• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Musica Ecclesia Reformata, Musica Ecclesia Semper Reformanda: Ibadah Kreatif dalam Rangka Memperingati Hari Reformasi Gereja T1 852012009 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Musica Ecclesia Reformata, Musica Ecclesia Semper Reformanda: Ibadah Kreatif dalam Rangka Memperingati Hari Reformasi Gereja T1 852012009 BAB II"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN TEOLOGIS DAN REPERTOAR

A. Mazmur 98

Mazmur 98 berisi pujian semesta kepada Allah atas karya keselamatan

yang dikerjakan-Nya melalui bangsa Israel. Dalam ibadah TAMG ini, mazmur ini

digunakan sebagai prelude sebelum ibadah dimulai sebab pada masa zaman

Perjanjian Lama, mazmur ini dipakai oleh kaum Lewi untuk memanggil bangsa

Israel beribadah di Bait Allah (pasal 1-3), serta mengajak seluruh alam untuk

memuji Tuhan (pasal 4-9).

Mazmur 98 yang digunakan untuk ibadah TAMG ini diambil dari buku

nyanyian Mazmur Jenewa. Mazmur Jenewa merupakan gagasan dari salah satu

bapak Reformasi Gereja, Johannes Calvin. Sesuai dengan salah satu semboyan

Reformasi Gereja, yakni Sola Scriptura, Calvin meyakini bahwa jemaat harus

menyanyikan syair-syair dari Alkitab saja1, oleh karena itu ia membuat Mazmur

Jenewa yang merupakan syairnya diambil dari kitab Mazmur namun dibuat dalam

bentuk berbait-bait. Calvin yakin bahwa bentuk ini (metrical psalm) merupakan

struktur yang paling mudah untuk dipahami untuk masyarakat pada masa tersebut.

Teks Mazmur 98 dalam Mazmur Jenewa ditulis oleh Clement Marot dan Theodore

de Beze, seorang pujangga pada masa tersebut. Satu kumpulan Mazmur yang

lengkap (dengan teks dan melodi mulai dari Mazmur 1-150) akhirnya diselesaikan

pada tahun 1562.

Melodi dari Mazmur Jenewa memiliki meter2 yang beragam, serta

memiliki ritme yang tidak beraturan dan/atau sinkopasi.3 Mazmur 98 melodinya ini

memiliki meter 9.8.9.8.D dan ditulis dalam modus hypo-Ionian4, syairnya

dinyanyikan secara silabik (satu suku kata untuk satu not), dan hanya dalam

1 Harry Eskew & Hugh T. McElrath, Sing with Understanding : An Introduction to Christian

Hymnology (Nashville, Tennesee : Church Street Press, 1995), 115 2 Jumlah suku kata per baris yang tetap dalam tiap bait.

3 Eskew & McElrath, 40

(2)

8

jangkauan satu oktaf. Hanya ada dua jenis not yang dipakai, yakni not yang

berdurasi panjang dan pendek, sedangkan tempo menyanyikannya antara 60-72

BPM. Menurut tradisi gereja reformasi pada masa itu, Mazmur Jenewa dinyanyikan

oleh jemaat secara unison tanpa iringan organ, meskipun pada era selanjutnya

gereja-gereja reformasi mulai menggunakan organ untuk mengiringi nyanyian

Mazmur. Psalter Hymnal Handbook bahkan menyarankan iringan organ dengan

register yang bright untuk mengiringi Mazmur 98 ini.

Melodi Mazmur 98 ini merupakan komposisi dari Louis Bourgeois (ca.

1510 – 1561), yang pada waktu itu datang dari Paris untuk menjadi pengarah musik

di Katedral Santo Petrus di Jenewa, dan meskipun melodi ini digunakan untuk

Mazmur 98, melodi ini pada awalnya dipakai untuk Mazmur 118. Oleh karena itu,

tune lagu ini diberi nama Rendez A Dieu, yang merupakan incipit (cuplikan

kata-kata pertama dari suatu bait) dari Mazmur 118 dalam bahasa Perancis.

Harmonisasi SATB yang dipakai dalam TAMG ini merupakan karya

dari Claude Glaudimel. Glaudimel membuat beberapa versi harmonisasi dari

Mazmur Jenewa, baik dalam tekstur homofon maupun polifon. Pada awalnya,

harmonisasi yang dibuat Glaudimel menempat melodi pada suara tenor, sesuai

dengan kebiasaan pada masa itu. Namun kemudian para komposer mulai

menuliskan harmonisasi yang menempatkan melodi pada suara sopran supaya

melodinya lebih mudah terdengar.

B. Allahmu Benteng Yang Teguh

Syair dari lagu “Allahmu Benteng Yang Teguh” merupakan gubahan dari

salah satu bapak Reformasi Gereja yakni Martin Luther. Luther menginginkan agar

jemaat berpartisipasi dalam liturgi, termasuk dalam menyanyi, sehingga ia menulis

lagu ini dalam bahasa lokal (Jerman) dan diberi judul “Ein Feste Burg ist unser

Gott”. Dalam penulisannya, Luther mengikuti tradisi Minnesinger dan

Meistersinger5 serta menggunakan barform, sebuah istilah dalam bahasa Jerman

yang merujuk pada sebuah puisi dengan jumlah bait lebih dari satu, dan setiap bait

(3)

9

mempunyai bentuk AAB.6 Gaya penulisan nyanyian jemaat ini berkembang di

kalangan gereja Lutheran dan di kemudian hari dikenal sebagai chorale. Syair lagu

ini menggambarkan perjuangan Luther melawan setan (bait 1), tentang kuasa iblis

(bait 3), dan kemenangan Kristus dan kerajaan Allah atas kuasa kejahatan (bait 4).7

Keempat bait lagu ini menggambarkan Allah sebagai benteng pelindung umatNya,

dan Kristus sebagai pahlawan yang membela jemaat dari serangan Iblis yang

hendak menghancurkan gereja. Isi syair lagu ini selaras dengan litani panggilan

beribadah dari Mazmur 46 yang mendahuluinya dalam liturgy TAMG ini.

Sekitar dua abad setelah Reformasi Gereja bergulir, komposer Johann

Sebastian Bach menggunakan melodi “Ein Feste Burg ist unser Gott”dalam salah satu cantata gubahannya. Bach mewarisi himne Luther dalam gaya isometric8,

berbeda dengan versi aslinya yang memiliki ritme yang banyak memiliki sinkopasi

dan tidak beraturan. Cantata bernomor BWV 80 tersebut ditulis Bach dalam rangka

perayaan Hari Reformasi Gereja, dan memuat keempat bait dari syair chorale yang

ditulis oleh Luther. Bach pertama kali menulis cantata tersebut saat ia berada di

Weimar pada tahun 1715, namun kemudian dia merevisi dan memperkaya cantata

ini pada sekitar tahun 1730.

Jika sebelumnya lagu Mazmur 98 memberikan nuansa abad pertengahan

dalam ibadah TAMG ini, maka penulis mengaransemen lagu “Allahku Benteng Yang Teguh” dengan gaya Barok untuk menggerakkan nuansa musik ke zaman berikutnya. Nuansa tersebut didapat dengan menggunakan teknik kontrapung,

basso continuo, dan instrumentasi yang sesuai dengan periode tersebut. Pada bait

keempat, penulis memakai harmonisasi yang diambil dari movement terakhir

cantata BWV 80, pada movement ini Bach juga memakai bait yang sama dari syair

yang ditulis oleh Luther.

6 Paul Westermeyer, Te Deum : The Church and Music (Minneapolis, Fortress Press), 148 7 Harry Eskew & Hugh T. McElrath, Sing with Understanding : An Introduction to Christian

Hymnology (Nashville, Tennesee : Church Street Press, 1995), 100

(4)

10 C. Hai Mari Sembah

Lagu “Hai Mari Sembah” yang memiliki judul asli “O Worship the King” adalah lagu yang berasal dari tradisi himnodi Inggris. Dalam sejarah himnodi

Inggris, lagu ini merupakan produk dari Oxford Movement, suatu gerakan

pemikiran yang ingin mengembalikan kejayaan gereja Anglikan pada masa

sebelumnya.9 Penggerak gerakan ini adalah John Keble dan John Henry Newman.

Dalam upaya membenahi ibadah gereja, mereka menggali kembali kekayaan

liturgis dari gereja Yunani dan Latin pada awal kekristenan. Robert Grant yang

hidup pada masa Oxford Movement mengambil syair yang ditulis oleh William

Kethe pada tahun 1561. Keenam bait dalam lagu ini memiliki metrik 10.10.11.11

dan berstruktur AABA. Syairnya merupakan paraphrase dari Mazmur 104, dan

Kethe memparallelkan tiap bait dari lagu ini dengan keenam hari dalam kisah

penciptaan dalam kitab Kejadian.

Selama berabad-abad, melodi yang dipakai dalam himne ini tidak pernah

diketahui dengan pasti siapa penciptanya. Namun pada awal abad ke-21 baru

diketahui bahwa melodi yang lazim dikenal dengan nama LYONS ini berasal dari

komposisi Scherzo con variazioni VB 193 oleh seorang komposer asal Swedia

bernama Joseph Martin Kraus (1756-1792)10. Penemuan ini sekaligus mengakhiri

anggapan sebelumnya, yakni bahwa Johann Michael Haydn (adik dari komposer

Franz Joseph Haydn) adalah komposer dari tune LYONS ini.

Dalam liturgi TAMG ini, lagu ini dibawakan dalam gaya musik klasik

dengan menggunakan tehnik arpeggio dalam iringan, dan dinamika yang kontras

dan variatif. Instrumen harpsichord yang dipakai pada lagu sebelumnya juga

digantikan dengan piano sesuai dengan perkembangan alat musik keyboard pada

zaman klasik.

9 Harry Eskew & Hugh T. McElrath, Sing with Understanding : An Introduction to Christian

Hymnology (Nashville, Tennesee : Church Street Press, 1995), 153

(5)

11 D. Di SalibMu ‘Ku Sujud

Lagu yang memiliki judul asli “I Am Coming to the Cross” ini syairnya

ditulis oleh William McDonald, seorang pengkhotbah dari Gereja Methodis

Episcopal di Amerika. Selain menulis himne, dia juga berjasa dalam

mengkompilasi lagu-lagu gospel ke dalam buku-buku nyanyian. McDonald

menulis lagu ini pada tahun 1870, menjelang masa pensiunnya di Monrovia. Lagu

ini memiliki struktur two-part song form, terdiri dari bagian bait dan refrein. Tiap

baris dalam syairnya memiliki tujuh suku kata, baik dalam bagian refrain maupun

baitnya. Syair lagu ini menceritakan tentang keberdosaan manusia (bait 1),

kerinduan akan pengampunan dari Tuhan (bait 2), penyerahan diri kepada Tuhan

(bait 3 & 4).

Dalam sejarah musik gereja Amerika, lagu ini lahir pada masa setelah era

camp meeting. Kebangunan rohani pada akhir abad ke-19 melahirkan jenis

nyanyian gereja yang baru, yakni gospel. Himne gospel menggunakan melodi

sederhana dalam tonalitas mayor dan memakai harmoni yang terdiri dari akor

tonika, subdominan, dan dominan.11

Melodi lagu ini ditulis oleh William Gustavus Fischer, seorang profesor

musik di Girard College di Philadelphia, Amerika Serikat. Melodi lagu ini memiliki

struktur ABAB, dimana melodi baitnya identik dengan melodi bagian refrein.

Dalam liturgi ibadah TAMG ini, lagu Di SalibMu ‘Ku Sujud dipilih menjadi

nyanyian pengakuan dosa karena syair liriknya yang sesuai dengan ritus tersebut.

Di antara bait ke-2 dan ke-4, nats dari Yohanes 5:24 dibacakan sebagai Berita

Anugerah. Pemilihan ayat ini disesuaikan juga dengan isi bait ke-4 dari lagu Di

SalibMu ‘Ku Sujud yang memberi penekanan pada janji keselamatan yang dikatakan oleh Yesus sendiri.

E. Puji Yesus

Francis (Fanny) Jane Crosby adalah penulis syair lagu “Puji Yesus”, atau

“Praise Him, Praise Him” dalam bahasa aslinya. Ia merupakan salah seorang

11 Harry Eskew & Hugh T. McElrath, Sing with Understanding : An Introduction to Christian

(6)

12

penulis syair terkemuka pada zaman gerakan himne gospel.12 Sampai akhir

hidupnya, ia menulis lebih dari 8500 syair himne13, dan melodi untuk syair lagu

“Puji Yesus” digubah oleh Chester G. Allen pada tahun yang sama syair himne ini ditulis. Allen adalah seorang guru dan komposer yang mengajar di sekolah-sekolah

umum di Cleveland, Ohio. Secara struktur, lagu ini terdiri dari bait dan refrein, serta

memiliki metrik yang tidak beraturan. Ketiga baitnya memiliki tema yang sama,

yakni pujian kepada Yesus Sang Juruselamat.

Sesuai dengan isi syair lagu ini, lagu ini digunakan sebagai respon umat atas

anugerah pengampunan yang telah diberikan Tuhan. Hal ini sejalan dengan salah

satu motto Reformasi Gereja, yakni Solus Christus – bahwa keselamatan hanya oleh karya penebusan dalam Kristus.

F. Hendaklah Kamu Penuh Dengan Roh

Lagu “Hendaklah Kamu Penuh Dengan Roh” karya Hermanus Arie van Dop (atau yang lebih dikenal dengan nama H.A. Pandopo) dinyanyikan oleh paduan

suara setelah khotbah selesai disampaikan sebagai peneguhan atas firman Tuhan

yang menjadi dasar khotbah. Lagu ini ditulis berdasarkan berdasarkan surat rasul

Paulus kepada jemaat di Efesus pasal 5 ayat 18b-21, dan nats Alkitab yang sama

menjadi dasar pemberitaan firman Tuhan dalam khotbah.

Pandopo merupakan seorang pakar musik gereja asal Belanda yang

melayani di Indonesia selama lebih dari 40 tahun. Pandopo mengkomposisi lagu ini

dalam bentuk one part song form yang terdiri dari tiga bait. Bait pertama berisi

ajakan untuk menyanyikan mazmur, kidung pujian, dan lagu rohani (Efesus

5:18b-19). Bait kedua berisi ajakan untuk mengucap syukur atas karunia dari Tuhan

(5:20). Bait ketiga berisi anjuran untuk merendahkan diri dalam takut akan Kristus

(5:21). Lagu ini diciptakan dalam tonalitas D minor, menggunakan tanda sukat 6/8,

dan dinyanyikan tanpa iringan.

12 Harry Eskew & Hugh T. McElrath, Sing with Understanding : An Introduction to Christian

Hymnology (Nashville, Tennesee : Church Street Press, 1995), 198

(7)

13 G. Bapa Kami

Di akhir doa syafaat, jemaat memanjatkan Doa Bapa Kami dengan cara

dinyanyikan. Melodi lagu ini digubah oleh Untung Ongkowidjaja, seorang hamba

Tuhan yang pernah melayani sebagai pendeta di kalangan Gereja Kristen Indonesia

(GKI). Ongkowidjaja juga dikenal sebagai seorang pencipta lagu nyanyian jemaat,

beberapa lagu ciptaannya telah disertakan dalam buku nyanyian Kidung Jemaat,

Nyanyikanlah Kidung Baru, dan Pelengkap Kidung Jemaat. Syair lagu diambil dari

doa yang diajarkan sendiri oleh Yesus Kristus dalam Matius 6:9-13. Secara struktur,

lagu ini lebih bersifat through-composed, dimana tidak ada bagian yang berulang

dari awal sampai akhir. Meskipun demikian, dalam lagu ini terdapat penggunaan

sequence dan motif ritmik yang berulang sehingga lagu ini lebih mudah untuk

dimengerti, dipelajari, dan dinyanyikan oleh jemaat.

H. Ucap Syukur Pada Tuhan

Lagu “Ucap Syukur Pada Tuhan” merupakan lagu yang melodinya berasal dari lagu tradisional Sangihe Talaud, yakni “Dala Su Pungu Tagahi”. Lagu aslinya berisi mengenai filosofi hidup yang dikemas dalam pantun jenaka.

Syair lagu ini ditulis oleh Helene Salamate Joseph, seorang hamba Tuhan

yang pernah melayani sebagai pendeta dalam sinode Gereja Masehi Injili di

Sangihe Talaud (GMIST). Syair lagu yang terdiri dari 3 bait ini berisi ajakan untuk

mengucap syukur dan memuji Tuhan atas keselamatan yang telah dianugerahkan

olehNya (bait 1), atas kasih setia Tuhan (bait 2), serta atas kuasa Tuhan yang kekal

(bait 3). Oleh karena itu, lagu ini dipakai sebagai lagu ucapan syukur yang

dinyanyikan pada saat umat memberikan persembahan.

Lagu ini dibawakan dengan menggunakan iringan kolintang, yang

merupakan alat musik tradisional dari Minahasa, Sulawesi. Sulawesi merupakan

pulau besar yang secara geografis dekat dengan Sangihe Talaud. Selain itu, untuk

lebih menghadirkan kesan musik daerah Sangihe Talaud, instrumen flute,

trombone, trumpet, tuba dan perkusi digunakan untuk men-simulasikan kelompok

(8)

14 I. Pujilah Tuhan, Umat Anugrah

Syair lagu “Pujilah Tuhan, Umat Anug’rah”, atau “Sing Praise to the Lord, You People of Grace” dalam judul aslinya, ditulis oleh Martin E. Leckebusch. Leckebusch lahir pada tahun 1962, dan telah menulis lebih dari 50 syair himne.

Syair lagu ini merupakan paraphrase dari pasal terakhir dalam kitab Mazmur, yakni

Mazmur 150, yang berisi ajakan untuk memuji Tuhan dengan musik, tarian, dan

nyanyian. Lagu ini terdiri dari dua bagian, yakni bait dan refrein. Bagian bait-nya

memiliki metric 10.10.11.11, sedangkan refreinnya merupakan pujian kepada

Tuhan dengan mengulang-ulang kata “haleluya”.

Melodi lagu ini digubah oleh komposer dari Asia, yakni Swee Hong Lim.

Lim adalah seorang pakar musik liturgis, dan dia juga menciptakan melodi-melodi

lagu untuk himne. Tune untuk lagu ini diberi nama “Chu Leung” dan ditulis dalam

tonalitas F major dan sukat 3/4.

Dalam tata ibadah TAMG ini, lagu “Pujilah Tuhan Umat Anug’rah”

merupakan nyanyian pengutusan. Lagu ini mengingatkan umat agar tidak berhenti

memuji Tuhan dalam keseharian mereka, tidak hanya pada saat mereka beribadah

di gereja. Syair lagu ini juga menyatakan bahwa umat Kristen dapat memuji Tuhan

dengan berbagai alat musik, tarian, dan nyanyian.

J. Nyanyian Respon Umat

Selain lagu-lagu di atas, ada nyanyian-nyanyian pendek yang menjadi

respon umat dalam ibadah TAMG ini. Setelah pengkhotbah menyanyikan votum,

jemaat menyambutnya dengan menyanyikan “Amin” dari Kidung Jemaat no.478c.

Pembacaan firman Tuhan dari Efesus 5:19 disambut dengan “Haleluya” dari Kidung Jemaat no. 473b. Di akhir ibadah, berkat Tuhan disambut jemaat dengan

menyanyikan “Haleluya Amin” yang diambil dari lagu “Hallelujah Amen” karya Nolan Williams Jr, seorang pengkhotbah, teolog, dan musikolog dari Amerika.

Lagu ini dipilih sebagai respon umat atas berkat Tuhan sebagai pernyataan

komitmen untuk terus memuji Tuhan di setiap kata dan karya dalam hidup

Referensi