BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.
Kebutuhan jagung dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan industri pangan dan pakan. Kelangkaan
bahan bakar fosil mendorong berbagai negara mencari energi alternatif dari bahan
bakar nabati (biofuel), diantara menggunakan jagung untuk dijadikan bioetanol sebagai substitusi bahan bakar minyak (premium). Hal tersebut akan
meningkatkan kebutuhan akan jagung (Hidajat, 2009).
Jagung, selain sebagai bahan makanan pokok di beberapa daerah, juga
merupakan bahan baku industri pangan dan pakan, sehingga pengembangan
bioethanol dari jagung perlu diikuti dengan peluasan areal tambahan dari yang ada
saat ini, sehingga tidak mengganggu pasokan jagung untuk industri pangan dan
pakan.
Produktifitas tanaman pangan khususnya jagung masih perlu ditingkatkan
dan masih relatif rendah, salah satu penyebab rendahnya produktifitas tersebut
adalah penggunaan benih oleh petani. Penggunaan benih yang berasal dari seleksi
tanaman sebelumnya sangatlah rentan terhadap penyakit.
Salah satu cara pengendalian yang sering menjadi tumpuan cara penanganan
penyakit, adalah penggunaan pestisida kimiawi dan masih merupakan pilihan
utama petani, namun penggunaan masih belum bijaksana. Akibatnya terjadi
perubahan ekologi yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dan
penggunaan pestisida yang tidak bijaksana adalah resurjensi (peningkatan penyakit), resistensi (peningkatan ketahanan penyakit), dan keracunan pada pengguna pestisida, binatang piaraan, satwa liar, organisme bukan sasaran lainnya
dan lingkungan (Arsensi, 2012).
Setelah generasi pestisida Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane (DDT) dan sejenisnya dianggap mencemari lingkungan, muncul pestisida generasi baru yang
dianggap lebih ramah lingkungan, yaitu golongan organofosfat. Walaupun masuk
ke Indonesia pada awal 1970, sebenarnya jenis pestisida ini sudah diperkenalkan
di dunia sejak 1950, di antaranya diklorfos, parathion, malathion, dimeton, schradan, dan Tetraethylpyrophosphate (TEPP). Pada saat ini diperkenalkan beberapa jenis pestisida baru, antara lain golongan karbamat, yaitu karbaril dan
propoxur. Sebenarnya jenis ini telah diperkenalkan di dunia sejak 1960 dan baru
saat itu masuk ke Indonesia (Gunandini, 2006).
Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan tentang
pestisida dan dampak negatifnya terhadap lingkungan, Carson (1962) dalam
bukunya yang berjudul “Silent Spring” telah membuka mata dunia akan bahaya pestisida, khususnya DDT. Dampak negatif pestisida tidak hanya terbatas pada
daerah tempat pestisida tersebut digunakan, namun meluas melalui rantai
makanan yang dikenal dengan istilah magnification effect atau efek bola salju; binatang kecil seperti plankton yang tercemar pestisida akan dikonsumsi oleh
predator yang lebih besar dan seterusnya, yang akhirnya sampai ke hewan besar,
termasuk manusia. Dari isu tersebut, pada tahun 1969 penggunaan DDT dan
Dampak yang tidak diinginkan dari pestisida kimiawi, mendorong
masyarakat untuk mencari kembali cara-cara pengendalian yang lebih aman dan
akrab lingkungan. Salah satu cara yang dianggap memiliki potensi untuk
diterapkan adalah penggunaan pestisida nabati berupa ekstrak tembakau.
Pestisida nabati merupakan produk alam yang berasal dari tumbuhan yang
mengandung bioaktif seperti alkaloid senyawa skunder yang jika diaplikasikan
ke jasad sasaran (hama) dapat mempengaruhi sistem syaraf, terganggunya
reproduksi, keseimbangan hormon, prilaku berupa penarik / pemikat, penolak,
mengurangi nafsumakan dan terganggunya sistem pernafasan.
Penelitian yang dilakukan Arsensi (2012), menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak daun sirih cenderung menghasilkan diameter tongkol jagung manis yang
lebih besar dan berat tongkol yang lebih berat dibandingkan dengan perlakuan
tanpa pemberian ekstrak daun sirih. Penelitian yang dilakukan Rugaya et al.
(2002) menunjukkan bahwa semua pestisida semua pestisida yang diuji (daun
tembakau, daun nimbi, daun srikaya, daun sirsak, daun sereh, kulit biji jambu,
mete dan cengkeh) memperlihatkan efektifitas terhadap penggerek batang jagung
Ostrinia furnacalis, namun yang paling efektif adalah pestisida nabati yang berasal dari daun tembakau. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
semua pestisida yan diujikan tidak memperlihatkan pengaruh terhadap musuh
alami.
Untuk mengetahui keragaman hama pada suatu pertanaman dapat
dilakukan dengan memasang perangkap kuning (yellow trap). Jebakan ini didasari sifat serangga yang menyukai warna kuning mencolok. Warna kuning itu mirip
sehingga serangga yang hinggap akan lengket sampai mati. Perangkap kuning
ampuh memikat hama golongan aphid, kutu, dan tungau. Hal tersebut juga dijadikan indikator populasi hama di sekitarnya.
2. Perumusan Masalah.
Sejalan dengan meningkatnya penggunaan pestisida kimiawi di areal
pertanian mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan, untuk itu masalah
yang ingin diteliti dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaruh aplikasi pestisida kimiawi terhadap keragaman dan
kelimpahan hama tanaman jagung (Zea mays).
b. Bagaimana pengaruh aplikasi pestisida nabati terhadap keragaman dan
kelimpahan hama pada tanaman jagung (Zea mays).
c. Bagaimana pengaruh aplikasi yellow trap terhadap keragaman dan kelimpahan hama pada tanaman jagung (Zea mays).
3. Tujuan Penelitian.
Tujuan Penelitian ini adalah :
a. Untuk menganalisis pengaruh aplikasi pestisida nabati terhadap keragaman
dan kelimpahan hama tanaman jagung (Zea mays).
b. Untuk menganalisis pengaruh aplikasi pestisida kimiawi terhadap
keragaman dan kelimpahan hama tanaman jagung (Zea mays).
c. Untuk menganalisis pengaruh yellow trap terhadap keragaman dan kelimpahan hama tanaman jagung (Zea mays).
d. Untuk membandingkan pengaruh pestisida nabati, pestisida kimiawi dan
4. Hipotesis Penelitian.
Hipotesis Penelitian yang digunakan adalah ada perbedaan respons hama
tanaman jagung (Zea mays) terhadap pestisida nabati, pestisida kimiawi dan