Aliran-aliran Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan merupakan hasil pilir manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, khususnya yang berkaitan dengan praktek pelaksanaan pendidikan. Selain pengertian tersebut terdapat juga beberapa pengertian filsafat pendidikan yang dikemukakan beberapa ahli :
1. Muhammad Labib al-Najihi.
Filsafat Pendidikan adalah Suatu aktivitas yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.
2. Kilpatrik dalam Buku Philosophy of Education menyebutkan:
Berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha. Berfilsafat adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik ialah usaha merealisasi nilai-nilai dan cita-cita itu didalam kehidupan dan dalam kepribadian manusia. Mendidik ialah mewujudkan nilai-nilai yang disumbangkan filsafat, dimulai dengan generasi muda, untuk membimbing rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka, dan melembagakannya dalam kehidupan mereka.
3. John Dewey.
Memandang pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emotional) menuju kearah tabi’at manusia, maka filsafat juga dapat diartikan sebagai teori umum pendidikan (Democracy and Education, P. 383)
4. Prof. Brameld berkata tentang filsafat pendidikan :
Kita harus membawa filsafat guna mengatasi persoalan-persoalan pendidikan secara efisien, jelas, dan sistematis sedapat mungkin.
5. Van Cleve Morris menyatakan :
Dalam filsafat terdapat berbagai aliran; sehubungan dengan itu maka dalam flsafat pendidikan terdapapat berbagai aliran sesuai dengan aliran yang ada dalam filsafat. Berikut ini akan diuraikan berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut.
1. Filsafat Pendidikan Ideallisme.
Memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali.
Menurut Plato, realitas yang fundamental adalah ide, sedangkan realitas yang tampak oleh indera manusia adalah bayangan dari ide tersebut. Bagi kelompok ideallis alam ini ada tujuannya yang bersifat spiritual. Hukum-hukum alam dianggap sesuai dengan kebutuhan watak intelektual dan moral manusia. Mereka juga berpendapat bahwa terdapat suatu harmoni yang mendasar antara manusia dengan alam. Manusia memang bagian dari proses alam, tetapi ia juga bersifat spiritual, karena manusia memiliki akal, jiwa, budi, dan nurani.
Aliran ideallisme kenyataan tidak terpisahkan dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita.
Pertama : Yang nampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang hidup dan ada yang mati, demikian seterusnya.
Kedua : adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (ideall), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang nampak karena ideal merupakan wujud yang hakiki.
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi kehidupan manusia, roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut dengan penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikirian yang keadaanya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikatyang mutlak dan murni pada kehidupan manusia, demikian juga hasil adavtasi individu dengan individu lainnya oleh karena itu adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru (Bakry, 1992:56).
Memang para filosof ideal memulai sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tinggi adalah alam pikiran (Ali, 1991), sehingga rohani dan sukma merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Sebagaimana Phidom mengetengahkan dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan disini adalah jiwa atau sukma, dengan demikian duniapun terbagi menjadi dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan dengan dunia tidak kelihatan, dan bagian ini menjadi sasaan studi bagi aliran filsafat idealisme (Van der Viej, 1988).
Kelompok yang mengikuti pandangan ini cenderung menghormati kebudayaan dan tradisi, sebab mereka mempunyai pandangan bahwa nilai-nilai kehidupan itu memiliki tingkat yang lebih tinggi dari sekadar nilai kelompok individu. Ini menunjukkan bahwa kekuatan idealisme terletak pada segi mental dan spiritual kehidupan.
Menurut paham idealisme, guru harus membbimbing atau mendiskusikan dengan peserta didik bukan prinsip-prinsip eksternal, melainkan sebagai kemungkinan-kemungkinan (bathin) yang perlu dikembangkan, juga harus diwujudkan atau dijejalkan ke dalam diri peserta didik (Uyoh, 2003). Pendidikan bukan menjejalkan pengetahuan dari luar ke dalam diri seseorang, melainkan memberi kesempatan untuk membangun atau menkonstruksi pengetahuan dan pengalaman dalam diri seseorang. Bangunlah atau ciptakanlah kesempatan atau kondisi agar sesesorang dapat membangun pengetahuan dan pengalamannya sendiri.
2. Filsafat Pendidikan Realisme.
didapatkan dari dual hal, yaitu observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan. Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat diobservasi secara langsung.
Realisme menurut Kattsoff (1996: 126) menarik garis pemisah yang tajam antara yang mengetahui dan yang diketahui, dan pada umumnya cenderung kea rah dualism atau monism materialistik. Seorang pengikut materialism mengatakan bahwa jiwa dan materi sepenuhnya sama. Jika demikian halnya, sudah tentu dapat jugasama-sama dikatakan’’jiwa adalah materi”materi adalah jiwa”. Jika orang mengatakan “jiwa adalah materi” dank arena materi tidak tidak mungkin mengandung maksud, maka juga jiwa tidak mungkin mengandung maksud. Jika materi adalah jiwa, maka alam semesta dapat dipahamkan sebagai sesuatu yang mengandung maksud atau dapat dikatakan bersifat “teleologis”.
Defenisi kebenaran menurut penganut realisme adalah ukuran kebenaran suatu gagasan mengenai bang sesuatu ialah menentukan apakah gagasan itu benar-benar memberikan pengetahuan kepada kita mengenai barang sesuatu itu sendiri ataukah tidak dengan mengadakan pembedaan antara apakah sesuatu itu yang senyatanya dengan bagaimanakah tampaknya barang sesuatu itu.
Beberapa prinsip belajar yang dikemukakan oleh Comenius (Sadulloh,2003) adalah;
a. Pelajaran harus didasarkan pada minat peserta didik.
b. Setiap mata pelajaran harus memiliki out-line.
c. Pada pertemuan awal atau permulaan pembelajaran, guru harus menyampaikan
informasi tentang garis-garis besar pembelajaran yang akan dipelajari peserta didik. d. Kelas harus diperkaya dengan gambar-gambar, peta, affirmasi, foto, hasil karya
peserta didik dan sejenisnya yang berkaitan dengan kegiatan proses belajar mengajar yang diberikan/dilaksanakan.
e. Pembelajaran harus berlangsung secara sikuens atau berkesinambungan dengan
pelajaran sebelumnya sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh dan mengikuti perkembangan pengetahuan secara terus menerus.
f. Setiap aktivitas yang dilakukan guru bersama peserta didik hendaknya membantu
untuk mengembangkan hakikat manusia, dan kepada peserta didik ditunjukkan kepentingan yang praktis dari setiap sisitem nilai.
g. Pelajaran dalam subjek yang sama yang diperuntukkan bagi semua peserta didik.
3. Filsafat Pendidikan Materialisme.
(kausalitas), hokum yang obyektif, dimana manusia bergerak oleh karena menerima akibatr sesuatu, olehnya reaksi yang ditimbulkan manusia adanya benda yang menimbulkan stimulus response.
Aliran materialisme sebagaimana ditegaskan Jalaluddin dan Idi (2002:53) mengutamakan benda dan segala berawal dari benda demikian juga yang nyata hanya dunia materi. Segala kenyataan ada itu berdasarkan zat-zat atau unsur dan jiwa, roh, sukma (idea: idealisme) oleh aliran materialisme dianggap pula sejenis materi, tetapi mempunyai sifat yang berbeda dibandingkan dengan sifat materi karena jiwa, roh, sukma itu mempunyai naluri untuk bergerak dengan sendiri, sedangkan mempunyai gerakan yang terbatas sehigga tidak bebas dan kaku,
Karl Marx, memberikan pandangan sesuatu bahwa kenyataan yang ada adalah dunia materi, dan di dalam suatu susunan kehidupan yaitu masyarakat, pada muatannya terdapat berupa kesadaran-kesadaran yang menumbauhkan ide serta teori serta pandangan yang semuanya adalah suatu gambaran yang nyata, sebabnya faktor yang mempunyai peran untuk melahirkannya, yaitu adanya pendorong atau daya yang dikatakan materi atau benda, dan pada perinsipnya kecenderungan manusia untuk membuat dan bertindak yang disebabkan oleh faktor materi yang ada disekitarnya (Hadijono, 1986:121).
Demikian juga halnya dengan Thomas Hobbes yang disebut dengan materialismus monistis, yaitu menganggug-agunggkan materi atau kebendaan (Suryadipura, 1994: 130) pada kenyataanya isi pemikiran Hobbes banyak diihami oleh proses alami, karena filsafatnya banyak yang dihubungkan dengan kejadian-kejadian dalam proses interaksinya dengan manusia.
Karakteristik umum materiakisme (Sadulloh 2003) berdasarkan suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut adalah:
a. Semua sains seperti biologi, kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang
lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang dihubungkan secara kausal (sebab akibat).
b. Apa yang dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami )
adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak, system urat saraf, atau organ-organ jasmani lainnya.
c. Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita makna dan tujuan hidup, keindahan dan
kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan, symbol subyektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda.
Pendidikan, dalam hal ini proses belajar dan mengajar, merupakan kondisionalisasi lingkungan yakni perilaku akan dapat muncul pada diri peserta didik melalui pembiasaan, seperti misalnya percobaan Pavlov akan seekor anjing dengan makanan dan air liur yang disertaidengan lonceng atau dengan bel. Setiap menyajikan makanan pada anjing selalu disertai dengan bunyi bel, dilakukan beberapa kali, dan pada suatu ketika, sesuai dengan waktu penyajian makanan yang sebelumnya dilakukannya, bel dibunyikan tanpa ada makanan air liur anjing keluar. Hal ini merupakan pembiasaan, perilaku anjing yakni air liur keluar hanya dengan bel tanpa disertai makanan. Yang dimaksud denganperilaku adalah hal-hal yang berubah, dapat diamati dan dapat diukur. Hal ini mengandung makna bahwa dalam proses pendidikan (Proses pembelajaran) penting keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains serta perilaku social sebagai hasil belajar. Disamping itu didalam pendidikan sangat diperlukan adanya penguatan yang akan mengingatkan hubungan antara stimulasi dan respon, aksi dan reaksi.
4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme.
demikian mereka akan bertumbuh dan berkembang. Mereka akan mempelajari hidup dalam kominitas individu, bekerja sama, dan menyesuaikan dirinya secara cerdas terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Pendidik menurut pandangan pragmatism bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya, melainkan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu, yang berarti bahwa setiap manusia selalu belajar dari pengalamannya.
Menurut John Dewey (Sadulloh, 2003), pendidikan perlu didasarkan pada tiga pokok pemikiran, yakni:
a. Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup.
b. Pendidikan sebagai pertumbuhan.
c. Pendidikan sebagai fungsi sosial.
a. Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup.
Hidup selalu berubah menuju pembaharuan hidup, Karena itu pendidikan adalah merupakan kebutuhan untuk hidup. Pendidikan berfungsi sebagai alat dan sebagai pembaharuan hidup.
b. Pendidikan sebagai pertumbuhan.
Menurut John Deway (Sadulloh, 2003), pertumbuhan merupakan suatu perubahan tindakan yang berlangsusng terus menerus untuk mencapai hasil selanjutnya. Pertumbuhan juga merupakan proses pematangan oleh karena peserta didik memiliki potensi berupa kapasitas untuk berkembang atau bertumbuh menjadi sesuatu dengan adanya pengaruh lingkungan.
c. Pendidikan sebagai fungsi sosial.
Menurut John Dewey (Sadulloh, 2003), lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan salah satu proses membimbing dan mengembangkan.
Sekolah sebagai suatu lingkungan pendidikan dan sekaligus sebagai alat transmisi, memiliki tiga fungsi:
1. Menyederhanakan dan mengarahkan factor-faktor bawaan yang diharapkan untuk
berkembang.
2. Membimbing dan mengarahkan kebiasaan masyarakat yang ada sesuai dengan yang
3. Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik lagi yang
diperuntukkan bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mereka.
Dalam praktek pelaksanaan pendidikan sangat dianjurkan agar guru dalam menghadapi peserta didik dalam kelas memperhatikan saran berikut ini:
1. Guru tidak boleh memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan minat dan
kemampuan peserta didik.
2. Peserta didik harus dihadapkan pada suatu kondisi yang memungkinkan mereka
merasakan adanya suatu masalah yang harus diselesaikan sehingga timbul minat untuk menyelesaikannya.
3. Guru harus mengenal peserta didik dan dapat membangkitkan minat mereka dalam
pembelajaran.
4. Guru harus menciptakan interaksi pembelajaran yang dapat menimbulkan kerjasama
antara peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan guru dan sebaliknya. Dalam pembelajaran, guru harus member kesempatan kepada peserta didik
untuk belajar sambil bekerja.
5. Progressivisme
Pengertian dasar yang menjadi ciri dan aliran ini adalah progres, yang berarti maju. Progressivisme lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan, kurang memperhatikan ke masa lalu. Aliran progressivisme memandang bahwa manusia memiliki hak asasi yang bertumpu pada kebebaan mutlak (liberalisme) yang menuju kearah kebudayaan (liberal road to culture). Aliran ini tidak mengaku suatu kemutlakan kehidupan, sehingga nilai nlai yang dipegangi bersifat fleksibel terhadap perubahan, tidak rigid, dan tidak terikat pada suatu nilai tertentu, toleran dan terbuka. (arifin 1987 : 183).
Ciri utama aliran progressivisme ialah bahwa aliran ini memandang manusia sebagai subyek yang memiliki aturan untuk menhadapi dunia dan lingkungan hidupnya dan lingkungan hidupnya yamg multi kompleks dengan keterampilan dan kekuasaan tersendiri. Dan dengan kemampuan itu manusia mampu memecahkan semua problemanya secara intelgen, dengan intelegensi aktif. Maka daam makna ini, maka arti liberal diatas berartimenghormati martabat manusia sebagai subyek di dalam hidupnya. Dalam arti demokrasi, pandanga pandangan progressivisme merupakan cara berfikir liberal, yang memberi kemungkinan dan prasyarat bagi perkembangan tiap pribadi manusia sebagaimana prestasi yang ada padanya.
1. Pandangan tentang realita (ontologi)
Progressivisme yang didukung pragmantisme, tidak mempu nyai pendapat tentang realita umum. Merek tidak menggunakan istilah universe (alam semesta) dalam arti kosmos, karna itu lebih menekankan prinsip esensi, tetapi memaknai istilah dunia karna menekankan prinsip prinsip eksistensi (keberdaan, wujud). Adapun yang dimaksud dengan aliran dunia disini adalah dunia dimana kita hidup, yang berarti proses atau tata aturan dimana manusia hidundi dalamnya.
2. Pandangan tentang pengetahuan (epistemologi)
Progressivisme membedakan tentang membedakan antara engetahuan dan kebenaran. Pengetahuan dalah timbunan pesan pesan yang berasal dari pengalaman dan penerangan yang terkumpul, yang siap digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan untuk menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadaanya kacau.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang kedudukannya sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan nadanya hubungan antara manusia dengan lingkungan, baik terwujud sebagai lingkungan fisik, kebudayaan atau manusia.
3. Pandanga tentang niali (axiologi)
Progresissvisme mengadakan pendekatan masalah nilai secara empiris berdasarkan pengalaman real di dalam kehidupan manusia, khususnya kehidupan sehari hari. Sebaliknya aliran ini tidak menaruh perhatian sama sekali atas nilai nilai yang no empiris seperti nilai nilai supernatural, nilai nilai universal, niali nilai agama.
Progressivisme mempunyai pendirian bahwa nilai itu bersifat intrisik dan instrumental. Nilai intrisik ialah yang digambarkan sebagai melekat pada objenya, atau kedaanya sendiri. Sedangkan nilai instrumental ialah niali yang baru nampak adanya, bila dad hubungannya dengan yang lain.
4. Pandangan tentang belajar
menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi landasan pengembangan ide ide pendidikan progressivisme.
Menurut pro9gressivisme, belajar sesungguhnya bukan semata mata terjadi didalam sekolah, belajar terjadi dalam semua kesempatan dan tempat, jadi termasuk di dalam masyarakat dengan jalan mengimbangi kondisi masyarakat dengn kondisi edukatif.
5. Pandangan tentang kurikulum
Menurut progressivisme, kurikulum yang baik adalah sebagai fungsi suatu laboraturium. Ia selalu sebagai rentetan kontinu suatu eksperimen, dan semu pelakunya, ialah guru bersama muridnya, yang dalam beberappa aspek melakukan fungsi ilmuwam. Karna itu perlu dihi darkan kurikulum yang kaku, standar yan mekanis, penyelesaian tradisional. Seperti juga metode metode eksperimental, eksploratif, prograsi, berhasrat dan berinisiatif mencoba yang belum dicoba, demikian pula sebaliknya materi kurikulum dan metode pengajaran. Kurikulum progressivisme bergerak dinamis diatas prinsip ”liberal road to culture”. Tokoh tokoh progressivisme yang terkenal diantarnya adalah William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Imam Barnadib, MA, Ph.D. Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai Sistem dan Metode). Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) IKIP. 1984. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
James. Bandung, Remaja Rosda Karya. 1998.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. Yogyakarta,Kanisius, 1996.
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.Usaha Nasional. 1986.
H.B. Hamdani Ali MA, M.Ed. Filsafat Pendidikan.Yogyakarta, Kota Kembang. 1987.
5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme.
Filsafat ini mempokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Eksitensi adalah cara manuasi ada di dunia (Sadulloh, 2003). Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Cara beradana manusia adalah hidup bersama dengan manusia lainnya, ada kerjasama dan komunikasi dan dengan penuh kesadaran, sedangkan benda-benda materi keberadaanya berdasarkan ketidak sadaran akan dirinya sendiri dan tidak dapat berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya.
Ada beberapa pandangan penganut filsafat sehubungan dengan eksistensi, yakni :
a. Ekstensi adalah cara manusia berada.
b. Bereksistensi tidak satis tapi dinamis.
c. Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka serta
realitas.
Sikun Pribadi, 1971 (Sadulloh, 2003), mengemukakan bahwa eksistensialisme dengan pendidikan sangat berhubungan erat, karena keduanya sama-sama membahas masalah yang sama-samayakni manusia, hubungan antara manusia, hidup, hakikat kepribadian, dan kebebasan.
Pendidikan, proses, pembelajaran, harus berlangsung sesuai dengan minat dan pebutuhan peserta didik, tidak ada pemaksan penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan, melainkan ditawarkan.
6. Filsafat Pendidikan Progresivisme.
Filsafat pendidikan progresivisme bukan merupakan aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang keterampilan. Oleh karena itu, peserta didik bukan dipersiapkan untuk menghidupi kehidupan masa kini, melainkan mereka harus dipersiapkan menghadapi kehidupan masa yang akan datang.
bukan oleh guru, dalam kelompoknya. Progresivisme pengikut Dewey (Sadulloh, 2003), mendasarkan pada asumsi berikut:
a. Minat-minat peserta didik sebagai dasar menentukan muatan kurikulum, bukan
disiplin ilmu atau akademik.
b. Pengajaran efektif adalah apabila memperlakukan peserta didik sebagai keseluruhan
dan minat-minat serta kebutuhan-kebutuhannya dengan bidang kognitif, efektif dan psikomotor.
c. Pembelajaran harus aktif.
d. Pendidikan bertujuan untuk membina peserta didik berpikir rasional sehingga
menjadi manusia yang cerdas yang berkontribusi pada masyarakat. e. Peserta didik mempelajari nilai-nilai personal dan sosial di sekolah.
f. Individu berada pada suatu keadaan yang selalu berubah secara terus menerus.
Dalam praktek pelaksanaan pembelajaran hendaknyadiberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada peserta didik untuk menemukan pengalaman-pengalamanyang tepatdalam belajar seperti: kunjungan lapangan, proyek kelompok kecil, simulasi, bermain peran, eksplorasi internet, dan aktifitas lainnya yang dapat menimbuilkan pengalaman yang berharga pada peserta didik yang dapat digunakan pada masa yang akan datang.
7. Filsafat Pendidikan Perenialisme.
Perenialisme mengemukakan bahwa situasi dunia saat ini penuh dengan kekacauan dan ketidak pastian, dan ketidak teraturan terutama dalam tatanan kehidupan moral, intelektual dan sosio-kultural. Untuk memperbaiki keadaan ini adalah dengan kembali kepada nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat pada zaman dulu dan pada abad pertengahan. Ciri utama perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang membututhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yanga akan berlayar, memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas.
Prinsip-prinsip aksiomatis yang terikat oleh waktu itu terkandung dalam sejarah. Berikut ini ada beberapa prinsip pendidikan perenialisme (Sadulloh, 2003), sebagai berikut:
a. Pada hakekatnya masnusia adalah sama di manapun dan kapan pun ia berada, yang
b. Bagi manusia, pikiran adalah kemampuan yang paling tinggi.
c. Fungsi utama pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang
pasti dan abadi.
d. Pendidikan adalah persiapan untuk hidup bukan peniruan untuk hidup.
e. Pesesrta didik harus mempelajari karya-karya besar dalam literature yang
menyangkut sejarah, filsafat, seni, kehidupan sosial terutama politik dan ekonomi.
8. Filsafat Pendidikan Esensialisme.
Penganup faham ini berpendafat bahwa betul-betul ada hal-hal yang esensial dari pengalaman peserta didik yang memiliki nilai esensial dan perlu dipertahankan. Esensi (Essence) ialah hakikat barang sesuatu yang khusus sebagai sifat terdalam dari sesuatu sebagai satuan yang konseptual dan akali. Esensi (essentia) adalah apa yang membuat sesuatu menjadi apa adanya.
Peserta didik dipandang sebagai manusia yang memiliki kemampuan yang dapat berkembang dengan baik apabila dilibatkan secara aktif dan dengan penuh semangat dan motivasi dalam aktivitas pembelajaran. Dalam diri peserta didik perlu ditanamkan dan dibina disiplin, kerja keras dan rasa hormat. Pendidikan disekolah harus bersifat logis dan praktis guna dapat mempersiapkan mereka hidup dalam masyarakat. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan peserta didik untuk hidup.
Penganut faham esensialisme mengemukakan beberapa prinsip pendidikan (Sadulloh, 2003), sebagai berikut :
a. Pendidikan dilakukan dengan usaha keras, tidak timbul dengan sendirinya dari dalam
diri peserta didik.
b. Inisyatif pelaksanaan pendidikan datang dari guru bukan peserta didik.
c. Inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan.
d. Metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental merupakan metode
yang diutamakan dalam pendidikan di sekolah.
e. Tujuan akhir pendidikan adalah meningkatkan kesejahteran atau kebahagian sesuai
dengan tuntutan demokrasi.
9. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme.
melibatkan diri dengan masalah-masalah maupun pengalaman-pengalaman masyarakat yang ada sekarang.
Tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah social, ekonomi, dan politik yang dihadapi manusia bukan hanya nasional, regional, akan tetapi juga secara global. Peserta didik juga harus dibekali dengan kemampuan untuk dapat memecahkan masalah-masalah tersebut.
Brameld (Sadulloh, 2003), mengemukakan toeri pendidikan rekonstruksionisme terdiri dari lima tesis, yakni :
a. Pendidikan berlangsung saat ini untuk menciptakan tata social baru yang akan
mengisi nilai-nilai dasar budaya masa kini, selaras dengan yang mendasar kekuatan-kekuatan ekonomi, dan social masyarakat modern.
b. Demokrasi sejati merupakan dasar dari kehidupan masyarakat baru.
c. Anak, sekolah dan pendidikan diatur oleh kekuatan budaya dan social.
d. Guru memegang peranan penting dalam pendidikan di sekolah atan tetapi dalam
pelaksanaan tugasnya harus selalu memperhatikan prosedur yang demokratis.
e. Tujuan pendidikan adalah untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang
berhubungan dengan krisis budaya, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains social yaitu nilai-nilai yang universal.
f. Penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan
cara bagaimana guru dilatih, sebaiknya harus ditinjau kembali dan disesuaikan dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia secara rasional dan ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Imam Barnadib, MA, Ph.D. Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai Sistem dan Metode). Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) IKIP. 1984. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
James. Bandung, Remaja Rosda Karya. 1998.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. Yogyakarta,Kanisius, 1996.
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.Usaha Nasional. 1986.
H.B. Hamdani Ali MA, M.Ed. Filsafat Pendidikan.Yogyakarta, Kota Kembang. 1987.