i ABSTRAK
Takharuj (keluar) dari bagian warisan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk (mengundurkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian warisan dengan memberikan suatu prestasi. Hal ini tentu berpotensi terjadinya masalah di dalam keluarga pewaris. Sebagaimana yang tercantum dalam hasil Ijtihad dari Ibnu ‘Abbas r.a tentang membolehkan adanya perjanjian takharuj dan Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir pasal 48 yang membenarkan takharuj (keluar) dari bagian warisan. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang mendorong ahli waris mengundurkan diri, bagaimana status harta warisan yang menjadi ahliwaris yang mengundurkan diri, dan bagaimana akibat hukum dari ahli waris yang mengundurkan diri.
Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, dengan metode pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Data sekunder dikumpulkan meliputi Undang-undang, hasil Ijtihad para ulama, peraturan-peraturan dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan data primer untuk mendukung data sekunder yang diperoleh dari wawancara dengan ahli waris yang mengundurkan diri dari bagian warisan, di Banda Aceh.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor yang mendorong ahli waris mengundurkan diri adalah karena adanya rasa saying dan rasa ingin membantu kepada ahli waris yang tidak mampu dalam hal ekonomi, didalam fiqih Islam dibolehkan asal dengan sukarela, seperti yang tercantum dalam pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “para ahli waris sepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing mengetahui bagiannya”. Status harta warisan ahli waris yang mengundurkan diri menjadi milik dari ahli waris yang tidak mengundurkan diri. Akibat Hukum ahli waris yang mengundurkan diri adalah setiap ahli waris yang akan mengundurkan diri tidak dapat mengundurkan diri apabila belum mengadakan perdamaian antara semua ahli waris, menurut pasal 183 Kompilasi Hukum Islam.
ii ABSTRACT
Takharuj (withdrawal) is the withdrawal of an heir from an inheritance of an agreement made by heirs in receiving a part of inheritance by giving a kind of performance. This condition will, of course, cause a problem in the heir’s family as it is stipulated in the outcome of the ijtihad (individual interpretation and judgement) of Ibnu ‘Abbas r.a. on the permision for takharuj (withdrawal) agreement and of Egypt’s Inheritance Law, Article 48, which justifies takhruj (withdrawal) from a part of inheritance. Therefore, it is necessary to do a study on what has caused an heir to withdraw, how about the status of the inheritance of the heir who withdraws, and how about the legal consequence of the heir who withdraws.
The research was descriptive analytic with judicial normative and judicial empirical approaches. Secondary data were gathered by using legal provisions, the outcome of the ijtihad of ulama (the Islamic scholars), regulations, and books which were related to the subject matter of the research. Primary data which was used to support secondary data were gathered by conducting interviews with the heirs who withdrew from the part of the inheritance in Banda Aceh.
The result of the research showed that the factor which caused heirs to withdraw was that he loved the other destitute heirs and wanted to help them. In the Islamic fiqh (laws dealing with ritual obligation), it is allowable when it is done voluntarily as it is stipulated in Article 183 of the Compilation of the Islamic Law which states that “the heirs agree to reconcilein the distribution of the inheritance after each of them kows his own share.” The status of the inheritance of the heir who has withdrawn becomes the share of those who do not withdraw. The legal consequence is that a heir cannot withraw before there is the reconciliation among all heirs according to Article 183 of the Compilation of the Islamic Law.