• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali (Studi Deskriptif Etnografi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Komunikasi Masyarakat Kampung Bali (Studi Deskriptif Etnografi Pola Komunikasi Masyarakat Suku Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1Paradigma Kajian

Keberadaan paradigma sangatlah diperlukan, karena paradigma

merupakan cara pandang yang akan digunakan oleh seorang peneliti dalam

melakukan penelitiannya. Menurut Harmon dalam (Moleong, 2006: 49),

paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan

melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas.

Sedangkan Baker dalam (Moleong, 2006: 49) mendefinisikan paradigma sebagai

seperangkat aturan yang membangun atau mendefinisikan batas-batas dan

menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar

berhasil.

Dalam penelitian ini paradigma yang digunakan adalah paradigma

Interpretif. Interpretif atau Interpretivisme adalah salah satu bagian dari

paradigma yang menolak keberadaan paradigma positivistik. Interpretivisme ini

berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa

sosial atau budaya yang didasarkan pada pengalaman orang yang diteliti.

Interpretivisme ini menuntut pendekatan holistik dan menyeluruh, mengamati

objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam

variabel-variabel guna mendapatkan pemahaman lengkap apa adanya, akrena

objek bukan mekanik tetapi humanistis, penelitian ini tidak bebas nilai, karena

memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai atas subjektif.

(Vardiansyah, 2008: 61).

Interpretivisme berangkat dari upaya mencari penjelasan tentang

peristiwa-peristiwa sosial budaya yang didasarkan pada perspektif dan

pengalaman orang yang diteliti. Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang

unik dan memiliki konteks dan makan yang khusus sebagai esesni dalam

memahami makna sosial.

Interpretif dibentuk oleh tiga pandangan dasar yaitu, hermeneutika,

fenomenologi dan interaksionalisme simbolik. Tiga padangan ini mendasari

(2)

menentukan fakta sosial sekaligus memperlakukan manusia tidak sebagai

benda-benda, lebih dari apa yang telah dicapai oleh post-positivisme awal.

Interpretivisme menurunkan motodologi penelitian yang dinamakan

grounded theory. Metode ini menurunkan kriteria bahwa data harus

dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif bukan kuantitatif, kemudian teori

yang dikembangkna bersifat membumi, serta kegiatan ilmu harus bersifat natural

apa adanya da menghindarkan penelitian yang diatur sebelumnya, baik melalui

desain penelitian yang kaku maupun situasi laboratoris, dan karenanya penelitian

lebih bersifat partisipatif daripada mengontrol sumber-sumber informasi.

Ditinjau dari aspek ontologis, interpretivisme menuntut pendekatan

holistik, menyeluruh yaitu mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak

diparsialkan dan tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapatkan

pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan

humanistis. Dari aspek epistemologis, interpretivisme menuntut menyatukan

subjek dengan objek penelitian serta subjek pendukungnya, karenanya pula

menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati

berprosesnya subjek pendukung lainnya. Dan dari aspek aksiologis, penelitian

interpretivisme tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang

benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008 : 61)

2.2Kajian Pustaka

Dalam setiap penelitian diperlukan kejelasan titik tolak atau landasan

dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya, untuk itu perlu disusun

kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari

sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001: 39-40). Teori

memiliki peran penting sebagai pendorong pemecahan masalah. Teori adalah

penyataan umum yang merangkum pemahaman kita tentang cara dunia belerja

(Severin & Tankard, 2008:12). Adapun teori-teori yang relevan untuk penelitian

(3)

2.2.1 Komunikasi

2.2.1.1Definisi Komunikasi

Secara etimologis istilah komunikasi dalam bahasa inggris yaitu

Communication berasal dari kata latin Communis, artinya sama. Maksudnya bila seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan sesuatu pihak, maka orang

tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan persamaan arti denagn pihak

lain yang menjadi lawan komunikasinya atau menyamakan dirinya dengan yang

diajaknya berkomunikasi. Dengan demikian diharapkan diharapkan akan

memperoleh suatu kesepakatan arti. (Lubis, 2011 :7)

Terdapat banyak defenisi mengenai komunikasi, yang mana defenisi

tersebut dinyatakan oleh para tokoh yang berasal dari latar belakang disipilin

ilmu yang berbeda-beda. Menurut Everett M. Rogers dalam ( Mulyana, 2010:6)

komunikasi adalah suatu proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada

suatu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.

Defenisi lain menurut Hovland dalam ( Mulayana, 2010: 69) komunikasi adalah

proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan

rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang

lain (komunikate).

Berkomunikasi merupakan satu hal yang mutlak bagi kehidupan

manusia, karena sifatnya sebagai makhluk sosial, dimana manusia yang satu

membutuhkan manusia lainnya. Dengan sifat manusia yang saling membutuhkan

satu sama lain maka terjadilah proses interaksi sosial, dimana mausia yang satu

berinteraksi dengan manusai lainnya dalam lingkungan sosial. Untuk melakukan

interaksi ini maka diperlukanlah berkomunikasi.

Sedangkan menurut Harorl D. Lasswell dalam (Mulyana, 2010: 69) Cara

yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab

(4)

2.2.1.2Unsur-Unsur Komunikasi

Dalam Mulyana (2010: 69-71) dijelaskan lima unsur komunikasi yang

saling bergantung satu sama lainnya berdasarkan definisi Lasswell, kelima unsur

tersebut yaitu, komunikator, pesan, saluran atau media, komunikan dan efek.

Komunikator (Source/ Sender/ Encoder/ Communikator/ Spekaer) adalah pihak yang berinisiatif atua mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi.

Sumber bisa berupa individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan

suatu negara. Untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan)

atauh bahkan dalam kepalanya (pikiran), sumber atau komunikator hatus

mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam seperangkat simbol verbal

dan atau nonverbal yang idealnya dipahami oleh penerima pesan.

Pesan (Message) adalah apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan nonverbal yang

mewaliki perasaan, nilai, gagasan, atau hal yang dimaksud oleh sumber. Pesan

mempunyai tiga komponen : makna, simbol yang digunakan untuk

menyampaikan makna, dan bentuk atau organisasi pesan. Simbol terpenting

adalah kata-kata (bahasa), yang dapat mempresentasikan objek (benda), gagasan,

dan perasaan, baik ucapan ( percakapan, diskusi, wawancara, ceramah) ataupun

tulisan ( surat, esai, artikel, novel, puisi, famflet).

Saluran atau media, adalah alat atau wahana yang digunakan sumber

untuk menyampaikan pesan kepada penerima. Saluran bisa jadi merujuk pada

bentuk pesan yang disampaikan kepada penerima, apakah saluran verbal atau

saluran nonverbal. Saluran juga merujuk pada cara penyajian pesan, apakah

langsung (tatap muka) atau kewat media cetak atau media elektronik. Surat

pribadi, telepon, selebaran, Sound System Multimedia, Overhead Projector,

semua dapat dikategorikan sebagai saluran komunikasi.

Penerima atau Komunikan (Receiver/ communican/ destination/ decoder/ audience/ listener/ interpreter) adalah pihak yang menerima pesan dari sumber.

Kelima, Efek yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut. Misalnya, penambahan pengetahun (dari yang tidak tahu menjadi tahu),

terhibur, perubahan sikap (dari yang tidak setuju menjadi setuju), perubahan

(5)

Sebenarnya masih ada unsur-unsur lain yang sering ditambahkan, seperti

umpan balik (feedback), gangguan atau kendala komunikasi (noise/barriers),

dan konteks atau situsi komunikasi. Dalam komunikasi terdapat banyak sekali

unsur yang terlibat. Kesemu unsur tersebut saling bergantung dan atau saling

tumooang tindih, namun diasumsikan terdapat unsur-unsur utama yang dapat

diidentifikasikan san dimasukan kedalam suatu model.

2.2.2 Etnografi Komunikasi

Etnografi Komunikasi adalah pengembangan dari antropologi lingustik

yang dipahami dalam konteks komunikasi. Studi ini dikenalkan pertama kali

oleh Dell Hymes pada tahun 1962, sebagai kritik terhadap ilmu lingustik yang

terlalu memfokuskan diri pada fisik bahasa saja. Menurut Ibrahim dalam

(Kuswarno 2008: 11) Definisi etnografi komunikasi itu sendiri adalah

pengkajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu

cara-cara bagaimana bahasa digunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda

kebudayaan.

Etnografi komunikasi (ethnography of communication) juga dikenal sebagai salah satu cabang ilmu dari antropologi, khususnya turunan dari

etnografi berbahasa ( Etnography of Speaking). Disebut etnografi komunikasi karena Hymes beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk

memberikan tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada

komunikasi bukan pada bahasa. ( Kuswarno, 2008: 11)

Hymes kemudian mendefinisikan etnography of speaking sebagai gabungan antara etnologi dan lingustik, suatu kaijain yang menyangkut situasi,

penggunaan, pola dan fungsi dari berbicara sebagai suatu aktivitas tersendiri.

Pada perkembangannya, Hymes mengubah istilah pendekatannya itu dari

ethnography of speaking menjadi etnography of communication. Kemudian pendekatan Hymes ini semakin dikenal luas dan siakui sebagai suatu kajain yang

penting dalam memnadang perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat

dengan kebudayaan (Kuswarno, 2008 : 13)

Etnografi komunikasi berakar pada istilah bahasa dan interaksi sosial

(6)

psikologi, sosiologi, linguistik dan antropologi. Etnografi komunikasi

difokuskan kepada kode-kode dan ritual-ritual.

Ibrahim dalam (Kuswarno, 2008; 13 ) mengatakan bahwa etnografi

komunikasi merupakan pendekatan terhadap sosiolinguistik bahasa, yaitu

melihat penggunaan bahasa secara umum dihubungkan dengan nilai-nilai sosial

dan kultural. Sehingga tujuan deskripsi etnografi adalah untuk memberikan

pemahaman global menganai pandangan dan nilai-nilai suatu masyarakat

sebagai cara untuk menjelaskan sikap dan perilaku anggota-anggotanya.

Pada etnografi komunikasi yang menajdi fokus perhatian adalah perilaku

komunikasi dalam tema kebudayaan tertentu. Adapaun menurut Effendy dalam

(Kuswarno 2008: 35) yang dimaksud dengan perilaku komunikasi menurut ilmu

komunikasi adalah tindakan atau kegitan sesorang, kelompok atau khalayak,

ketika terlibat dalam proses komunikasi.

Etnografi komunikasi sendiri sebenarnya sebuah metode penelitian

komunikasi yang beranjak dari paradigma kualitatif interpretif. Penelitian ini

biasanya memfokuskan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang

digunakan oleh manusia dalam suatu masyarakat tutur. Dengan demikian,

etnografi komunikasi membutuhkan alat atau metode penelitian yang bersifat

kualitatif untuk dapat memahami objek kajiannya.

Menurut Hymes dalam ( Kuswarno, 2008: 14) ruang lingkup kajian etnografi komunikasi adalah sebagai berikut :

1) Pola dan Fungsi Komunikasi (patterns and functions of communications).

2) Hakikat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech community).

3) Cara-cara berkomunikasi (means of communicating)

4) Komponen-kompenen kompetensi komunikatif (components of communicative competence)

5) Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial ( relationship of language to world view and social organization). 6) Semesta dan ketidaksamaan linguistik dan sosial ( linguistic and social

universals and inqualities).

Menurut Seville-Troike dalam ( Kuswarno, 2008: 15), yang menjadi fokus kajian etnografi komunikasi adalah masyarakat tutur (speech community), yang di dalamnya mencakup :

(7)

b. Cara-cara bagaimana pola komunikasi itu hidup dalam interaksi dengan komponen sistem kebudayaan yang lain.

Perilaku komunikasi yang lahir dari integrasi tiga keterampilan yang

dimiliki setiap individu, ketiga keterampilan itu terdiri keterampilan linguistik,

keterampilan interaksi dan keterampilan budaya, ketiganya disebut sebagai

kompetensi komunikasi yang dalam model etnografi disebut juga peristiwa

komunikasi yang menghasilakn pemolaan komunikasi.

Menurut Ibrahim dalam ( Kuswarno, 2008: 36) Secara spesifik, etnografi

komunikasi akan menghasilkan hipotesis mengenai berbagai cara, bagaimana

fenomena sosiokultural dalam masyarakat itu berhubungan dengan pola-pola

komunikasi atau cara-cara berbicara. Adapun fokus kajian dari etnografi

komunikasi adalah perilaku-perilaku komunikatif suatu masyarakat, yang pada

kenyataannya banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek sosiokultural, seperti

kaidah-kaidah interaksi dan kebudayaan.

Etnografi komunikasi memulai penyelidikannya dengan mengenali

perilaku-perilaku komunikasi yang khas, dan kemudia mengakhiri dengan

penjelasan pola-pola komunikasi, tentu saja dalam konteks sosiokultural (

Kuswarno, 2008: 36)

Hymes dalam (Effendy, 2002: 162) mengemukakan tahapan-tahapan

untuk melakukan penelitian etnografi komunikasi dalam suatu masyarakat tutur,

melalui penjelasan berikut :

Sebagai langkah awal untuk mendeskripsikan dan menganalisis pola komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, adalah dengan mengidentifikasikan perstiwa-peritiwa komunikasi yang terjadi secara berulang. Langkah selanjutnya menginterventarisasi komponen yang membangun peristiwa komunikasi, kemudia menemukan hubungan antar komponen tersebut.

Jadi, yang dimaksud tahapan penelitian dalam etnografi komunikasi adalah

seperti berikut ini :

1. Identifikasi peristiwa-peristiwa komponen komunikasi yang terjadi secara berulang ( recurrent events)

(8)

3. Temukan hubungan antarkomponen yang membangun peristiwa komunikasi, yang akan dikenal kemudian sebagai pemolaan komunikasi ( communication pattering).

2.2.3 Interaksionis Simbolik

Istilah Interaksionis Simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert

Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh

George Herbert Mead yang tidak lain adalah guru dari Herbert Blumer, yang

kemudian dimodifikasi oleh Blumer untuk tujuan tertentu. (Kuswarno, 2008: 21)

Teori interaksionis simbolik adalah suatu teori yang menerangkan perilaku manusia dengan menggunakan analisis makna. Menurut Blumer dalam (Kuswarno, 2008:22) Dalam melakukan analisis tersebut pendekatan interaksi simbolik mengacu pada tiga premis utama yaitu:

1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain.

3) Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung.

Menurut Herbert Blumer istilah interaksionisme simbolik menujuk pada

sifat khas dari interaksi antar manusia. Interaksionis simbolik adalah interaksi

yang menimbulkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran.

Simbolik berasal dari kata “symbol” yakni tanda yang muncul dari hasil

kesepakatan bersama. Teori interaksionis simbolik menggunakan paradigma

individu aktif yang proaktif. Perspektif interaksionis simbolik sebenarnya berada

dibawah payung perspektif fenomenologi dan interpretif (Mulyana 2003:29).

Penganut interaksionisme simbolik berpandangan bahwa perilaku manusia

pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia

sekelilingnya. Yang menjadi esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas

yang merupakan ciri khas manusia, yakni pertukaran simbol yang diberi

makna.

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya

adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Manusia

menggunakan simbol-simbol dalam merepresentasikan apa yang mereka

maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesama manusia. Komunikasi

(9)

makna penafsiran atas pesan atau perilaku orang lain oleh peserta

komunikasi). Interaksi simbolik memberikan banyak penekanan pada

individu yang aktif dan kreatif dalam proses pertukaran simbolnya.

2.2.4 Komunikasi Antarbudaya

2.2.4.1Definisi Komunikasi Antarbudaya

Edward T.Hall dalam (Lubis, 2012:1) mengatakan budaya dan

komunikasi tidak dapat dipisahkan. Oleh karena budaya tidak hanya menetukan

siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan,

makna yang dimiliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,

memperhatikan dan menafsirkan pesan. Komunikasi dan budaya seperti dua sisi

mata uang, yang mana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan

pada gilirannya komunikasipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan

atau mewariskan budaya.

Menurut Liliweri (2003:9) definisi yang paling sederhana dari

komunikasi antarbudaya adalah menambahkan kata budaya kedalam penyataan “

komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan”.

Menurut Mulyana dan Rakhmat dalam (Lubis, 2012:1-2) Sebenarnya seluruh

aktivitas perilaku manusia sangat bergantung kepada budaya tempat kita

dibesarkan. Konsekuensinya, kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila

kebudayaan beranekaragam, maka beranekaragam pula praktek komunikasi.

Definisi lain dari oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antarbudaya

merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antar pribadi yang dilakukan

oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda

(Lubis,2012:3). Komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran informasi

yang terjalin antara individu-individu yang memiliki latar belakang dan budaya

yang berbeda.

Edward T. Hall dalam ( liliweri 2003: 21) mengatakan “komunikasi

adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya ada dua jawaban untuk pertanyaan apakah komunikasi ada dalam kebudayaan

atau kebudayaan ada dalam komunikasi? Dan jawabannya adalah, pertama,

(10)

simbol-simbol komunikasi, dan kedua, hanya dengan komunikasi maka

pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis

jika ada komunikasi.

Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antarbudaya ( Interculture communication) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi

apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang

melaksanakan proses komunikasi. Komunikasi natarbudaya adalah proses

pertukaran informasi yang terjalin antara individu-individu yang memiliki latar

belakang dan budaya yang berbeda ( Lubis, 2012: 3)

2.2.4.2Dimensi-dimensi Komunikasi Antarbudaya

Menurut Young Yun Kim dalam (Lubis, 2012: 16) terdapat 3 dimensi

yang perlu kita perhatikan untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan

berbagai konseptual tentang kebudayaan komunikasi antarbudaya, ketiga

dimensi tersebut adalah :

1. Tingkat Masyarakat kelompok Budaya dari Partisipan-partisipan

Komunikasi.

Istilah komunikasi telah digunakan untuk menunjuk pada

macam-macam tingkat lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial.

Tingkat keorganisasian suatu kelompok budaya begitu luas, namun

daoat diklasifikasikan berdasarkan kepentingannya, hal tersebut

mencakupi :

- Kawasan-kawasan di dunia, seperti budaya Timur-Barat

- Sub kawasan-kawasan di dunia, seperti budaya Amerika

Utara-Asia Tenggara.

- Kelompok-kelompok etnik-ras dalam suatu negara, seperti di

Indonesia : budaya orang Melayu, Batak, tionghoa dal

alin-lain.

- Macam-macam sub kelompok sosiologis berdasarkan

kategorisasi jenis kelamin, kelas sosial. Seperti budaya orang

di penjara, buaya waria, budayaorang gelandangan, budaya di

(11)

- Sub kelompok keluarga, ini merupakan sub kelompok budaya

yag terkecil dimana seorang anak/ individu mengenali dan

mendapatkan pengalaman tentang suatu budayanya dari orang

tuanya.

2. Konteks Sosial Tempat Berlangsungnya Komunikasi

Dalam berkomunikasi antarbudaya, kita harus peka dalam melihat

situasi dan kondisi tempat berlangsungnya komunikasi tersebut. Antara

satu budaya dengan budaya yang lain tidak sama dalam emamndang

konteks sosial, sebab ada nilai-nilia yang mengatur dan berkembang

dalam masyarakat tersebut. Para pakar komunikasi antarbudaya

mengatakan konteks sosial seperti situasi formal-tidak forml, waktu,

suasana hati dan atribut lainnya menunjukan komunikasi simbolik yaitu

verbal dan nonverbal yang harus cepat direspon oleh para pelaku

komunikasi.

3. Saluran Komunikasi yang Dilalui oleh Pesan-Pesan Komunikasi

Antarbudaya.

Saluran komunikasi yang dimaksud dalam hal ini adalah saluran

komunikasi antarpribadi dan saluran komunikasi massa. Kalau

komunikasi antarbudaya tersebut berlangsung melibatkan individu dua

orang atau kelompok kecil maka saluran yang dilalui oesan adalah

saluran antarpribadi. Apabila komunikai antarbudaya tersebut

berlangsung dalma kelompok besar dan massa yang luas maka saluran

yang diperlukan adalah saluran media massa seperti televisi, radio, surat

kabar, majalah dal lainnya.

2.2.4.3Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya

Chaney & Martin dalam (Lubis, 2012: 5-6) mengatakan bahwa hambatan

komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala

sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif.

(12)

dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang di

tas air (above waterline) dan di bawah air. Faktor-faktor hambatan komunikasi antarbudaya yang berada di bawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup

sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hamabtan semacam ini adalah

persepsi (pesceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosogi bisnis ( business philosophy), aturan (rules), jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang ( subcultures group).

Sementara hambatan komunikasi di atas air (above waterline) adlah

hambatan komunikasi yang lebih mudah untuk dilihat karena banyak yang

berbentuk fisik. Menurut Chaney & Martin (dalam Lubis 2012, 6-9) hambatan

komunikasi antarbudaya yang berada diatas air (above waterline) ada sembilan, yaitu :

- Fisik (Physical)

Hambatan komunikasi semacam ini berasal dai hambatan waktu,

lingkungan, kebutuhan diri dan juga media fisik.

- Budaya (Cultural)

Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama dan juga

perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang

lainnya.

- Persepsi (Perceptual)

Jenis hambatan ini muncul karena setiap orang memiliki persepsi yang

berbeda-beda mengenai suatu hal setekah berinteraksi dan

berkomunikasi. Dengan demikian untuk mengartikan sesuatu setiap

budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.

- Motivasi (Motivasional)

Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari

pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yangmenerima

poesan ingin menerima pesan tersebut atau sedang malas dan tidak

punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.

(13)

Experiantal adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu

tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu

mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam

melihat sesuatu.

- Emosi (Emotional)

Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar.

Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi

yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.

- Bahasa (Lingustic)

Hambatan ini terjadi apabila pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau menggunakan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.

- Nonverbal

Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak

berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi.

- Kompetisi (Competition)

Hambatan ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan

kegiatan lalin sambil mendengarkan.

2.2.5 Pola Komunikasi

Pola Komunikasi adalah proses yang dirancang untuk mewakili

kenyataan keterpautan unsur-unsur yang dicakup beserta keberlangsungan, guna

memudahkan pemikiran secara sistematis dan logis. Pola komunikasi dibagi

menjadi tiga yaitu, komunikasi satu arah, komunikasi dua arah dan komunikasi

multi arah.

Menurut Effendy (2002 :32) Pola Komunikasi terdiri atas 3 macam

yaitu :

1. Pola Komunikasi satu arah adalah proses penyampaian pesan dari

Komunikator kepada Komunikan baik menggunakan media maupun

tanpa media, tampa ada umpan balik dari Komunikan dalamhal ini

(14)

2. Pola Komunikasi dua arah atau timbal balik (Two way traffic communication) yaitu Komunikator dan Komunikan menjadi saling tukar fungsi dalam menjalani fungsi mereka, Komunikator pada tahap

pertama menjadi komunikan dan pada tahap berikutnya saling

bergantian fungsi. Namun pada hakekatnya yang memulai percakapan

adalah komunikator utama, komunikator utama mempunyai tujuan

tertentu melalui proses Komunikasi tersebut, Prosesnya dialogis, serta

umpan balik terjadi secara langsung.

3. Pola Komunikasi multi arah yaitu Proses k omunikasi terjadi dalam

satu kelompok yang lebih banyak di mana Komunikator dan

Komunikan akan saling bertukar pikiran secara dialogis.

2.3 Model Teoritik

Gambar 2.3. Model Teoritik

-

Sumber : Peneliti, 2016

- Etnografi Komunikasi

- Interaksionis Simbolik

 Pola Komunikasi Komunikasi Masyarakat Hindu Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma.

 Hambatan Komunikasi yang dialami

Masyarakat Hindu Bali dalam Berinteraksi dengan Masyarakat yang Multietnis di Desa Cipta Dharma.

 Masyarakat Suku Bali Desa

Gambar

Gambar 2.3. Model Teoritik

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Limbah kulit umbi ubi kayu dapat diolah menjadi produk makanan dodol yang dapat disimpan pada suhu ruang dalam waktu yang relatif lama, sehingga penelitian ini

Pustakawan Menerima surat beserta borang pengesahan menarik diri daripada pengajian dari pelajar untuk mendapatkan pengesahan tiada denda/ pinjaman.. Perpustakaan untuk

Untuk mendukung standarisasi yang telah ditetapkan IEEE tersebut, pada tugas akhir ini dibuat antena mikrostrip array 2x2 patch persegi panjang dengan ditambahkan

Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut penulis membuat kerangka penelitian disertai beberapa hipotesa mengenai wallpaper “Ragnarok” Online Games versi Indonesia yaitu

Dari hasil pengujian diperoleh densitas CPO sebesar 0,9136 gr/cm 3. Dengan mengkonversi CPO menjadi biodisel melalui proses transesterifikasi, terjadi penurunan densitas

Adanya persaingan yang semakin ketat baik di pasar domestik dan pasar internasional mendorong banyak perusahaan untuk memaksimalkan kombinasi biaya produksi yang paling

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui efektifitas pelaksanaan pengelolaan sekolah efektif pada SMA Negeri 2 Tabanan dilihat dari variabel