suminto A. Sayuti ... 3 Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada

“Era Masyarakat 5.0 (Society 5.0)”

• Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd... 13

WACANA KEBAHASAAN

Seruan dalam Tuturan Masyarakat Berbahasa Jawa

• Basuki ... 33 Campur Kode dalam Media Sosial Instagram

• Tuty Kusmaini ... 53 Gastronomi Jajan Pasar: Ruang Konservasi Bahasa

• Ermawati, Sudartomo Macaryus, dan Bambang Dwiratno ... 65 Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Media Sosial

• Vita Nirmala ... 81

(4)

Preposisi dalam Bahasa Indonesia: Tinjauan Bentuk dan Perilaku Semantisnya

• Nusarini dan Desy Rufaidah ... 89 Kearifan Lokal: Ritual Gumbregan di Desa Getas,

Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul

• Krisma Dewi ... 103 Penggunaan Kosakata Metaforis pada Konstruksi Berita Korupsi di Jawa Pos (Kajian AWK Fairclough)

• Nur Indah Sholikhati . ... 117 Pemanfaatan Bahasa Keterangan (Caption) dalam Youtube untuk Meningkatkan Jumlah Viewer dan Subscriber

• Yoga Pradana Wicaksono dan

Titis Kusumaningrum Witdaryadi Putri ... 129 Integrasi Penafsiran Undang-Undang Dasar dan Pengambilan Vonis Hukum di Indonesia Era Society 5.0

• Oky Widyantoro... 145 Analisis Wacana Tindak Tutur, Implikatur, dan Pelanggaran

Maksim Percakapan Humor dalam Akun Instagram Tahilalats

• Die Bhakti Wardoyo Putro dan Desy Rufaidah ... 157

WACANA KESASTRAAN

Relevansi Pendidikan Karakter dalam Novel Canting dengan Revolusi Industri 5.0

• Wijaya Heru Santosa ... 1471 Industri Kreatif Pariwisata Berbasis Kutipan Sastra sebagai

Implikasi Budaya Self Presentation Generasi Milenial

• Novia Anggraini ... 187 Kritik Posthuman: Penjelajahan Awal dalam Sastra Indonesia

• Joko Santoso ... 197

(5)

Masalah-Masalah Sosial Di Era Milenial Dalam Cerpen Di Situs Basabasi.Co

• Marlinda Ramdhani ... 207 Nilai Pendidikan Karakter Ala Gus Mus dalam Kumpulan

Puisi Aku Manusia

• Widowati ... 217 Sastra Tutur Komering Betung Okut Sumatera Selatan:

Hiring-Hiring sebagai Keseimbangan Emosi dalam Media Digital

• Yeni Afrita ... 237 Dekonstruksi Perempuan Jawa Ideal dalam Novel Roro

Jonggrang Karya Budi Sardjono

• Sri Wahyuningtyas ... 251 Mimikri dan Resistensi Pribumi terhadap Kolonialisme

dalam Novel Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer:

Tinjauan Poskolonial

• Rudian Noor Dermawan dan Joko Santoso ... 263

WACANA PEMBELAJARAN

Keterpaduan Pembelajaran Membaca dan Menulis

• Siti Rochmiyati ... 295 Implementasi Model Investigasi Sosial pada Pembelajaran

Menulis Teks Laporan Hasil Observasi Berkonteksi Kearifan Lokal

• Hany Uswatun Nisa dan Agnes Apryliana... 309 Implementasi Modul Menulis Karangan Berbasis Strategi

Think-Talk-Write

• Agnes Aprylianadan Hany Uswatun Nisa ... 321 Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Media Digital

• Desy Rufaidah dan Die Bhakti Wardoyo P. ... 333

(6)

Media Pembelajaran Iquiz Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dalam Menghadapi Era Digital

• Sigit Pambudi dan Ibnu Romadhon ... 343 Pembelajaran Sastra Digital dalam Perspektif Teknologi 5.0

• Rizky Putri Permatasari ... 355 Teknologi Digital sebagai Tantangan dan Peluang

• Sudartomo Macaryus ... 367

(7)

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER ALA GUS MUS DALAM KUMPULAN PUISI AKU

MANUSIA

Widowati

FKIP, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta widowatimhum@gmail.com

Abstrak

K.H.A. Mustofa Bisri atau biasa disapa Gus Mus merupakan pengarang yang karya-karyanya dipengaruhi oleh dunia kesantrian sehingga karya-karya yang dihasilkan dapat menjadi tuntunan pembaca dalam berkehidupan. Tuntunan yang tidak tersurat dalam kumpulan puisi Aku Manusia dapat dikembalikan pada salah satu etika Profetik, yaitu humanisasi. Nilai humanisasi yang sekaligus menjadi nilai pendidikan karakter dalam kumpulan puisi Aku Manusia didapatkan dari berbagai puisi. Di antaranya nilai pendidikan kejujuran tersirat dalam puisi “Wangsit”, “Ada Apa dengan Kalian”. Nilai cinta alam dan lingkungan tersirat dalam puisi “Negeri Sulapan”, “Panorama” , dan “ Menara Sampah”.

Nilai pendidikan karakter kepedulian atau kepekaan terdapat dalam puisi “Di Sini Tak Ada Telinga”, “Nasihat Kematian”, dan

“Matahari Rindu Nabi”. Semua nilai tersebut dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan jati diri masing-masing sehingga tercapailah tujuan sastra Profetik untuk menggapai langit sekaligus berpijak di bumi.

Kata kunci: Aku Manusia, pendidikan karakter, puisi

PENDAHULUAN

Kepekaan pengarang terhadap situasi dan kondisi lingkungan atau masyarakatnya tidak dapat dipungkiri membawa pengaruh terhadap hasil karyanya, baik berupa puisi, cerpen, atau novel. Kepekaan

(8)

tersebut dapat berkaitan dengan keresahannya, kejengkelannya, simpatinya, antipatinya, dan yang lain-lain. Semua itu dengan sadar atau tanpa disadarinya ikut serta dalam proses penulisan karya sastra.

Seorang pengarang tidak akan menyampaikan secara langsung pada masyarakat yang mendapat simpatinya atau antipatinya, melainkan ia akan mewujudkannya dalam karya-karya yang ditulisnya. Itupun dengan cara yang secara umum bersifat simbolis.

Rasa-rasa yang dimiliki pengarang tidak lepas dari persoalan ekonomi, politik, budaya, dan hukum yang sedang ada dan berkembang dalam masyarakat. Tidak semua yang terjadi dalam masyarakat menjadikan kehidupan yang menentramkan atau mendamaikan. Apalagi, jika yang terjadi justru menjadikan kehidupan masyarakat semakin kacau dan ada rasa saling kecurigaan. Kondisi yang tidak sehat ini dapat membuat seorang pengarang tergerak hatinya untuk ikut menyuarakan kondisi masyarakat agar didengar oleh khalayak.

Hal itu sejalan dengan pendapat Indrastuti (2019: 1) bahwa puisi merupakan salah satu jenis sastra merefleksikan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat Puisi tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial. Respon penyair terhadap realitas sosial yang mengandung ketimpangan, ketidakadilan dalam masyarakat disampaikan dalam bentuk kritik sosial yang terefleksi melalui kaya-karyanya. Puisi menyatakan kritik sosial yang mengandung nasionalisme secara tidak langsung. Dengan demikian, puisi dapat dimanfaatkan sebagai media edukasi, khususnya sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Hal itu sejalan pula dengan pilar-pilar pendidikan karakter, baik karakter yang bersumber dari olah hati, pikir, raga, atau rasa dan karsa (Setiawati, 2017:348- 352; Yaumi, 2014:351).

Sebagai media pendidikan karakter, puisi haruslah dipahami dahulu dari segi maknanya. Puisi merupakan salah satu jenis karya kreatif dengan bahasa sebagai medianya (Mahayana, 2016:18). Di samping itu, perlu disadari bahwa bahasa puisi memiliki lapisan bahasa yang berbeda-beda dan terlahir dari fenomena budaya yang beraneka ragam yang penyebabnya juga berhubungan dengan latar belakang pengarangnya. Darmanto Jatman, misalnya, sangat

(9)

dipengaruhi oleh budaya Jawa dalam pemilihan bahasa , demikian juga Kuntowijoyo, atau Danarto. Sementara, latar belakang kehidupan pondok pesantren sangat kuat ikut berproses dalam pemilihan kosa kata oleh Ahmad Mustofa Bisri atau yang biasa disebut Gus Mus yang berasal dari pondok pesantrean Roudlotuth Tholibin dari Rembang- Jawa Tengah.

Gus Mus merupakan salah satu penyair yang sangat diperhitungkan dalam jagat sastra Indonesia. Puisi-puisinya memilikikekuatan pada pemilihan bahasanya yang relatif sederhana, namun mengena. Konsistensinya dalam membela kaum pinggiran tak terelakkan atau memanusiakan manusia. Puisi-puisinya dapat menjadi penuntun atau arah pembaca mengembangkan kepribadian sesuai dengan kondisi mereka dalam masyarakat. Hal itu didasarkan pada keyakinannya bahwa anugerah dan hikmah kehidupan penyair bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang lain.

Kesadaran personalnya juga berangkat dari penghayatan sosial karena penyair selalu melakukan apa yang disebut transpersonalisasi dan transsubjektifikasi kehidupan (Sayuti, 2015:6).

Transpersonalisasai atau transubjektifikasi kehidupan masyarakat dalam puisi termanifestasikan dalam berbagai unsur pembangunnya yang bersatu padu membangun keutuhan. Hal tersebut di atas, sejalan juga dengan sosok penyair K.H. Ahmad Mustofa Bisri. Penyair yang juga seorang kiai, tetapi tidak mau disebut sebagai kiai, seorang ulama, sorang pelukis, seorang budayawan, dan mantan politikus dalam proses menghasilkan karya-karya puisinya. Persoalan dalam masyarakat menjadi bagian yang terintegrasi dengan persoalan pribadinya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam kumpulan puisi Aku Manusia kristalisasi nilai- nilai kehidupan dapat menjadi penuntun masyarakat dalam menyikapi berbagai persoalan yang dihadapinya.

Kristalisasi nilai kehidupan pada dasarnya merupakan bagian dari aspek humanisasi dalam sastra Profetik gagasan Kuntowijoyo, di samping liberasi dan transendensi (2006:8-24). Sastra Profetik menghasratkan agar manusia tidak menjadi makhluk satu dimensi, melainkan makhluk lengkap, baik jasmani maupun rohani, mengakar di bumi sekaligus menjangkau langit. Sayuti dalam majalah

(10)

Horison,bersamaan dengan penyiaran Maklumat Sastra Profetik oleh Kuntowijoyo (2005:4) menjelaskan bahwa etika profetik merupakan hal yang penting dalam sastra Profetik, apalagi di tengah perkembangan sosial yang begitu mengedepankan aspek material. Karena itu, sastra Profetik diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pembentukan karakter bangsa Indonesia, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Pembentukan karakter melalui karya sastra ini sebenarnya sudah dimulai sebelum bangsa Indonesia memiliki kesadaran membaca, yaitu melalui sastra lisan yang disebarkan dalam komunitas dan dalam acara-acara tertentu.

Kumpulan puisi Aku Manusia menggambarkan refleksi dan kegundahan Gus Mus atas kehidupan manusia yang sudah tidak sejalan dengan harkat dan martabat kemanusiaan yang semestinya.

Banyak dari mereka yang keluar dari harkat dan martabatnya sehingga membuat sifat alamiahnya mengabur, bahkan menghilang.

Tragisnya lagi, mereka tidak mengenali diri mereka sendiri. Mereka terbawa oleh nafsu-nafsu yang sudah membelenggunya. Berdasarkan gambaran tersebut, secara tidak langsung Gus Mus sebagai seorang kiai memberi rambu-rambu peringatan pada manusia agar tetap menjadi manusia yang sebenar-benarnya.

Humanime Gus Mus dalam kumpulan puisi ini sejalan dengan usaha pemerintah dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia melalui penanaman pendidikan karakter di lembaga-lembaga pendidikan. Saratnya kandungan nilai pendidikan karakter tersebut menjadikan kumpulan puisi Aku Manusia, dapat dimanfaatkan sebagai media pendidikan karakter melalui penafsiran dan pemahaman lebih dahulu. Tanpa penafsiran, kumpulan puisi ini barulah berupa permainan kata-kata yang

METODE

Jenis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Wujud datanya berupa satuan estetis yang berasal dari sumber data yang berhubungan dengan masalah. Adapun sumber datanya adalah kumpulan puisi Aku Manusia karya A. Mustofa Bisri. Dalam penelitian ini, instrumennya adalah peneliti sendiri dengan kemampuan menganalisis data yang

(11)

terkumpul. Karena itu, peneliti telah menyiapkan diri dengan konsep sastra Profetik dan nilai- nilai karakter.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif pada dasarnya sama dengan metode hermeneutika. Artinya, secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Cara-cara inilah yang mendorong metode kualitatif dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan (Ratna, 2012:46- 48). Teknik pengumpulan data yang dilakukan menggunakan teknik observasi dan teknik catat. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data.

Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu semua data yang diperoleh melalui pencatatan, diidentifikasi, ditafsirkan kemudian hasilnya dijelaskan. Hal itu sejalan dengan pendapat Ratna (2012:43- 53) bahwa metode analisis data meliputi metode intuitif, hermeneutik, kualitatif, analisis isi, formal, dialektika, dan deskriptif analisis.

Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta- fakta yang kemudian disusul dengan analisis.

PEMBAHASAN 1. Sastra Profetik

Untuk membicarakan kumpulan puisi Aku Manusia, diperlukan tori khusus tentang sastra Profetik. Di bawah ini disajikan teori sastra Profetik agar ada gambaran apa dan bagaimana sastra Profetik.

Istilah sastra Profetik tidak bisa lepas dari nama Kuntowijoyo. Tokoh inilah yang merupakan pelopor penggunaan istilah sastra Profetik.

Kuntowijoyo menyampaikan gagasannya dalam tulisanya berjudul

“Maklumat Sastra Profetik Kaidah, Etika dan Struktur sastra)” yang dimuat di majalah Horison tahun 2005 (Widowati, 2015:11; Wdowati, 2017).

Dalam buku Maklumat Sastra Profetik (2006:10), Kuntowijoyo menulis hal-hal berikut. Sastra Profetik adalah sastra demokratis. Ia tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya

(12)

(style), baik yang bersifat pribadi maupun yang baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengruh Komunisme, sastra memilih realisme sosialis dengan agresif dan berusaha mematikan aliran lain, ada bureaucratization of the imaginative. Keinginan sastra Profetik hanya sebatas bidang etika, itu pun dengan suka rela, tidak memaksa.

Etika itu disebut Profetik karena ingin meniru perbuatan Nabi, Sang Prophet. Meskipun Nabi telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, beliau tetap kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya.

Etika Profetik berisi tiga hal, yaitu humanisasi, libersai, dan transendensi (Kuntowijoyo, 2005:4; 2006:8-24; 2013:9-29; Sayuti, 2005:4;

Wangsitalaja, 2015; Leak, 2018:2; Hardiyanta, 2018:2; Rahmat, 2019) itu pada dasrnya menjadi pelayan bagi umat manusia. Liberalisme akan memilih humanisasi, Marxisme memilih liberasi, dan kebanyakan agama memilih transendensi. Etika Profetik menginginkan ketiga- tiganya.

Karena itu, sastra haruslah bisa mengarahkan manusia sebagai manusia unggul yang sari patinya didasarkan pada al-Quran ( Iqbal dalam Maitre, 1985:77). Manusia unggul adalah manusia yang mampu mengimplementasikan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya, dalam kehidupan bermasyarakat.Ia tidak mungkin menjadi “bunga yang mekar dalam pemencilan diri” (Maitre, 1985:61). Artinya, manusia itu tidak mungkin mencapai kejayaannya, cita-citanya, harapannya, atau

“kesempurnaannya” sebagai manusia tanpa berdampingan dengan manusia lain.

Sejalan dengan pernyataan di atas, sastra Profetik menurut Kuntowijoya (2005:8) adalah sastra dialektik, artinya sastra yang berhadap-hadapan dengan realitas, melakukan penilaian, dan kritik sosial budaya secara beradab. Oleh karena itu, sastra Profetik adalah juga sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan (2006:1-2). Ia tidak mungkin menjadi sastra yang terpencil dari realitas. Akan tetapi, sastra hanya dapat berfungsi sepenuhnya bila ia sanggup memandang realitas dari suatu jarak. Karena itulah lahir ungkapan

“sastra lebih luas dari realitas”, “sastra membawa manusia keluar dari belenggu realitas”, atau “sastra membangun realitasnya sendiri.

Ia adalah renungan tentang realitas. Realitas sastra adalah realitas

(13)

simbolis, bukan realitas aktual dan realitas historis. Melalui simbol itulah sastra memberi arah dan melakukan kritik atas realitas.

Selanjutnya Kuntowijoyo menjelaskan bahwa sastra Profetik merupakan karya sastra yang memiliki ruh untuk kembali kepada nilai-nilai kenabian. Sastra Profetik merupakan refleksi ideologi Islam yang mengkritisi realitas sosial masyarakat yang bertentangan dengan pandangan standard atau nilai moral ideologi Islam. Karena itu, sastra Profetik bersumber pada kitab suci al-Quran, surat Ali Imran, ayat 110, yang artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.

Berdasar pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa sastra Profetik adalah sastra yang menggambarkan adanya aspek kehidupan yang sifatnya vertikal sekaligus horisontal. Sastra yang tidak saja berbicara persoalan keduniawian, tetapi juga keakhiratan. Sastra yang dapat memberi pencerahan pembaca dalam menjalani kehidupan sesama makhluk lain di dunia, sekaligus sastra yang dapat memberi pencerahan pembaca mempersiapkan kehidupan yang abadi. Dengan kata lain, sastra Profetik merupakan sastra yang berpijak pada bumi sekaligus sastra yang menjangkau langit.

2. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan sebuah istilah yang semanin hari semakin mendapat pengakuan masyarakat. Terlebih dengan dirasakannya ada berbagai ketimpangan hasil pendidikan (Kesuma, dkk., 2012:4). Pendidikan karakter adalah pendidikan yang membantu siswa memperoleh pengetahuan yang benar dan lengkap mengenai karakter, mengenai peran karakter dalam hidup pribadi, bersama orang lain, dalam komunitas, dalam masyarakat, bangsa dan negara, dan mendapatkan kecakapan, kemampuan, kompetensi, dan profesionalitas untuk melaksanakannya dalam bidang tertentu untuk dilaksanakan dalam hidup nyata (Mangunhardjana, 2016:20). Dengan mengutip pendapat Fakry Gaffar, Kesuma (2012:5) menuliskan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai- nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian

(14)

seseorang sehungga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang tersebut.

Pendidikan karakter tidaklah harus berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran, tetapi pendidikan karakter itu dapat dititipkan pada semua mata pelajaran. Salah satunya adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Dalam konteks dengan pembelajaran di sekolah, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah (Kesuma, dkk., 2012:5).

Banyak nilai yang dapat menjadi perilaku sebagai karakter yang positif. Di antaranya adalah yang dikembangkan Arry Ginanjar.

Nilai-nilai itu meliputi: jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerja sama, adil, dan peduli. Di samping itu, masih banyak lagi nilai karakter sebagaimana yang disampaikan Kesuma (2012:12). Nilai- nilai itu adalah: jujur, kerja keras, tegas, sabar, ulet, ceria, teguh, terbuka, visioner, mandiri, tegar, pemberani,reflektif, tanggung jawab, disiplin, senang membantu, toleransi, pemurah, kooperatif, komunikatif, peduli, adil, ikhlas, ikhsan, iman, dan takwa.

Sementara yang lain, merumuskan bahwa dalam pendidikan karakter yang dirumuskan pemerintah meliputi 18 nilai karakter yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasiona. Nilai-nilai itu adalah : jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,demokratis, rasa inhin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, dan religius.

Nilai Pendidikan Karakter dalam Kumpulan Puisi Aku Manusia Hadirnya nilai pendidikan karakter dalam kumpulan puisi Aku Manusia pada dasarnya dapat ditelusuri melaui hubungan sebab akibat dari proses penulisan puisi oleh pengarangnya. Sebagai salah satu karya seni, puisi tentu tidak bisa melepaskan dari hakikat keberadaannya. Di dalamnya sudah pasti ada struktur yang lazim dan bangunan estetika melalui bahasa dengan segala pengolahannya.

Diksi sebagai media utama puisi tidak mungkin hadir tanpa

(15)

seleksi pemilihan yang ketat dan pertimbangan- pertimbangan lainnya. Diksi akan hadir setelah berbagai pertimbangan mencapai final menurut pengarangnya. Dalam pertimbangan tersebut, tentu keinginan, kemauan, perasaan, dan pikiran tidak akan terabaikan.

Semua bersatu padu terbalut dalam kesatuan yang utuh dalam bait- bait puisi. Berdasarkan hal tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam puisi akan bisa terkandung muatan atau nilai- nilai sejalan dengan latar belakang pengarangnya.

Kumpulan puisi Aku Manusia ditulis bukan semata-mata ada maksud utama untuk “menggurui” masyarakat, tetapi jika sang guru dapat hadir di tengah- tengah masyarakat tentu merupakan hal yang positif. Pengarang bukanlah guru yang siap dengan materi pembelajarannya, tetapi ia dapat berdiri dengan ketidaksengajaan sebagai seorang guru yang isi pikiran dan perasaannya dapat dipahami masyarakat dan dapat menjadi tuntunan kehidupan masyarakat.

Dalam harian Kompas tanggal 16 Agustus 2019 Gus Mus menyatakan jalan pikirannya yang sejalan dengan hal di atas. Bahwasanya, setiap orang sejatinya merupakan guru karena segala kelebihannya dapat bermanfaat bagi orang lain. Berdasarkan hal tersebut, kumpulan puisi Aku Manusia ternyata banyak mengandung etika profetik, khususnya humanisasi. Hal itu sejalan dengan pemikiran Wijaya (2018; Rahman, 2016); dan Karomi, 2018. Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut adalah sebagai berikut.

1. Kejujuran

Gambaran tentang bangsa peniru atau epigon dapat ditemukan dalam puisi “Wangsit”, “Ada Apa dengan Kalian”. “Kurban”. Puisi di atas menggambarkan bagaimana manusia melepaskan sifat jujurnya demi ambisi-ambisi yang tertanam dalam nafsunya.

Puisi “Wangsit” dibangun oleh kata-kata yang sederhana, seolah-olah hanya menyampaikan fakta yang telah terjadi di dunia tentang pembumihangusan manusia lain yang dianggap sebagia musuh bebuyutan atau perintang dalam mewujudkan keinginan/

kekuasaan. Hal itu pernah dilakukan oleh beberapa tokoh dunia, misalnya Firaun, Hitler, Bush, Ben Laden terhadap orang/bangsa

(16)

yang dianggap sebagai musuhnya. Gus Mus cukup menulisnya sebagai berikut.

Firaun

dapat wangsit membunuh setiap lelaki keturunan Israil Hitler

dapat wangsit membasmi setiap orang Yahudi Bushdapat wangsit melibas

setiap yang dianggap musuh Israel dan Yahudi Ben Laden

dapat wangsit menyikat

setiap yang berbau Amerika, Israel, dan Yahudi (Aku Manusia:29-30).

Deretan kata tersebut adalah realita kehidupan yang pernah dialami oleh masyarakat dunia. Siapa yang tidak mengenal sepak terjang tokoh- tokoh tersebut. Pada bagian tersebut, Gus Mus masih berkutat dengan realita, belum menyinggung adanya makna tersirat di baliknya. Namun, melalui bait penutup ada sesuatu yang tersirat yang ingin disampaikannya.

Kita

tak perlu wangsit

sesuai keahlian kita tinggal meniru saja (Aku Manusia:30).

Bait terakhir adalah tohokan halus Gus Mus pada bangsa Indonesia yang tidak perlu mengandalkan logika untuk melakukan sesuatu yang merugikan pihak lain. Mereka sekadar atut grubyuk dengan massa yang sudah mengawalinya. Kenyataan ini nyaris terjadi pada setiap kerumunan massa dalam melakukan pemberontakan terhadap kebijakan pemerintah misalnya. Gerakan massa membuat mereka lebih berani bertindak sewenang-wenang tanpa melihat latar belakang lebih dahulu.

Di balik penutup bait pada puisi “Wangsit” dapat ditarik inti pelajaran bahwa selama ini, bangsa Indonesia sudah sering mengabaikan kejujuran yang digerakkan hati nurani. Karena itu, diharapkan, melalui puisi “Wangsit” kejujuran akan dapat tertanam

(17)

kembali. Setiap langkah gerak harus didasarkan pada apa kata hati bukan pada apa kata emosi.

Puisi “Ada Apa dengan Kalian?” merupakan puisi kritik terhadap masalah-masalah sosial . Kritik terhadap masyarakat yang munafik dengan berbagai perilaku yang menyimpang dari ajaran keagamaan, etika,atau moral. Kemunafikan dimaksudkan untuk menutupi kekurangan dan menunjukkan kehebatan yang sebenarnya semu sebagaimana kutipan di bawah ini.

Ada apa dengan kalian?

Bibir kalian rajin berdzikir Tapi akal kalian berhenti berpikir Hati kalian penuh kibir

Dan laku kalian sangat kikir (Aku Manusia:44).

Baris-baris di atas menggambarkan perilaku yang kontroversial.

Antara ucapan dan tindakan tidak pernah sejalan. Yang dilakukan adalah hal-hal yang menurut mereka adalah benar, meski sebenarnya kebenaran itu relatif sifatnya. Tidak ada kebenaran yang didasarkan pada emosi , prasangka atau sentimen pribadi/golongan.

Kemunafikan lain tergambar dari bait berikut ini.

Kalian berniat puasa di malam hari Dan iman kalian ngeri

Melihat warung buka di siang hari (Aku Manusia:45).

Bait puisi tersebut adalah realita yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Indonesia bukanlah negara berdasar agama tertentu, melainkan berdasar Pancasila. Kenyataannya, ada beberapa oknum atau organisasi yang memaksakan diri semua orang mengikuti aturannya.Di antaranya adalah menutup warung makan pada bulan Puasa, bahkan dengan cara kekerasan. Padahal keimanan seseorang bukan ditentukan oleh adanya warung yang memberi pelayanan pada masyarakat pada siang hari, melainkan letak keimanan iti ada dalam hati. Karena tertanam dalam hati, seberapa godaan tak akan menggoyahkan, apalagi sekadar makanan di siang hari.

(18)

Melalui puisi “Ada Apa dengan Kalian?” Gus Mus menawarkan di balik bahasa sederhana tentang kejujuran yang didasarkan pada agama dan norma masyarakat. Dengan cara khasnya Gus Mus mengingatkan masyarakat untuk tidak bertindak semau sendiri yang merugikan sesama dengan pandangan yang berbeda.

Gus Mus dengan keras menyindir oknum yang sering melakukan penggrebekan terhadap pihak lain yang dianggap berseberangan.

Hal itu tergambarkan dalam bait berikut ini.

Tapi agaknya kalian melupakan Setan yang lebih setan

Najis yang lebih menjijikkan Virus yang lebih mematikan

Dari ada virus alkohol, nikotin, dan minyak babi Bahkan lebih merajalela daripada epidemi Bila karena merusak kesehatan, rokok alian benci Mengapa kalian diamkan korupsi

Yang merusak nurani

Bila karena memabukkan, alkohol kalian perangi Mengapa kalian biarkan korupsi

Yang kadar memabukkannya lebih tinggi?

Bila karena najis, babi kalian musuhi Mengapa kalian abaikan korupsi Yang lebih menjijikkan

Ketimbang kotoran seribu babi (Aku Manusia:47).

Baris-baris puisi di atas adalah ketidakrelaan Gus Mus sekaligus pembelaannya terhadap pihak yang mendapat perlakuan tidak semestinya dan tidak legal menurut aturan pemerintah. Dalam hal ini, bukan berarti Gus Mus mengamini tentang virus alkohol, nikotin, atau minyak babi. Gus Mus lebih memberikan pencerahan dengan cara yang manusiawi menurut kapasitas masing-masing individu. Di balik sindiran tersebut, Gus Mus mengingatkan pada pembaca agar selalu menyingkirkan nafsu untuk menunjukkan kuasa dan kehebatan manusia. Dengan penutup bait puisi, jelas sekali ada muatan nilai kejujuran yang diselipkan di dalamnya. Hai itu tergambarkan pada baris dan bait berikut.

Kapan kalian berhenti

(19)

Membangun kandang- kandang babi

Di perut an hati kalian dengan merusak kanan-kiri?

Sampai kalian mati dan dilaknati?

(Aku Manusia:48).

2. Cinta Alam dan Lingkungan

Alam dan lingkungan adalah sahabat sekaligus musuh masyarakat. Alam dapat menjadi sahabat manakala alam mendapat perlakuan yang baik. Demikian juga, alam dapat menjadi musuh masyarakat ketika alam tidak mendapat perlakuan yang baik dan diabaikan oleh masyarakat. Kepekaan Gus Mus terhadap lingkungan didasarkan pada latar belakang kesantriannya dengan kalimat mutiara annadhoofatu minal iiman (kebersihan adalah bagian dari iman). Implementasi kalimat tersebut terwujudkan dalam sikap dan pandangannya terhadap alam dan lingkungan sekitarnya yang kemudian dijadikan bahan penulisan puisi. Dengan puisi “Negeri Sulapan” Gus Mus memetaforakan negeri ini sebagai sorga. Sorga yang seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh anak negeri berubah menjadi tinja yang menjijikkan. Perumpaan itu dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa tanpa perlakuan yang baik, alam bisa mendatangkan petaka bagi manusia. Hal itu tergambarkan pada baris dan bait berikut ini.

Masih kalah dengan kita di sini, kataku Di sini surga

Disulap sekejap menjadi neraka Raja-aja adiguna

Menjadi budak-budak hina-dina Zamrud katulistiwa

Menjadi tinja dimana-mana (Aku Manusia:32).

Melalui puisi di atas, pelajaran secara tidak langsung disampaikan oleh sang guru insidental agar masyarakat selalu merawat surga yang telah dimiliki. Realita membuktikan bahwa telah banyak bencana alam akibat kelalaian manusia. Hutan-hutan digunduli demi penjualan kayu yang menguntungkan para pengusaha. Bukit-bukit

(20)

dikepras untuk dijual batu kapurnya, sabuk hijau tepi sungai ditutup demi pendirian rumah murah, dan bangunan lainnya.

Kegalauan Gus Mus akan pudarnya rasa cinta alam dan lingkungan juga tertulis pada baris dan bait puisi “Ketika Bumi Berguncang II” sebagai berikut

Saat itu bumi menuturkan kabar beritanya

Karena sesungguhnya Tuhanmu telah mewahyukan kepadanya Kabar-berita tentang ulah manusia penghuninya

Yang seharusnya menjaga dan merawatnya

Tapi hanya bisa menginjak-injak, meludahi, mengencingi, dan memberakinya

Terus merusak dan menumpahkan darah-darah mereka di atasnya (Aku Manusia:60).

Baris dan bait di atas menggambarkan perilaku manusia yang tidak lagi sejalan dengan hakikatnya sebagai makhluk paling sempurna yang dapat menjaga kedamaian alam. Manusia ternyata dapat menjadi makhluk perusak alam dengan nafsunya yang tidak terkendali. Gambaran yang serupa tertuang dalam puisi “ Panorama”.

Gus Mus menggambarkan keindahan alam yang ternyata dikotori pula oleh ulah manusia. Perhatikan baris dan bait berikut ini.

Berjenis capung dan kilauan sayapnya

Lembaran sayap kupu-kupu dan kombinasi warnanya Kunang-kunang dan kerlap-kerlip cahayanya

Manusia dengan beragam tabiatnya

Hingga rembulan yang menyibak gelap malam Menyepuhkan warna pucat sendu pada alam Tapi setiap kali ada saja tangan jahil di sekitarku Merusakkan kanvasku

(Aku Manusia: 5)

Hal yang senada juga ada dalam puisi “ Menara Sampah”.

Gus Mus menyoroti kebanggaan pemerintah dalam membangun penampungan sampah, tetapi lupa bagaimana mengolahnya menjadi bagian kehidupan yang menghidupkan. Pemerintah cenderung menyediakan tempat sampah yang terpusat di suatu tempat, tetapi belum memikirkan pengolahan dan pemanfaatannya sehingga

(21)

sampah hanya berpindah tempat. Tempat pembuangan sampah yang terpusat adalah kebanggan semu dan bersifat sementara.

Judul yang dibangun oleh frasa menara sampah mengisyaratkan adanya dua hal yang berseberangan. Menara menggambarkan sesuatu yang megah, yang indah, dan sampah menggambarkan sesuatu yang kotor, menjijikkan, sember penyakit. Apabila yang satu (sampah) dikelola dengan baik, maka menara benar-benar dapat terwujud dan dapat menjadi kebanggaan masyarakat. Keresahan Gus Mus tertuang dalam baris dan bait berikut ini.

Menara

Sampah diresmikan Di kotaku jalan-jalan

Ditutup energi dihamburkan

Para petinggi dan tokoh-tokoh heboh Para aparat dan satpam sibuk sejak semalam Para pemulung dan pengemis

Dari kejauhan bersorak-sorak pilu seperti menangis (Aku Manusia:38).

Seperti biasanya, puisi yang mengandung kritik atau sindiran memiliki maksud di baliknya. Jika bahasa puisi menggambarkan kebanggaan masyarakat akan berdirinya tempat pembuangan akhir sampah, maka maksud tersembunyinya adalah mari kita mengelola sampah secara mandiri menjadi bahan yang bermanfaat. Dengan demikian, kesadaran akan kebersihan lingkungan semakin menebal dan menimbulkan kecintaan merawat lingkungan. Pada puisi

“Panorama” pun Gus Mus menitipkan pesan agar masyarakat tidak merusak alam yang indah melalui baris/tapi setiap kali ada saja tangan jahil di sekitarku/merusakkan kanvasku.

3. Kepedulian

Kepedulian terhadap sesama atau kepekaan terhadap masalah sosial semakin lama semakin menipis. Masyarakat cenderung meninggikan ego masing-masing untuk menikmati kehidupannya.

Melalui puisi, pengarang dapat menyuarakan isi hati dan pikiran masyarakat terhadap hal-hal yang mulia yang mulai luntur.

Kepedulian yang meluntur itu tidak saja ada pada masyarakat biasa,

(22)

melainkan juga ada pada yang mulia wakil rakyat. Mereka itu yang semestinya mewakili rakyat untuk menyampaikan aspirasi, tetapi telinga mereka justru ditutup rapat-rapat. Demikian juga oknum penegak hukum sering mengkhianati nurani mereka sendiri. Kritikan tersebut oleh Gus Mus diwujudkan dalam puisi “Di Sini Tak Ada Telinga” sebagai berikut.

Jangan panggil aku yang mulia Jangan panggil aku yang terhormat Di dini tak ada kemuliaan

Di sini tak ada kehormatan Di sini tak ada telinga (Aku Manusia:98).

Puisi tersebut menggambarkan penolakan tokoh aku sebagai wakil rakyat yang duduk di dewan terhormat atau penegak hukum sebagai manusia mulia dan terhormat. Penolakan itu disebabkan tidak adanya lagi kepekaan kemanusiaan yang mestinya menjadi renungan untuk melakukan sesuatu yang menjadi hak-hak rakyat.

Puisi ditulis tidak sekadar menyampaikan apa yang terjadi dalam masyarakat, melainkan juga menyampaikan tuntunan-tuntunan mulia kepada para pembacanya. Pada puisi tersebut, rupanya Gus Mus menyampaikan tuntunan agar masyarakat memiliki kepedulian atau kepekaan sosial dalam kehidupan di lingkungannya.

Pelajaran berharga tentang kepedulian terhadap sesama juga tergambarkan dalam puisi “Nasihat Kematian” yang berlatar belakang bencana alam tsunami Aceh dan gempa Yogyakarta. Hal itu tergambarkan pada baris dan bait di bawah ini.

Kalian yang selama ini hanya terlena melihat diri sendiri Tengoklah diri kalian dalam kubangan lumpur, air mata Dan darah saudara-sudara kalian yang begitu menderita Lalu tanyakan kepada diri kalian apakah kalian juga manusia Kalian yang selama ini bangga dengan kemampuan kalian Inilah saatnya kalian membuktikan kemampuan kalian Untuk menolong dan membantu saudara-saudara kalian Menolong dan membantu diri kalian sendiri

(Aku Manusia:63).

(23)

Baris-baris di atas disampaikan secara gamblang melalui bahasa yang sederhana, tetapi mengena. Pembaca sebenarnya tidak perlu mengerahkan penafsiran atau pemahaman agar sampai pada penemuan etika humanisasi puisi tersebut. Hanya saja, tidak semua pembaca merealisasikan dalam kehidupan nyata. Pertanyaan dalam baris/apakah kalian juga manusia/ merupakan pertanyaan yang secara lisan sangat mudah dijawab, tetapi pertanyaan itu tentu tidak berhenti sampai pada tataran itu saja. Sebuah pertanyaan yang jawabannya barangkali baru terealisasi setelah mengalami pengendapan beberapa hari, mimggu, bulan, tahun. Bahkan, mungkin menjadi pertanyaan yang tidak terjawab.

Pertanyaan/apakah kalian juga manusia/ muncul karena kondisi kehidupan yang sudah mulai kehilangan rasa kemanusiaannya. Ego dan emosi menjadi penentu utama berperi laku sehingga norma- norma sering terabaikan. Kehidupan masyarakat mulai menunjukkan kemiripan dengan kehidupan alam di hutan. Siapa yang kuat,dialah yang menang. Siapa yang berkuasa, dialah yang mempunyai hak untuk menindas. Siapa yang kaya, dialah yang berhak bertindak semena-mena.

Gus Mus dalam puisi di atas memang memberi kesan tidak mengajar pada pembaca, melainkan hanya nguda rasa melihat kepedulian atau kepekaan masyarakat yang sudah sedikit melenyap.

Dengan puisinya, Gus Mus memiliki harapan agar setiap pembaca dapat bertanya pada diri sendiri, apakah saya manusia yang sudah mengamalkan kemanusiaan saya?. Kemudian jawaban itu benar- benar terwujud dalam kenyataan.

Kritikan dan arahan secara implisit pada pembaca pun tertulis dalam puisi “Matahari Rindu Nabi”. Sebagaimana puisi-puisinya yang lain, Gus biasa mengakhiri bait puisinya secara simbolis yang berisi ajakan kebaikan atau penyadaran diri. Apa yang dilakukan tersebut sejalan dengan teori sastra Profetik yang selalu berusaha mewujudkan etika humanisasi dalam kehidupan sejalan dengan keyakinan masing-masimg manusia. Dalam sastra Profetik, perwujudan humanisasi itu haruslah menggapai langit, sekaligus berpijak pada bumi. Dalam puisi “Matahari Rindu Nabi” Gus Mus

(24)

menutupnya dengan himbauan di balik kritikan, seperti pada baris dan bait di bawah ini.

Di sini matahari semakin panas Kebodohan semakin ganas Kemiskinan semakin tak waras Keserahan menggurita

Ketidakpedulian merata Ketidakberdayaan semesta Matahari

Sepertimu aku kepanasan sendiri Merindukan nabi

(Aku Manusia:51).

Dua bait terakhir di atas menggambarkan hilangnya sifat kemanusiaan siapa saja karena tiadanya keteladanan dari masyarakat yang lebih kompeten, misalnya pejabat. Masyarakat membutuhkan figur-figur yang dapat dijadikan contoh dalam keseharian sebagai seorang bapak. Gus Mus menyimbolkan keinginan masyarakat dalam simbol seorang nabi dalam kalimat / matahari/ sepertimu aku kepanasan sendiri / merindukan nabi/.

Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa melalui puisi

“Matahari Rindu Nabi” Gus Mus menitipkan etika humanisasi yang berwujud kepedulian terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Pesan lain juga berupa ajakan untuk selalu menjadi teladan yang baik sebagaimana matahari yang selalu memberi harapan dan kehangatan bagi kehidupan.

SIMPULAN

Berdasarkan teori sastra Profetik, khususnya pada etika humanisasi kumpulan puisi Aku Manusia karya A, Mustofa Bisri mengandung etika humanisasi yang memiliki keterkaitan erat dengan kandungan nilai pendidikan karakter. Nilai pendidikan karakter didapatkan dari puisi “Wangsit’ dan “Ada Apa dengan Kalian”

tentang kejujuran. Nilai pendidikan karakter cinta terhadap alam atau lingkungan terdapat dalam puisi “Negeri Sulapan”, “Panorama”, dan

“Menara Sampah”. Nilai pendidikan karakter tentang kepedulian

(25)

atau kepekaan terdapat dalam puisi “Di sini Tak Ada Telinga”,

“Nasihat Kematian”, dan “Matahari Rindu Nabi”.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar,Wan. 2007. Kuntowijoyo, Karya,dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

GRE. 2019. “KH. Mustofa Bisri Guru dan Sahabat”. Dalam harian Kompas Jakarta, No. 049 Tahun ke 55, 16 Agustus 2019, halaman 32. Jakarta.

Indrastuti, Novi Siti Kussuji. 2019. “Nasionalisme dalam Bingkai Kritik Sosio Pragmatik terhadap Puisi Indonesia Modern”.

Dalam Poetika ( Jurnal Ilmu Sastra UGM ), Vol. 7. No. 1. 2019.

Karomi, Ahmad. 2018. “Gus Mus, karena Aku Manusia”. Diunduh pada 19 Mei 2019 dari Kantor Berita Religius - Nasionalis. duta.

co

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Buku Guru Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemendikbud: Jakarta.

Kesuma, Dharma, dkk. 2012. Pendidikan Karakter. Remaja Rosda Karya: Bandung.

Kuntowijoyo. 2005. “Maklumat Sastra Profetik”. Dalam Horison Mei 2005. Jakarta: Yayasan Indonesia.

Kuntowijoyo. 2008. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Multi Presindo.

Leak, Sosiawan. 2018. “Sisi Profetik Sajak-Sajak Rendra”. Makalah PIBSI 40. Diunduh pada tanggal 20 Mei 2019 dari conference unikal.ac.id

Maitre, Miss Luce-Clude. 1985. Pengantar ke Pemikiran Iqbal (Terjemahan Djohan Effendi). Bandung: Mizan.

(26)

Mangunhardjana, A.M. 2016. Pendidikan Karakter. Grahatma Semesta:

Yogyakarta.

Rahman, Rio F. 2016. “Berkelana dalam Perenungan Gus Mus”.

Dalam Unair News. Diunduh pada 6 Mei 2019 dari www.

news.unair.ac.id.

Rahmat, Jamaluddin. 2019. “Sastra Profetik Kuntowijoyo”. Diunduh pada tanggal 15 Agustus 2019 dari www.kompasiana.com.

Sayuti, Suminto A. 2005. “Selamat Jalan Kuntowijoyo”. Dalam Horison Mei 2005. Jakarta: Yayasan Indonesia.

Sayuti, Suminto A. 2015. Puisi Sebuah Pengantar Apresiasi. Ombak:

Yogyakarta.

Setiawati, Nanda Ayu. 2017. “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Pembentukan Karakter Bangsa”. Prosiding Seminar Nasional Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Vol. 1. No. 1.

Halaman 348- 352.

Wangsitalaja, Amin. “Kuntowijoyo Sastrawan Profetik”. Diunduh pada tanggal 15 Maret 2015 dari directory. Umm.ac.id/ ...21.../

Kuntowijoyo % 20Sastrawan%Profetik doc.

Widowati. 2015. “Unsur Profetik dalam Kumpulan Cerpen Rusmi Ingin Pulang Karya Ahmad Tohari”. Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.

Widowati. 2017. “Pengolahan Materi Sastra Profetik dalam Kumpulan Cerpen Rusmi Ingin Pulang Karya Ahmad Tohari”. Yogyakarta:

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.

Wijaya, Dhanu Widi. 2018. “Bahasa Figuratif pada Kumpulan Puisi Aku Manusia Karya A. Mustofa Bisri dan Implementasinya pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Tingkat SMA”. Thesis.

Program Studi Magister Pengkajian Bahasa, Program Pascasarjana UMS Surakarta.

Yaumi, Muhammad. 2014. Pendidikan Karakter, Landasan, Pilar, dan Implementasi. Jakarta: Prenada Media Group.

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata terhadap nilai organoleptik dan jumlah koloni bakteri terasi rebon.. Semakin tinggi kadar garam semakin tinggi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh abu ketel asal pabrik gula terhadap ketersediaan P, Al-dd, pH dan Si Tanah pada Ultisol dan Histosol

Hasil uji t pada diastole diperoleh nilai P sebesar 0,033, yang berarti P<0,05 yang artinya jus wortel efektif dalam menurunkan tekanan diastole, dengan

Koulutuksen ja työelämän välisen kuilun syvyys on kuitenkin ristiriidassa ongelmaperustaisen opetussuunnitelman kanssa, jota koulutuksessa on toteutettu yli kymmenen

e. Guru menyampaikan bentuk & teknik penilaian pada pembelajaran. menyimak video pembelajaran tentang Norma dalam Kehidupan Bermasyarakat; Pengertian Norma. Mengerjakan

a) Pengujian pada modul sistem rangka pemikul momen beton bertulang pracetak, sesuai dengan metoda uji ini, menetapkan parameter kekuatan yang dapat diharapkan

Di tengah ketidakseimbangan perekonomian global dan terjaganya perekonomian domestik, masih terdapat beberapa sumber ketidakseimbangan yang mengganggu stabilitas

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif, dengan sampel 20 anak. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, tes,