• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lima Anak Jalanan Penopang Kehidupan Keluarga: Bekerja Sebagai Pengamen, Pengemis, dan Pemulung di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lima Anak Jalanan Penopang Kehidupan Keluarga: Bekerja Sebagai Pengamen, Pengemis, dan Pemulung di Kota Medan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSATAKA

2.1 Pengertian Anak Jalanan

Anak jalanan adalah seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang menghabiskan

sebagian atau seluruh waktunya dijalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna

mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya (Shalahuddin, 2000). Anak jalanan

merupakan sebagian dari anak-anak yang hidup dan tumbuh secara mandiri (Irwanto,2003).

Kehidupan anak jalanan bagi sebagian anak jalanan mempunyai dampak yang positif misalnya

anak menjadi tahan kerja keras karena sudah terbiasa terkena panas dan hujan, anak jalanan bisa

belajar bekerja sendiri, bertanggungjawab dan membantu ekomoni orang tuanya (Sarwoto,

2002).

Menurut Suyanto (2003), munculnya anak jalanan memiliki penyebab yang tidak tunggal.

Munculnya fenomena anak jalanan tersebut disebabkan oleh dua hal yaitu : Problema sosiologis.

Karena faktor keluarga yang tidak kondusif bagi perkembangan si anak, misalnya orang tua yang

kurang perhatian kepada anak-anaknya, tidak ada kasih sayang dalam keluarga, diacuhkan dan

banyak tekanan dalam keluarga serta pengaruh teman. Problema ekonomi, karena faktor

kemiskinan anak terpaksa memikul beban ekonomi keluarga yang seharusnya menjadi tanggung

jawab orang tua.

2.2 Karakteristik Anak Jalanan

Garliah (2004) menuliskan bahwa anak jalanan bukanlah satu kelompok yang homogen.

Sekurang-kurangnya mereka bisa di kategorikan ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja

(2)

dengan keluarga. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua sedangkan

anak yang hidup di jalan putus hubungan dengan orang tua.

Hal ini lebih diperinci oleh Anonim (2004) dengan membedakan ciri-ciri anak jalanan

berdasarkan dua kategori kelompok tersebut sebagai berikut:

1. Anak yang hidup di jalan:

• Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun

yang lalu.

• Berada di jalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja, sisanya untuk

mengelandang atau tidur.

• Bertempat tinggal di jalanan dan tidur disembangan tempat seperti emper toko,

kolong jembatan, taman, stasuin, dll.

• Tidak sekolah lagi.

• Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung, dan serabutan yang hasilnya

untuk diri sendiri.

• Rata-rata usia di bawah 14 tahun.

2. Anak yang bekerja di jalanan, cirinya adalah:

• Berhubungan tidak teratur dengan orangtuanya, yakni pulang secara periodik

misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka umumnya

berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.

• Berada di jalan sekitar 8- 12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16 jam.

• Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, dengan

orang tua/saudaranya, atau tempat kerjanya di jalan. Tempat tinggal umumnya

(3)

• Pekerjaan menjual koran, mengasong, pengasong, pencuci bus, pemulung

sampah, penyemir sepatu, dan sebagainya. Bekerja merupakan bagian utama

setelah putus sekolah terlebih di antara mereka harus membantu orangtuanya

karena miskin, cacat, dan tidak mampu lagi.

• Rata-rata usianya di bwah 16 tahun.

Departemen sosial R.I,(2006) merumuskan ciri-ciri anak jalanan ke dalam dua kategori

yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri fisik anak jalanan adalah anak jalanan yang mempunyai kulit

kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, dan pakaian kotor. Ciri psikis

adalah mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk memenuhui kebutuhan pangan,

masa bodoh, mempunyai rasa penuh curiga, sangat sensitif, sulit diatur, berwatak keras, kreatif,

semangat hidup yang tinggi, tidak berpikir panjang (berani mengambil resiko), dan mandiri.

2.3 Jenis Anak Jalanan

Berdasarkan penelitian Surbakti (1997) anak jalanan dibedakan menjadi tiga kelompok :

1. Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai

pekerja anak dijalan,namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua

mereka. Sebagai penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya

(Soedijar.1984: Sanusi. 1995 dalam Mulandar,1996:39). Fungsi anak jalanan pada

kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya

karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan

sendiri oleh kedua orangtuanya.

2. Children of the street, yakni anak-anak yang berpastisipasi penuh dijalanan baik secara

(4)

orangtuanya tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka

adalah anak-anak yang karena suatu sebab biasanya kekerasan lari atau pergi dari rumah.

Anak-anak pada ketegori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial

maupun emosional, fisik maupun seksual.

3. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang

hidup di jalanan. Walupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup

kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ketempat lain dengan

segala resikonya.

2.4 Faktor Penyebab Fenomena Anak Jalanan

Berikut ini beberapa faktor penyebab fenomena anak jalanan berdasarkan penelitian oleh

J.LE Roux (1997), yaitu :

1. Anak jalanan yang merupakan korban perceraian, dengan ciri-ciri: kemiskinan, orang tua

tunggal , dan ekonomi rendah.

2. Anak jalanan Kekerasan keluarga terhadap anak.

3. Anak jalanan yang mengalami kematian keluarga dan mempunyai orang tua tiri.

4. Anak jalanan yang mengalami gagal sekolah

5. Anak jalanan yang tidak memiliki orang tua atau yatim piatu.

6. Anak jalanan yang menjadi korban dari kurangnya akomodasi, pecelahan seksual, dan

diusir dari rumah.

7. Anak jalanan yang keluarganya memiliki ekonomi yang rendah, sehingga anak bekerja

(5)

8. Beberapa anak jalanan terjun ke jalan untuk menemukan keberuntungan dan kehidupan

yang lebih baik dari sebelumnya.

9. Anak jalanan yang terusir dari rumah karena kurangnya perhatian dari orang tua.

10.Anak jalanan yang mengalami penghinaan, penolakan, dan kegagalan di sekolah.

2.5 Faktor Penarik Menjadi Anak Jalanan.

Berikut adalah beberapa faktor penarik menjadi anak jalanan:

1. Kehidupan anak jalanan yang menjanjikan , dimana anak mudah mendapatkan uang,

anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.

2. Diajak teman, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak pergi kejalanan.

Pengaruh teman menunjukan dampak besar anak pergi kejalanan terlebih bila dorong

pergi kejalanan mendapatkan dukungan dari orang tua atau keluarga.

3. Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.

2.6. Teori Budaya Kemiskinan

Menurut Oscar Lewis kemiskinan merupakan budaya yang terjadi karena penderitaan

ekonomi yang berlangsung lama. Lewis menemukan bahwa kemiskinan adalah salah satu

subkultur masyarakat yang memiliki kesamaan ciri antar etnik satu dengan yang lain.

Kebudayaan kemiskinan cenderung hadir dan berkembang di dalam masyarakat-masyarakat

yang memilii seperangkat kondisi sebagai berikut. Pertama, sistem perekonomian terlalu

berorientasi pada keuntungan. Kedua, tingginya tingkat atau angka penganguran dan setengah

dari pengangguran tersebut adalah tenaga tak terampil. Ketika, rendahnya upah atau gaji yang di

(6)

organisasi sosial, ekonomi, dan politik secera sukarela. Kelima, sistem keluarga bilateral lebih

menonjol daripada sistem unilateral.

Keenam, kuatnya nilai-nilai pada kelas berkuasa yang menekankan penumpukan harta

kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal atau kesempatan untuk terus meningkat

dalam status, dan sikap hidup hemat, serta adanya anggapan bahwa kemiskinan atau rendahnya

status ekonomi disebabkan oleh karena ketidaksanggupan pribadi ( pada dasarnya sudah rendah

kedudukannya). Kemiskinan menurut Lewis pada akhirnya mendorong terwujudnya sikap

meminta-minta dan mengharapkan sedekah yang menjadi ciri-ciri subkultur orang miskin.

Namun, hal tersebut sebenarnya merupakan langkah adaptasi yang rasional atas kondisi yang

mereka hadapi. Sikap-sikap ini pada akhirnya diturunkan kepada generasi sesudah melalui proses

sosialisasi dan menjadi lestari.

Oscar Lewis (1955), mengindentifikasi bahwa dalam kebudayaan kemiskinan (terutama

di perkotaan), adalah sebagai konsekuensi dari masyarakat dengan kepadatan tinggi, terbatasnya

akses-akses terhadap barang-barang konsumsi, layanan kesehatan dan sarana pendidikan.

Demikian juga masyarakat yang mempunyai insitusi sosial yang lemah untuk mengontrol dan

memecahkan masalah sosial dan kependudukan, yang berdampak pada pertumbuhan tinggi dan

pengangguran juga tinggi. Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuian

dan reaksi kaum miskin terhadap marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas

yang bersifat sangat individualistis kepada kaum kelas bawah. Sehingga yang mempunyai

kemungkinan besar untuk memiliki kebudayaan kemiskinan adalah kelompok masyarakat yang

berstrata rendah yang mengalamai perubahan sosial yang drastis yang ditunjukkan oleh ciri-ciri

(7)

1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga

utama masyarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigaan tinggi, apatis

dan perpecahan.

2. Pada tingkat komunitas lokal secara fisik ditemui rumah-rumah dan permukiman kumuh,

penuh sesak, bergerombol, dan rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti dan

keluarga luas.

3. Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang

pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya angka

perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya keluarga matrilineal dan

dominannya peran sanak keluarga ibu pada anak-anaknya.

4. Pada tingat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak berharga,

tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri.

5. Tingginya rasa tingkat kesengsaraan, karena beratnya perderitaan ibu, lemahnya struktur

pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya orientasi masa kini, dan

kurangnya kesabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana masa depan, perasaan

pasrah atau tidak berguna, tingginya anggapan terhadap keunggulan lelaki, dan berbagai

jenis penyakit kejiwaan.

6. Kebudayaan kemiskinan juga membentuk orientasi yang sempit dari kelompoknya,

mereka hanya mengetahui kesulitan-sulitan, kondisi setempat, lingkungan tetangga dan

cara hidup mereka sendiri saja, tidak adanya kesadaran kelas walau mereka sangat

sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status.

Kebudayaan kemiskinan merupakan adaptasi dan penyesuaian oleh sekelompok orang pada

(8)

mereka lebih banyak terbatas pada orientasi kekinian dominanya sikap rendah diri, apatis, dan

sempitnya pada perencanaan masa depan. Oscar Lewis (1955) menjelaskan bahwa kemiskinan

yang ia pahami adalah suatu sub-kebudayaan yang diwarisi dari generasi ke generasi. Ia

membawakan pandangan lain bahwa kemiskinan hanya masalah kelumpuhan ekonomi,

disorganisasi atau kelangkaan sumber daya. Kemiskinan dalam beberapa hal bersifat positif

karena memberikan jalan keluar bagi kaum miskin untuk mengatasi kesulitan-kesulitan

hidupnya. Teori kemiskinan budaya “(cultural poverty)” yang dikemukakan Oscar Lewis

menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan

yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti rasa malas, mudah menyerah pada nasib, dan

kurang memiliki etos kerja. Kemampuan terbatas pada orang-orang miskin, seperti birokrasi atau

peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumber daya.

kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan

ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si miskin untuk bekerja (malas),

melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan

kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.

2.7 Penelitian Yang Relevan

Penelitan yang relevan dengan penelitian ini yakni penelitian dari Tjutjup Purwoko

(2013) Penelitian ini meyangkut permasalah bagaimana faktor pembentukan anak jalanan yang

ada di kota Balikpapan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Deskriptif dengan

menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data dengan pengamatan secara

(9)

Dalam hasil penelitian ini menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab keberadaan anak

jalanan dikota Balikpapan meliputi : Pertama, faktor ekonomi yang meliputi: pendapatan, tempat

tinggal, kepemilikan barang, berdasarkan hasil penelitian dilapangan, tempat tinggal para anak

jalanan sebagian besar masih tinggal bersama orangtuanya. Penghasilan yang didapat oleh anak

jalanan cukup beragam antara lain: penjual Koran mendapatkan penghasilan Rp. 25.000 -

Rp.30.000/perharinya. Anak yang mengemis Rp. 50.000 - Rp.100.000 perharinya. Anak yang

bekerja sebagai pengamen dan buruh angkat di pasar mendapatkan Rp.30.000 - Rp.50.000

perharinya.

Kedua, Faktor sosial meliputi : aspirasi, partisipasi dalam masyarakat. Hal-hal yang

berkaitan dengan aspirasi dan pastisipasi mereka di dalam lingkungan masyarakat seluruh

informan tidak begitu mereka pikirkan , ada di dalam benak meraka semua ialah bekerja mencari

uang untuk membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka dan untuk memenuhui

kebutuhan pribadi mereka sendiri tanpa harus meminta/membebani keluarga mereka. Mulai dari

pagi hingga petang dan petang hingga dini hari semuanya mereka lakukan untuk bekerja di

jalanan. Tidak memikirkan bahaya yang mengancam setiap kali mereka bekerja.

Ketiga, faktor budaya meliputi: kebiasaan, keinginan untuk berusaha. Faktor budaya

kebiasaaan dan keinginan untuk berusaha dimaksudkan oleh penulis bahwa kegiatan bekerja

dijalanan yang mereka lakukan ini apakah ada unsur kebiasaan, paksaan ataukah keinginan atau

kesadaran individu masing-masing untuk membantu perekonomian keluarga minimal untuk

mencukupi kebutuhan sehari-hari dan keinginan mereka. Mereka tidak takut untuk berjualan di

pinggir jalan, mereka tidak malu untuk mengamen dijalanan atau sudut-sudut lampu merah,

(10)

keramaian kota, mereka mampu bekerja sebagai buruh angkat pasar, dan semua pekerjaan itu

dilakukan dengan suka cita.

Keempat, faktor pendidikan meliputi: tingkat pendidikan orangtua dan anak. Faktor

pendidikan juga merupakan salah satu faktor penyebab munculnya anak jalanan di kota

Balikpapan. Orang tua dari anak jalanan tidak memiliki tingkat pendidikan yang pada akhirnya

tidak memiliki pengetahuan dan keahlian untuk bersaing di busra kerja, mereka hanya bekerja

serabutan seadanya saja menjadi buruh angkat/buruh lepas. Rendahnya tingkat pendidikan

orangtua mereka dan pada akhirnya berimbas pada pekerjaan yang mereka diperoleh. Dan di

dukung lagi dengan kemampuan dan keahlian lain yang telah dimiliki oleh mereka yang telah

siap mengadu nasib di kota orang sebagai pendatang.

Penelitian lain dari Agustiar Muslim (2013) mempermasalahkan apa saja faktor dominan

anak menjadi anak jalanan di Keluruhan air Kecamatan Medan Maimun. Metode yang

digunakan tergolong penelitian tipe penelitian deskriftif dengan mengunakan teknik observasi,

wawancara, dan juga dengan menggunakan kuesioner. Adapun hasil dari penelitian ini adalah

sebagai berikut.

Pertama, adanya pengaruh yang kuat dari lingkungan sosial tempat responden tinggal,

hal ini terlihat pada alasan memilih melakukan kegiatan jalanan, sebanyak 67,87 % responden

menjawab mengikuti teman sebayanya. Hasil ini diperkuat pada sajian teman yang bekerja di

jalanan, yang menyatakan bahwa untuk turun kejalanan akibat terpengaruh teman sebayanya

yang juga bekerja dijalanan. Akibat pengaruh lingkungan sosial, dalam hal ini pengaruh teman

sebaya terhadap kecenderungan anak turun ke jalan, adalah dimana seorang anak kemudian

(11)

Kelurahan Aur demikian juga memberikan dampak terhadap keberadaan anak jalanan itu

sendiri. Dalam penelitian ini, dinyatakan bahwa masyarakat Kelurahan Aur terjebak pada

paradigma keberadaan anak jalanan adalah hal yang wajar. Akibatnya, walaupun masyarakat

mengetahui keberadaan anak jalanan, tidak ditemukan ada pelanggaran tertentu atau tindakan

untuk menghentikan kegiatan anak jalanan tersebut.

Kedua, faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi anak jalanan di Kelurahan Aur,

diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang saling berhubungan yakni inisiatif atau dorongan

dari anak itu sendiri, pola asuh keluarga, ekonomi keluraga. Ketiga faktor ini memberikan

pengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian anak menjadi anak jalanan di Kelurahan Aur.

Adanya inisiatif atau dorongan dari anak itu sendiri dalam membantu keluarganya, dimana

inisiatif anak tersebut berupa si anak menyadari keluaragnya miskin menjadi salah satu faktor

pendorong yang memunculkan anak untuk turun kejalan. Ditemukan sebuah gambaran yang

menjelaskan bahwa terdapat sebuah kesadaran dalam diri anak untuk turut serta dan ambil

bagian dalam mengurangi berbagai beban keluarga melalui cara turun kejalanan. Sederhananya,

anak menempatkan diri sebagai salah satu pihak atau aktor penunjang pendapatan orang tua. Hal

ini kemudian di dukung oleh kategori pola asuh keluarga yang signifikan mengurangi aktivitas

anak jalanan. Pola asuh orangtua yang kurang tersebut sepertinya kurangnya nasehat yang di

berikan oleh orangtua tentang bahayanya kehidupan jalanan.

Ketiga, faktor mengenai peluang pekerjaan yang menyebabkan responden memilih untuk

melakukan aktivitas di jalanan. Berdasarkan hasil penelitian ini, di temui bahwa seluruh

responden berada dalam kategori remaja dimana sejumlah 20 orang responden (88,96%) masih

berstatus sekolah dan sebagian besar diantaranya masih berada di tingkat sekolah dasar. Poin ini

(12)

mencari berbagai peluang pekerjaan yang tersedia di lingkungannya. Akibat, ketiadaan keahlian

tertentu dalam diri si anak menyebabkan ia memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan lain.

Kejadian ini kemudian menyebabkan si anak memilih cara lain untuk turun ke jalanan tanpa

harus diberatkan berbagai komponen seperti keahlian tertentu, kepemilikan ijazah, status

pendidikan yang rendah, dan lain-lain. Turun kejalanan merupakan pilihan yang menjanjikan

Referensi

Dokumen terkait

Logo terdiri dari logo campuran yang terdiri dari gambar dan text yang mana gambar dalam logo tersebut menggunakan 3 satwa unik di kebun binatang tersebut yaitu Cangak merupakan

134/PAN-PBJ-KEMENAG/X/2012 tanggal 22 Oktober 2012, maka dengan ini kami umumkan pemenang lelang untuk paket pengadaan Bantuan Wireless untuk Pondok Pesantren Sebanyak 54 Unit yaitu

U poljskim ogledima 2014, izvršena je evaluacija dvadeset tri inbred linije kukuruza razli č ite tolerantnosti na stres suše, pra ć enjem morfoloških osobina (visine biljke i

Luas CA Situ Patengan yang hanya 21,18 ha dan letaknya yang berbatasan dengan kawasan perkebunan dan kawasan hutan produksi Perum Perhutani, dapat menjadi ancaman bagi

Karya Kita Bandung, diperoleh informasi bahwa motivasi kerja karyawan pada saat ini cenderung menurun hal ini disebabkan oleh kurangnya penghargaan diri dan pengakuan akan

Telah dilaksanakannya kegiatan evaluasi penawaran atas kegiatan Pekerjaan Pengurukan Dan Pematangan Tanah Pengadilan Agama Tanjung Selor. Oleh karena hal tersebut, maka

Segala puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta hidyah-Nya yang telah dilimpahkan dan dikaruniakan kepada penulis sehingga dapat menuangkan sebuah

Bila air teh panas diaduk dengan sendok logam, sendok itu akan terasa lebih panas dari pada air teh itu diaduk dengan sendok yang terbuat dari