• Tidak ada hasil yang ditemukan

EUTHANASIA MAKALAH Disusun untuk memenuh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EUTHANASIA MAKALAH Disusun untuk memenuh"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

EUTHANASIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Agama

XI – IPS 1

Disusun oleh: - Hensen Layguardo - Jiechinda Jesslyn Hugo

- Michael Lie

- Michelle Angelina Chandra - Sisilia Tan

- Thimoty Dwi Putra - Windy Hosea

SMA Santo Kristoforus I Jln. Rahayu no. 1A, Jakarta Barat

(2)

Kata Pengantar

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan

Rahmat-Nya kami dapat menulis makalah ini yang berjudul “Euthanasia” hingga selesai.

Meskipun dalam makalah ini pasti terdapat berbagai macam kesalahan dan kekurangan

namun kami telah berusaha menyelesaikan makalah ini dengan sebaik mungkin yang di bantu

dari berbagai pihak. Maupun pihak antara anggota kelompok yang saling berkerja sama

maupun narasumber-narasumber dari internet maupun buku-buku serta dari guru

pembimbing.

Oleh karena itu, kami menghanturkan terima kasih kepada guru pembimbing serta

semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan saran atas selesainya penulisan makalah

ini. Di dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa masih ada

kekurangan-kekurangan mengingat keterbatasannya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh

sebab itu, sangat di harapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun

untuk melengkapkan makalah ini dan berikutnya.

(3)

Daftar Isi

Kata Pengantar...

Daftar

Isi...

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah...

1.2 Rumusan

Masalah...

1.3 Tujuan

Penulisan...

1.4 Metode

Penulisan...

1.5 Sistematika

Penulisan...

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian

Euthanasia...

2.1.1 Secara

Etimologis...

2.1.2 Menurut Para

Ahli...

2.1.3 Menurut

Alkitab...

2.1.4 Menurut Kamus

Hukum...

2.2 Sejarah

Euthanasia...

2.3 Jenis-Jenis

Euthanasia...

2.3.1 Dilihat dari Segi Pelakunya...

2.3.2 Dilihat dari Segi Caranya...

2.3.3 Ditinjau dari Sudut Pemberian Ijin...

2.4 Pandangan Para Ahli Terhadap

Euthanasia...

2.5 Pandangan Berbagai Ajaran Agama Terhadap Euthanasia...

2.6 Pandangan Hukum diberbagai Negara Mengenai

Euthanasia...

(4)

Euthanasia...

3.2 Kasus-Kasus Euthanasia...

3.3 Aspek-Aspek

Euthanasia...

3.3.1 Aspek

Hukum...

3.3.2 Aspek Hak Asasi...

3.3.3 Apek Ilmu Pengetahuan...

3.3.4 Aspek Agama...

3.4 Terminologi Euthanasia...

3.5 Faktor yang Mempengaruhi Euthanasia...

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan...

4.2

Saran...

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Dalam makalah ini, kita akan membahas mengenai Euthanasia. Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu tentang Euthanasia, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran, yaitu tentang abortus provokatus dan Euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM).

Kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan Euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama.

Mengenai masalah Euthanasia bila ditarik ke belakang, boleh dikatakan masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah Euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik.

Beberapa penganut kristiani percaya bahwa jika mereka berada dalam situasi yang unik untuk melepaskan kehidupan yang diberikan dari Tuhan adalah suatu awal perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, ada juga pemimpin gereja katolik dan protestan mengakui bahwa tindakan mengakhiri kehidupan ini disahkan maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, namun di masa yang akan datang menjadi suatu racun bagi dunia kesehatan. Sejak awal, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam melakukan tindakan ini bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian kehidupan dari Tuhan.

Dalam pandangan kitab suci, manusia berasal dari Allah sendiri dan pembunuhan orang lain tidak dibenarkan karena melawan hukum ilahi. Misalnya dalam kitab Kel 20:13 berbunyi “Jangan Membunuh” dan dalam kitab Rom 14:8;bdk. Fil 1:20 berbunyi “Kita adalah milik Tuhan”. Kesucian manusia itu bukan hanya karena asal-usulnya dari Allah tetapi juga karena tujuan hidup manusia adalah kembali kepada-Nya (penebusan).

(6)

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Apa pengertian Euthanasia dari berbagai sudut pandang? 2. Bagaimanakah sejarah Euthanasia?

3. Apa sajakah jenis-jenis Euthanasia?

4. Bagaimanakah pandangan para ahli terhadap Euthanasia?

5. Bagaimana pandangan dari berbagai ajaran agama terhadap Euthanasia? 6. Bagaimana pandangan hukum diberbagai negara Euthanasia?

7. Apakah penyebab terjadinya Euthanasia? 8. Apa contoh kasus-kasus Euthanasia?

9. Aspek-aspek apa sajakah yang ada di dalam Euthanasia? 10. Apa termonologi dari Euthanasia?

11. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Euthanasia?

1.3

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan atau penulisan makalah ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian Euthanasia dari beberapa sudut pandang 2. Untuk mengetahui contoh kasus-kasus Euthanasia

3. Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia

4. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Euthanasia

1.4

Metode Penulisan

Metode penelitian merupakan langkah penting di dalam penyusunan laporan riset khususnya bagi perancangan sistem. Di dalam kegiatan penelitian, kami melakukan pengumpulan data melalui cara:

1. Pengamatan (Observation)

Kami melakukan pengamatan-pengamatan langsung terhadap kegiatan yang berhubungan dengan masalah yang diambil. Hasil dari pengamatan tersebut langsung dicatat oleh kami dan dari kegiatan observasi dapat diketahui permasalahan atau proses dan kegiatan tersebut.

2. Studi Pustaka

Selain melakukan kegiatan observasi diatas, kami juga melakukan studi kepustakaan melalui literatur-literatur atau referensi-referensi yang ada di buku-buku perpustakaan dan juga internet.

1.5

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini terbagi kedalam beberapa bab yang menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Kami membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam IV bab terperinci. Adapun bagian-bagiannya adalah:

Bab I : Pendahuluan

(7)

Bab II : Landasan Teori

Pada bab ini akan diuraikan mengenai pengertian Euthanasia, sejarah

Euthanasia, jenis-jenis Euthanasia, pandangan para ahli terhadap Euthanasia, pandangan berbagai ajaran agama terhadap Euthanasia, dan pandangan hukum diberbagai negara terhadap Euthanasia.

Bab III : Pembahasan

Pada bab ini merupakan inti dari pembahasan penulisan yang berisi tentang penyebab terjadinya Euthanasia, kasus-kasus Euthanasia, aspek-aspek Euthanasia, terminologi Euthanasia, dan faktor yang mempengaruhi Euthanasia.

Bab IV : Penutup

(8)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1

Pengertian Euthanasia

Didalam makalah ini, kita akan membahas suatu tindakan yang disebut Euthanasia. Dalam kasus ini terdapat banyak pro dan kontra yang membingungkan dan masih dicari jalan

kebenarannya apakah tindakan Euthanasia adalah suatu tindakan yang bijaksana atau suatu pembunuhan. Akan tetapi, dalam perkembangan Euthanasia lebih menunjukan kegiatan membunuh karena belas kasihan.

Maka menurut pengertian umum sekarang ini, Euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupan penderita yang dianggap sebagai suatu kesengsaraan bagi penderita. Jadi, dianggap bahwa kematian diatas dasar pilihan rasional

seseorang , yang dapat dianggap meringankan beban penderita atau malah menghilangkan nyawa penderita tanpa persetujuan dari penderita itu sendiri. Berikut adalah berbagai pengertian dari sudut pandang pihak-pihak tertentu.

2.1.1 Secara Etimologis

Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata “eu” berarti baik, dan “thanatos” berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang).

Jadi, Euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju menganggap Euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama

2.1.2 Menurut Para Ahli

Ada beberapa pengertian Euthanasia yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Diantaranya sebagai berikut:

1. Philo. Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik.

2. Suetonis. Penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul “Vita Ceasarum” mengatakan bahwa Euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.

3. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia adalah suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.

2.1.3 Menurut Alkitab

(9)

kasihan menurut Alkitab adalah menenangkan orang yang akan binasa dengan zat penenang atau minuman keras dan bukan membantunya bunuh diri (Ams.31:6-7).

Dalam Alkitab, penderitaan mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif dalam hidup manusia (Yakobus 1:2-4; Roma 5:3-4), penderitaan melahirkan ketekunan dan pengharapan dan kesempurnaan hidup. Jika pro Euthanasia mengatakan bahwa mengakhiri penderitaan seseorang adalah sikap murah hati, berarti penderitaan dijadikan sebagai alat pembenaran praktek. Walaupun Euthanasia dapat mengakhiri penderitaan, Euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri dengan Euthanasia, itu sama artinya menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu.

Hidup adalah pemberian Tuhan (Kejadian 2:7). Manusia menjadi makhluk hidup setelah Tuhan Allah menghembuskan napas kehidupan kepadanya (band. Yehezkiel 37:9-10). Napas kehidupan diberikan Tuhan sehingga manusia memperoleh

kehidupan. Tugas manusia tidak lain kecuali memelihara kehidupan yang diberikan oleh Tuhan (band. Perumpamaan dalam Efesus 5:29). Bukan hanya kehidupan yang sehat, tetapi juga hidup yang dirundung oleh penderitaan, hidup yang sakit, harus dipelihara. Maka penderitaan harus dapat diterima sebagai bagian kehidupan orang percaya (Roma 5:3) termasuk penderitaan karena sakit.

Manusia lebih berharga daripada materi. Maka, materi harus melayani

kepentingan manusia (band. Matius 6, tentang khotbah di Bukit). Maka melakukan Euthanasia demi untuk kepentingan apapun, termasuk penghematan ekonomi tidak dibenarkan secara moral, terutama moral Kristen.

Mencabut hidup manusia memang secara moral adalah sangat keliru apapun motifnya. Apalagi membantu seseorang untuk mengakhiri hidupnya, bagi orang Kristen memang itu adalah kesalahan yang melawan Hukum Allah, tetapi tidak selalu salah untuk mengizinkan seseorang mati, khususnya jika ini merupakan kematian yang wajar. Jika kita mengizinkan kematian seseorang berlangsung dengan

menghentikan suplai makanan atupun air, maka ini disebut pembunuhan. Akan tetapi, ketika menolak atau menghentikan alat-alat yang tidak wajar seperi jantung buatan ataupun alat bantu ginjal itu tidak selalu salah, inilah yang disebut dengan Euthanasia Pasif yang wajar.

Etika Kristen merupakan etika deontologi, yaitu suatu etika yang berpusat pada kewajiban sehingga dalam hal ini Euthanasia yang dilakukan adalah mengacu pada kewajiban atau hukum yang lebih tinggi berdasarkan peraturan-peraturan yang telah dipertimbangkan secara rasional.

(10)

Berikut ini adalah contoh-contoh isi berbagai macam ayat alkitab atau penjelasan yang mengarah tentang benar atau salahnya Euthanasia:

1. Tak ada orang yang mempunyai hak moral untuk membunuh manusia tak bersalah. Kata Alkitab, “Jangan membunuh” (Kel. 20:30). “..dan seorang pun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku” (Ul. 32:29). Ayub mengatakan, ”Tuhan memberi, Tuhan yang mengambil” (Ayb. 1:21) dan Dia saja yang berhak mengambilnya (Ibr 9:27). Kesalahan Euthanasia Aktif adalah memainkan peranan sebagai Allah dan bukan manusia. Bahkan Alkitab mengatakan bahwa kita bukanlah pencipta hidup kita. Jadi, hidup kita bukanlah milik kita (Kis. 14:17; 17:24-25).

2. Bukan belas kasihan jika membunuh penderita. Membunuh bayi belum lahir sama saja dengan Child Abuse. Membunuh bayi cacat atau kaum dewasa yang menderita bukan menghindarkan dari kesengsaraan manusia, melainkan menyebabkan penderitaan kematian. Bahkan Alkitab

mengatakan, membunuh orang yang tak bersalah bukan perbuatan baik, melainkan kejahatan (Kel 20:13).

3. Jika Euthanasia memperbolehkan membunuh dengan tujuan yang baik, maka dengan membunuh pendukung Euthanasia dan aborsi, jutaan nyawa bisa terselamatkan. Tetapi tidak akan ada pendukung Euthanasia yang memperbolehkannya.

4. Dari penderitaan banyak dapat dipelajari. “Kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji mienimbulkan pengharapan” (Rm. 5:3-4). Yakobus berkata, “..anggaplah sebagai suatu kebahagiaan , apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan”. Penderitaan membentuk karakter, “tiap-tiap pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibr. 12:11). 5. Tidak ada label harga pada hidup manusia. Yesus berkata, “ Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Mrk. 8:36). Suatu nyawa manusia lebih berharga daripada apapun di dunia ini (Mat. 6:26). Pandangan membunuh untuk menghemat uang adalah materialistis.

6. Tujuan tidak membenarkan cara.

7. Manusia bukanlah hewan. “..sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej. 9:6).

(11)

Kasus euthanasia adalah kasus kematian yang dipaksakan, dan hal ini masuk dalam kategori pembunuhan. Dalam Keluaran 20:13, dengan tegas firman Tuhan berkata “Jangan membunuh.” Dengan demikian, tidak ada alasan moral apapun yang mengijinkan pembunuhan, dan manusia itu sendiri tidak memiliki hak untuk

menentukan kematiannya, karena kematian adalah hak Tuhan (Ulangan 32:39; Ayub 1:21; Ibrani 9:27). Jadi, dalam pedalaman alkitab sekalipun Euthanasia di pandang sebagai pembunuhan yang di larang di alkitab dan di larang di dalam 10 perintah Allah.

2.1.4 Menurut Kamus Hukum

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan Euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan Euthanasia akan sangat

membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang kegiatan ini.

Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk Euthanasia, yaitu Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia Euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang

melanggar larangan tersebut.

Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir perlu dicermati secara hukum. Secara yuridis formal kualifikasi kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.

(12)

juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga

dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.

2.2

Sejarah Euthanasia

Dari zaman Yunani kuno sudah dikenal tentang Euthanasia. Pada zaman Yunani Romawi, penekanan Euthanasia ditekankan pada kehendak manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan terutama yang mengalami penyakit parah. Selain itu, ada kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya Euthanasia yaitu tradisi kurban, alasannya yaitu motivasi pribadi untuk berkurban dan pribadi yang mau memberikan dirinya untuk sesamanya.

Tapi tidak semua pemikir zaman ini sepakat dengan Euthanasia seperti Pytagoras yang melawan tindakan ini yang berpendapat bahwa hidup manusia mempunyai nilai keabadian, dan Euthanasia merupakan tindakan yang tidak menanggapi arti hidup manusia. Sama halnya dengan Aristoteles yang bertentangan dengan gurunya yang bersimpati terhadap Euthanasia dengan alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.

Pada tahun 1920, ada sebuah buku yang sangat populer dengan judul “The Permision to Destroy Life unworthy of life”. Ditulis oleh seorang psikiatri dari Freiburg bernama Alfredn Hoche dan seorang profesor hukum dari Universitas Leipsig yang bernama Karl Binding. Mereka berpendapat bahwa tindakan membantu seseorang yang mengalami kematian adalah masalah etika tingkat tinggi yang membutuhkan pertimbangan yang tepat, yang merupakan solusi belas kasihan atas masalah penderitaan.

Di Inggris pada tahun 1935, seorang Dokter membentuk The Voluntary Euthanasia Legislation Society, untuk melegalisasi Euthanasia bersama dengan dokter-dokter terkenal lainnya. Namun, rancangan ini kemudian ditolak oleh Dewan Lord setelah melalui perdebatan di House Of Lord pada tahun 1936. Di Jerman, kekuasaan Adolf Hitler memeritahkan untuk

melalukan tindakan Mercy killing secara luas yang dikenal dengan “Action T4” untuk menghapus kehidupan orang yang dianggap tak berarti dalam kehidupan (Life Under Worty of Life).

(13)

terus diperdebatkan di Amerika dan pada tahun 1998 Oregon melegalisis Asisten Suicide dan itu satu-satunya di negara bagian Amerika yang melegalkan Euthanasia.

Di Belanda pada tahun 2000 melegalkan Euthanasia Aktif Voluntir ini mendapat berbagai sorotan dari organisasi anti Euthanasia dan juga dari organisasi pro Euthanasia. Seperti Rita Marker dari ADIWIDIA edisi Desember 2010 No. 1 “Internasional Againts Euthanasia task force” “apakah sekarang sebuah kejahatan akan diganti dengan perawatan”, sedangkan Tamara Langley dari The UK voluntary Euthanasia Society menganggap sebagai suatu perkembangan, orang-orang mengambil keputusan yang mereka buat sendiri. Ebger dari Cristian union mengatakan bahwa undang undang ini adalah kesalahan sejarah.

Tahun 2002, giliran Belgia melegalisir Euthanasia seperti di Belanda. Di Belgia menetapkan kondisi pasien yang ingin mengakhiri hidupnya harus dalam keadaan sadar. Saat penyataan itu dibuat dan menanggulangi permintaan mereka untuk Euthanasia. Sedangkan di Swiss, Euthanasia masih ilegal tetapi terdapat tiga organisasi yang mengurus permohonan tersebut dan menyediakan konseling dan obat-obatan yang dapat mempercepat kematian.

Di asia Jepang adalah satu-satunya negara yang melegalkan Euthanasia Voluntir yang disahkan melalui keputusan pengadilan tinggi pada kasus Yamaguchi di tahun 1962. Namun setelah itu, karena faktor budaya yang kuat Euthanasia tidak pernah terjadi lagi di Jepang.

2.3

Jenis-Jenis Euthanasia

Selain memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang, Euthanasia juga memiliki banyak jenis yang dilihat dari berbagai segi. Beberapa diantaranya sebagai berikut.

2.3.1 Dilihat dari Segi Pelakunya

Dilihat dari segi pelaku, Euthanasia memiliki dua jenis, yaitu:

a. Compulsary Euthanasia adalah bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang akan berakhir. Orang tersebut bisa siapa saja, seperti dokter, atau

bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kadang-kadang Euthanasia jenis ini disebut mercy killing (penghilangan nyawa penuh belas kasih). Contohnya: dilakukan pada orang yang menderita sakit mengerikan, seperti anak-anak yang menderita sakit cacat yang sangat parah. b. Voluntary euthanasia, artinya orang itu sendiri yang meminta untuk mengakhiri hidupnya. Beberapa orang percaya bahwa pasien-pasien yang sekarat karena penyakit yang tak tersembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang berat hendaknya diizinkan untuk meminta dokter untuk membantunya mati. Mungkin mereka dapat menandatangani dokumen legal sebagai bukti permintaannya dan disaksikan oleh satu orang atau lebih yang tidak mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk kemudian dokter akan menyediakan obat yang dapat mematikannya. Pandangan seperti ini diajukan oleh masyarakat Euthanasia sukarela.

2.3.2 Dilihat dari Segi Caranya

Dilihat dari sudut caranya, Euthanasia dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

(14)

terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau Euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Misalnya, dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan alat zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.

b. Euthanasia non-agresif atau biasanya disebut juga dengan autoeuthanasia

(Euthanasia otomatis) yang termasuk kategori Euthanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan si pasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan

penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-Euthanasia atau Euthanasia non-agresif pada dasarnya adalah suaru praktik Euthanasia Pasif atas permintaan orang itu sendiri. c. Euthanasia Pasif adalah pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak dimulai, atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena pengobatan apa pun tidak berguna lagi. Misalnya, dokter yang tidak memberikan bantuan oksigen kepada pasien yang sedang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Euthanasia Pasif ini sering kali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.

2.3.3 Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin, Euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:

a. Euthanasia di luar kemauan pasien. Euthanasia di luar kemauan pasien yaitu suatu tindakan yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup atau bisa juga disebut juga dengan memaksa pasien untuk mengakhiri kehidupannya. Tindakan Euthanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

b. Euthanasia secara tidak sukarela. Euthanasia semacam ini adalah yang sering kali menjadi bahan perdebatan dan sering dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapa pun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu

keputusan, misalnya statusnya hanyalah sebagai seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.

c. Euthanasia secara sukarela. Euthanasia secara sukarela ini dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan kontroversial.

2.4

Pandangan Para Ahli Terhadap Euthanasia
(15)

1. Posidippos. Seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”.

2. Philo. Seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa Euthanasia adalah “Kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini 100).

3. Suetonius. Seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘Euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Agustus 99).

4. Seneca. Yang bunuh diri pada tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati daripada sengsara merana”.

Pada zaman Renaissance, pandangan tentang Euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan Euthanasia Medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan Euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “The Best Form of Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan.

David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan Euthanasia.

Tahun 20-30–an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah Euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche

(psikiater) membenarkan Euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul “Die Freigabe der Vernichtung

lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920”. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.

2.5

Pandangan Berbagai Ajaran Agama Terhadap Euthanasia

Di dunia ini terdapat berbagai macam agama. Setiap agama pun memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai Euthanasia. Berikut merupakan pandangan dari berbagao ajaram agama terhadap Euthanasia:

1. Dalam Ajaran Islam

Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati. Namun, hak tersebut

(16)

Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan

belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.

Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut

(Euthanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya Euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

2. Dalam Ajaran Buddha

Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan di

mana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah

satu moral dalam ajaran Buddha. Berdasarkan pada hal tersebut, maka nampak jelas bahwa Euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Buddha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Buddha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna").

Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan

pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Buddha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

3. Dalam Ajaran Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap Euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.

- Karma adalah suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang.

- Moksa yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.

- Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.

(17)

dalam kehidupan kembali.

Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu di mana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun

dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya

berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman

lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

4. Dalam Ajaran Kristen Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap Euthanasia dan orang yang membantu pelaksanaan Euthanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :

1. Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa “penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.

2. Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus, di mana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan

memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang Kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan,

memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum Kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

(18)

Gereja Katolik sungguh menjunjung tinggi kehidupan, karena kehidupan manusia diberikan dari Allah. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae, menyatakan secara definitif bahwa pembunuhan seorang manusia yang tak bersalah selalu merupakan perbuatan imoral/ tidak bermoral. Pernyataan ini bersifat infallible atau tidak dapat sesat. Dalam artikel 57 dari dokumen Evangelium Vitae, dituliskan sebagai berikut:

“Jadi, dengan otoritas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para penerusnya, dan di dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa tindakan pembunuhan seorang manusia tak bersalah selalu merupakan tindakan yang sungguh tidak bermoral. Pengajaran ini, berdasarkan hukum yang tidak tertulis, di mana manusia dalam terang akal budi, menemukannya dalam hatinya (lih. Rm 2:14-15), ditegaskan kembali oleh Kitab Suci, diteruskan oleh Tradisi Gereja dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal” (Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, 25).

Selanjutnya Kongregasi Doktrin Iman menjelaskan lebih lanjut, demikian: “Keputusan sengaja untuk merampas kehidupan seorang manusia selalu merupakan kejahatan moral dan tidak akan dapat dianggap licit (sesuai aturan), baik sebagai tujuan ataupun sebagai cara untuk mencapai sebuah tujuan yang baik.

Nyatanya, itu adalah tindakan berat yang menyangkut ketidaktaatan kepada hukum moral, dan sungguh kepada Tuhan sendiri, Pencipta dan Penjamin hukum tersebut; tindakan itu bertentangan dengan kebajikan mendasar tentang keadilan dan cinta kasih. Tak ada sesuatupun dan tak seorangpun dapat dengan cara apapun mengizinkan pembunuhan seorang manusia, apakah itu dalam bentuk janin atau embrio, seorang bayi ataupun dewasa, seorang tua, atau seseorang yang menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau seseorang yang dalam keadaan sekarat. Selanjutnya, tak seorangpun diizinkan untuk meminta dilakukannya tindakan pembunuhan ini, entah bagi dirinya sendiri atau untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya, atau tak seorangpun dapat

menyetujuinya, baik secara eksplisit ataupun implisit. Tidak juga ada otoritas legitim apapun yang dapat merekomendasikan ataupun mengizinkan tindakan tersebut”

Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Euthanasia dalam artinya yang sesungguhnya dimengerti sebagai sebuah tindakan atau pengabaian yang dilakukan dengan tujuan untuk menyebabkan kematian, dengan maksud untuk meniadakan semua

penderitaan. Sesuai dengan pengajaran Magisterium dari para pendahulu saya, dan dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan bahwa Euthanasia adalah

pelanggaran yang berat terhadap hukum Tuhan, sebab hal tersebut merupakan pembunuhan

seorang manusia secara disengaja dan secara moral tidak dapat dibenarkan. Ajaran ini berdasarkan hukum kodrat dan sabda Allah yang tertulis, yang diteruskan oleh Tradisi Suci Gereja, dan diajarkan oleh Magisterium Gereja” (Evangelium Vitae 65).

2.6

Pandangan Hukum diberbagai Negara Mengenai Euthanasia
(19)

negara bagian Oregon di Amerika, India dan Swiss dan pandangan beberapa negara seperti di Korea, China dan Jepang mengenai Euthanasia.

1. Belanda

Pada tanggal 10 April 2001, Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan Euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik

Euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana

Belanda secara formal Euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3

melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan Euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. UU yang mengizinkan Euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995, Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini

beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi “Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.

2. Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan Euthanasia pada akhir September 2002. Para pendukung Euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan Euthanasia setiap tahunnya

telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan Euthanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan Euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”. Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).

3. Amerika

Euthanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya Euthanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan Euthanasia.

(20)

kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan

pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan Euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan Euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar Euthanasia bisa dilakukan.

4. India

Di India Euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun, berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan Euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC.

Namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus Euthanasia sukarela di mana si pasien sendirilah yang menginginkan kematian di mana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan Euthanasia tersebut (bantuan Euthanasia). Pada kasus Euthanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun Euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.

5. Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri”. Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

6. Korea

Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang Euthanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" di mana dua orang dokter yang didakwa

(21)

treatment) termasuk tindakan Euthanasia Pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.

7. China

Di China, Euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Euthanasia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, di mana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan Euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court)

menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit

kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya Euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

8. Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang Euthanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai Euthanasia tersebut. Ada 2 kasus Euthanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai “Euthanasia Pasif”. Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai “Euthanasia Aktif”.

Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan pembenar di mana Euthanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian, Euthanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, di mana dokter yang

melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan

(22)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1

Penyebab Terjadinya Euthanasia

Setiap kegiatan Euthanasia pasti dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan atau penyebab. Alasan-alasan ini muncul karena terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh orang yang akan di Euthanasia. Berikut adalah beberapa penyebab atau alasan Euthanasia terjadi atau dilakukan:

a. Proses pembunuhan

Pasien yang mengalami penderitaan sakit yang sangat sering muncul rasa “putus asa” apalagi kalau ia tahu bahwa sakitnya tidak bisa disembuhkan. Maka ia berpikir lebih baik “cepat mati” saja sehingga penderitaannya berakhir dan tidak membebani keluarganya, ia akan “meminta” dokter supaya disuntik mati saja.

Jika yang meminta Euthanasia itu adalah pasiennya sendiri berarti yang dilakukan adalah “tindakan bunuh diri”. Sedangkan bila pasiennya sudah tidak sadarkan diri dan koma dengan waktu yang cukup lama, dan yang meminta Euthanasia itu keluarganya berarti yang dilakukan adalah “membunuh”.

Hal itu nampaknya sebagai “pertolongan” membebaskan penderitaan yang menyakitkan. Tetapi Euthanasia adalah perbuatan “membunuh”, karena hak yang menentukan kematian adalah Tuhan, bukan manusia, dan bukan pula dokter. Pasien atau keluarga yang meminta dan dokter yang melakukan Euthanasia berarti ia yang “melakukan pembunuhan atau bunuh diri”.

b. Melanggar sumpah dokter

Dokter dalam sumpah pelantikannya adalah wajib berupaya untuk menolong dan menyembuhkan pasien “semaksimal” mungkin, demi untuk “memperpanjang” hidupnya, bukan menghentikan hidup pasiennya apapun alasannya.

Panggilan dokter adalah “mengabdikan diri” kepada kelangsungan kehidupan manusia. Terhadap permintaan Euthanasia, seorang dokter harus berani “menolaknya” dengan tegas, tanpa perlu pertimbangan-pertimbangan rasa kasihan yang dapat membuat goyah pendiriannya.

c. Kehabisan biaya

Sering kali permintaan Euthanasia bisa terjadi karena keluarganya sudah “kehabisan biaya”, harta dan rumahnya sudah terjual semua, sedangkan kondisi pasiennya tidak ada kemajuan bahkan semakin memburuk atau sudah koma.

Permintaan Euthanasia bisa datang dari keluarga, karena pasien sudah tidak sadar. Memang kelihatannya perbuatan Euthanasia adalah “perbuatan baik” yang menolong seseorang dari penderitaan dan kesulitan biaya keluarganya, namun tetap itu adalah sebuah “pembunuhan”.

d. Serahkan pada Tuhan

Bagi umat Kristen yang anggota keluarganya menjadi pasien terminal atau sakit yang sudah tidak dapat disembuhkan. Di mana keluarganya mengalami kesulitan membiayai pengobatan di rumah sakit, atau alasan lainnya.

(23)

kepada Tuhan, mohon segera dipanggil pulang agar pasien terbebas dari penderitaannya, tetapi kalau Tuhan kehendaki untuk tetap hidup, mohon bebaskanlah dengan segera dari penyakitnya, ya Tuhan Yesus. Amin. Tuhan Yesus yang penuh kasih akan “menjawabnya”!

3.2

Kasus-Kasus Euthanasia

Berikut ini merupakan contoh-contoh kasus yang berkaitan dengan Euthanasia: 1. Kasus “Doctor Death”

Dr. Jack Kevorkian dijuluki “Doctor Death”, seperti dilaporkan Lori A. Roscoe. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale, California. Diduga puluhan pasien telah “ditolong” oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi “menolong” pasien-pasiennya. Namun, para

penentangnya menyebut apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.

2. Kasus Hassan Kusuma – Indonesia

Sebuah permohonan untuk melakukan Euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2014 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega

menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2

bulan dan di samping itu, ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan Euthanasia ini diajukan ke Pengadilan NegeriJakarta Pusat.

Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk Euthanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah

mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

3. Kaus Terri Schiavo

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990, saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah memanggil ambulans

dan tim medis, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen.

Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh

malapraktik dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.

(24)

meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut.

Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan

pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh

Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.

4. Kasus Rumah Sakit Boramae – Korea

Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan.

Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.

5. Kasus Seorang Wanita New Jersey – Amerika Serikat

Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan. Karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut.

Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding

permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31

Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).

6. Kasus BBC

(25)

kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu adalah Peter Smedley berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat mematikan.

Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, Euthanasia tidak terlarang. Ia pun meminta dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan, barbituates. Entah bagaimana dia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa

acara Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya saat meminum racun. Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu.

Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari klinik dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya. Setelah tayangan itu, debat panas muncul di Twitter, media sosial lainnya serta media cetak membuat BBC dijuluki 'pemandu sorak' Euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya pada Dirjen Mark Thompson dan Kepala BBC Lord Patten mengenai acara itu.

Warga menganggap acara ini 'tak pantas'. Kelompok amal, politik, dan agama bergabung menyatakan acara ini 'propaganda' Euthanasia. Dalam gugatan, tertulis, "Menayangkan kematian pasien di acara demi hiburan, BBC harus punya alasan kuat”. Baroness Campbell of Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of Berriew mengatakan, BBC menayangkan acara ini guna

mendukung bunuh diri yang dibantu. Alhasil, hampir 900 warga membuat pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru bicara BBC menambahkan, "Terkait acara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162 pengaduan, total pengaduan pun menjadi 898". Regulator media Ofcom sendiri mengakui seperti dikutip Dailymail, BBC mendapat 'banyak' pengaduan.

3.3

Aspek-Aspek Euthanasia

Terdapat beberapa aspek-aspek yang berkaitan dengan Euthanasia. Diantaranya sebagai berikut.

3.3.1 Aspek Hukum

Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama Euthanasia, khususnya Euthanasia Aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan Euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya Euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.

(26)

undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.

3.3.2 Aspek Hak Asasi

Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru

di hubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum Euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam Euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

3.3.3 Aspek Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

3.3.4 Aspek Agama

Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau

memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan Euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan

melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur.

Orang yang menghendaki Euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain.

Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal-hal seperti ini, manusia sering menggunakan standar ganda. Hal-hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum-hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk

(27)

3.4

Terminologi Euthanasia

Sejak abad ke-19, terminologi Euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.

Pemakaian terminologi Euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu:

1. Pemakaian secara sempit. Secara sempit, Euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian.

2. Pemakaian secara luas. Secara luas, terminologi Euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup

diperpendek.

3. Pemakaian paling luas. Dalam pemakaian yang paling luas ini, Euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien.

Menurut hasil seminar aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi, Euthanasia diartikan:

1. Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.

2. Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien. 3. Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.

Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata Euthanasia dipergunakan dalam tiga arti: 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.

2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Euthanasia adalah sebagai berikut:

1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk mengakhiri hidup. 2. Mempercepat kematian atau tidak memperpanjang hidup pasien.

3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali. 4. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.

5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

3.5

Faktor Yang Mempengaruhi Euthanasia

Terdapat beberapa faktor pro dan kontra yang mempengaruhi terjadinya Euthanasia. Faktor-faktor tersebut diantaranya:

1. Rasa sakit yang tidak tertahankan

- pro : melihat salah satu anggota keluarganya menderita penyakit ganas yang tidak

(28)

tersebut tersiksa dengan rasa sakitnya. Oleh karena itu, mereka menyetujui untuk melakukan Euthanasia.

- kontra : rasa sakit yang tidak tertahankan bukanlah suatu alasan bagi seseorang untuk memutuskan mengakhiri hidupnya. Kita boleh menghindari dari rasa sakit itu, tetapi tidak berarti kita dapat menghalalkan segala cara.

Memutuskan untuk mati bukanlah cara yang tepat. Allah yang berhak untuk memutuskan kehidupan dan kematian seseorang. Melalui situasi ini,

seseorang pun dapat mengambil suatu pembelajaran. Kondisi tersebut membuat iman kita teruji, hubungan kita dengan Allah akan semakin dekat, kita pun juga akan menjadi bergantung dan menyerahkan segala kehidupan kita kepadaNya. Allah pasti memiliki rencana yang indah bagi semua orang.

2. Manusia memiliki hak untuk mati secara bermartabat

- pro : manusia telah menjalani proses kehidupan yang begitu panjang dan begitu banyak pengalaman. Manusia melalui jalan kehidupannya karena pilihannya

sendiri di awal kehidupannya, sehingga manusia pula yang akan memilih jalan kehidupannya untuk mengakhiri hidupnya merupakan hak manusia untuk memilih tetap hidup atau mengakhiri kehidupannya dengan damai, tanpa rasa sakit.

- kontra : banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak asasi manusia, yaitu “hak untuk menentukan diri sendiri”. Menurut masyarakat, manusia memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri untuk tetap hidup atau mati dengan tenang. Penolakan atas hak untuk mati dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang wajib dijunjung dan

dihormati. Pandangan ini merupakan pandangan yang salah. Memang manusia diberi hak untuk menentukan diri sendiri, tetapi bukan untuk menentukan kapan

kehidupannya berakhir. Manusia diberikan hak untuk menentukan prinsip hidupnya, menentukan tujuan hidupnya tanpa hasutan dari orang lain, menentukan sikap dan tingkah lakunya sendiri, tetapi bukan menentukan kematiannya. Hidup atau mati merupakan kedaulatan Allah. Allah adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu (Kejadian 1:1, Mazmur 24:1), termasuk manusia yang diciptakan menurut gambar-Nya (Kejadian 1:27). Allah yang memberikan kita nafas dan hidup, maka Allah lah yang berhak

mencabutnya. Jika kita melakukan Euthanasia, maka sama saja kita mendahului kehendak Allah. Kita adalah manusia, bukan Allah.

3. Ketidakmampuan dalam pembiayaan pengobatan

- pro : biaya pengobatan tidak tergolong murah, apalagi jika pasien menderita penyakit parah dan harus rawat inap di rumah sakit. Karena dana tidak cukup untuk menutup semua biaya, akhirnya pasien memutuskan untuk melakukan Euthanasia.

(29)

(walaupun tidak dalam jumlah besar), tetapi ia tidak melakukannya dan membiarkannya. Hal ini menandakan bahwa orang tersebut terlalu materialistik (terlalu cinta uang, gila harta) hingga menghiraukan nyawa seseorang. Ingatlah bahwa nyawa seseorang lebih berharga daripada harta yang kita miliki. Kita tidak dapat membayar nyawa dengan uang atau dengan apa pun juga. Jika seseorang membiayai seluruh pengobatan yang dijalani oleh salah satu anggota keluarganya, tetapi suatu ketika uang yang dimilikinya habis sehingga ia memberhentikan pengobatan medis dan memutuskan untuk merawatnya sendiri di rumah merupakan tindakan yang tidak tergolong dosa. Orang tersebut sadar bahwa ia mampu dan ia

memberikan yang terbaik untuk kesehatan salah satu anggota keluarganya tersebut. Ia tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Yang terpenting ialah ia sadar dan berusaha

semaksimal mungkin demi kepentingan orang lain, bukan harta.

4. Keadaan seseorang yang tidak berbeda dengan orang mati

- pro : menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. James Dubois dari Universitas SaintLouis dan Tracy Schmidt dari Intermountain Donor Service, sekitar 84% dari seluruh warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang dapat dikatakan mati apabila yang membuatnya tetap bernafas adalah obatan dan mesin medis. Hal ini menjadi alasan beberapa orang untuk melakukan Euthanasia. Mereka berpikir bahwa seseorang yang hanya bernafas karena bantuan mesin tersebut sudah tidak menunjukkan adanya suatu interaksi dengan orang lain atau respons dan secara kebetulan bisa bernafas karena kecanggihan dari penerapan teknologi saja sehingga tidak ada salahnya untuk melakukan Euthanasia karena pada dasarnya orang tersebut sudah mati sehingga dengan kata lain kita tidak mencabut nyawa seseorang.

(30)

BAB IV

PENUTUP

4.1

Kesimpulan

Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan. Maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan.

Aturan mengenai masalah Euthanasia berbeda-beda di tiap- tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya. Di beberapa negara, Euthanasia dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan Euthanasia tetap dilarang karena tidak ada dasar hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal 344, pasal 355 dan pasal 359.

Menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi.

Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang Euthanasia. Maka, satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

Jadi di Indonesia, Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari kode etik kedokteran, undang-undang hukum pidana, maupun menurut setiap agama, yang menghukumkannya haram. Sedangkan Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.

4.2

Saran

Dalam makalah ini, penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi layanan

(31)

Daftar Pustaka

http://nurnilam-sarumaha.blogspot.co.id/2011/12/euthanasia-dan-pandangan-alkitab.html

http://etikakristeneuthanasia.blogspot.co.id/2012/03/pandangan-agama-kristen-pada-euthanasia.html

http://chapizzta.blogspot.co.id/2013/10/euthanasia-ditinjau-dari-perspektif.html

http://www.nasihudin.com/euthanasia/96

https://www.google.co.id/amp/s/amp.kaskus.co.id/thread/50d363628327cff83600003b/hot-zat-kimia-yang-digunakan-pada-suntik-mati---hukuman-mati

https://www.google.co.id/amp/s/rafflesiahydrangea.wordpress.com/2014/05/02/8-kasus-euthanasia-di-dunia/amp/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Eutanasia

http://amireksepsi.blogspot.co.id/2013/11/kasus-euthanasia-yang-pernah-terjadi.html?m=1

https://www.google.co.id/amp/s/keperawatanreligionputriseptina.wordpress.com/2013/06/03/beberapa -aspek-tentang-euthanasia/amp/

http://euthanasiatpa.blogspot.co.id/2012/03/faktor-faktor-euthanasia.html?m=1

https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://www.katolisitas.org/apa-

pandangan-gereja-katolik-tentang-euthanasia/&ved=0ahUKEwjN1fy-mbDTAhVIuY8KHVYvBR4QFggZMAA&usg=AFQjCNE6CeGtaoHDxLDwuk7Lzdqkbe5TPA&sig 2=kVG2vPQFZroXRP0mkxECxQ

Pdt. Dr Karel Sosipater “Etika Perjanjian Lama” The old testament – Law & Obedience

Buku “KAMUS ALKITAB & THEOLOGI” Memahami istilah-istilah sulit dalam alkitab dan gereja – JONAS S.

BUKU CETAK PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK “MENJADI MURID YESUS” - HALAMAN 186-187

BUKU ETIKA PERJANJIAN LAMA “The Old Tertament” (Pdt. Dr. KAREL SOSIPATER) - HALAMAN : 100-103

Referensi

Dokumen terkait

Dengan bantuan mesin pengolahan sampah organik ini sampah yang sudah di cacah, difermentasi, dan diolah dengan mesin ini cacing mampu menghabiskan limbah tersebut dalam

Model ini mendasarkan pada pendapat bahwa seseorang menjadi pemimpin tidak hanya karena karakteristik individu mereka tetapi juga karena beberapa variabel situasi dan interaksi

Dan darimana kita tahu bahwa seseorang itu baik atau tidak, tentu dari interaksi yang sudah ada atau terjalin dengan mereka sebelumnya.. Ini juga berarti, sebagai

Adaptasi juga sudah terlaksana dengan baik pada Amanda Taylor dimana dengan adanya bantuan dana usaha dari pemeriantah melalui Disperindag Aceh berupa mesin

Bantuan akan lebih baik dilakukan dengan cara mengawasi atau membatasi peluang seseorang untuk terlibat pada penyalahgunaan nafza.. Perhatian dan hubungan kelurga

Pelayanan untuk orang lanjut usia tidak hanya sebatas memerlukan pelayanan berupa bantuan untuk aktivitas keseharian mereka namun juga sangat tergantung dengan keadaan

Malaikat dalam kisah Al-Qur‟an mempunyai peranan seperti manusia, dan bahkan sering datang dalam bentuk manusia biasa. Di sini orang baru mengetahui bahwa mereka itu

Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa kreativitas pada intinya merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun