• Tidak ada hasil yang ditemukan

Full Paper P00197

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Full Paper P00197"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

Kajian Pemekaran Kota Salatiga

Tahun Anggaran 2015

Oleh:

Drs. Daru Purnomo, M.Si

Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto, M.Sc

Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM

Dr. Umbu Rauta, SH.,M.Hum

Dr. Bambang Ismanto, M.Si

Seto Herwandito, S.Pd, M.Ikom

Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman

Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi

(2)

KATA PENGANTAR

Ketersediaan wilayah yang cukup sesuai kebutuhan pembangunan di daerah,

merupakan satu permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan Daerah Kota Salatiga.

Dibatasi dengan wilayahnya yang sempit/terbatas, upaya pembangunan Kota Salatiga

tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Sementara itu keberadaan daerah-daerah di

sekitar Kota Salatiga yang relatif “jauh” dari pusat Kabupaten Semarang, secara

geografis, akan memudahkan jangkauan pelayanannya dari Kota Salatiga. Kondisi ini

memunculkan pemikiran yang wajar untuk mengkaji potensi dan peluang pemekaran

(baca: penyesuaian) Kota Salatiga.

Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi

menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang lebih maju dan berkembang.

Kami, dari Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di

dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW, merasa bangga karena dipercaya

oleh DPRD Kota Salatiga untuk mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun

kajian ini dapat memperoleh dukungan dari semua pihak yang terkait dengan

permasalahan pengembangan wilayah di Kota Salatiga dan hasilnya dapat menjadi

masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan pemekaran Kota Salatiga di waktu

mendatang.

Laporan akhir ini disusun sebagai wujud tanggung jawab kami dalam

menyelesaikan tahapan awal kegiatan kajian ini. Kiranya semua yang kita lakukan

dapat memperoleh berkat dan penyertaanNya.

Salatiga, 21 Agustus 2015

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 3

1.3. Maksud dan Tujuan ... 3

1.4. Sasaran dan Ruang Lingkup ... 4

BAB II. LANDASAN TEORI ... 5

2.1. Dimensi Normatif Penataan Wilayah ... 5

2.2. Implikasi Politik Penataan Wilayah ... 7

2.3. Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah ... 10

2.4. Teori Struktur, Tata Ruang, dan Perkembangan Kota ... 12

2.5. Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun 2007 ... 21

BAB III. METODOLOGI ... 23

3.1. Metode Penelitian ... 23

3.2. Tahapan Pengumpulan dan Analisis Data ... 27

3.3. Jadwal Pelaksanaan ... 28

3.4. Pelaksanaan Kegiatan ... 28

3.5. Pelaksana Kegiatan ... 29

3.6. Pengawasan Pekerjaan ... 29

3.7. Analisis Manfaat dan Biaya ... 29

BAB IV. HASIL KEGIATAN AKHIR ... 31

4.1. Kerangka Teoretis Normatif Penataan (Penyesuaian) Daerah ... 31

4.2. Sejarah dan Dinamika Kota Salatiga ... 42

4.3. Kondisi Sosial Politik ... 45

4.4. Kondisi Kependudukan Kota Salatiga ... 50

4.5. Potensi Daerah Kota Salatiga ……….. . 68

4.6. Aspek Ekonomi Dalam Dinamika Pemekaran ... 74

BAB V. PENUTUP ... 96

DAFTAR PUSTAKA

(4)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten

dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,

kabupaten/kota atau antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan

undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu,

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat

istimewa dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18, 18A dan 18B UUD NRI

1945).

Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya

menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prinsip

penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah

diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar

yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan

daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas

kepada Pemerintahan Daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan

dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintahan Daerah harus mengoptimalkan

pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU

No. 23 Tahun 2014, Pemerintahan Daerah dan masyarakat di daerah lebih

diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat

laju pembangunan daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan

otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural,

(5)

Baik UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No.23

Tahun 2014 memberi pesan perlunya mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan

kepada masyarakat di daerah-daerah. Karena itu, banyak urusan pemerintahan yang

kemudian diserahkan dan didelegasikan kepada daerah-daerah melalui asas

desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Luas wilayah kabupaten/kota antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Bagi

kabupaten/kota yang terlalu luas, maka pemerintah daerah otonom sulit untuk

memberikan pelayanan yang mampu menjangkau semua wilayah. Berdasarkan kondisi

ini, maka banyak daerah-daerah yang berusaha memekarkan diri terpisah dengan

daerah otonom yang menjadi induknya. Daerah yang ingin menjadi daerah otonom

sendiri umumnya adalah daerah memiliki kekayaan sumber daya alam.

Pertimbangannya, dengan menjadi daerah otonom sendiri, maka daerah bersangkutan

akan memiliki infrastruktur kepemerintahan, sarana dan prasarana, dana dan policy

sendiri sehingga kekayaan sumber daya alam di daerahnya dapat diolah untuk lebih

memakmurkan masyarakat di daerahnya. Apalagi melihat luasnya wilayah Indonesia

dengan kondisi hutan dan laut, maka pemekaran dapat dipandang sebagai upaya untuk

mempercepat pemeratan pembangunan.

Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 yang

selanjutnya diganti dengan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan,

Penghapusan dan Penggabungan Daerah, sampai sekarang telah terbentuk lebih dari

200 daerah baru (baik berupa kabupaten, kota dan provinsi).

Penataan wilayah (teritorrial reform) pada dasarnya merupakan bagian dari

manajemen pemerintahan daerah, yang dimaksudkan untuk menata wilayah

administratif suatu daerah agar rentang kendali menjadi lebih efektif dan efisien.

Idealnya, penataan wilayah ini dilakukan seiring dengan perkembangan suatu daerah,

sehingga pertumbuhan dan kemajuan tersebut tidak hanya terpusat tetapi dapat

dinikmati secara merata di seluruh wilayah. Pertumbuhan pusat-pusat kegiatan

ekonomi yang baru biasanya menjadi awal bagi perkembangan suatu daerah.

Pertumbuhan ini sejalan dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut, baik yang

bersumber dari kekayaan alam, maupun yang berupa sumber-sumber daya lainnya,

(6)

1.2. Identifikasi Masalah

Demikian pula dengan Kota Salatiga, dengan luas wilayah administratif

5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dan jumlah penduduk pada tahun 2013 sebanyak

178.594 jiwa sehingga kepadatan per Km² mencapai 3.145 jiwa/km2, maka Kota

Salatiga mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan titik berat pada sektor

industri/jasa. Letak Kota Salatiga yang sangat strategis, berbatasan dengan Kabupaten

Semarang, dan berdekatan dengan ibukota propinsi Jawa Tengah (Semarang), DIY

(Jogja) dan Solo, menyebabkan Kota Salatiga menjadi sangat potensial untuk

dikembangkan sebagai kota satelit. Laju pertumbuhan ekonomi di Kota Salatiga

terutama berpusat di Jalan Jendral Sudirman dan Jalan Diponegoro dan sekitarnya.

Keberadaan Kota Salatiga, yang berada di dalam wilayah Kabupaten

Semarang, telah menjadi daya tarik dan memberikan kontribusi ekonomi bagi

masyarakat di Kabupaten Semarang. Namun, kontribusi yang cukup besar tersebut

dirasakan belum sepadan dengan kesejahteraan yang dinikmati masyarakat di kawasan

tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya wacana pemekaran (baca:

penyesuaian) Kota Salatiga. Wacana pemekaran ini perlu dikaji di kalangan

masyarakat, baik bagi kelompok yang mendukung maupun yang menolak. Oleh

karena itu, dalam menyikapi wacana pemekaran ini, Pemerintah Kota Salatiga perlu

melakukan pengkajian secara mendalam dan komprehensif kelayakan pemekaran

Kota Salatiga. Kajian kelayakan ini merupakan tindak lanjut terhadap aspirasi

masyarakat. Kajian ini terutama difokuskan untuk menganalisis potensi

kelurahan-kelurahan yang ada di wilayah perbatasan Kota Salatiga untuk menjadi bagian wilayah

Kota Salatiga. Pengkajian secara ilmiah ini diharapkan dapat menghasilkan analisis

yang obyektif dan akuntabel, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

pengambilan keputusan mengenai rencana pemekaran dan penataan wilayah Kota

Salatiga.

1.3. Maksud dan Tujuan

Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian tentang potensi pemekaran

(baca: penyesuaian) Kota Salatiga yang berfokus pada studi pengembangan kelurahan

di wilayah perbatasan di Kota Salatiga. Secara rinci tujuan dari kegiatan studi ini

adalah sebagai berikut:

(7)

2. Menganalisis kemungkinan pemekaran Kota Salatiga sesuai dengan indikator

dalam PP No. 78 Tahun 2007.

3. Menganalisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya dan manfaat.

1.4.Sasaran dan Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan yang dilaksanakan meliputi pengkajian mengenai

potensi pemekaran wilayah Kota Salatiga, sebagai bahan pertimbangan dalam

mengkaji kemungkinan pemekaran Kota Salatiga. Selanjutnya, berdasarkan hasil

kajian tersebut, dilakukan analisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya

dan manfaat.

Keluaran yang akan dihasilkan dari kegiatan ini berupa Dokumen Studi

Kelayakan Pemekaran (baca: Penyesuaian) Kota Salatiga sebagai bahan

pertimbangan/rekomendasi bagi pengambil kebijakan, yakni Walikota dan DPRD

Kota Salatiga dalam menyusun kebijakan penataan wilayah Kota Salatiga sesuai

dengan kondisi faktual dan kebutuhan masyarakat Kota Salatiga umumnya dan calon

wilayah/kelurahan baru pada khususnya.  

(8)

II. LANDASAN TEORI

2.1. Dimensi Normatif Penataan Wilayah

Pada dasarnya usaha pemekaran suatu daerah menjadi dua atau lebih luas

adalah tidak dilarang, asalkan didukung oleh keinginan sebagian besar masyarakat

dan memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik wilayah. Selain itu,

berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan

untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat.

Dalam rangka mengatur pemekaran dan atau penggabungan daerah,

pemerintah telah menetapkan syarat-syarat dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan

penggabungan daerah yang tertuang dalam PP No. 129 tahun 2000.

Pada perkembangan berikutnya, PP No. 129 tahun 2000 diganti dengan PP No.

78 Tahun 2007. Dalam Penjelasan PP No. 78 Tahun 2007 secara eksplisit dinyatakan

bahwa seluruh persyaratan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah dimaksudkan

agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu

menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningatkan pelayanan publik yang

optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam

memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi

tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang

dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah,

sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Dengan demikian, dalam usulan

pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah secara ilmiah.

Dalam mengkaji daerah calon daerah pemekaran sekurang-kurangnya tiga

langkah pokok yang perlu dilalui yaitu mengkaji tentang kondisi eksisting penataan

wilayah di Kota Salatiga, selanjutnya mengukur potensi pemekaran sesuai dengan

indikator dalam PP No. 78 Tahun 2007 dan terakhir menganalisis kelayakan

pemekaran dilihat dari sisi biaya dan manfaat.

Dari sudut pandang yang berbeda, masyarakat yang menyetujui dan atau

menolak pemekaran suatu daerah, hendaknya secara sadar memiliki alasan rasional.

(9)

yang memadai. Dari seluruh kasus pemekaran daerah, selalu akan ada masyarakat di

daerah setempat yang menolak. Suatu hal yang bersifat manusiawi. Namun, hal yang

perlu dihindari adalah alasan politik yang berlebihan sehingga melupakan aspek

rasional dan mementingkan politik sesaat semata. Beberapa perspektif yang

diharapkan akan memberikan perluasan wawasan dan cara pandang guna melengkapi

kita dalam menyikapi fenomena pemekaran daerah adalah sebagai berikut:

Alasan normatif. Produk hukum yang dilandasi UU Pemerintahan Daerah

adalah wadah yang paling terbuka bagi daerah untuk memiliki akses sebanyak

mungkin dalam pemekaran daerah. Dalam pandangan yang bersifat normatif tersebut,

daerah punya hak otonom seluas-luasnya untuk mengatur dan mengelola urusan rumah

tangganya sendiri. Daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat sentuhan

pembangunan (karena jarak akses kebijakan yang mungkin dirasa terlalu “jauh”) akan

mendapatkan suatu peluang yang besar dalam mengembangkan dirinya. Kebijakan

akan semakin dekat dan peran masyarakat terhadap pembangunan semakin besar.

Namun demikian, pada sisi lain ternyata tidak semua daerah hasil pemekaran memiliki

kesempatan yang sama. Sebagian dari daerah otonomi baru menjadi beban bagi

pemerintah pusat (katakanlah karena PAD lebih sedikit daripada pembiayaan daerah),

akibatnya mereka hanya mengharapkan Dana Alokasi Umum (DAU) yang masih

banyak bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini dilandasi realita bahwa usaha-usaha

daerah memacu PAD, terutama bagi daerah yang miskin sumber daya alam, tidak

terlalu signifikan.

Gejala ini mendapat fokus perhatian pada UU No. 23 Tahun 2014. Persyaratan

pembentukan daerah otonom baru sudah lebih selektif dan makin ketat, dengan

mekanisme persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Pertimbangan

lainnya yang perlu diperhatikan adalah daerah induk yang ditinggalkan dapat menjadi

lemah, akibat minimnya potensi sumber-sumber PAD yang bisa dikembangkan.

Demikianlah alasan normatif yang perlu dijadikan pegangan bagi penggagas

pembentukan daerah baru.

Alasan memacu diri untuk melakukan kompetisi. Dalam kacamata kompetisi,

pemekaran daerah dapat diartikan sebagai strategi untuk mendapatkan peluang dan

akses yang baru dalam upaya mendapatkan dan mengelola sumberdaya daerah.

Artinya semua daerah punya hak yang sama berkompetisi dalam mengembangkan

(10)

bahkan bencana, ketika daerah tidak mampu berkompetisi. Dengan adanya kebijakan

otonomi daerah, tanpa memandang daerah induk maupun daerah pemekaran akan

melakukan kompetisi yang sama. Setiap daerah harus berjuang guna mendapatkan

akses seluas-luasnya bagi transaksi bermacam sumber daya yang dimiliki, baik yang

menyangkut sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Penglolaan sektor riil

mulai dari bidang perdagangan, jasa, pariwisata, transportasi, dan lain-lain akan ramai

diperebutkan. Pemerintahan baru pada awal persaingannya banyak yang tersandung

oleh masa transisi politik di daerah yang bersangkutan, sehingga perhatian terhadap

pembangunan menjadi kurang. Jika pemerintah baru tidak segera menata diri maka

ancaman kebangkrutan akanterjadi.

Perspektif rasional. Motivasi pemekaran satu wilayah yang paling baik adalah

melalui perspektif rasional. Ketika isu pemekaran daerah ditinjau secararasional, maka

aspek politis, normatif, dan lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu. Kebutuhan

daerah untuk mekar atau tidak, sepenuhnya dilandasi pertimbangan rasionalitas. Aspek

logis yang harus dipenuhi antara lain rasioantara daerah otonomi baru dengan kondisi

riil penduduk, harus jadi titik tumpu utama. Dengan memakai pertimbangan rasional,

maka metode, strategi,kebijakan, kalkulasi atau pertimbangan apapun dalam proses

pemekaran akan terarah pada indikator-indikator yang terukur secara akurat dan valid.

Perspektif rasional adalah perspektif yang paling ideal untuk diterapkan,namun

justru ini adalah perspektif yang paling sulit dikongkretkan. Kesulitan terutama datang

(lebih tepatnya dihambat) oleh faktor politis dan normatif.Untuk alasan yang ketiga

itulah, perspektif normatif perlu mencoba mengakomodasi alasan rasional. Jalan

tengahnya perlu ada suatu studi ataupenelitian yang rasional sesuai dengan tuntutan

normatif dan atau perundang-undangan.

2.2. Implikasi Politik Penataan Wilayah

Desentralisasi dalam arti pemencaran kekuasaan dapat dilakukan secara

teritorial melalui pembentukan daerah-daerah otonom. Desentralisasi teritorial ini

dilakukan sebagai upaya untuk mendekatkan jarak antara pemerintah dengan yang

diperintah. Pemerintahan di tingkat lokal diperlukan untuk efisiensi dan efektivitas

dalam hal keuangan, penegakan hukum, pendaftaran tanah, dan urusan-urusan lain

(11)

kekuasaan secara teritorial juga akan berkaitan dengan penentuan fungsi dan

kewenangan apa yang paling tepat untuk dilaksanakan oleh level nasional, level

propinsi, ataupun level kota/kabupaten. Dengan kata lain, desentralisasi teritorial akan

diikuti oleh desentralisasi kewenangan. Hal ini akan menentukan jumlah urusan yang

dilaksanakan olehdaerah otonom tersebut.

Dalam konsep negara kesatuan seperti yang diterapkan di Indonesia,

desentralisasi teritorial tidak menyebabkan terjadinya pengurangan wilayah negara

meskipun terjadi pemekaran, penggabungan ataupun penghapusan daerah otonom.

Daerah-daerah otonom yang berupa Kabupaten/Kota tetap menjadi bagian dari

wilayah Provinsi, dan wilayah-wilayah Provinsi tetap menjadi wilayah dari negara.

Yang berbeda antara negara (pusat), provinsi,kabupaten/kota bahkan desa hanyalah

kewenangan atau otoritasnya yang tercermin dari urusan dan fungsi yang menjadi

kewenangannya.

Desentralisasi berimplikasi pada lokalisasi pembuatan kebijakan dimana setiap

daerah berwenang membuat kebijakannya sendiri. Implikasinya banyak permasalahan

yang tidak dapat dibatasi oleh wilayah administrasi (territorial administrative) dan isu

teritorial (territorial issue), seperti pelayanan, pengelolaan sungai, pintu air,

pendidikan dan pariwisata. Suatu tempat wisata yang lokasinya berada di perbatasan

antara dua daerah otonom,seperti pantai atau pegunungan, seringkali menimbulkan

konflik dalam hal pemeliharaannya karena daerah yang satu merasa tidak mendapat

pendapatan dari obyek wisata itu sehingga menyerahkan pemeliharaannya pada

daerahyang mendapat pendapatan. Sementara daerah yang memperoleh pendapatan

dari obyek wisata itu justru menyerahkan pemeliharaannya pada daerah yang

wilayahnya menjadi lokasi obyek wisata itu. Demikian juga dengan masalah

pendidikan, perbedaan kurikulum antar daerah akan mempersulit tercapainya standar

pelayanan minimal. Untuk mengatasi kemungkinan ini, perlu ditetapkan suatu

mekanisme kerja sama antar daerah atau melalui penerapan wewenang koordinasi

pemerintah propinsi.

Implikasi politik yang harus dipertimbangkan dari kebijakan penataan daerah

otonom yang menyangkut pemekaran, penggabungan atau penghapusan daerah-daerah

otonom adalah kemungkinan terjadinya konflik antar daerah yang menyangkut

(12)

Kepemilikan akan sumber daya alam yang potensial dapat memicu tuntutan untuk

membentuk daerah otonom baru.

Pembentukan atau pemekaran daerah otonom memang dapat menambah ruang

politik lokal bagi tumbuhnya partisipasi politik dan demokratisasi di tingkat lokal.

Namun, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan anggaran nasional

maupun propinsi untuk membiayai daerah baru tersebut. Pembiayaan disini

maksudnya adalah alokasi Dana Perimbangan yang harus diperhitungkan untuk

daerah yang bersangkutan.

Banyak kasus mengenai pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru

diawali oleh ketidakpuasan politik maupun ekonomi, misalnya kasus terbentuknya

Provinsi Banten karena merasa kontribusi ekonomi yang diberikan tidak sebanding

dengan yang kembali pada masyarakat Banten. Akan tetapi, seringkali tuntutan

pemekaran atau pembentukan daerah baru tidak disertai perhitungan ekonomi maupun

politik yang cermat dan akurat. Aspek kesiapan aparat dan kesiapan masyarakat

setempat kurang diperhitungkan. Ketika daerah tersebut sudah terbentuk baru

dipikirkan bagaimana mengisi keanggotaan DPRD atau berapa jumlah aparat birokrasi

yang diperlukan untuk mengelola manajemen pemerintahan. Karena itu, dalam

menentukan keputusan pembentukan atau pemekaran daerah, haruslah diketahui

dahulu isu strategisapa yang melatarbelakangi tuntutan tersebut serta bagaimana

dinamika politik lokal di daerah itu.

Penataan wilayah dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni : (1) pemekaran; (2)

penggabungan; dan (3) re-groupping sub-sub wilayah dalam daerah yang

bersangkutan (misalnya re-grouping kecamatan dan/atau desadalam wilayah

kabupaten). Keputusan untuk memilih salah satu cara didasarkan pada outcomes yang

ingin dicapai, apakah efektivitas pelayanan publik; pertumbuhan ekonomi; pemerataan

pembangunan; pemberdayaan masyarakat setempat dll. Kemudian ditentukan pula apa

yang menjadi output dengan realisasi dapat dirasakan secara konkret, misalnya jika

outcomes-nya efektivitas pelayanan publik maka output-nya kemudahan akses

masyarakat untuk dilayani. Atas dasar itu, disusun aktivitas-aktivitas yang akan

dilakukan dalam bentuk berbagai program atau kebijakan. Alternatif pemekaran

wilayah atau tidak, berada pada tahap ini. Apakah pelayanan dapat lebih efektif

jikadaerah dimekarkan atau bisa juga efektif dengan membentuk sub-sub dinas

(13)

akan menentukan aparat pelaksananya dan anggaran yang dibutuhkan. Dengan

demikian, keputusan penataan daerah otonom harus disesuaikan dengan kebutuhan

dan potensi riil dengan berpedoman pada prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang

efektif.

Dengan demikian, dalam dimensi politik, penataan daerah otonom tidak

sekedar ditentukan oleh perhitungan kemampuan ekonomi daerah tersebut tapi juga

implikasi yang ditimbulkannya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Pertanyaan yang paling penting untuk dijawab dalam merumuskan kebijakan penataan

daerah otonom adalah apakah kebijakan itu dapat (1)mewujudkan distribusi

pertumbuhan ekonomi yang serasi dan merata antar daerah; (2) mewujudkan distribusi

kewenangan yang sesuai dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat lokal; (3)

penciptaan ruang politik bagi pemberdayaan dan partisipasi institusi-institusi politik

lokal; serta (4) mewujudkan distribusi layanan publik yang mudah dijangkau oleh

masyarakat.

2.3. Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah

Penatan daerah otonom atau penataan wilayah, sebenarnya merupakan hal

yang umum dilakukan dalam kaitannya dengan manajemen pemerintahan karena

berkaitan dengan rentang kendali. Rentang kendali ini berkaitan dengan kapasitas

koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik. Dengan kondisi geografis yang

beragam, kemampuan koordinasi dan aksesibilitas pelayanan akan berbeda pula.

Semakin luas suatu daerah, akan semakin sulit rentang kendalinya. Demikian pula,

semakin banyak bagian dari suatu daerah, kapasitas koordinasi dan pelayanan akan

semakin kecil. Di sinilah diperlukan adanya penataan wilayah, sebagai suatu

mekanisme untuk mengelola wilayah suatu daerah agar rentang kendali dan

aksesibilitas pelayanan publik dapat dinikmati secara merata.

Dimensi wilayah mempunyai arti penting dalam pembangunan karena setiap

kegiatan pembangunan pasti akan berlangsung dan membutuhkan sumber daya yang

berupa lahan. Dalam dimensi spatial, lahan merupakan sumber daya lingkungan yang

menjadi ruang bagi berlangsungnya kegiatan dan juga pendukung struktural wadah

kegiatan regional. Karena sifat dan posisinya inilah maka perencanaan wilayah yang

(14)

desentralisasi dan otonomi daerah terutama yang berkaitan dengan perencanaan

pembangunan.

Pada masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini, implementasi kebijakan

pembentukan daerah baru atau pemekaran wilayah kerap menimbulkan masalah

krusial. Di antaranya adalah konflik horizontal antara masyarakat yang pro dan kontra,

tarik menarik kepentingan antara daerah induk dengan calon daerah baru, dan

munculnya problematika ketidakmampuan daerah baru hasil pemekaran dalam

menjalankan fungsi-fungsi pemerintahannya. Selain itu, hal yang menonjol dari

maraknya keinginan untuk membentuk daerah baru, dominannya pertimbangan politik

subyektif elit ketimbang hasil kajian ilmiah-obyektif untuk peningkatan efektifitas

pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

Sejak UU No. 22 Tahun 1999 diberlakukan, isu pemekaran lebih dominan jika

dibandingkan dengan isu penggabungan atau penghapusan daerah otonom. Di satu sisi

kecenderungan tersebut dapat diterima dan dipahami sebagai wujud kedewasaan dan

harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi daerah dan masyarakatnya.

Namun di sisi lain, mengundang kekhawatiran terhadap kemampuan dan keberlanjutan

daerah otonom baru untuk dapat bertahan mengurus rumah tangganya sendiri.

Pemekaran daerah diharapkan mampu menjadi media untuk membuka simpul-simpul

keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas, sehingga

perlu dibuka kesempatan bagi daerah tersebut untuk mendirikan pemerintahan sendiri

berdasarkan potensi yang dimiliki. Walaupun dalam berbagai peraturan

perundang-undangan tentang pemerintahan daerah telah diuraikan bahwa kriteria daerah dibentuk

berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial

politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang secara teknis

diuraikan lebih lanjut dalam PP No. 78 Tahun 2007, tetapi kenyataannya aspirasi

politik lebih mendominasi dibandingkan dengan pemenuhan kriteria tersebut.

Pada praktiknya, terbentuknya daerah-daerah otonom baru ini seringkali hanya

didasarkan pada pertimbangan atau indikator-indikator ekonomi, seperti tingkat

pendapatan, aktivitas kegiatan ekonomi, dan potensi sumber daya alam yang dimiliki.

Sedangkan dimensi politik yang kemudian muncul setelah daerah otonom itu

terbentuk baru dipikirkan kemudian. Gejala inilah yang kemudian (tampaknya) ingin

(15)

Dalam UU ini, pembentukan daerah baru disertai dengan persyaratan administratif,

teknis, dan fisik wilayah.

Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam UU sebelumnya yang tidak sampai

ke pengaturan teknis pembentukan daerah. Harapannya, pengaturan yang lebih rinci

dapat membuat pembentukan daerah-daerah baru lebih terarah dan tidak semata-mata

berorientasi politis. Namun demikian, bila penghitungan kapasitas calon daerah baru

masih berbasis pada metode skoring sebagaimana digunakan oleh PP No. 78 Tahun

2007, tampaknya perlu ada banyak penyesuaian yang dilakukan agar tidak semata

berbasis pada penghitungan matematis, tapi jugamemperhatikan aspirasi lokal.

Keputusan mengenai pembentukan daerah baru harus lebih cermat dan

bijaksana untuk melakukan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan kapasitas

yang dimiliki, sehingga dalam pelaksanaanya tidak tergesa-gesa dan cenderung

bersifat politis. Bila hal ini tidak diindahkan maka hasil dari pemekaran tidak akan

memberikan dampak terhadap peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat

secara makro maupun mikro, tetapi cenderung akan membebani keuangan negara dan

masyarakat akibat adanya pemekaran, karena social dan political cost pemekaran

suatu wilayah akan lebih besar jika dibandingkan terhadap peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Dampak pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah baru akan

terasa dalam jangka panjang, tetapi bila prosesnya hanya didasari oleh pertimbangan

politis tanpa memperhatikan kriteria-kriteria obyektif maka akan memberikan

pengaruh yang kecil dan parsial terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,

aksesibilitas pelayanan publik, dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Idealnya,

pemekaran daerah terjadi bila penguatan kapasitas dan kapabilitas daerah dilakukan

secara bertahap, misalnya peningkatan kapasitas dalam pembangunan infrastruktur

(jalan, bangunan, pemerintahan, dan lain-lain), aktivitas ekonomi, serta fiskal daerah

sehingga sampai jangka waktu tertentu ketika daerah tersebut lepas dari daerah

induknya. Dengan demikian, daerah yang bersangkutan akan mandiri dengan

sendirinya dan tidak tergantung pada daerah induk, Provinsi maupun Pusat.

2.4.

A. Struktur Ekonomi Kota

Wilayah kota menjadi tempat kegiatan ekonomi penduduknya di bidang jasa,

(16)

tinggal dan pusat pemerintahan. Kegiatan ekonomi kota dapat dibedakan menjadi dua

sebagai berikut:

1. Kegiatan Ekonomi Dasar

Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk

keperluan luar kota atau dikirim ke daerah sekitar kota. Produk yang dikirim

dan disalurkan berasal dari industri, perdagangan, hiburan, dan lainnya.

2. Kegiatan Ekonomi Bukan Dasar

Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk

keperluan sendiri. Kegiatan ini disebut juga dengan kegiatan residensial dan

kegiatan pelayanan. Kegiatan ekonomi kota dapat berupa industri dan kegiatan

jasa atau fasilitas yang tidak memerlukan lahan yang luas. Kegiatan ini

menyebabkan kota berpenduduk padat, jarak bangunan rapat, dan bentuk kota

kompak.

Struktur kota dipengaruhi oleh jenis mata pencaharian penduduknya. Mata

pencaharian penduduk kota bergerak di bidang nonagraris, seperti perdagangan,

perkantoran, industri, dan bidang jasa lain. Dengan demikian, struktur kota akan

mengikuti fungsi kota. Sebagai contoh, suatu wilayah direncanakan sebagai kota

industri, maka struktur penduduk kota akan mengarah atau cenderung ke jenis

kegiatan industri.

Pada kenyataan, jarang sekali suatu kota mempunyai fungsi tunggal.

Kebanyakan kota juga merangkap fungsi lain, seperti kota perdagangan, kota

pemerintahan, atau kota kebudayaan. Contoh: Yogyakarta selain disebut kota budaya

tetapi juga disebut sebagai kota pendidikan dan kota wisata.

Di daerah kota terdapat banyak kompleks, seperti apartemen, perumahan

pegawai bank, perumahan tentara, pertokoan, pusat perbelanjaan (shopping center),

pecinan, dan kompleks suku tertentu. Kompleks tersebut merupakan

kelompok-kelompok (clusters) yang timbul akibat pemisahan lokasi (segregasi). Segregasi dapat

terbentuk karena perbedaan pekerjaan, strata sosial, tingkat pendidikan, suku, harga

sewa tanah, dan lainnya. Segregasi tidak akan menimbulkan masalah apabila ada

pengertian dan toleransi antara pihak-pihak yang bersangkutan. Munculnya segregasi

di kota dapat direncanakan ataupun tidak direncanakan. Kompleks perumahan dan

(17)

Bentuk segregasi yang lain adalah perkampungan kumuh/slum yang sering

tumbuh di kota-kota besar seperti Jakarta. Rendahnya pendapatan menyebabkan tidak

adanya kemampuan mendirikan rumah tinggal sehingga terpaksa tinggal di sembarang

tempat. Kompleks seperti ini biasanya ditempati oleh kaum miskin perkotaan.

Permasalahan seperti ini memerlukan penanganan yang bijaksana dari pemerintah.

B. Struktur Intern Kota

Pertumbuhan kota-kota di dunia termasuk di Indonesia cukup pesat.

Pertumbuhan suatu kota dapat disebabkan oleh pertambahan penduduk kota,

urbanisasi, dan kemajuan teknologi yang membantu kehidupan penduduk di kota.

Wilayah kota atau urban bersifat heterogen ditinjau dari aspek struktur bangunan dan

demografis. Susunan, bentuk, ketinggian, fungsi, dan usia bangunan berbeda-beda.

Mata pencaharian, status sosial, suku bangsa, budaya, dan kepadatan penduduk juga

bermacam-macam. Selain aspek bangunan dan demografis, karakteristik kota

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti topografi, sejarah, ekonomi, budaya, dan

(18)

Gambar 2.1. Bentuk Persegi Empat Struktur Kota Jogja awal Abad XX

Apabila dilihat sekilas wajah suatu kota, maka akan banyak susunan yang tidak

beraturan. Akan tetapi, apabila diamati dengan cermat maka akan dijumpai bentuk dan

susunan khas yang mirip dengan kota-kota lain. Misalnya, kota A berbentuk persegi

empat, kota B berbentuk persegi panjang, dan kota C berbentuk bulat. Begitu juga

dalam susunan bangunan kota terjadi pengelompokan berdasarkan tata guna lahan

kota.Jadi, suatu kota memiliki bentuk dan susunan yang khas. Apabila kamu

mengamati kota berdasarkan peta penggunaan lahan, maka kamu akan mendapatkan

berbagai jenis zona, seperti zona perkantoran, perumahan, pusat pemerintahan,

pertokoan, industri, dan perdagangan. Zona-zona tersebut menempati daerah kota,

(19)

dan pertokoan menempati kota bagian pusat atau tengah. Zona perumahan elite

cenderung memiliki lokasi di pinggiran kota. Sedang zona perumahan karyawan dan

buruh umumnya berdekatan dengan jalan penghubung ke pabrik atau perusahaan

tempat mereka bekerja. Para geograf dan sosiolog telah melakukan penelitian

berkaitan dengan persebaran zona-zona suatu kota. Penelitian itu bertujuan untuk

mengetahui perkembangan dan persebaran spasial kota.

C. Beberapa Teori Tentang Struktur Kota

1) Teori Konsentris (Concentric Theory)

Teori konsentris dari Ernest W. Burgess, seorang sosiolog beraliran human

ecology, merupakan hasil penelitian Kota Chicago pada tahun 1923. Menurut

pengamatan Burgess, Kota Chicago ternyata telah berkembang sedemikian rupa

dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang konsentris yang mencerminkan

penggunaan lahan yang berbeda-beda. Burgess berpendapat bahwa kota-kota

mengalami perkembangan atau pemekaran dimulai dari pusatnya, kemudian seiring

pertambahan penduduk kota meluas ke daerah pinggiran atau menjauhi pusat.

Zona-zona baru yang timbul berbentuk konsentris dengan struktur bergelang atau

melingkar.

Berdasarkan teori konsentris, wilayah kota dibagi menjadi lima zona sebagai

berikut.

Gambar 2.2. Struktur Kota Menurut Teori Konsentris

Teori Burgess sesuai dengan keadaan negara-negara Barat (Eropa) yang telah

maju penduduknya. Teori ini mensyaratkan kondisi topografi lokal yang

(20)

2) Teori Sektoral (Sector Theory)

Teori sektoral dikemukakan oleh Hommer Hoyt. Teori ini muncul berdasarkan

penelitiannya pada tahun 1930-an. Hoyt berkesimpulan bahwa proses pertumbuhan

kota lebih berdasarkan sektorsektor daripada sistem gelang atau melingkar

sebagaimana yang dikemukakan dalam teori Burgess. Hoyt juga meneliti Kota

Chicago untuk mendalami Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District) yang

terletak di pusat kota.

Ia berpendapat bahwa pengelompokan penggunaan lahan kota menjulur seperti

irisan kue tar. Mengapa struktur kota menurut teori sektoral dapat terbentuk? Para

geograf menghubungkannya dengan kondisi geografis kota dan rute

transportasinya. Pada daerah datar memungkinkan pembuatan jalan, rel kereta api,

dan kanal yang murah, sehingga penggunaan lahan tertentu, misalnya perindustrian

meluas secara memanjang. Kota yang berlereng menyebabkan pembangunan

perumahan cenderung meluas sesuai bujuran lereng.

Gambar 2.3. Struktur Kota Menurut Teori Sektoral

3) Teori Inti Ganda (Multiple Nucleus Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Harris dan Ullman pada tahun 1945. Kedua

geograf ini berpendapat, meskipun pola konsentris dan sektoral terdapat dalam

wilayah kota, kenyataannya lebih kompleks dari apa yang dikemukakan dalam teori

(21)

Gambar 2.4. Struktur Kota Menurut Teori Inti Ganda

Pertumbuhan kota yang berawal dari suatu pusat menjadi bentuk yang

kompleks. Bentuk yang kompleks ini disebabkan oleh munculnya nukleus-nukleus

baru yang berfungsi sebagai kutub pertumbuhan. Nukleus-nukleus baru akan

berkembang sesuai dengan penggunaan lahannya yang fungsional dan membentuk

struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan. Nukleus kota dapat berupa

kampus perguruan tinggi, Bandar udara, kompleks industri, pelabuhan laut, dan

terminal bus. Keuntungan ekonomi menjadi dasar pertimbangan dalam penggunaan

lahan secara mengelompok sehingga berbentuk nukleus. Misalnya, kompleks

industri mencari lokasi yang berdekatan dengan sarana transportasi. Perumahan

baru mencari lokasi yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan dan tempat

pendidikan.

Harris dan Ullman berpendapat bahwa karakteristik persebaran penggunaan

lahan ditentukan oleh faktor-faktor yang unik seperti situs kota dan sejarahnya yang

khas, sehingga tidak ada urut-urutan yang teratur dari zona-zona kota seperti pada

teori konsentris dan sektoral. Teori dari Burgess dan Hoyt dianggap hanya

menunjukkan contoh-contoh dari kenampakan nyata suatu kota.

4) Teori Konsektoral (Tipe Eropa)

Teori konsektoral tipe Eropa dikemukakan oleh Peter Mann pada tahun 1965

dengan mengambil lokasi penelitian di Inggris. Teori ini mencoba menggabungkan

(22)

Gambar 2.5. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Eropa)

5) Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)

Teori konsektoral tipe Amerika Latin dikemukakan oleh Ernest Griffin dan

Larry Ford pada tahun 1980 berdasarkan penelitian di Amerika Latin. Teori ini

dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.6. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)

6) Teori Poros

Teori poros dikemukakan oleh Babcock (1932), yang menekankan pada

peranan transportasi dalam memengaruhi struktur keruangan kota. Teori poros

(23)

Gambar 2.7. Struktur Kota Menurut Teori Poros

7) Teori Historis

Dalam teori historis, Alonso mendasarkan analisisnya pada kenyataan historis

yang berkaitan dengan perubahan tempat tinggal penduduk di dalam kota. Teori

historis dari Alonso dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.8. Struktur Kota Menurut Teori Historis

Dari model gambar tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya

standar hidup masyarakat yang semula tinggal di dekat CBD disertai penurunan

kualitas lingkungan, mendorong penduduk untuk pindah ke daerah pinggiran (a).

Perbaikan daerah CBD menjadi menarik karena dekat dengan pusat segala fasilitas

kota (b). Program perbaikan yang semula hanya difokuskan di zona 1 dan 2,

melebar ke zona 3 yang menarik para pendatang baru khususnya dari zona 2 (c).

Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa

(24)

atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi,

aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan

secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan

kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu

ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat

ekonominya.

2.5. Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun 2007

Indikator dan sub indikator sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007

menunjukkan perlunya diperhatikan kondisi kependudukan; kemampuan ekonomi;

potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial budaya; sosial politik; luas daerah;

pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan masyarakat; dan rentang kendali. Secara

rinci, indikator dan sub indikator yang diatur dalam PP tersebut adalah sebagai

berikut:

Tabel 2.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007

Indikator Faktor Indikator

1. Kependudukan 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 2. Kemampuan ekonomi 3. PDRB non migas per kapita

4. Pertumbuhan ekonomi 5. Kontribusi PDRB non migas

3. Potensi daerah 6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk

7. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk 8. Rasio pasar per 10.000 penduduk

9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 12. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk 13. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk

14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau kapal motor

15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas

18. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas

(25)

22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas

5. Sosial budaya 23. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 24. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk 25. Jumlah balai pertemuan

6. Sosial politik 26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk yang mempunyai hak pilih

27. Jumlah organisasi kemasyarakatan 7. Luas daerah 28. Luas wilayah keseluruhan

29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 8. Pertahanan 30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas

wilayah

31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan

9. Keamanan 32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk

10. Tingkat kesejahteraan masyarakat

33. Indeks Pembangunan Manusia

11. Rentang kendali 34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan

(provinsi atau kabupaten)

35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

III. METODOLOGI

(26)

Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kelayakan pemekaran Kota

Salatiga menggunakan metoda survei dengan desain penelitian deskriptif analisis.

Unit analisisnya adalah desa atau kelurahan yang ada di Kabupaten Semarang dan

berbatasan dengan Kota Salatiga.

Kajian ini dilakukan dengan berlandaskan pada indikator dan sub indikator

sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007 yang meliputi kondisi

kependudukan; kemampuan ekonomi; potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial

budaya; sosial politik; luas daerah; pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan

masyarakat; dan rentang kendali. Secara rinci, indikator dan sub indikator yang

digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007

Indikator Faktor Indikator

1. Kependudukan 1. Jumlah penduduk 2. Kepadatan penduduk 2. Kemampuan ekonomi 3. PDRB non migas per kapita

4. Pertumbuhan ekonomi 5. Kontribusi PDRB non migas

3. Potensi daerah 6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk

7. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk 8. Rasio pasar per 10.000 penduduk

9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 12. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk 13. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk

14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau kapal motor

15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga

16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor

17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas

(27)

19. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 4. Kemampuan keuangan 20. Jumlah PDS

21. Rasio PDS terhadap jumlahpenduduk 22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas

5. Sosial budaya 23. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 24. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk 25. Jumlah balai pertemuan

6. Sosial politik 26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk yang mempunyai hak pilih

27. Jumlah organisasi kemasyarakatan 7. Luas daerah 28. Luas wilayah keseluruhan

29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan

8. Pertahanan 30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah

31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan

9. Keamanan 32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk

10. Tingkat kesejahteraan masyarakat

33. Indeks Pembangunan Manusia

11. Rentang kendali 34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan

(provinsi atau kabupaten)

35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuaidengan

(28)

Tabel 3.2. Bobot untuk Setiap Faktor dan Indikator

No. Faktor dan Indikator Bobot

1 Kependudukan 20

1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000 penduduk

1

2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 Penduduk 1

3. Rasio pasar per 10.000 penduduk 1

4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD 1

5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP 1

6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA 1

7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 Penduduk 1

8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk 1

9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor atau perahu atau kapal motor

1

10. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga 1 11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor 1 12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA

terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas

1

13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas

1

14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk 1

4 Kemampuan keuangan 15

1. Jumlah PDS 5

2. Rasio PDS terhadap jumlah penduduk 5

3. Rasio PDS terhadap PDRB non migas 5

5 Sosial budaya 5

1. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk 2 2. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk 2

3. Jumlah balai pertemuan 1

6 Sosial politik 5

1. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk yang mempunyai hak pilih

3

2. Jumlah organisasi kemasyarakatan 2

7 Luas daerah 5

1. Luas wilayah keseluruhan 2

2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan 3

8 Pertahanan 5

(29)

2. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan 2

9 Keamanan 5

1. Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah penduduk

5

10 Tingkat kesejahteraan masyarakat 5

1. Indeks Pembangunan Manusia 5

11 Rentang kendali 5

1. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

2

2. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

3

TOTAL 100

Selanjutnya, nilai dari tiap indikator tersebut dihitung denganmenggunakan

sistem skoring, yang terdiri dari 2 (dua) metode sebagai berikut:

1. Metode rata-rata

Metode rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap calon

daerah dan daerah induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan daerah di

sekitarnya.

2. Metode kuota

Metode kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota

penentuan skoring baik terhadap calon daerah maupun daerah induk. Kuota

jumlah penduduk kabupaten untuk pembentukan kabupaten adalah 5 kali

rata-rata jumlah penduduk kecamatan seluruh kabupaten di provinsi yang

bersangkutan. Semakin besar perolehan besaran/nilai calon daerah dan daerah

induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan daerah, maka

semakin besar skornya.

Dalam hal terdapat beberapa faktor yang memiliki karakteristik tersendiri

maka penilaian teknis dimaksud dilengkapi dengan penilaian secara kualitatif. Nilai

indikator adalah hasil perkalian skor dan bobot masing-masing indikator. Kelulusan

ditentukan oleh total nilai seluruh indikator denganka tegori sebagai berikut:

(30)

Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru

apabila calon daerah otonom dan daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai

total nilai seluruh indikator dengan kategori sangat mampu (420-500) atau mampu

(340-419) serta perolehan total nilai indikator faktor kependudukan (80-100), faktor

kemampuan ekonomi (60-75), faktor potensi daerah (60-75) dan faktor kemampuan

keuangan (60-75). Usulan pembentukan daerah otonom baru ditolak apabila calon

daerah otonom atau daerah induknya (setelah pemekaran) mempunyai total nilai

seluruh indikator dengan kategori kurang mampu, tidak mampu dan sangat tidak

mampu dalam menyelenggarakan otonomi daerah, atau perolehan total nilai indikator

faktor kependudukan kurang dari 80 atau faktor kemampuan ekonomi kurang dari

60,atau faktor potensi daerah kurang dari 60, atau faktor kemampuan keuangan kurang

dari 60.

3.2. Tahapan Pengumpulan dan Analisis Data

Pengkajian ini sebagian besar menggunakan data sekunder dari berbagai

sumber, antara lain: 1) basis data indeks pembangunan manusia; 2) Kota Salatiga

dalam angka; 3) statistik keuangan daerah, dan 4) monografi kecamatan di sekitar

Kota Salatiga (yang menjadi bagian Kabupaten Semarang). Untuk memvalidasi data

sekunder tersebut, dilakukan wawancara terhadap para pejabat dari

dinas/badan/lembaga yang relevan, antara lain: Badan Pusat Statistik, Bappeda, dan

aparat kecamatan terkait.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1) wawancara, terhadap

masyarakat, pemuka/tokoh msyarakat maupun para pejabat dari dinas/badan/lembaga

yang relevan; 2) studi kepustakaan; mempelajari dan menelaah serta menganalisas

literatur baik berupa data statistik, monografi, buku-buku, artikel, maupun karya

ilmiah baik itu jurnal maupun buletin yang ada kaitanya dengan permasalahan yang

(31)

check data sekunder dengan kondisi faktual; 4) focus group discussion (FGD) untuk

menjaring masukan baik dari masyarakat, SKPD, maupun anggota Dewan.

Metode analisis untuk memprediksi kelayakan pemekaran Kota Salatiga

menggunakan metode analisis biaya dan manfaat (cost and benefit) dengan

memperhatikan potensi, permasalahan, dan kecenderungan perkembangan wilayah

calon pemekaran dikaitkan dengan kondisi Kota Salatiga.

3.3. Jadwal Pelaksanaan

Penyelesaian atas seluruh obyek dan lingkup Kegiatan Kajian Pemekaran Kota

Salatiga dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari kalender atau sekitar 12

minggu hari kerja, terhitung sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK).

Dengan batasan waktu penyelesaian tersebut, jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan

adalah sebagai berikut:

No Kegiatan Bln1-1 Bln1-2 Bln2-1 Bln2-2 Bln3-1 Bln3-2

1 Persiapan (SPMK, penyusunan kues dsb)

2 Pengumpulan data

3 FGD tahap 1

4 Pengolahan dan Analisa Data

5 Penulisan Laporan

6 FGD tahap 2

7 Perbaikan Laporan Akhir

8 Penyerahan Laporan Akhir

3.4. Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga dilaksanakan oleh Kelompok

Masyarakat Perguruan Tinggi, akan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab

dengan kewajiban sebagai berikut :

1) bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan pekerjaan Kegiatan Kajian

Pemekaran Kota Salatiga.

2) menyusun hasil Kajian Pemekaran Kota Salatiga;

(32)

Agar supaya Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga dapat dilaksanakan

dengan hasil yang maksimal, maka dibentuk tim yang terdiri dari para ahli/pakar lintas

disiplin ilmu. Tim ahli yang dimaksud terdiri dari tenaga-tenaga dengan bidang

keahlian yang berhubungan dengan pekerjaan dan berpengalaman di bidangnya

minimal 2 (dua) tahun, yang terdiri dari :

1) Daru Purnomo, SP, MS (Ahli Geografi Sosial);

2) Prof. Sony Heru Priyanto (Ahli Pembangunan Ekonomi dan Kewirausahaan)

3) Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto (Ahli Ekonomi Pertanian);

4) Dr. Ir. Bistok Hasiholan MSc. (Ahli Pemetaan Lahan dan SIG);

5) Dr. Ir. Bambang Ismanto MS. (Ahli Dinamika Sosial dan Pendidikan);

6) Dr. Tinjung Maria Prihtanti. (Ahli Komunikasi Sosial);

7) Dr. Umbu Rauta, SH, MH (Ahli Hukum Otonomi Daerah);

8) Seto Herwandito, S.Pd, M.M, M.Ikom (Ahli Marketing Manajemen)

3.6. Pengawasan Pekerjaan

Dalam rangka pelaksanaan Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga, Tim

Peneliti akan berkoordinasi dan berkonsultasi dengan:

1) Pimpinan dan Anggota DPRD Kota Salatiga.

2) Pimpinan SKPD Kota Salatiga.

3) Lembaga non pemerintah sesuai kebutuhan

3.7. Analisis Manfaat Dan Biaya A. Analisis Manfaat

Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga ini, diorientasikan dapat

memberikan kemanfaatan secara internal dan eksternal. Manfaat internal berupa

tersedianya bahan dasar untuk tersedianya hasil kajian terhadap pelaksanaan kebijakan

mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan

dinamikanya dan tersedianya hasil kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga

mengenai penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan

dinamikanya dan tersusunnya bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik

dari aspek sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat

(33)

merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga. Manfaat eksternal

yaitu tersusunnya rujukan terhadap upaya pemekaran Kota Salatiga.

B. Analisis Biaya

Analisis biaya Kegiatan Kajian Pemekaran Kota Salatiga, dihitung berdasarkan

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebagaimana tercantum pada Lampiran Proposal ini. 

(34)

4.1. Kerangka Teoretis Normatif Penataan (Penyesuaian) Daerah A. Teori Otonomi Daerah

1. Ajaran Pembagian Kekuasaan Vertikal/Teritorial

Pembagian kekuasaan secara vertikal/teritorial yang melengkapi pembagian

kekuasaan secara horisontal/fungsional merupakan cakupan dari ajaran tentang

pembatasan pemerintahan (konstitusionalisme). Friedrich menyatakan:

“At the outset, constitutionalism was described as divided power ...

Constitutionalism by dividing power provides a system of effective

restraints upon governmental action.”

Konsep lain yang digunakan sebagai padanannya adalah federalisme dalam arti

luas, yang artinya tidak melulu berbicara tentang pembagian kekuasaan

vertikal/teritorial di negara federal, tetapi juga di negara kesatuan dengan

desentralisasi. Friedrich menjelaskan:

“There is nothing in the distinction between federalism and

decentralization which would imply an inherent superiority of one

over the other; their advantages and disadvantages can only be

contrasted in terms of the peculiar conditions of the time and place

under which a particular government is supposed to operate.”

Namun ketika berbicara tentang pilihan model pembatasan pemerintahan paling

efektif antara federalisme dan desentralisasi, Friedrich cenderung menganggap bahwa

federalisme dalam arti sempit adalah lebih efektif:

“A federal governmental structure provides a spatial or

territorial, as distinguished from a functional, division of powers.

Such a division operates as a rather effective restraint upon the

abuse of governmental powers by the central authorities ... what

federalism does is to mobilize firmly entrenched local powers in

support of the constitution, and to offer them protection under the

(35)

Pendapat ini dapat dipahami rasionya, akan tetapi kebenarannya menurut penulis

relatif. Memang, skema federalisme pada negara federal lebih kuat karena posisi

pemerintah lokal, yaitu negara bagian, tidak bergantung pada kebijakan pemerintah

pusat, pemerintah federal, melainkan langsung bersumber dari konstitusi. Berbeda

dengan skema desentralisasi pada negara kesatuan yang bergantung pada kebijakan

dari pemerintah pusat. Indonesia adalah salah satu contohnya, di mana model

pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah dari waktu ke waktu dipengaruhi

oleh kebijakan pemerintah pusat sebagaimana ditunjukkan dengan berubah-ubahnya

produk legislasi yang melandasi kekuasaan pemerintah daerah tersebut.

Terlepas dari persoalan pilihan sebagaimana dikemukakan di atas, memahami

persoalan kekuasaan pemerintah daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi

daerah tidak dapat mengelak dari ratio legis-nya sebagai bagian dari ajaran tentang

konstitusionalisme. Pengertian demikian nampak dari pendapat The Liang Gie tentang

alasan hadirnya satuan pemerintahan teritorial lebih kecil (Pemerintah Daerah) yang

memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berikut

ini:

•Guna mencegah penumpukan kekuasaan yang bisa membuka ruang bagi terjadinya tirani;

• Sebagai upaya pendemokrasian;

• Untuk memungkinkan tercapainya pemerintahan yang efisien;

• Guna dapat memberikan perhatian terhadap kekhususan-kekhususan yang menyertai setiap daerah; dan

• Agar Pemerintah Daerah dapat lebih langsung membantu penyelenggaraan

pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas, pembatasan kekuasaan pemerintah pusat tidak

semata mengambil bentuk pembagian kekuasaan belaka. Tetapi agenda lainnya

sebagai implikasi adalah hasil guna dan daya guna praktik penyelenggaraan

pemerintahan dalam arti luas. Dilakukannya pembagian kekuasaan pemerintahan

secara vertikal atau teritorial ini memungkinkan pemerintah daerah dapat terlibat lebih

langsung dalam penyelenggaraan pembangunan dikaitkan dengan

(36)

kebutuhannya ketimbang pemerintah pusat karena persoalan jarak yang lebih dekat

dengan sumber permasalahan.

2. Indonesia Sebagai Negara Kesatuan Yang Desentralistik

Indonesia adalah Negara Kesatuan atau Unitary State. Meskipun menganut

bentuk atau susunan negara kesatuan, akan tetapi negara Indonesia dijalankan secara

desentralistik sejak masa Indonesia merdeka (terinterupsi sejenak oleh periode

Republik Indonesia Serikat) sampai sekarang. Yang dimaksud dengan negara kesatuan

yang desentralistik adalah negara kesatuan yang diselenggarakan menurut asas

desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah (sic: Pusat)

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dasar teoretis mengapa Indonesia tidak menganut konsep negara yang

sentralistik adalah alasan kewilayahan. Kusnardi & Ibrahim mengatakan: “Karena

wilayah negara Republik Indonesia itu sangat luas yang meliputi banyak kepulauan

yang besar dan kecil, maka tidak mungkinlah jika segala sesuatunya akan diurus

seluruhnya oleh Pemerintah yang berkedudukan di Ibukota Negara. Untuk mengurus

penyelenggaraan pemerintahan negara sampai kepada seluruh pelosok daerah negara,

maka perlu dibentuk suatu pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah ini sebenarnya

menyelenggarakan pemerintahan yang secara langsung berhubungan dengan

masyarakatnya.” Lebih lanjut, desentralisasi juga merupakan perwujudan, pada

analisis akhir, gagasan konstitusionalisme (pemerintahan terbatas) yaitu pembagian

kekuasaan secara vertikal/teritorial dan gagasan demokrasi atau kedaulatan rakyat .

Desentralisasi sebagai bentuk pembatasan terhadap kekuasaan Pemerintah Pusat

konsisten dengan prinsip negara hukum yang telah diakui secara konstitusional

sebagai prinsip penyelenggaraan negara Indonesia. Desentralisasi sebagai perwujudan

prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat sangat terkait dengan upaya pemenuhan

kesejahteraan umum seluruh rakyat, bahwa semakin dekat pemerintah hadir di

tengah-tengah rakyatnya dapat berbanding lurus dengan semakin sejahteranya rakyat serta

semakin mudahnya rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan dan sekaligus

mengontrolnya. Legislator UU No. 23 Tahun 2014 meyakini bahwa desentralisasi dan

otonomi daerah dapat: “... mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

(37)

peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,

keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.”

Konsep negara kesatuan yang desentralistik nampak dari bentuk atau susunan

negara yang tidak mengenal ‘negara’ dalam negara, serta pengakuan atas eksistensi

daerah otonom yang memiliki kewenangan dan dapat menjalankan urusan

pemerintahan sendiri. Menurut Mawardi, sistem desentralisasi memiliki ciri-ciri:

1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya negara

federasi;

2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan bentuk

penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan yang diberikan kepada

daerah;

3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan pengaturan atau

pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa

dan aspirasi masyarakat.

Dalam rangka asas desentralisasi sebagai dasar untuk penyelenggaraan negara

Indonesia sebagai negara kesatuan tersebut maka pemerintahan daerah provinsi,

daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian, hubungan wewenang antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota atau antara provinsi

dan kabupaten/kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan

dan keragaman daerah. Dengan demikian asas otonomi daerah adalah asas dalam

rangka penyelenggaraan negara kesatuan yang desentralistik. Yang dimaksud dengan

otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Sistem Otonomi

Sistem otonomi adalah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah

tangga daerah. Lazimnya ada tiga macam sistem otonomi yang dikenal, yaitu: (1).

Sistem Otonomi Materiil (materiele huishoudingsbegrip); (2). Sistem Otonomi Formil

(formeele huishoudingsbegrip); (3). Sistem Otonomi Riil/Nyata (riele

(38)

Dalam menentukan batas-batas urusan rumah tangga daerah, sistem otonomi

materiil bertolak dari pembedaan secara tegas antara lingkup kekuasaan pemerintah

pusat dengan lingkup kekuasaan daerah otonom. Penentuan tersebut kemudian

ditetapkan menjadi materi undang-undang yang mengatur tentang pembentukan

daerah. Prinsip dari sistem otonomi materiil ini adalah otonomi daerah hanya meliputi

tugas-tugas daerah otonom yang telah ditentukan secara limitatif. Sementara apa yang

tidak tercantum di sana tetap merupakan urusan pemerintah pusat.

Sistem otonomi formil bersifat kebalikannya dari sistem otonomi materiil, yaitu

tidak membedakan antara urusan pemerintah pusat dengan urusan pemerintah daerah.

Prinsip dari sistem otonomi formil ini adalah lingkup rumah tangga yang menjadi

urusan dari daerah otonom tidak ditetapkan secara a priori, tetapi bergantung pada

bagaimana daerah otonom menjabarkannya. Perpaduan kedua sistem ini melahirkan

sistem otonomi riil/nyata yang mengandung prinsip otonomi daerah berdasarkan

faktor riil atau nyata sesuai kebutuhan atau kemampuan sesungguhnya dari daerah

otonom dan pemerintah pusat serta pertumbuhan masyarakat yang terjadi. Sehingga

konsekuensinya, jika secara nyata daerah mampu maka apa yang sebelumnya

merupakan urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada daerah otonom; begitu

pula sebaliknya.

Dikaitkan dengan sistem otonomi maka pembentukan daerah baru secara umum

dan atau penyesuaian daerah adalah sejalan dengan pengertian sistem otonomi

riil/nyata. Oleh karenanya, konsisten dengan politik hukum UU Pemerintahan Daerah,

sebagai berikut:

1. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam

Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

2. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata

dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang,

dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup

(39)

isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah

otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan

tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk

memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang

merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

B. Landasan Yuridis Penataan Daerah

Istilah “penataan daerah” baru dikenal dalam UU No. 23 Tahun 2014. Saat

berlakunya UU No. 32 Tahun 2004, istilah yang dikenal dan digunakan yaitu

“pembentukan daerah”. Istilah ini selanjutnya digunakan sebagai salah satu anak judul

dari PP No. 78 Tahun 2008. Sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 , telah diberikan

peluang bagi pembentukan daerah baru baik provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,

maupun desa/kelurahan.

Pasca era transisi, peraturan perundang-undangan terkait dengan pembentukan

atau penataan daerah adalah sebagai berikut:

1. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

3. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

4. PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan

Penggabungan Daerah yang mengatur mengenai pembentukan daerah baru pada

tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

5. PP No. 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan yang mengatur mengenai

pembentukan daerah baru pada tingkat kecamatan.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004, perihal pembentukan daerah diatur dalam Pasal

4 sampai Pasal 8. Pengaturan lebih lanjut dari UU a quo diatur dalam PP No. 78 Tahun

2007. Adapun pokok-pokok pengaturannya sebagai berikut:

1. Istilah yang digunakan yaitu “pembentukan daerah”. Bentuk hukum pembentukan

daerah ditetapkan dengan undang-undang, yang antara lain mencakup nama,

cakupan wilayah, batas ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan

pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD,

pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat

Gambar

Gambar 2.1.  Bentuk Persegi Empat Struktur Kota Jogja awal Abad XX
Gambar 2.6.  Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)
Gambar 2.7.  Struktur Kota Menurut Teori Poros
Tabel 3.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

PEMASOK DATA MASUK LAPORAN INVENTARIS KARTU PERBAIKAN LAPORAN PENGOLAHA N DATA GEDUNG PENGOLAHA N DATA RUANG PENGOLAHA N DATA MERK PENGOLAHA N DATA ASAL BARANG PENGOLAHA N DATA

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk

Peran wakil kepala madrasah bagian kesiswaan MAN Malang I secara keseluruhan ialah pada pembinaan siswa, khususnya pada kegiatan-kegiatan siswa. Berdasarkan hasil observasi, wakil

Pemerintahan bukan hanya akan member batasas-batas penggunaan diskresi oleh Badan/Pejabat administrasi Pemerintah akan tetapi juga mengatur mengenai pertanggungjawaban

Pilihlah salah satu jawaban dengan menyilang (X) satu angka (a atau b) dari pilihan jawaban yang menurut anda benar. Apakah anda pernah menonton iklan Oreo Soft Cake? a) Ya

Penerbitan buku Antologi Puisi: Karya Anak-Anak Bangsa dari Papua merupakan salah satu bentuk apresiasi Balai Bahasa Papua, Badan Pengembangan dan Pembinaan

Indikator (lampu LED “TRIP”) dapat direset dengan menekan tombol “RESET/STEP”. Kerja tahap low-set arus lebih berdasarkan karakteristik waktu definite atau

Tingginya tingkat leverage dapat membuat agresivitas pajak yang dilakukan oleh perusahaan semakin menurun dikarenakan menurut Dharma dan Ardiana (2016), perusahaan