• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORDA - Jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FORDA - Jurnal"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Salam rimbawan

Setelah sekian lama menghilang, Bekantan terbit lagi, tapi dalam kemasan yang berbeda. Berita Kehutanan Kalimantan yang disingkat Bekantan awalnya merupakan tabloid Balai Teknologi Reboisasi (nama Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru pada masa itu). Sekarang Bekantan terbit dalam bentuk majalah dengan bahasan yang lebih padat dan tampilan yang lebih menarik.

Berbicara mengenai Bekantan, sebenarnya Bekantan atau Nasalis larvatus adalah sejenis primata berhidung panjang dengan rambut berwarna coklat kemerahan dan merupakan satu dari dua spesies dalam genus tunggal monyet Nasalis. Binantang yang merupakan maskot fauna Propinsi Kalimantan Selatan ini hidup di pulau Kalimantan di hutan bakau, rawa dan pantai. Identik dengan Bekantan, majalah ini diharapkan dapat menjadi majalah populer dan aktual yang mengangkat pembangunan kehutanan khususnya di Kalimantan.

Dalam terbitan perdana kali ini Bekantan mengangkat KPH sebagai tajuk utamanya. KPH diharapkan menjadi benteng terakhir kehutanan di Indonesia, yang saat ini kondisinya tak kunjung membaik akibat praktek pengelolaan hutan yang tidak tepat. Selain itu diulas pula beberapa peluang menguntungkan yang timbul dengan menerapkan pengelolaan hutan berbasis KPH. Rubrik profi l menampilkan rimbawan senior faounding father BPK Banjarbaru, Ir APS Sagala, yang begitu konsern dengan pengelolaan hutan yang lestari. Hasil-hasil penelitian yang inovatif dan aplikatif, dituangkan dalam rubrik artikel. Rona kekayaan alam khas Kalimantan mendapat tempat dalam rubrik lansekap yang kali ini akan bercerita tentang pengelolaan KHDTK Tumbang Nusa. Bekantan juga menyediakan rubrik khusus yang mengulas pengenalan jenis tanaman khas Kalimantan dan rubrik-rubrik lain yang dikemas secara menarik bagi pembaca sekalian.

Akhir kata, kami ucapkan selamat menikmati persembahan perdana dari Majalah Bekantan BPK Banjarbaru.

Kata Pengantar

PENANGGUNG JAWAB:

Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc

DEWAN REDAKSI:

Dr. Acep Akbar

Marinus K. Harun, MSc

Adnan Ardana, S.Sos

REDAKSI PELAKSANA:

Winingtyas W, S.Hut, MT, MSc

Noorliani, S.Hut

Fauziah, S. Hut

Agus Fitrianto, S. Hut

DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT:

Purwanto Budi S

Sukma Alamnsyah

Henda Ambo Basiang

ALAMAT REDAKSI:

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin

Banjarbaru - Kalimantan Selatan 70721

Phone. (0511) 4707872,

Fax. (0511) 4707872

E-mail : bekantan_bpkbanjarbaru@yahoo.id

DIPA BPK Banjarbaru 2013

Foto Cover:

(3)

Daftar Isi

Salam Redaksi

02

Lansekap

04

Proi l

13

Fokus

15

Lintas Peristiwa

22

Lensa

23

Artikel

32

Berita

40

Membangkitkan Primadona Yang Mulai Langka: Kayu Kuku (Pericopsis mooniana Thw)

Mengenal KHDTK Tumbang Nusa Sebagai Stasiun Penelitian Hutan Rawa Gambut

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Benteng Terakhir Rimbawan Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari

KPH dan Perdagangan Karbon

KHDTK Rantau Sebagai Benteng Terakhir Hutan Menghadapi Gerusan Areal Tambang di Rantau Kompos dari Gulma Lahan Gambut

Peningkatan Kualitas Penelitian Melalui Pembangunan Data Base

Ekspose Hasil Penelitian BPK Banjarbaru

Diskusi Ilmiah dan Kunjungan Perhimpunan Alumni Hannseidel Indonesia (PAHSI)

(4)

Pendahuluan

Pohon kayu kuku merupakan salah satu komponen vegetasi penyusun hutan hujan tropis Indonesia dari 4.000 jenis kayu yang diperkirakan tumbuh. Kayu kuku merupakan jenis pohon hutan hujan dataran rendah yang tumbuh tidak jauh dari pantai atau rawa hingga ketinggian 100 meter dari permukaan laut. Kayu kuku pernah menjadi primadona di Kalimantan Selatan dan telah dieksploitasi sejak jaman kolonial Belanda. Saat ini tidak teridentifi kasi eksploitasi kayu kuku baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun masyarakat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dalam komunitas hutan Kalimantan Selatan jenis pohon kuku telah mengalami kelangkaan bahkan mungkin potensi keberadaan pada habitatnya telah habis sama sekali. Kelangkaan kayu kuku juga diperkuat oleh laporan Rain Forest Action tahun 2004 dalam Munandar (2010) yang menyatakan bahwa kayu kuku digolongkan sebagai tanaman hutan yang terancam punah. Penyebab kelangkaan, kemungkinannya adalah telah terjadinya overeksploitasi yang tidak termonitor, dan tidak diimbangi dengan peremajaannya baik secara alami maupun buatan. Berdasarkan berbagai penelitian dan pengelompokan kayu di dalam SK Menteri Kehutanan nomor 163/Kpts-II/2003, kayu kuku dikelompokkan kedalam kayu indah dua atau termasuk juga jenis kayu mewah setara dengan kayu bongin (Irvingia malayana Oliv), bungur (Lagerstroemia speciosa), cempaka (Michelia spp), cendana (Santalum Oleh: Dr. Acep Akbar dan Rusmana, S.Hut.

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru/BPK Banjarbaru

album), dahu (Dracontomelon spp), johar (Cassia siamea), kupang (Ormosia spp), Lasi (Adinauclea fagifolia Ridsed), mahoni (Swietenia spp), melur (Dacridium junghuhnii Miq), membacang (Mangifera spp), mindi (Melia azdarah), dan nyirih (Xylocarpus granatum Konig).

Mengingat pentingnya upaya pelestarian jenis kayu kuku, maka upaya pengenalan jenis ini sangat diperlukan baik dari aspek status ekologi dan sifat-sifat kayunya maupun pola pengembangan budidayanya. Tulisan ini membahas karakteristik kayu kuku, penyebaran secara alami dan teknik budidayanya.

Penyebaran di Hutan Alam di Dalam dan Luar Negeri Nama komersil kayu ini adalah kayu kuku, sedangkan di Sulawesi disebut kayu besi papua, dan di Papua bernama nani laut. Penyebaran kayu kuku meliputi: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Penyebaran kayu kuku di Sumatera utamanya di Sumatera Selatan (Banyu Asin). Di pulau Kalimantan pohon kuku tersebar di bagian selatan, tenggara, dan timur. Di Pulau Sulawesi kayu kuku menyebar di bagian tengah dan utara. Selain itu kayu kuku terdapat pula di Maluku, dan pulau Halmahera. Distribusi penyebaran habitat kayu kuku di luar negeri adalah meliputi Sri Lanka (Asia Selatan), Malaysia, Indonesia, Philipina, Myanmar (Asia Tenggara), Papua New guinea (Oceania) hingga ke Aprika (Prosea, 1994; Yuniarti dan Syamsuwida,2011).

KAYU KUKU

KAYU KUKU

(Pericopsis mooniana Thw)

(Pericopsis mooniana Thw)

MEMBANGKITKAN PRIMADONA YANG MULAI L

MEMBANGKITKAN PRIMADONA YANG MULAI L

ANGKA:

ANGKA:

(5)

Karakteristik, Kegunaan Kayu Kuku dan Data Produksi Habitus pohon kayu kuku di alam seperti uraian berikut. Tinggi batangnya dapat mencapai 30-40 meter, dengan tinggi batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai ¾ bagian dari tinggi totalnya. Kayu gubal berwarna lebih cerah daripada kayu terasnya yang berwarna coklat kemerahan. Permukaan kayunya licin dan mengkilap. Kayu kuku dapat digunakan untuk mebel (furniture), lantai (fl ooring), papan dinding (panelling), perkapalan (shipbuilding), dan fi nir mewah (fancy veneer). Berat jenis kayu= 0,87 dan memiliki kelas awet II, artinya jika didalam penggunaannya selalu berhubungan dengan tanah lembab, maka kayu kuku tahan hingga 5 (lima) tahun. Jika hanya dipengaruhi cuaca tetapi tidak terendam

air dan tidak kekurangan udara, maka ia tahan sampai 15 tahun. Apalagi jika digunakan di bawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab dan tidak kekurangan udara maka keawetannya tak terbatas. Di sisi lain kayu kuku jarang diserang rayap dan bubuk kayu kering. Penampilan kayu berwarna coklat muda merah, dengan tekstur agak halus. Arah serat berpadu atau tidak teratur. Kesan raba licin, kekerasan bersifat keras dengan sifat pengerjaan agak sukar. Kayu kuku termasuk kelas kuat 1 (satu) yang ditentukan oleh berat jenis, keteguhan lengkung mutlak dan keteguhan tekan mutlak. Kayu kuku juga mempunyai nilai estetika dengan warna dekoratif sehingga biasanya disamakan dengan kayu jati. Dari segi taksonomi, kayu kuku termasuk kedalam famili Papilionaceae. Kelangkaan tegakan di hutan terutama Kalimantan Selatan menyebabkan tidak ada data produksi kayu bulat maupun olahan. Data produksi yang sempat tercatat adalah dari Sulawesi Tenggara itupun terjadi pada tahun 1972 s/d 1974. Di daerah tersebut tercatat 1.433, 51m3 dengan nilai

devisa 139.354,49 US $ (Munandar, 2010). Penampilan buah, bibit, pohon, dan kayu kuku disajikan di gambar 1.

Teknik Budidaya

Pembangunan tanaman jenis kayu kuku perlu dilakukan baik dalam bentuk hutan tanaman untuk industri, kebun benih dan kebun plasma nutfah maupun dalam bentuk hutan kota dan arboretum agar kelestarian kayu mewah tersebut dapat dipertahankan. Teknik budidaya kayu kuku yang meliputi teknik pemanenan, pengelolaan benih, produksi bibit, penanaman, dan perlindungan tanaman dapat diperoleh dari teknologi yang telah diperoleh Badan Litbang Kehutanan. IPTEK budidaya kayu kuku yang telah diketahui seperti uraian berikut. Pertama, jenis pohon kayu kuku berbuah setiap tahun yaitu pada bulan September dan Oktober. Kedua, pengumpulan benih kayu kuku dapat dilakukan dengan cara memanjat atau mengunduh buah secara langsung dari pohon. Ketiga, ciri-ciri kematangan fi siologis buah

Keterangan Gambar 1: 1. Benih kayu kuku, 2. Buah kayu kuku, 3. Bibit kayu kuku, 4. Tegakan alam Kuku,

5. Arboretum Kayu Kuku di Kantor BPK Banjarbaru, Guntung payung, 6. Tanaman Kayu Kuku di BPK Banjarnaru,

7. Kayu Kuku sebagai pohon Penaung di BPK Banjarbaru, 8. Serat kayu kuku yang dekoratif

(Sumber: Fotograi Acep Akbar, 2013)

(6)

polong kayu kuku adalah berwarna coklat dengan biji berbentuk kancing, berdiameter 1 cm dan tebal 4 mm.

Keempat, buah dijemur selama 2-3 hari sebelum diekstraksi atau dikeluarkan bijinya dari buah yang telah merekah. Kelima, cara mengecambahkan benih kayu kuku diberi perlakuan awal dengan perendaman dalam asam sulfat 0,1 M selama 20 menit. Media kecambah dapat menggunakan pasir sungai. Keenam, pembiakan vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek batang. Ketujuh, hama yang menyerang benih di persemaian yaitu serangga Brachytrypes portentosus. Penanggulangannya dengan penyemprotan pestisida. Kedelapan, setelah kecambah berumur 1-2 bulan

atau tinggi semai 5 cm, kemudian disapih di bedeng persemaian dengan menggunakan polybag 20x10 cm, bagian bawah dilubangi. Kesembilan, setelah tinggi bibit 16-20 cm atau 5-7 helai daun, bibit siap ditanam di areal tanam. Kesepuluh, penanaman kayu kuku di lahan alang-alang (Imperata cylindrica) dimulai dengan persiapan lahan secara mekanis atau menggunakan herbisida. Jarak tanam dapat dibuat 3x3 meter dan ukuran lubang tanam 30x30x40 cm. Waktu penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Nopember s/d Januari). Umur tanaman satu bulan baru menunjukkan pertambahan tinggi rata-rata 0,5 cm. Kesebelas, tanaman rentan serangan ulat daun dengan gejala berlubang pada daun. Perlakuan insektisida hanya dilakukan pada tanaman yang terserang menggunakan insktisida dengan bahan aktif diazinon.

Penutup

Sebaran alami kayu kuku cukup luas walaupun keberadaannya mulai langka yaitu meliputi dalam dan luar negeri Indonesia. Sebaran kayu kuku di dalam negeri meliputi Sumatera utamanya di Sumatera Selatan (Banyu Asin), pulau Kalimantan terutama di bagian selatan, tenggara, dan timur, pulau Sulawesi utamanya di bagian tengah dan utara, pulau Maluku, Halmahera, dan Papua. Sebaran kayu kuku di luar negeri meliputi Sri Lanka (Asia Selatan), Malaysia, Indonesia, Philipina, Myanmar (Asia Tenggara), Papua New guinea (Oceania) hingga ke Aprika.

Upaya pelestarian kayu kuku dapat ditempuh dengan menginventarisir kembali tegakan di hutan yang menjadi habitat kayu kuku dan membangun tanaman dalam bentuk hutan tanaman untuk industri, kebun benih, kebun fl asma nutfah, hutan kota, dan arboretum. Adanya program penanaman massal melalui Program OMOT (one man one tree) dan OBIT (one billion trees) dalam rangka mitigasi

perubahan iklim (climate change) seyogyanya memasukan jenis kuku menjadi salah satu jenis pohon yang ditanam.

Dalam rangka pelestarian, pendidikan, dan penelitian, saat ini Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan telah memiliki lebih 50 batang pohon kayu kuku yang ditanam di sekitar halaman Kantor Landasan Ulin. Pohon tersebut ditanam dalam bentuk arboretum, plot hutan tanaman, dan sebagai tanaman penaung serta estetika.

Pust aka

Anonimous, 1979. Pedoman Teknis Penanaman Kayu Kuku (Pericopsis mooniana Thw). Deptan. Dirjen Kehutanan. Jakarta

Munandar, 2010. Budidaya Tanaman Kehutanan Jenis Kuku (Pericopsis mooniana Thwaites). Diakses dari mounandar.blogspot.com/2010/06/budidaya-tanaman-kehutanan-jenis-kuku.html tanggal 7 September 2013.

Kartasujana I.dan A.Martawijaya, 1979. Kayu Perdagangan Indonesia, Sifat dan Kegunaannya. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Prosea, 1994. Timber Trees : Major Commercial Timbers. Plant Resources of South East Asia No. 5(2).

Yuniarti N. dan D. Syamsuwida. 2011. Kayu Kuku. Dalam Buharman, Dharmawati F.D.,N.Widyani, dan Sudradjat S. (2011), Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Vol.5 N0.1. Bogor.

(7)

Pendahuluan

Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru memiliki Hutan Penelitian di lahan rawa gambut Tumbang Nusa sejak tahun 1998. Status hukum Hutan Penelitian adalah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) berdasarkan SK penunjukan Menteri Kehutanan No. 76/ Menhut-II/2005 tanggal 31 Maret 2005. Luas KHDTK Tumbang Nusa 5.000 hektar, terletak di dalam kawasan hutan produksi tetap wilayah propinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Propinsi Kalteng memiliki hutan rawa gambut seluas 1,987 juta ha. Di dalam kawasan hutan tersebut terdapat kawasan Proyek Lahan Gambut (PLG) seluas 1.457.100 ha walaupun tidak semuanya lahan bergambut (Sayuto, 2004). Diantara kawasan tersebut terdapat hutan yang sudah rusak terutama berada di antara sungai Sebangau hingga sungai Barito (Limin, 2004).

KHDTK Tumbang Nusa ini sebelumnya merupakan bagian dari kawasan HPH PT. Arjuna Wiwaha berdasarkan SK.08/Kpts/Um/6/1978 tanggal 4 Januari 1978 seluas 92.000 ha, yang izinnya telah berakhir pada 4 Januari 1998. KHDTK Tumbang Nusa adalah satu-satunya hutan penelitian rawa gambut Badan Penelitian dan

MENGENAL KHDTK

TUMBANG NUSA

SEBAGAI STASIUN

PENELITIAN HUTAN

RAWA GAMBUT

Oleh : Riswan Ariani, Acep Akbar

(8)

Pengembangan Kehutanan (Badan litbang Kehutanan) dari 33 KHDTK yang ada di Indonesia.

Dalam jangka panjang, KHDTK Tumbang Nusa diharapkan menjadi sumber informasi :

1. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung ragam pemanfaatan dan pendayagunaan hutan rawa gambut (HRG) untuk kesejahteraan masyarakat. 2. Pengembangan teknologi rehabilitasi yang sesuai

dalam rangka mengembalikan fungsi hutan rawa gambut terdegradasi, termasuk perlindungan terhadap kebakaran.

3. Pengembangan model hutan tanaman rawa gambut dengan jenis-jenis pohon yang sesuai habitatnya dan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat sekitar HRG. 4. Pengembangan teknologi persemaian jenis-jenis

pohon rawa gambut.

5. KHDTK Tumbang Nusa juga dapat dijadikan tempat pelatihan dan pendidikan lapangan pengelolaan hutan rawa gambut bagi mahasiswa/siswa dan pengguna lainnya khususnya di Kalimantan.

Sejarah

Tahun 1993-1996 :

Tahun 1993 Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru (BTR) Banjarbaru (nama lama BPK Banjarbaru) bekerjasama dengan HPH PT. Kahayan Lumber di Maliku, melakukan ujicoba bidang silvikultur hutan alam rawa gambut terdegradasi. Tahun 1996 kegiatan ujicoba berhenti karena aktivitas eksploitasi hutan tidak lagi dilakukan oleh PT. Kahayan Lumber dan jalan rel / lori dibongkar perusahaan.

Tahun 1996-2000 :

Pihak manajemen BTR Banjarbaru melakukan penjajakan lokasi baru untuk kegiatan litbang di HPH PT. Arjuna Wiwaha Teluk Umpan, desa Tumbang Nusa, selanjutnya dilakukan aktivitas litbang. Tahun 1998 kegiatan litbang berpindah ke lokasi dekat jalan propinsi trans Kalimantan di Km 30 dari kota Palangka Raya yaitu pada lahan rawa gambut pasca kebakaran tahun 1997.

Tahun 2004-sekarang :

Seiring dengan perubahan nama Balai Teknologi Reboisasi menjadi Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur, maka kegiatan litbang rawa gambut didasari oleh Rencana Strategis Badan Litbang Kehutanan tahun 2003-2009 dengan tujuan menghasilkan paket teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi. Kegiatan litbang hutan rawa gambut menjadi riset utama ”Core research”, dengan demikian upaya peningkatan status hutan penelitian semakin diperlukan.

Tanggal 12 September 2000, BPK Banjarbaru mengajukan permohonan areal eks HPH PT. Arjuna

Wiwaha (5.000 hektar) kepada Gubernur Kalteng dengan surat Nomor : 392a/IX-BTR/2000 untuk dijadikan stasiun penelitian HRG. Permohonan tersebut direspon oleh Gubernur melalui surat Nomor : 522/134/Ek pada tanggal 5 Pebruari 2001. Selain itu, BTR Banjarbaru menerima tembusan surat Nomor : 17/Kwl-6/2001 tanggal 10 Januari 2001 dari Kanwil Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalteng dan tembusan surat Nomor : 522/1/5746/2.09/ XII/2000 tanggal 6 Desember 2000 dari Dinas Kehutanan Propinsi Kalteng yang ditujukan kepada Gubernur Propinsi Kalteng dengan isi surat ”Bapak Gubernur Kalteng dan Kanwil Kehutanan Propinsi Kalteng serta Dinas Kehutanan 6

5

4 7

9 X8 10

(9)

Propinsi Kalteng menyambut baik dan mendukung BTR Banjarbaru untuk mendapatkan areal seluas 5.000 hektar guna melaksanakan berbagai penelitian pada ekosistem hutan dan lahan rawa gambut. Melalui proses peningkatan kekuatan hukum lokasi tersebut, akhirnya terbit SK Menteri Kehutanan No. 76/Menhut-II/2005 tanggal 31 Maret 2005 yang menyatakan Hutan Penelitian Tumbang Nusa seluas 5.000 hektar ditunjuk sebagai KHDTK.

Kondisi Umum Lokasi

Secara administratif pemerintahan, KHDTK Tumbang Nusa terletak di desa Tumbang Nusa dan desa Tanjung Taruna, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan areal KHDTK Tumbang Nusa termasuk dalam wilayah kerja Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau, Propinsi Kalimantan Tengah dan berada dalam wilayah hukum Kepolisian Resort Pulang Pisau. Secara geografi s terletak pada titik koordinat 02°18’37” - 02°22’34” LS dan 114°02’48” - 114°06’46” BT. Jarak tempuh KHDTK Tumbang Nusa dari BPK Banjarbaru adalah 200 km sedangkan jarak tempuh dari kota Palangka Raya adalah 35 km.

KHDTK Tumbang Nusa menurut klasifi kasi iklim Schmidt dan Ferguson termasuk tipe A. Data cuaca tahun 1998-2008 adalah suhu rata-rata 27°C, suhu minimum 23°C dan suhu maksimum 33°C (Anonim, 2008). Rata-rata curah hujan tahun 1998-2012 adalah 3.383 mm/tahun, curah hujan tahun 2011, 6.848 mm, dan tahun 2012, 6.678 mm. Bulan kering terjadi antara bulan Juli hingga September (tahun 1997-2012).

Ketinggian tempat KHDTK Tumbang Nusa antara 0 - 5 m dpl dengan elevasi antara 0 - 18 %, sedangkan kedalaman gambut ≥ 3 m. Jika musim hujan, ketinggian air mencapai 25 cm di atas permukaan tanah. Jenis tanah

ORDO HISTOSOL dengan pH tanah 3,5. Areal KHDTK Tumbang Nusa berdasarkan Peta Citra ALOS tahun 2007 dan Peta RTRWP Kalteng tahun 2008 dapat dikelompokkan dalam lima tipe kondisi suksesi yaitu : hutan lebat 80 %, vegetasi jarang 9 %, semak belukar 5 %, padang kelakai 4 %, dan vegetasi sedang 2 %.

Vegetasi tumbuhan bawah didominasi oleh pakis-pakisan dan kelakai, karamunting, epatorium, dan jenis rumputan lainnya. Jenis permudaan alam dari tingkat semai hingga tingkat pohon, diantaranya adalah : Meranti bunga (Shorea teysmanniana), Merapat (Combretocarpus rotundus), Nyatoh (Palaquium cochlearia), Meranti batu/ tembaga (Shorea parvifolia), Ramin (Gonystylus bancanus), Terentang (Campnosperma auriculata), Malam-malam (Diospyros malam), Bintangur (Calophyllum kunstleri), Keruing (Dipterocarpus caudiferus), Mandarah (Horsfi eldia sp), Gerunggang (Crotoxylon arborescens), Medang telur (Stemonurus scorpiodes), Pantung/jelutung (Dyera polyphylla), dan jenis non komersil lainnya.

Obyek Penelitian

Ruang lingkup kegiatan penelitian yang telah dan sedang dilakukan, diantaranya :

1. Kesesuaian jenis dengan tapak

2. Teknik budidaya jenis-jenis pohon HRG 3. Teknik persiapan lahan di rawa gambut 4. Teknologi agroforestry

5. Kajian sosial ekonomi

6. Teknik pemeliharaan permudaan alam 7. Teknologi dan aplikasi mikroba tanah 8. Dinamika tegakan hutan rawa gambut 9. Teknik pengendalian kebakaran hutan 10. Studi sumber benih jenis-jenis rawa gambut 11. Plot-plot penelitian jenis tanaman HRG yang dapat

dijumpai di KHDTK Tumbang Nusa, antara lain :

(10)

- Kahui (Shorea belangeran) 2004 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Ramin (Gonystylus bancanus) 2005 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Punak (Tetrameristra glabra) 2005 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Pantung (Dyera polyphylla) 2005 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Nyatoh (Palaquium cochlearia) 2006 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Medang telur (Stemonurus scorpiodes) 2006 (tegakan jalur terbuka di per-mudaan alam) - Bintangur (Calophyllum kunstleri) 2006 (tegakan

jalur terbuka di per-mudaan alam)

- Meranti batu (Shorea parvifolia) 2007 (tegakan jalur terbuka di per-mudaan alam)

- Kapurnaga (Calophyllum macrocarpum) 2007 (tegakan jalur terbuka di per-mudaan alam) - Alau (Dacridium becarii) 2008 (tegakan jalur terbuka

di permudaan alam)

- Kahui (Shorea belangeran) 2008 (tegakan jalur di kelakai/pakis)

- Nyatoh (Palaquium cochlearia) 2009 (tegakan jalur di kelakai/pakis)

- Pulai rawa (Alstonia pneumatophora) 2009 (tegakan jalur di kelakai/pakis)

- Ramin ITTO (Gonystylus bancanus) 2009 (tegakan jalur terbuka di per-mudaan alam)

- Ramin kebun pangkasan (Gonystylus bancanus) 2010 (tegakan jalur terbuka di permudaan alam) - Ramin genepool (Gonystylus bancanus) 2010

(tegakan jalur terbuka di permudaan alam)

- Kahui (Shorea belangeran) 2010 (tegakan rumpang di permudaan alam)

- Pantung (Dyera polyphylla) 2010 (tegakan rumpang di permudaan alam)

- Ramin kebun pangkas (Gonystylus bancanus) 2011 (tegakan rumpang di permudaan alam)

- Kapur naga (Calophyllum macrocarpum) 2011 (tegakan rumpang di permudaan alam)

- Ramin 2011 (tegakan rumpang di permudaan alam) - Bintangur (Calophyllum kunsthori) 2012 (tegakan

rumpang di permudaan alam)

- Medang telur (Stemonurus scorpiodes) 2012 (tegakan rumpang di per-mudaan alam)

Jenis Pohon yang Ditanam

Beberapa jenis pohon HRG dan beberapa jenis pohon lahan kering mineral telah ditanam di KHDTK Tumbang Nusa. Jenis-jenis tanaman tersebut adalah :

1. Alau (Dacridium becarii)

2. Bintangur (Calophyllum kunstleri)

3. Cotylilebium sp

4. Krasikarpa (Acacia crassicarpa) 5. Kahui (Shorea belangeran) 6. Rotan manau (Calamus manan) 7. Rotan taman (Calamus caesius) 8. Rotan irit (Calamus tracycoleus) 9. Ilatung (Dacmonorops sp) 10. Gaharu (Aquilaria sp)

11. Gemor (Nothaphoebe coriacea) 12. Gerunggang (Cratoxylon arborescens) 13. Kapur naga (Calophyllum macrocarpum) 14. Ketiau (Palaquium sp)

15. Mangium (Acacia mangium)

16. Medang telur (Stemonurus scorpiodes)

28 31 34 37

36 33

30

39

42 40

43

29 32 35 38 41

(11)

17. Meranti (Shorea paucifl ora) 18. Meranti batu (Shorea parvifolia) 19. Meranti bunga (Shorea teysmanniana) 20. Nyatoh (Palaquium cochlearia) 21. Pantung (Dyera polyphylla)

22. Pulai rawa (Alstonia pneumathophora) 23. Punak (Tetramerista glabra)

24. Ramin (Gonystylus bancanus) 25. Jingah (Gluta renghas) 26. Resak (Vatica rassak)

27. Terentang (Campnosperma auriculata)

Jenis Pohon yang Paling Potensial

Berdasarkan hasil uji tanaman di lahan gambut, maka tujuh jenis diketahui sangat potensial dikembangkan dan ditanam di lahan rawa gambut, yaitu :

1. Pantung/Jelutung (Dyera polyphylla) 2. Kahui (Shorea belangeran)

3. Kapurnaga (Calophyllum macrocarpum)

No Nama Lokal Nama Latin Jumlah (btg) Persentase (%) Berbuah (bulan)

1 Meranti Bunga Shorea teysmanniana 66 15,9

2 Merapat Combretocarpus rotundatus 37 8,9 (4) (8) (12)

3 Nyatoh Palaquium cochlearia 28 6,8 (11)

4 Ramin Gonystylus bancanus 25 6,0

5 Terentang Campnosperma auriculata 22 5,3 (3) (10)

6 Malam-malam Diospyros malam 27 6,5 (4) (8) (12)

7 Mertibu Eugenia sp 26 6.3 (8)

8 Jambu-jambu Eugenia sp 19 4,6 (12)

9 Pantung Dyera polyphylla 17 4,3 (2) (12)

10 Mandarah Horsfi eldia sp 13 3,1 (4) (8)

11 Gerunggang Cratoxylon arborescens 12 2,9 (4) (6) (8) (12)

12 Pisang-Pisang Microcos saccifera 13 3,1 (4) (8) (12)

13 Medang telor Stemonurus scorpiodes 9 2,2

14 Rahanjang Xylopia sp 9 2,2 (8) (12)

15 Meranti batu Shorea parvifolia 10 2,4

16 Bintangur Calophyllum kunstleri 7 1,7 (4) (8) (12)

17 Keruing Dipterocarpus caudiferus 9 2,2

18 Maharuang Diospyros sp 7 1,7 (11) (12)

19 Kapurnaga jangkar Calophyllum macrocarpum 7 1,7 (4) (8) (12)

20 Perupuk Meliocope sp 7 1,7

21 Lilin-lilin Paratocarpus triandus 7 1,7 (4) (8) (12)

22 Punak Tetramerista glabra 7 1,7 (4) (8) (12)

23 Kapurnaga banyu Calophyllum sp 4 1,0

24 Rambutan hutan Naphelium sp 5 1,2 (4) (8)

25 Galam tikus Eugenia sp 3 0,7

26 Kempas Koompassia malaccensis 3 0,7

27 Resak Vatica resak 4 1,0

28 Kahui Shorea belangeran 3 0,7

29 Palawan Tristaniopsis maingayi 1 0,2

30 Tampang 2 0,5

31 Gemor Nothaphoebe coriacea 1 0.2 (7) (12)

32 Kayu bawang 1 0.2

33 Nangka-nangka Neoscortechimia kinggi 1 0.2

34 Papung Sandoricum bornensis 1 0.2

JUMLAH 414 100

Tabel 1. Pengamatan masa berbuah jenis pohon induk tegakan benih teridentii kasi dari tahun 2010 s/d 2012 di KHDTK Tumbang Nusa, Kalteng. 4. Punak (Tetramerista glabra)

5. Ramin (Gonystylus bancanus)

6. Medang telur (Stemonurus scorpiodes) 7. Bintangur (Calophyllum kunstleri)

Luas Tanaman dan Permudaan Alam (31 Desember 2012)

1. Plot penelitian & eks penelitian, dan tanaman (pilot plantation)

... = 67,15 Ha 2. Plot permudaan alam merapat dan

jenis pioner ... = 24,30 Ha 3. Tegakan benih teridentifi kasi (lihat

Tabel 1) ... = 5,00 Ha

JUMLAH = 96,45 Ha

Potensi Jenis Pohon Induk (Desember 2012)

(12)

Sarana Prasarana

Aktivitas penelitian di KHDTK Tumbang Nusa telah ditunjang oleh sarana prasarana penelitian yang disajikan dalam Gambar 1 sebagai berikut :

1. Pondok kerja / camp 2. Jembatan dan jalan titian 3. Jalan induk dan jalan cabang 4. Sekat bakar dan sumur gali 5. Generator listrik

6. Gudang 7. Sumur bor

8. Persemaian permanen dan kantor 9. Shelter

10. Gerobak

11. Mesin pemadam kebakaran 12. Kendaraan dinas roda dua 13. Handy receiver

Penutup

• KHDTK Tumbang Nusa telah menjadi tempat ideal bagi penelitian rehabilitasi dan konservasi hutan rawa gambut. KHDTK tersebut dikelola oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru sebagai unit pelaksana teknis Badan Litbang Kehutanan.

• Aktivitas penelitian yang dilakukan di KHDTK Tumbang Nusa adalah pengembangan jenis pohon rawa gambut, agroforestry lahan gambut, perlakuan silvikultur, pengendalian kebakaran hutan, silvikultur teknik pemeliharaan permudaan alam, teknologi pembibitan pohon jenis rawa gambut, dan penelitian karbon hutan.

• Status hukum KHDTK Tumbang Nusa adalah Surat Keputusan Penunjukan Menteri Kehutanan No. 76/ Menhut-II/2005 tanggal 31 Maret 2005 dengan luas total KHDTK 5.000 hektar yang terletak pada kawasan Hutan Produksi Tetap. Status kawasan telah diperkuat menjadi kawasan Hutan Lindung berdasarkan SK Menhut Nomor: 529/Menhut-II/2012 tanggal 28 September 2012.

3. Jalan titian kayu

4. KHDTK Tumbang Nusa

5. Gudang 6. Kamar tidur 7. Generator listrik 8. Tandon penampungan air 9. Mesin pompa air 10. Jembatan

11. Pengukur curah hujan 12. Persemaian permanen 13. Pengukur suhu 14. Pengukur tinggi air gambut 15. Jalan induk

16. Shelter

17. Tetramerista glabra umur 9 tahun ( jalur terbuka) 18. Gonystylus bancanus umur

7,5 tahun ( jalur terbuka)

Keterangan Foto:

19. Gonystylus bancanus umur 9 tahun ( jalur terbuka) 20. Kebun pangkasan Gonystylus

bancanus umur 3 tahun. 21. Jalan cabang

22. Dyera polyphylla umur 4,5 tahun ( jalur terbuka). 23. Dyera polyphylla umur 10,5

tahun (terbuka).

24. Dacridium becarii umur 12 tahun (rumpang) 25. Shorea sp umur 9 tahun 26. Pemadaman kebakaran di

lahan rawa gambut . 27. Kunjungan kerja Sekbadan

Litbang Kehutanan RI. 28. Burung cicakrowo salah satu

jenis burung di KHDTK. 29. Patok batas KHDTK dengan

APL.

30. Sekat bakar ( jalur terbuka)

31. Kunjungan kerja Kapus KP3HKA Kehutanan RI. 32. Kunjungan kerja Kapus

Produktivitas Hutan Kehutanan RI.

33. Unit mesin pompa pemadam kebakaran.

34. Ular salah satu jenis fauna melata di KHDTK. 35. Palaquium cochlearia umur

3,5 tahun ( jalur terbuka) 36. Shorea balangeran umur 3,5 pigmaeus) pada pohon induk pisang-pisang.

40. Buah/benih Calophyllum macrocarpum

41. Ketergenangan air gambut musim hujan.

42. Kekeringan musim kemarau. 43. Shorea balangeran umur 1,5

tahun (terbuka). 44. Pohon induk Tetramerista

glabra.

45. Buah/benih Dyera polyphylla

dari APB.

46. Buah/benih Calophyllum kunstleri

47. Sumber air (sumur) pemadaman kebakaran.

48. Pengunduhan buah

Nothaphoebe coriacea

49. Pohon induk Gonystylus bancanus

(13)

SANG PIONER!

ARIF PORKAS SIHULAMBU SAGALA

A

rif Porkas Sihulambu Sagala lahir tidak jauh dari batas hutan lindung Gunung Sibualbuali di Tanah Batak. Tamat SMA Negeri Sipirok, kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia di Bogor Tahun 1961, dan tamat dari Fakultas Kehutanan IPB tahun 1969. Tahun 1973-1978 bertugas sebagai counterpart proyek Pengembangan Kehutanan Indonesia kerjasama RI-FAO di Bogor (Proyek INS/054). Tahun 1979-1983 bertugas sebagai C0-Project Manager Proyek Reboisasi Mekanis lahan alang-alang di Benakat Kerjasama RI-Jepang (Proyek ATA-186). Tahun 1983-1997, selama 14 tahun beliau bertugas sebagai Kepala Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru merangkap

Field Manager Project Reforestation and Tropical Forest Management Kerjasama RI-Finlandia di Kalsel (ATA-267). Selama perjalanan karirnya, beliau sudah banyak mengunjungi beberapa negara untuk melakukan studi banding, workshop maupun seminar internasional. Beliau juga dikenal sebagai pekerja keras, tak jarang ke pelosok hutan sekalipun didatangi untuk melihat dan mengikuti kegiatan lapangan yang sedang dikerjakan. Di lapangan, beliau sering mengajak diskusi dan mengarahkan para peneliti dan teknisi agar kegiatan di lapangan dapat berjalan dengan baik. Pak Sagala juga menulis beberapa ide dan pendapat beliau di beberapa kesempatan. Salah satu buku yang beliau telah dihasilkan adalah “Desain

(14)

Kehutanan Holistik” yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Kontribusi pemikiran beliau untuk kelestarian hutan produksi alam dan yang cukup dikenal adalah “tebang rumpang”. Selama berkarya, beliau juga sebagai peneliti selama 20 tahun dengan spesialisasi penelitian tentang aspek manajemen hutan. Meski sudah pensiun, dengan gaya bicara yang lugas beliau masih aktif menyuarakan gagasan tentang pengelolaan kehutanan.

Menurut bapak, siapakah Porkas Sagala itu ?

Saya adalah seorang yang dilahirkan di tengah hutan, dan bekerja dan mengabdikan hidupnya untuk hutan dan itu adalah saya.

Mengapa bapak masih istiqomah

terhadap kehutanan Indonesia?

Saya ingin melihat bahwa kehutanan ditangani dengan baik, baik untuk produksi dan kelestariannya. Saya yakin tidak banyak orang yang tahu menangani kehutanan ini.

Dalam tulisan dan

statement bapak di

beberapa pertemuan

sering mengatakan

bahwa ilmu kehutanan

salah, apa maksudnya

pak ?

Dalam praktik ilmu kehutanan di lapangan, obyek yang jelas adalah suatu keharusan, objek harus terukur standarnya (besteknya) dan peningkatan mutu terus menerus (continual development). Contohnya adalah HTI, sebelum melakukan penananam harus sudah ditentukan besteknya,

berapa pertumbuhannya per tahun, berapa hasil panennya dsb. Selama ini fakultas kehutanan mengajarkan ilmu ukur dan silvikutur namun tidak mengajarkan apa saja yang harus diukur dan membaginya berdasarkan bestek. Harusnya ilmu kehutanan mengikuti ilmu kedokteran yang membagi ilmunya berdasarkan bagian-bagian yang bisa terukur seperti penyakit jantung, anak, dalam, THT, dll.

Bapak sering mengatakan hutan harus dikelola,

apa arti mengelola itu pak?

Pada abad 18 lahir ilmu manajemen yang berfungsi merencanakan, mengkoordinasikan, mengarahkan, dan mengawasi pekerjaan. Dalam manajemen, juga dilakukan

pengelolaan. Seorang manajer yang sukses adalah mereka yang paham untuk mengelola. Mengelola hutan, artinya harus ada obyek yang harus ditingkatkan mutu secara terus menerus. Jadi, mengelola terdiri dari 3 elemen yaitu obyek, hasil dan proses. Obyek harus bisa diukur atau terukur, sehingga harus homogen. Yang heterogen tidak bisa diukur atau dikelola. Sehingga untuk mengelola sesuatu, harus dibagi pada unit-unit yang homogen atau yang disebut sebagai basis perencanaan. Hasil adalah obyek yang sudah ditingkatkan mutunya dan masih akan terus ditingkatkan lagi. Hasil dan obyek harus dituangkan dalam rencana desain (spek). Dalam ilmu membuat tegakan, menurut saya terdapat 3 kesalahan yaitu: pertama, tidak

mempunyai obyek sehingga basis perencanaan tidak dapat dibuat dan sistem perencanaan

tidak jelas. Kedua, tidak mempunyai spek (rencana desain) sehingga standar

mutu pekerjaan tidak jelas, evaluasi sulit dilakukan. Ketiga, hasilnya

heterogen, sehingga tidak terukur, identitas dan database

tidak bisa dibuat.

Apa yang Bapak maksud

manajemen terukur?

Manajemen terukur maksudnya hutan yang akan dikelola dibagi berdasarkan bagian-bagian yang dapat di manajemen seperti manajemen tingkat tegakan rumpang atau kuvio,tingkat petak dan dalam satu unit pengelolaan.

Apa beda rumpang dan kuvio?

Rumpang dan kuvio sama, kalau rumpang dari istilah bahasa Indonesia, sedang kuvio dari bahasa fi nlandia.

Apa cita-cita Bapak yang selama ini diidamkan

tentang hutan Indonesia?

Saya ingin hutan Indonesia dikelola dengan manajemen yang terukur, dibagi berdasarkan bestek yang sama. Sehingga dapat diukur dan dikelola dengan baik.

Apa pesan-pesan Bapak untuk para rimbawan

saat ini?

(15)

Pendahuluan

C

ita-cita mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) pada sebagian besar kawasan hutan khususnya di luar Pulau Jawa sampai saat ini masih belum tercapai. Faktor-faktor yang menyebabkan belum tercapainya cita-cita mewujudkan PHL antara lain adalah (Sirang, 2008): (a) lemahnya peranan dan fungsi lembaga pengelola di tingkat tapak, (b) belum adanya kepastian batas lokasi yang diketahui dan diakui dengan baik oleh masyarakat sehingga status kawasan kurang jelas, (c) ketiadaan manajemen di tingkat

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN ( KPH) :

BENTENG TERAKHIR

RIMBAWAN

MEWUJUDKAN

PENGELOLAAN

HUTAN LESTARI

Oleh:

Marinus Kristiadi Harun, S.Hut., M.Si.

tapak, (d) ketidakjelasan perbedaan tupoksi antara institusi pelestari dengan institusi pemanfaat dan (e) orientasi pengelola hanya pada areal yang menghasilkan kayu. Kelima faktor tersebut menyebabkan kegiatan kehutanan, seperti pengamanan areal hutan dan praktek-praktek silvikultur lainnya, serta rehabilitasi hutan dan lahan tidak berhasil. Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan sistem pengelolaan hutan di Indonesia yang mampu menjawab kelemahan tersebut. Sistem yang diharapkan mampu menjawab permasalahan di atas adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Pengertian KPH secara umum adalah merupakan areal/wilayah yang didominasi oleh hutan dan mempunyai batas yang jelas, yang dikelola untuk memenuhi serangkaian tujuan yang ditetapkan secara eksplisit sesuai dengan rencana pengelolaan jangka panjang. Keseluruhan wilayah KPH akan mempunyai batas yang jelas baik di lapangan maupun di peta. Suatu KPH mempunyai tujuan yang luas bagi keseluruhan unit KPH dan dalam sub-sub unit KPH dimungkinkan untuk dikelola dalam regime manajemen yang berbeda dan terpisah (Sirang, 2008).

Melalui pembangunan KPH diharapkan dapat dicapai sasaran-sasaran berikut: (1) mengurangi degradasi hutan; (2) tercapainya PHL; (3) meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal; (4) stabilisasi penyediaan hasil hutan; (5)

(16)

mengembangkan tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan hutan; (6) percepatan rehabilitasi dan reforestasi; (7) memfasilitasi akses pada pasar karbon. Namun dalam implementasinya, pembangunan KPH tersebut (khususnya di luar Pulau Jawa) masih menghadapi permasalahan. Berdasarkan uraian tersebut maka pada tulisan ini dibahas prospek dan tantangan KPH sebagai benteng terakhir rimbawan dalam mewujudkan PHL.

Hasil Penelitian BPK Banjarbaru Terkait dengan KPH

Beberapa hasil penelitian terkait dengan KPH (dengan studi kasus KPHP Model Banjar) yang telah

dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, orientasi dari para pihak yang terlibat dalam pembentukan KPHP Model Banjar mencerminkan harapan bahwa pengelolaan hutan sebaiknya bersifat menyeluruh (komprehensif) dengan berlandaskan pada dimensi kelestarian ekonomi (economic sustainability), kelestarian sosial (social sustainability) dan

kelestarian lingkungan (environmetal sustainability). Secara konseptual, aspirasi para pihak tersebut memberikan kesan positif bahwa KPHP Model Banjar sebaiknya dikelola dengan pendekatan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem. Kedua, Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar telah memiliki modal awal bagi suatu proses pembentukan KPHP Model Banjar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya komitmen yang kuat dari para pihak yang terlibat (stakeholders), yang telah berhasil

memetakan permasalahan dan memiliki harapan-harapan ke arah pengurusan hutan yang efektif dan efisien yang berlandaskan pada aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan tatanan kebijakan yang mendukungnya. Ketiga, realita yang ada menunjukkan bahwa banyak pihak yang berkepentingan dengan pembentukan KPHP Model Banjar, yakni: masyarakat, aparat desa, pemerintah pusat, DPRD, Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan, Dinas Permukiman dan Transmigrasi, Litbang Kehutanan, perusahaan

swasta/daerah, organisasi-organisasi non pemerintah, dan lembaga-lembaga penyuluh. Pada prinsipnya, jika para pihak memiliki komitmen, maka komitmen itulah yang akan membuka banyak peluang bagi semua pihak untuk mengetahui jawaban-jawaban yang tepat terhadap skenario harmonisasi pengurusan hutan di Kabupaten Banjar. Hal ini termasuk komitmen seluruh pihak yang berada dan terkait dengan penggunaan ruang dalam setiap kesatuan ekosistem (DAS) untuk mempertahankan tata ruang yang sudah disepakati bersama secara konsisten. Persoalannya sampai sejauhmana kompromi-kompromi para pihak bisa ditemukan pada suatu muara untuk mencapai PHL. Keempat, dalam perspektif multipihak, stakeholder yang terlibat tersebut diskenariokan sebagai para penentu kebijakan sehingga

(17)

perspektif kelembagaan, suatu analisis terhadap stakeholder diperlukan untuk tujuan menemukenali pihak mana saja yang berhak dan/atau memiliki minat atas hutan. Analisis tersebut diarahkan pada hak (right), tanggungjawab (responsibilities), pendapatan (return), dan hubungan (relationships) antar mereka sehingga model kelembagaan dan aturan/tata nilai dapat ditentukan berdasarkan

pertimbangan kolaboratif (Budiningsih, 2008; Budiningsih et al.

2010).

Hasil penelitian Budiningsih et al. (2010) yang menganalisis tentang pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPHP Model Banjar menyebutkan beberapa hal berikut: (a) masyarakat lokal secara de facto “menguasai” sumberdaya alam (kayu maupun non kayu) termasuk sumberdaya lahan di dalam kawasan hutan, (b) kepastian kepemilikan hak atas

lahan baik masyarakat lokal maupun negara tidak dapat dibuktikan secara legal yang disepakati bersama, (c) praktek pemanfaatan sumberdaya alam khususnya hasil hutan kayu dan non kayu cenderung eksploitatif sedangkan pengelolaan lahan bersifat ekstensif, (d) pengaturan hak-hak sumberdaya alam dalam kawasan hutan merupakan sistem kelembagaan masyarakat lokal yang bersifat dinamis sesuai perkembangan yang terjadi di masyarakat, (e) konfl ik lahan terjadi antar warga desa, antar desa, desa dengan perusahaan, desa dengan desa tetangganya, antar warga desa dengan pendatang dan (f) Penyelesaian konfl ik sumberdaya cenderung bersifat normatif yang berarti penyelesaian konfl ik dilakukan oleh aparat desa yang didampingi oleh tokoh masyarakat.

Terkait dengan adanya konfl ik lahan, Harun et al (2012) menjelaskan karakteristik konfl ik lahan di KPHP

Model Banjar sebagai berikut.

Pertama, lahan hutan KPHP Model Banjar secara de jure merupakan kawasan milik negara (state property), namun adanya pemukiman warga yang berupa desa di dalam kawasan yang belum dilakukan enclave, menyebabkan status state property yang close access secara de jure berubah menjadi open acces secara de facto. Kondisi ini menimbulkan opportunity sets ikut mengambil sumberdaya lahan tersebut.

Kedua, isu pokok dalam konfl ik lahan di KPHP Model Banjar ada 5, yakni: (a) dualisme administrasi (satu tapak dua kewenangan), (b) IUPHHK tidak aktif, (c) pemberdayaan ekonomi masyarakat terabaikan, (d) potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan (e) penegakan hukum masih lemah.

(18)

Banjar merupakan masalah atau konfl ik struktural, yakni aktor yang terlibat tidak berada pada tataran yang sama. Konfl ik struktural (structural confl ict) adalah keadaan dimana secara struktural atau keadaan di luar kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fi sik yang tidak berimbang.

Keempat, terdapat 15 (lima belas) stakeholders yang memiliki kepentingan dan pengaruh dalam pengelolaan kawasan hutan di KPHP Model Banjar yang dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu kelompok yang mewakili stakeholders pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Kebanyakan stakeholders berada pada posisi strong opponent atau pihak yang menentang kuat terjadinya perambahan lahan yang terjadi pada pengelolaan lahan di KPHP Model Banjar, stakeholders tersebut yakni: Polsek, Polhut, Dinas Pertambangan, Kementerian Transmigrasi, IUPHHK, UPT KPHP Model Banjar (Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar), BPKH, Penyuluh Kehutanan, dan Bapedda. Posisi strong suports ditempati oleh Peladang dan Kades/Pambakal. Stakeholders ini mendukung permasalahan riil di lapangan disebabkan karena menikmati keuntungan secara ekonomi. Pada posisi weak supports hanya ditempati oleh LSM, pada dasarnya LSM mendukung terhadap penyelesaian masalah yang terjadi pada konfl ik lahan KPHP Model Banjar dengan catatan ada win-win solution. LSM mempunyai kewenangan rendah dari sisi kebijakan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi. Perguruan Tinggi, FKAD dan Camat merupakan stakeholders yang menentang tetapi kekuatannya lemah di sebabkan tidak mempunyai kapasitas yang cukup sehubungan dengan Tupoksi dari

stakeholders tersebut.

Kelima, analisis kebijakan pembentukan KPHP Model Banjar sesuai dengan metode ROCCIPI adalah seperti uraian berikut: (1) rule, point penting dari peraturan perundangan terkait dengan KPH adalah: (a) seluruh kawasan hutan di Indonesia akan terbagi dalam wilayah-wilayah KPH, serta akan menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, kabupaten/kota, (b) pada setiap wilayah KPH dibentuk institusi pengelola yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan. Institusi penge-lola ini merupakan Organisasi tingkat tapak, (c) pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kab/kota, sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya; (2) opportunity, pembangunan KPHP Model Banjar mempunyai peluang untuk resolusi konflik dengan pertimbangan KPH dibangun dan dibentuk “lokal specifi k”, sehingga diharapkan dapat lebih mengakomodasi kepentingan masyarakat sekitar. Selain itu, KPH dapat menjalin komunikasi rutin dengan masyarakat setempat, sehingga diharapkan dapat segera mengetahui dan merespon inspirasi dari masyarakat sekitar dan para pihak terkait. KPH diharapkan mampu menciptakan alternatif peluang pemberdayaan ekonomi lokal; (3) capacity, titik berat pengelolaan KPHP Model Banjar adalah profesionalisme di bidang kehutanan. Hal ini adalah salah satu syarat yang diperlukan untuk dapat terwujudnya suatu pengelolaan hutan yang lestari. Oleh karena itu, dalam suatu KPHP, organisasi atau kelembagaan yang akan ditempatkan hendaknya sekurang-kurangnya dapat memenuhi 3 (tiga) kapasitas pokok, yaitu: pengaturan kawasan, pengaturan tegakan, dan pengaturan

(19)

pengelolaan hutan. Kerusakan hutan di Indonesia yang meningkat selama ini dipengaruhi oleh pelaksanaan kebijakan tanpa moral, oleh karena itu moral hazard merupakan titik awal kerusakan hutan.

Keenam, resolusi konfl ik yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah upaya “mengubah konfl ik menjadi kemitraan yang sejajar”, hal ini dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (a) membangun kepercayaan (trust building), (b) menumbuh kembangkan Forum Kehutanan Antar Desa (FKAD), (c) menyiapkan tim ahli yang independen, (d) komunikasi yang efektif dan (e) regulasi yang disepakati bersama. Pembelajaran berharga dari konfl ik lahan di KPHP Model Banjar adalah pentingnya untuk melakukan hal-hal berikut: kepastian hukum (formal/informal), kenyamanan berusaha dan keberlanjutan usaha. Ketiga hal tersebut berlaku tidak saja untuk masyarakat dan perusahaan yang berkonfl ik, tapi sangat penting juga bagi pemerintah sebagai jaminan untuk masuknya investasi, peningkatan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan, serta peningkatan PAD.

Tantangan Mewujudkan KPH Isu yang dipersoalkan dalam permasalahan konfl ik lahan dalam KPHP Model Banjar mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik kepada stakeholders yang berperan dalam kasus ini. Keterkaitan stakeholders dengan isu pokok perlu dianalisis agar penyelesaian persoalan lebih terarah dan jelas sehingga isu yang satu tidak memicu isu yang lain dan memperparah persoalan yang ada di kawasan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1.

Isu dualisme administrasi dan penegakan hukum yang masih lemah serta IUPHHK yang tidak aktif merupakan isu yang di pengaruhi

kinerja Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar dan BPKH (UPT Kemenhut). Isu pemberdayaan masyarakat yang terbaikan oleh pemerintah dipengaruhi oleh lemahnya kinerja aparat pemerintah yakni: Kades/ Pambakal, Camat dan Bappeda. Akibat isu 2 ini peladang menjadi pihak yang paling dipengaruhi karena kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang rendah menyebabkan tidak ada alternatif lain selain bekerja di sektor pertanian subsisten (perladangan dan perkebunan tradisional). LSM berkepentingan dengan isu ini berkaitan dengan visi dan misi mereka untuk mendorong pemberdayaan masyarakat.

Isu Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak bisa dipungut akan sangat mempengaruhi kinerja Dinas Kehutanan dan BAPPEDA Kabupaten Banjar, karena salah satu sumber APBD adalah PAD, hal ini akan berkaitan juga dengan

penyusunan program pembangunan mengingat potensi yang besar dari pengelolaan KPHP Model Banjar.

Isu penegakan hukum yang masih lemah merupakan akibat dari kinerja aparat keamanan (POLHUT) yang buruk yang berakibat pada perambahan lahan hutan dan kegiatan ilegal lainnya. Gambar 1 tersebut juga dapat mengidentifi kasi hubungan antar isu pokok sehingga dapat diketahui bagaimana isu tersebut mempengaruhi atau dipengaruhi oleh isu yang lain. Cara ini akan memudahkan untuk memilah dan menata bagaimana memprioritaskan isu tersebut untuk dapat diatasi dan diselesaikan melalui program atau kebijakan pemerintah. Isu penegakan hukum yang lemah menyebabkan perambahan lahan hutan untuk kegiatan ilegal (ladang, kebun, pertambangan emas, dll) dan menyebabkan IUPHHK tidak aktif, dikarenakan aspek sosial yang belum

Keterangan:

- Isu 1 : IUPHHK tidak aktif

- Isu 2 : Pemberdayaan masyarakat yang terabaikan

- Isu 3 : Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

- Isu 4 : Penegakan hukum masih lemah

- Isu 5 : Dualisme administrasi (satu tapak dua kewenangan) : Hubungan antara stakeholders dengan isu

: Hubungan antar isu

(20)

dapat diselesaikan dengan baik. Faktor inilah yang menyebabkan maraknya kegiatan perambahan kawasan KPHP Model Banjar menjadi tak terkendali dan tanpa aturan yang jelas.

Konsep Strategi Resolusi Konfl ik Berdasarkan hasil FGD dan diskusi dengan pakar ada 4 level hirarki yang mempengaruhi strategi resolusi konfl ik lahan di KPHP Model Banjar yaitu: (1) level fokus (goal); (2) level aspek (criteria) yakni: faktor yang berpengaruh; (3) level sasaran (subcriteria) yakni aspek pengelolaan dan (4) level alternatif strategi kebijakan pengelolaan (alternative) yakni alternatif strategi pengelolaan yang disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil AHP diperoleh prioritas alternatif strategi yang bisa dikembangkan pada pengelolaan konflik lahan di KPHP Model Banjar namun karena selisih nilai bobot alternatif yang tidak begitu jauh mengindikasikan bahwa dari ketiga konsep tersebut (penguatan organisasi, jaminan dan kepastian hukum serta pembinaan dan pengawasan) tidak bisa berdiri sendiri tetapi saling terkait dan harus saling bersinergi. Ketiga konsep tersebut diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.

Pertama, konsep pemberda-yaan masyarakat. Awandana (2010) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses yang memba-ngun manusia atau masyarakat me-lalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah adalah perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan ke-sejahteraan masyarakat. Pengorga-nisasian masyarakat merupakan suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka

kem-bangkan. Di sini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain. Lembaga-lembaga adat yang sudah ada sebaiknya perlu dilibatkan karena lembaga inilah yang sudah mapan, tinggal meningkatkan kemampuan-nya saja. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan antara lain: kemampuan untuk berusaha, ke-mampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegi-atan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang

dihadapi oleh masyarakat. Pember-dayaan adalah bukan hanya konsep ekonomi, atau hanya konsep politik. Pemberdayaan adalah konsep yang menyeluruh atau holistic (Kartasas-mita, 1997). Hal ini dapat diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja me-numbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan ma-syarakat, dan membangun kemam-puan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.

Gambar 2. Struktur Hirarki Analisis Strategi Resolusi Konl ik Lahan di KPHP Model Banjar

Kedua, penegakan hukum. Penegakan hukum lingkungan meru-pakan mata rantai terakhir dalam dalam siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan lingkungan. Urutan siklus pengaturan perencanaan kebijakan yakni: 1) perundang-undangan (legislation); 2) penentuan standar (standard setting); 3) pemberian izin (lizensing); 4) penerapan (implementation); dan 5) penegakan hukum (law enforcement). Lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum oleh masyarakat. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan beranggapan bahwa hukum

(21)

koordinasi dengan aparat penegak hukum seperti Polsek, Kejaksaan/ Pengadilan Negeri. Kegiatan-kegiatan dalam rangka pengawasan dan pencegahan dilaksanakan melalui tindakan represif seperti patroli rutin, operasi gabungan, operasi fungsional dan tindakan preventif melalui penyuluhan. Keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi oleh kemampuan penegak hukum dalam mengatasi hambatan dan kendala yakni: 1). hambatan dan kendala yang berupa tingkat pengetahuan masyarakat yang beragam yang dapat menyebabkan persepsi hukum yang berbeda; 2). kesadaran hukum masyarakat masih rendah; 3). belum jelasnya peraturan hukum terkait dengan keberadaan 34 desa di dalam hutan, karena proses enclave sedang berjalan; 4). integritas penegak hukum yang masih rendah; 5). masalah pembiayaan.

Ketiga, konsep kelembagaan. Kelembagaan (institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu : 1) berkenaan dengan aspek sosial, 2) berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku individu dalam sistem sosial, 3) berkaitan dengan perilaku, seperangkat tata kelakuan atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat, 4) ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakat dan 5) pelaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara baku untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam sistem sosial tertentu (Syahyuti, 2003). Dalam rangka pengelolaan konfl ik lahan di KPHP Model Banjar diperlukan kebijaksanaan pengembangan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat secara terpadu, yang mengkaitkan seluruh komponen dan mekanisme pelaksanaan operasional kehutanan. Kebijaksanaan yang

menyeluruh tersebut harus didukung oleh kebijaksanaan lintas sektoral dan keterpaduan antar Dinas dan Instansi yang terkait dengan kehutanan. Kompleksitas permasalahan pena-nganan konflik lahan di KPHP Model Banjar memerlukan langkah-langkah yang manusiawi, terpadu dan adil. Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) prinsip kerjasama dalam pengembangan kelembagaan kehutanan berbasis kolaborasi manajemen, yakni: 1). sinergi dan kemitraan, yaitu para peladang dituntut untuk berbagi peran dan fungsi di dalam pengelolaan KPHP Model Banjar; 2). partisipatif, yaitu melalui pelibatan seluruh pelaku di bidang tersebut, yang merupakan pengembangan dari tiga unsur utama pelaku, yaitu: pemerintah, pemegang IUPHHK dan masyarakat; 3). bersifat holistik (multisektoral dan multidimensional), yaitu dengan didukung oleh struktur organisasi, administrasi dan mekanisme kerja lembaga yang terkait dengan pengelolaan KPHP Model Banjar. Selain itu didukung pula oleh faktor perundang-undangan atau peraturan daerah yang terkait dengan bidang kehutanan khususnya pengelolaan lahan pada kawasan KPHP Model Banjar. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disusun konsep pengelolaan konfl ik lahan di KPHP Model Banjar seperti pada Gambar 3.

Secara keseluruhan dengan kondisi KPHP Model Banjar saat ini, beberapa hal yang paling diperlukan guna resolusi konfl ik lahan adalah: (1) identifikasi dan assessment detail untuk masing-masing BKPH yang telah direncanakan dari segi tata ruang, potensi kawasan, sosial ekonomi masyarakat serta ekologi sehingga dapat ditentukan titik berat dan prioritas pengelolaan kawasan untuk masing-masing BKPH, (2) analisis kebutuhan sumber daya manusia (quantity & quality)

pengelola untuk masing-masing BKPH beserta sarana dan prasarananya guna memperhitungkan perkiraan beban tetap anggaran tahunan pemerintah dalam pengelolaan KPHP Model Banjar, (3) sosialisasi secara menyeluruh dan intensif kepada masyarakat dalam kawasan dan pemangku kewenangan administratif dalam kawasan (kecamatan, kelurahan/desa) tentang keberadaan managemen KPHP Model Banjar guna memberikan penjelasan tentang kedudukan/posisi masyarakat/ pemukiman dalam kawasan KPHP serta memperjelas hal-hal yang dapat dilakukan bersama antara masyarakat dalam kawasan dengan managemen KPHP. Dan jika diperlukan dapat dilakukan kegiatan pemetaan partisipatif dengan masyarakat untuk mengurangi konfl ik klaim atas lahan di masa mendatang, (4) identifi kasi interest dan persepsi masyarakat di dalam kawasan tentang pola-pola pencaharian sehari-hari agar dapat bersinergi dengan program-program kehutanan yang akan dilaksanakan oleh managemen KPHP, (5) pembentukan kelembagaan masyarakat serta pelatihan-pelatihan yang perlu oleh managemen KPHP dengan tujuan agar masyarakat setempat dapat menjadi mitra KPHP dalam pengelolaan kawasan KPHP Model Banjar.

Penutup

(22)

LINTAS PERISTIWA

Kunjungan anak-anak TK Fantasya Banjarbaru ke kantor BPK Banjarbaru pada bulan Maret 2013.

Pengenalan Hutan dan Lingkungan di KHDTK Kintap yang diikuti oleh siswa-siswi SMA Kanaan Banjarmasin

pada bulan April 2013

Altek Teknik Budidaya Gaharu BPK Banjarbaru di Kandangan pada bulan Juni 2013.

Penyematan tanda Peserta oleh Kabalai pada Pemasyarakatan IPTEK BPK Banjarbaru di KHDTK Rantau

tentang Budidaya Gaharu di bulan November 2013.

Pelatihan Teknik Pembibitan Tanaman Kehutanan Kerjasama antara BPK Banjarbaru dengan PT. ARUTMIN

pada bulan Maret 2013 di kantor BPK Banjarbaru

Pembinaan Kepegawaian BPK Banjarbaru di Loksado Kandangan, Kab. Hulu Sungai Selatan pada bulan

Juni 2013

Pameran foto riset pada ekspose 30 tahun BPK Banjarbaru di Novotel Banjarmasin, pada

bulan September 2013

Kunjungan Duta Besar Norwegia di KHDTK Tumbang Nusa, pada bulan Desember 2013

Temu Teknis Kaji Terap Kehutanan Bakorluh di BPK Banjarbaru pada bulan April 2013.

Pemasyarakatan IPTEK BPK Banjarbaru di KHDTK Riam Kiwa tentang Teknik Pembuatan Tanaman

pada bulan Juni 2013.

Sosialisasi KHDTK pada anak sekolah/pramuka se-kabupatenTanah Laut di KHDTK Kintap

pada bulan November 2013

Pemasyarakatan IPTEK BPK Banjarbaru di KHDTK Tumbang Nusa tentang Pengendalian Kebakaran Hutan

(23)

LENSA

Pagi itu cerah cuaca sangat cerah, sangat cocok untuk hunting foto. Udara segar yang kuhirup membuat semangatku

semakin menjadi untuk menyusuri jalan tanah aku berkeliling.

Sampai pada plot tanaman uji jenis, aku tertarik pada tegakan Shorea leprosula

Mentari hangat dengan biru langit membingkai alam pagi itu

paru-paruku bermain dengan oksigen bersih di sekitarku.

Sepasang kakiku mengajakku melangkah menyambut romansa hijau hutanku.

Jalan tanah menuntunku menuju plot uji jenis

Mataku tergelitik menatap rimbunnya pepohonan...

Di usianya yang menginjak dewasa, mereka tampak anggun dan kokoh... Hijau daunnya menyelimuti tubuh yang tinggi tegap

Biarkan lensa kameraku mengabadikan kemolekakanmu...

Shorea leprosulaku, merantiku... Suatu pagi di KHDTK Kintap bersama merantiku...

Keterangan foto:

Tegakan Shorea leprosula umur 23 tahun di KHDTK Kintap.

Tinggi mencapai 20 meter dan diameter 20 cm.

Kamera Canon EOS 7D Lensa EF 24-70mm f/2.8 II USM Shutter Speed 1/100 detik Aperture 8.0

(24)

peningkatan PAD.

Keberadaan Forum Kehutanan Antar Desa (FKAD) di wilayah KPHP Model Banjar perlu terus diberdayakan agar dapat semakin berperan dalam penyelesaian konfl ik lahan pada khususnya dan konfl ik kehutanan pada umumnya.

Bahan Bacaan

Baplan, 2006. Pembentukan Unit Pengelolaan. Badan Planologi K e h u t a n a n - D e p a r t e m e n Kehutanan. www.dephut.go.id/ info Baplan.htm

Gambar 3. Bagan Konsep Pengelolaan Konl ik Lahan KPHP Model Banjar

Bryson JM. 2004. What to Do when Stakeholders Matter: Stakeholder Identification and Analysis Techniques. Public Management Review Vol 6 issue 1 2004: 21-53. Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar.

2010. Rancang Bangun KPHP Kabupaten Banjar.

Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar. 2011. Laporan Valuasi Ekonomi KPHP Kabupaten Banjar.

Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.

Fisher, S., J. Ludin., S. Williams., I.D. Abdi., R. Smith dan S. Williams. 2001. Mengelola Konfl ik Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak. The British Council Indonesia. Jakarta.

Fuad, H.F. dan S. Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Pustaka Latin. Bogor.

Kartasasmita G. 1996, Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.

Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks terjemahan Decisions Making for Leaders : The Analytical Hierarchy Process for Decissions in Complex World. LPPM dan PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Syahyuti. 2003. Alternatif Konsep

Kelembagaan untuk Penajaman

(25)

Pendahuluan

K

esatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan perdagangan karbon (Carbon trading) merupakan dua istilah yang sedang menjadi topik hangat pada pengelolaan hutan Indonesia (istilah KPH selama ini digunakan Perhutani yang merujuk pada Kesatuan Pemangkuan Hutan di Jawa). KPH dapat diartikan sebagai satuan unit pengelola hutan, sedangkan perdagangan karbon merupakan pola usaha/bisnis baru dalam memanfaatkan hutan. Hutan dinilai tidak hanya kayu atau HHBK-nya saja, melainkan jumlah karbon yang dikandungnya juga dinilai. Kedua hal tersebut apabila dipadukan akan menjadi sistem usaha dan manajemen baru yang perlu dipahami secara seksama oleh masyarakat.

KPH sebagai paradigma baru pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya baik sebagai hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi akan berperan maksimal apabila dikelola oleh organisasi KPH yang notabene merupakan perpanjangan tangan pemerintah tentunya berorientasi kelestarian dan keuntungan. Pemanfaatan hutan melalui jasa pengikat karbon dioksida (CO2) di udara untuk memitigasi gas rumah kaca dan sebagai penyimpan karbon (carbon stock) yang tidak teremisikan ditujukan untuk lebih menjamin pengurangan kerusakan hutan. Pemahaman KPH dan perdagangan karbon oleh semua pihak sangat

diperlukan agar informasi umum tentang fungsi KPH, jenis-jenis usaha yang dapat dilakukan KPH, perdagangan karbon, dan fungsi KPH dalam perdagangan karbon dapat diimplementasikan.

Sekilas Fungsi KPH

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efi sien dan lestari. Setiap KPH akan dipimpin oleh Kepala KPH yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengelola hutan dalam wilayah yang dikelolanya. Dengan pola pengelolaan seperti ini kontrol pemerintah akan lebih efektif, karena KPH itu sendiri merupakan lembaga pelaksana dari kebijakan kementerian kehutanan, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota.

Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi, serta perlindungan hutan dan konservasi alam. Aktivitas tata hutan meliputi : tata batas, inventarisasi hutan, pembagian kedalam blok atau zona, pembagian kedalam petak dan anak petak, dan pemetaan. Dokumen tersebut disusun dalam bentuk buku dan peta

Oleh: Dr. Acep Akbar

KPH

&

Perdagangan

Karbon

(26)

penataan KPH.

Kepala KPH harus mampu menyusun rencana pengelolaan hutan di wilayahnya dalam jangka panjang (Misalnya 25 tahun) serta menentukan tujuan pengelolaan yang akan dicapai KPH. Dari rencana jangka panjang itulah akan disusun beberapa rencana jangka pendek (misalnya 5 tahun) yang lebih operasional disusun oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala KPH. Dengan demikian sebuah rencana realistis akan tersusun baik di kawasan hutan lindung dan hutan produksi maupun hutan konservasi. KPH dapat terbagi menjadi KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung), KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi), dan KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi).

Jenis-jenis Usaha Yang Dapat Dilakukan Oleh Organisasi KPH

Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Dalam aplikasinya pengelolaan hutan harus memberdayakan masyarakat dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan kemitraan.

Usaha-usaha potensial yang dapat dilakukan oleh KPH tergantung kepada fungsi hutan yang akan dikelola.

Sebagai contoh, untuk pemanfaatan kawasan pada hutan lindung, jenis usaha yang dapat dilakukan adalah : (1) budidaya tanaman obat, (2) budidaya tanaman hias, (3) budidaya jamur, (4) budidaya lebah, (5) penangkaran satwa liar, (6) rehabilitasi satwa liar, (7) dan (8) budidaya hijauan makanan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung yang potensial dapat dilakukan di antaranya adalah : (1) pemanfaatan jasa aliran air, (2) pemanfaatan air, (3) wisata alam, (4) perlindungan keanekaragaman hayati, dan (5) penyerapan dan penyimpanan karbon.

Dalam pelaksanaannya pelaku usaha yang dapat terdiri dari perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah dikoordinir oleh KPH. Lama izin usaha yang dapat diberikan adalah 10 tahun dan dapat diperpanjang setiap satu tahun. Luas areal yang dapat diberikan izin usaha adalah paling luas 50 hektar per izin dan pelaku usaha dapat diberikan 2 macam izin di dalam satu Kabupaten/ kota.

Khusus usaha penyerapan dan penyimpanan karbon hutan dapat diberikan izin yang cukup lama yaitu dapat mencapai 30 tahun, sedangkan syarat luasan mengikuti kelayakan kebutuhan investasi. Izin usaha penyerapan dan penyimpanan karbon dapat diberikan baik di dalam hutan lindung maupun hutan produksi.

(27)

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2010, izin usaha pemanfaatan hutan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota diberikan hanya untuk hutan lindung dan hutan produksi, Sedangkan untuk hutan konservasi menjadi kewenangan Menteri Kehutanan.

Ada dua tipe organisasi KPH yaitu type A dan type B. Susunan organisasi KPHL dan KPHP Provinsi,Kabupaten/ Kota type A terdiri dari : (1) Kepala KPH, (2) Sub Bag Tata Usaha, (3) Seksi, paling banyak 2 seksi), dan (4) Kelompok Jabatan Fungsional. Organisasi KPH type B terdiri dari : (1) Kepala KPH, (2) Sub Bag Tata Usaha, dan (3) Kelompok Jabatan Fungsional. Pengelolaan hutan dengan basis KPH ini akan menjadikan pemerintah lebih mengetahui kondisi komunitas hutan di lapangan karena organisasi KPH akan lebih dekat dengan obyek hutan yang dikelolanya. Dengan demikian permasalahan hutan akan lebih dipahami dan ditindaklanjuti dengan pengusahaan hutan yang konkrit dan realistis agar menguntungkan pemerintah dan masyarakatnya. Selain itu, fungsi kontrol pemerintah akan lebih intensif akibat manajemen yang bersifat internal. Kini pola manajemen pengelolaan hutan dengan satuan KPH akan menghadapi bisnis baru yaitu perdagangan karbon yang berskala internasional.

Perdagangan Karbon Hutan

Perdagangan karbon hutan adalah jual beli karbon dalam bentuk senyawa karbon organik yang dikandung komunitas hutan setelah dikonversi kedalam bentuk senyawa karbon dioksida (CO2). Hutan terdiri dari bahan

organik baik berupa biomassa hidup maupun biomassa mati yang semuanya mengandung senyawa karbon organik. Setiap satuan biomassa kering mengandung kurang lebih 50% senyawa karbon organik (Brown,1997). Biomassa hidup terdiri batang, cabang, ranting, daun, dan akartumbuhan yang masih hidup di dalam hutan. Biomassa mati terdiri dari serasah, dahan, ranting, dan akar yang telah mati. Khusus hutan rawa gambut, tanah gambut merupakan biomassa mati yang berpotensi besar mengandung karbon hutan. Biomassa hutan terdiri dari biomassa atas (above ground biomass) dan biomassa bawah (bellow ground biomass). Biomassa atas hutan adalah berupa batang, cabang, ranting, dan daun, sedangkan biomassa bawah berupa akar dan tanah gambut. Pada kondisi biomassa yang padat, vegetasi tumbuhan bawah dapat dihitung sebagai biomassa atas.

Gambar

Gambar 1. Tampilan buah, semai, tegakan hutan alam, tanaman, arboretum, pohon penaung dan serat kayu kuku.
Tabel 1. Pengamatan masa berbuah jenis  pohon induk tegakan benih teridentii kasi dari tahun 2010 s/d 2012 di KHDTK Tumbang Nusa, Kalteng.
Gambar 2. Struktur Hirarki Analisis Strategi Resolusi  Konl ik Lahan di KPHP Model Banjar
Gambar 3. Bagan Konsep Pengelolaan Konl ik Lahan KPHP  Model Banjar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Narmada Awet Muda telah dilaksanakan dengan baik, direksi dalam melaksanakan tugasnya selalu berpedoman pada anggaran dasar perusahaan dan undang-undang yang

Formulasi Gel dari Ekstrak Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe).. Chemistry of

Oleh karena itu, istilah reusam gampong sebagaimana yang telah dibentuk di beberapa gampong di Aceh Besar yang mengatur tentang Perlindungan Anak tidak cocok,

 Dari hasil analisa kebutuhan dan perancangan sistem kepada beberapa calon pengguna (mahasiswa) prototype pengembangan e-information yang dikembangkan dalam penelitian ini

Berdasarkan hasil yang didapatkan dapat disimpulkan bahwa nilai konduktivitas listrik film tipis meningkat seiring dengan kenaikan intensitas cahaya sebaliknya nilai

Dengan begitu, riset ini melahirkan beberapa temuan menarik, antara lain kemitraan yang dilakukan pemerintah kepada kelompok tani Tri Tunggal dengan pendekatan

Sehingga variabel Return On Asset dapat dijadikan sebagai acuan atau rujukan bagi investor untuk mengambil keputusan lebih lanjut tentang apa yang akan

Usaha telur asin “Cah Angon” merupakan sebuah UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) yang bertempat di Desa Limbangan Wetan, Kabupaten Brebes. Desa Limbangan Wetan