• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Emotional Labor terhadap Kesejahteraan PsikologisKaryawan Perbankkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Emotional Labor terhadap Kesejahteraan PsikologisKaryawan Perbankkan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II LANDASAN TEORI

A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS

1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang

mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh dari potensi

psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerma

kekuatan dan kelemahan diri dengan apa adanya, memiliki tujuan hidup,

menjadi pribadi yang mandiri, menggembangkan relasi yang positif dengan

orang lain, mampu mengendalikan lingkungan dan terus bertumbuh secara

personal. Konsep Ryff berawal dari adanya suatu keyakinan bahwa kesehatan

yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja. Ia juga

menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang

berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam

kehidupan sehari hari serta mengarah pada ungkapan perasaan perasaan

pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari

pengalamannya (Ryff & Keyes, 1995).

Menurut Lawton (1983) kesejahteraan psikologis merupakan gambaran

seseorang mengenai hidup yang berkualitas yang dianggap baik atau

memuaskan. Sedangkan menurut Bradburn (1969) juga menyatakan bahwa

seorang akan memiliki tingktat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi bila

(2)

sebaliknya. Secara umum kesejahteraan psikologis diartikan sebagai kepuasan

hidup, kebahagiaan dan pertumbuhan pribadi (Jarden, 2012). Selanjutnya,

Huppert (2009) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan

perpaduan antara feeling good dengan keberfungsian yang efektif.

Ryff (1989) mengemukakan karakteristik orang yang memiliki

kesejahteraan psikologis merujuk kepada pandangan Rogers tentang orang

yang berfungsi penuh (fully-functioning person) pandanganMaslow mengenai

konsep aktualisasi diri (self-actualization) adalah keinginan individu untuk menyempurnakan diri berdasarkan potensi yang dimilikinya, pandangan Jung

tentang individuasi, konsep Allport yang menjelaskan tentang kematangan.

Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagian,

kepuasan hidup dan tidak adanya gejala gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut

Bradburn (1989) kebahagian merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis

dan merupakan suatu tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap individu.

Ryff (1989) menjelaskan konsep kesejahteraan psikologis sebagai

suatu kondisi dimana individu dapat menerima segala kelebihan dan

kekurangannya, menggembangkan potensi diri secara berkelanjutan, memiliki

tujuan hidup dan menemukan kebermaknaan hidup, membangun hubungan

positif dengan orang lain mampu mengatur lingkungan secara efektif sesuai

dengan kebutuhannya, serta memiliki kemampuan dalam menentukan tindakan

sendiri.

Kesejahteraan psikologis juga merujuk kepada bagaimana individu

(3)

mereka untuk memenuhi aspek-aspek tertentu di dalam kehidupan mereka,

seperti hubugan baik dengan orang lain, pekerjaan maupun dukungan dari

orang lain (Flouri & Buchanan, 2003; Wilkinson 2004). Selanjutnya

kesejahteraan psikologis di defenisikan sebagai kebahagiaan, kepuasan hidup

dan pertumbuhan pribadi (Jarden, 2012).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan

psikologis adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan

bahagia, adanya kepuasan hidup. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh penerimaa

diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi,

penguasaan lingkungan dan otonomi.

2. Perkembangan Konsep Kesejahteraan Psikologis

Ryan & Deci (2001) mengemukakan dua perspektif mengenai

kesejahteraan psikologis, yang pertama pendekatan hedonic, yang

mendefenisikan well being sebagai kesenangan atau kebahagian dan pendekatan eudaimonic, yang berfokus pada realisasi diri, ekspresi personal

dan tingkat dimana individu mampu mengaktualisasikan kemampuannya.

Perspektif hedonic ini memandang bahwa tujuan hidup yang paling utama adalah kebahagian. Pandangan dominan diantara ahli psikologi yang

beraliran hedonic adalah kesejahteraan tersusun atas kebahagian subjektif dan

berfokus pada pengalaman yang mendatangkan kenikmatan. Diener dan Lucas

(2000) mengembangkan model pengukuran untuk mengevaluasi rangkaian

(4)

subjective well-being. konsep subjective well-being berasal dari konsep well-being dari perspektif hedonic. Subjective well-being terdiri dari tiga aspek

yaitu kepuasan hidup, adanya afek positif dan tidak adanya afek negatif.

Ketiga aspek ini seringkali disimpulkan sebagai konsep kebahagiaan.

Perspektif eudaimonic ini merumuskan bahwa kesejahteraan psikologis dalam konsep aktualisasi potensi manusia dalam menghadapi tantangan hidup

(Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002). Waterman (1993) mengatakan bahwa

eudaimonic terdiri dari pemenuhan atau menyadari siapa dirinya sebenarnya. Berdasarkan persepktif eudaimonic, laporan subjective seseorang mengenai

perasaan kebahagiaan, keberadaan efek efek yang positif dan kepuasan hidup

yang dirasakan pada saat kini atau pada waktu yang spesifik tidak berarti

bahwa orang tersebut baik secara psikologis ataupun baik secara sosial (Ryan

& Deci, 2001).

Waterman (1993) mengemukakan bahwa konsep kesejahteraan

psikologis eudemonic berfokus pada bagaimana manusia hidup dalam true self (diri mereka yang sebenarnya). Ia juga menjelaskan bahwa eudaimonic

akan muncul apabila aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh seseorang berjalan

dengan nilai nilai yang dimilikinya dan orang tersebut secara penuh terlibat di

dalamnya.

Akitivitas akitivitas hedonic yang dilakukan dengan mengejar kenikmatan dan menghindari kesakitan menghasilkan kesejahteraan yang

bersifat sementara yang semakin lama akan semakin memudar sensasinya

(5)

dapat mempertahankan dalam waktu yang relative lama dan konsisten (Steger,

Kashdan & Oishi, 2009). Seseorang akan merasakan kebahagian dan kepuasan

hidup yang lebih lama ketika individu mengalami pengalaman membina

hubungan yang baik dengan orang lain dan merasa menjadi bagian dari

kelompok tertentu, dapat menerima dirinya sendiri dan memiliki tujuan hidup

(Steger, Kashdan & Oishi, 2009). Pandangan eudaimonic mengenai kesejahteran ini kemudian menjadi dasar munculnya kesejahteraan psikologis.

Ryff dan Keyes (1995) membedakan antara kesejahteraan psikologis

dan subjective psychological well-being. Kesejahteraan psikologis

merepresentasikan perspektif eudaimonic, sedangkan subjective psychological well-being merepresentasikan perspektif hedonism (Ryan & Deci, 2001). Kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang multidimensional

yang terdiri dari enam dimensi yang menggambarkan aktualisasi diri manusa

yaitu penerimaan diri, otonomi, pertumbuhan pribadi, lingkungan, tujuam

hidup, penguasaaan lingkungan dan hubungan yang positif dengan orang lain

(Ryan & Deci, 2001).

3. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) mengemukakan bahwa konsep kesejahteraan psikologis

terdiri dari enam dimensi yaitu: dimensi penerimaan diri (self-acceptance),

hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others),

(6)

a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Dimensi ini di artikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan

mental, kematangan, berfungsi secara optimal dan aktualisasi diri.

Dimensi penerimaan diri ini berkenaan dengan sikap individu terhadap

diri sendiri dan mengenai kehidupannya di masa lalu, serta

menunjukkan sikap dalam memandang kekurangan dan kelebihan

dengan segala batasan-batasan yang dimiliki dalam dirinya. Individu

yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap

yang positif terhadap diri sendiri, menerima dan mengetahui segala

aspek yang ada pada dirinya, baik kelebihan dan kekurangan yang ia

punya serta juga memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di

masa lalu. Sebaliknya, individu yang memiliki penerimaan diri yang

kurang baik akan memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri

dan kehidupan masa lalunya, kecewa terhadap apa yang terjadi di masa

lalu serta keinginan untuk tidak menjadi dirinya.

b. Hubungan Positive dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, saling

percaya dengan orang lain, memuaskan, serta memungkinkan untuk

timbulnya empati dan intimasi. Individu yang memiliki hubungan

positive yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki

hubungan yang hangat pada orang lain, memuaskan dan saling percaya

(7)

memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dan menerima

dalam hubungan sesama manusia. Sebaliknya, individu yang hanya

memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain akan susah untuk

bersikap hangat pada orang lain, tidak terbuka dan memberikan sedikit

perhatian terhadap orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang

baik dalam dimensi ini.

c. Otonomi (Autonomy)

Dimensi ini mencerminkan individu yang memiliki sikap

kemandirian, kekukuhan terhadap standar tersendiri dan kemampuan

untuk menentukan tindakan sendiri tanpa dibebankan oleh tekanan

sosial. Ciri ciri individu yang menunjukkan terpenuhinya dimensi

otonomi adalah mandiri serta tidak terbebani oleh tekanan sosial dalam

berpikir dan bertindak. Namun individu yang terlalu memikirkan

pendapat orang lain dan bergantung pada orang lain untuk mengambil

keputusan akan menandakan bahwa individu tersebut belum memiliki

tingkat otonomi yang baik.

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih

atau menghasilkan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur

lingkungan yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini

ditandai dengan individu yang memiliki kemampuan untuk memilik

dan menciptkan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan

(8)

peluang yang ada dilingkungannya. Individu juga akan mampu

menggembangkan dirinya secara kreatif yang melalui aktivitas fisik

maupun mental. Sebaliknya, jika inidvidu kurang dapat menguasai

lingkungannya akan mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari

hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa

yang ada diluar dirinya.

e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Dimensi ini menekankan pada pentingnya memiliki tujuan.

Dimensi ini juga menggambarkan seorang individu yang memiliki

kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki

tujuan hidup yang baik akan memiliki target dan cita cita serta merasa

bahwa baik kehidupan dimasa lalu dan sekarang memiliki makna

tertentu. Individu juga akan mampu memegang teguh kepercayaan

tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sebaliknya,

individu yang kurang memaknai hidup, tidak memiliki tujuan dalam

hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang

memiliki tujuan hidup yang baik.

f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)

Dimensi ini meliputi potensi yang dimiliki oleh individu yang

berkaitan dengan perkembangan diri secara berkelanjutan dan

keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang

memiliki nilai positif dalam dimensi ini akan memiliki keinginan untuk

(9)

tingkah laku kearah yang positif dari waktu ke waktu dan menyadari

potensi-potensi yang ia miliki. Sebaliknya, individu yang memiliki

kekurangan dalam dimensi ini akan memandang dirinya sebagai

seorang yang tidak dapat berkembang, tidak merasakan adanya potensi

yang positif dalam dirinya.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu :

a. Usia

Ryff (1998) menemukan bahwa usia menjadi salah satu faktor

yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Peningkatan pada

aspek usia yang semakin dewasa terjadi pada aspek penguasaan

lingkungan, otonomi, penerimaan diri dan hubungan positif.

Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi akan

menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan

usia dewasa.

b. Gender

Perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis antara pria dan

wanita dipengaruhi oleh stereotype gender yang cenderung

menggambarkan pria adalah sebagai sosok yang agresif dan

mandiri sedangkan wanita adalah sosok yang pasif, sensitive

terhadap perasaan orang lain dan tergantung (Papalia, Fedlman &

(10)

besar wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada pria

pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

c. Tingkat Pendidikan

Ryff, Magee, Kling & Wling (1999) menemukan bahwa tingkat

pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kesejahteraan

psikologis yang dimiliki individu. Individu yang memiliki tingkat

pendidikan yang lebih baik memiliki tingkat kesejahteraan

psikologis yang baik pula.

d. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan

diri, tujuan hidup, pertumbuhan diri dan penguasan lingkungan.

Status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap kesejahteraan

psikologis seseorang. Individu dengan tingkat pengahasilan tinggi,

status menikah dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan

memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.

e. Lingkungan Pekerjaan

Fisher (1993) menyebutkan bahwa lingkungan pekerjaan, baik

itu lingkungan kelompok kerja ataupun perusahaan akan

menyebabkan timbulnya kebosanan. Page (2005) menyatakan

bahwa faktor-faktor pekerjaan seperti jam kerja, kondisi kerja,

keamanan kerja, gaji akan berpengaruh terhadap kesejahteraan

(11)

f. Budaya

Faktor lainnya yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis

seseorang adalah budaya. Berdasarkan dari penelitian yang telah

dilakukan oleh Lu (2008), budaya seseorang akan mempengaruhi

cara individu tersebut memaknai kebahagiaan. Hal ini disebabkan

karena budaya memegang pernanan penting dalam membentuk

cara seseorang berpikir serta cara mengatasi masalah masalah yang

di dapatkan di dalam kehidupan sehari-hari.

g. Kepribadian

Kepribadian seseorang juga ternyata mempengaruhi

kesejahteraan psikologis. Huppert (2009) mengemukakan bahwa

kepribadian kepribadian extraversion dan neuroticism memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis. Kepribadian seseorang

merupakan prediktor terbesar dalam menentukan tipe emosi yang

akan ia munculkan. Individu dengan kepribadian neuroticism akan

selalu identik dengan tipe emosi yang negatif. Begitu juga

sebaliknya, individu extraversion identik dengan emosi yang lebih positive (Diener, Lucas & Smith, 1999).

h. Relatedness

Beberapa teoritis telah mendefeniskan relatedness sebagai

(12)

(Baumeister & Leary, 1995). Hubungan interpersonal dapat

dikaitkan dengan relatedness dan banyak juga penelitian telah

menujukkan bahwa hubungan interpersonal yang suportif, hangat

dan penuh kepercayaan akan dapat mempengaruhi kesejahteraan

psikologis seseorang (Ryan & Deci, 2001)

Pada beberapa penelitian, telah menemukan bahwa kuantitas

dari interaksi dengan orang lain tidak dapat mempredisksi

kesejahteraan psikologis seseorang, melainkan kualitas interaksi

dengan orang lain yang dapat memprediksi kesejahteraan

psikologis (Nezlek 2000; Ryan & Deci, 2001). Menurut (Brotheridge & Grandey, 2002) komponen penting ketika

karyawan yang bekerja dengan cara berinteraksi dengan orang lain

adalah kontrol emosi, ini yang disebut dengan emotional labor.

Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa faktor relatedness

ini, faktor penting untuk karyawan yang menggunakan emotional labor.

i. Marital Status

Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa individu

yang telah menikah akan memiliki kepuasan hidup yang lebih

tinggi (Myers, 1999). Bierman, Milkie dan Fazio (2006) meneliti

mengenai salah satu dimensi dari kesejahteraan psikologis yaitu

(13)

menikah memiliki nilai yang lebih tinggi pada sub-skala ini

dibandingkan dengan yang tidak menikah.

B. EMOTIONAL LABOR 1. Defenisi Emotional Labor

Istilah emotional labor didefenisikan Robbin & Judge (2008) sebagai kemampuan dimana seorang karyawan memperlihatkan emosi-emosi yang

diinginkan secara organisasi selama transaksi antarpersonal ditempat kerja.

Emotional Labor merupakan istilah yang relatif baru, Menurut Hochchild

(1983) mengartikan konsep emotional labor sebagai “manajemen perasaan

untuk menciptakan ekspresi muka dan jasmani” yang dapat dilihat secara

umum. Menurut dari defenisi ini, para karyawan mengatur ekspresi emosi

melalui ekspresi wajah yang mereka berikan kepada orang lain. Cara untuk

melibatkan emosi untuk mengubah ekspresi. Hochchild (1983) juga

mengatakan bahwa individu mengontrol emosinya dalam kehidupan pribadi

dan juga dalam pekerjaan.

Emotional Labor adalah kontrol perilaku seseorang untuk

menampilkan emosi yang tepat (Chu, 2002) hal ini mununjukkan bahwa

seseorang harus membangkitkan atau menekan emosi tertentu sehingga harus

menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial. Konsep dari emotional labor

ini tidak terbatas hanya pada tempat kerja saja, ini juga akan terjadi pada setiap

aspek kehidupan.

(14)

pada pengendalian emosi dari pekerja yang sering kontak dengan pelanggan.

Kontrol ini menghasilkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Organisasi dan

sistem penghargaan gajinya menentukan bahwa pekerja harus mengontrol

emosi mereka ditempat kerja dan mampu menciptakan suasana kerja yang

kondusif bagi organisasi. Menurut Grandey (2013) bahwa emotional labor

adalah proses mengatur baik perasaan dan ekspresi untuk tujuan organisasi.

Ketika personal line pertama berinteraksi dengan pelanggan, emotional labor

adalah tindakan mengekspresikan emosi yang tepat, dalam tuntutan organisasi

pekerja harus mengontrol perilaku mereka dan menampilkan emosi yang

sesuai. Ashforth dan Humphrey (1993) mendefenisikan emotional labor

sebagai tindakan menampilkan emosi yang tepat.

Berdasarkan uraian diatas, maka pengertian dari emotional labor

adalah kesesuaian emosi yang berlaku bagi organisasi sesuai dengan tuntutan

peran yang mengharuskan seseorang untuk menampilkan perilaku emosional

yang menutupi perasaan mereka sebenarnya didalam suatu perusahaan.

2. Dimensi Emtional Labor

Menurut Robbin & Judge (2008) dimensi dari emotional labor ada dua yaitu sebagai berikut :

1. Surface Acting

Surface Acting adalah menyembunyikan perasaan terdalam seseorang dan menghilangkan ekspresi-ekspresi emosional sebagai

(15)

(Hochschild, 1983). Surface Acting sering juga disebut dengan berpura-pura menampilkan emosi yang berbeda. Saat suasana hati

sedang negative, karyawan harus bisa menampilkan wajah yang riang,

senyuman, keramahaan dan emosi emosi yang positif. Surface acting

berfokus pada ketidak sesuaian antara emosi yang sebenarnya dan yang

ditampilkan. Surface Acting paling sering melibatkan emosi negative, seperti marah, jengkel, sedih kemudian ketika melihatkan emosi

positive seperti bahagia, gembira.

2. Deep Acting

Deep Acting adalah berusaha untuk mengubah perasaan seseorang berdasarkan aturan-aturan penampilan. Deep Acting juga sering disebut dengan berupaya mengelola emosi negative menjadi

benar-benar positive sehingga konsisten antara emosi yang dirasakan

dan emosi yang ditampilkan atau ditunjukkan.

3. Frequency

Frequency telah menjadi dimensi yang paling penting pada

emotional labor dan hal ini masih tetap merupakan indikator penting

karena semakin sering sebuah organisasi atau perusahaan

membutuhkan menampilkan emosi yang tepat secara sosial maka

semakin besar juga permintaan tenaga kerja atau karyawan yang harus

menggunakan emotional labor.

(16)

Variety merupakan emosi yang sangat luas untuk diekspresikan,

karena karyawan harus menampilakn berbagai macam emosi sesuai

dengan aturan dari perusahaan.

5. Intensity

Setiap orang memiliki intensitas dalam mengekspresikan emosi

yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada individu yang hampir

tidak pernah menunjukkan perasaannya, tetapi ada juga orang yang

sangat emosional.

3. Dampak dari Emotional Labor

Dalam literatur emotional labor, para peneliti membahas hasil yang tidak menguntungkan. Hasil yang paling sering dikutip adalah kelelahan

(Hochschild, 1983; Kahn, 1993; Morris & Feldman, 1996) dan job dissatisfaction (Morris & Feldman, 1996; Grandey, 1999; Wharton, 1993).

Emotional Labor menyebabkan peningkatan kelelahan, emosi antara karyawan dengan otonomi kerja yang rendah, masa kerja lebih lama dan bekerja dengan

waktu yang lama.

Menurut Hochchild (1983) secara umum, emosi ditangani dalam

kaitannya dengan emosi umum yang diharapkan oleh organisasi atau

pekerjaan dari karyawan mereka. Akibatnya, perspektif ini menyatakan bahwa

secara umum dapat membedakan emosi yang dirasakan oleh seorang

karyawan dari emosi yang ia tampilkan, yang memiliki bentuk ekspresi wajah,

(17)

perasaan (Kurniasari, 2011). Memperlihatkan emosi yang berbeda dari apa

yang seseorang rasakan meliputi pengaturan emosi, yang merupakan upaya

untuk mempengaruhi emosi yang dimiliki dan bagaimana emosi ini dialami

atau diekspresikan (Gronross, 1990). Aktivitas ini dianggap sebagai tugas atau

pekerjaan karena karyawan dibayar atau digaji untuk menampilkan emosi

terbaik mereka ketika berhadapan dengan konsumen atau orang-orang dalam

organisasi dan menghasilkan keadaan emosi yang tepat.

Menurut Hochschild, (1983) dan Karabanow (1999) untuk memenuhi

kebutuhan emosi organisasi, karyawan juga perlu berlatih untuk memainkan

peran seperti tersenyum atau tertawa. Dengan kata lain, ketika karyawan

sedang berinteraksi dengan klien atau pelanggan, karyawan harus

menampilkan emosi yang diinginkan oleh perusahaan atau organisasinya.

Ashforth dan Humphrey (1993) mengatakan bahwa emotional labor

sebagai “pedang bermata dua”. Pada satu sisi emotional labor ini dapat

memfasilitasi kinerja tugas dan mengatur interaksi dan mampu menghalangi

masalah interpersonal. Pada sisi lain, hal ini dapat mengganggu kinerja

karyawan dengan harapan dari karyawan yang tidak dapat dipenuhi. Hal ini

(18)

C. DINAMIKA PENGARUH EMOTIONAL LABOR DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KARYAWAN

Karyawan merupakan sumber utama dalam suatu perusahaaan.

Karyawan juga merupakan sumber penentu keberhasilan utama disebuah

organisasi. Organisasinya tentunya akan memerlukan karyawan yang mampu

bekerja secara inovatif, produktif dan memiliki performa kerja yang baik.

Untuk mendapatkan karyawan yang memilki kemampuan kerja yang baik,

salah satu dengan caranya dengan mensejahterakan psikologis karyawan

(Vallerand, 2012). Karyawan yang baik secara fisik maupun psikologis akan

memiliki performa kerja yang baik serta akan mampu bekerja semaksimal

mungkin ditempat ia bekerja. Manepothi (2007) menyatakan bahwa

kesejahteraan psikologis karyawan merupakan suatu situasi dimana ketika

individu yang berkerja merasakan senang dan tidak senang seperti apa

perkerjaan mereka, apa pekerjaan itu efektif dan memiliki target dalam

pencapaian kerjanya baik itu untuk dirinya sendiri maupun untuk perusahaan

dimana ia kerja.

Kesejahteraan psikologis karyawan akan rendah ketika karyawan

tersebut berada dalam ketidak nyamanan tempat kerja, terganggu dan

mengalami stress ditempat kerja yang nantinya akan berpengaruh kepada

produktivitas kerja, performansi kerja dan kepuasan kerja (Akintayo, 2012).

Karyawan yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi akan lebih

kooperatif, memiliki perasaan positif atau emosi yang positif, mudah

(19)

dapat bekerja lebih lama di suatu perusahaan (Harter, Schmidt & Keyes, 2002).

Aspek aspek yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara lain usia,

gender, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, lingkungan pekerjaan,

budaya, kepribadian, relatedness, dan maritalstatus (Ryff & Keyes, 1995).

Pada konteks organisasi, kesejahteraan psikologis karyawan sangat

dipengaruhi oleh lingkungan kerjannya (Briner, 2000). Penelitian yang

meneliti tentang kesejahteraan psikologis setuju bahwa kehadiran dari

perasaan emosi yang positif, penilaian yang juga positif terhadap pekerja dan

hubungan pekerja dengan tempat kerja yang baik akan meningkatkan performa

dan kualitas hidup dari pekerja (Harter, Schmidt, & Keyes, 2002).

Hal ini berhubungan dengan faktor relatedness yang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. relatedness ini

berhubungan dengan hubungan interpersonal, hubungan interpersonal ini

merupakan salah satu kebutuhan dasar untuk mencapai kesejahteraan (Ryan &

Deci, 2001). Hubungan interpersonal ini dapat dikaitkan dengan berbagai

macam hal di dalam kehidupan sehari hari seperti kepuasan hidup dan

kesehatan psikologis (Reis & Collins, 2004). Berhubungan positif dengan

orang lain juga merupakan salah satu dari dimensi yang terdapat di dalam

kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989). Park, Peterson dan Seligman (2005)

mengatakan bahwa hubungan interpersonal yang baik dapat menyebabkan

peningkatan kepuasan hidup. Hubungan interpersonal yang baik dengan orang

(20)

Salah satu komponen yang fundamental pada pekerjaan dibidang

pelayanan merupakan kontrol emosi untuk mengelola hubungan positif dengan

klien ( Grandey & Brotheridge, 2002). Pengelolaan emosi yang tepat sesuai

dengan harapan organisasi dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi, maka

dari itu dibutuhkan emotional labor yang merupakan proses regulasi perasaan dan ekspresi yang dilakukan oleh individu pada saat bekerja sesuai dengan aturan

perusahaan.

Penelitian Wharton (1993) mengatakan bahwa pekerja yang bekerja

dengan menggunakan emotional labor maka karyawan tersebut akan memiliki

tingkat kepuasan kerja yang cukup tinggi sehingga membuat karyawan akan

semakin menyenangin pekerjaannya. Emotional labor merupakan aspek yang kritis pada beberapa pekerjaan dimana para pekerjanya berinteraksi secara

langsung dengan customer, teman sekerja dan public (Levy, Dahling, Dienfendorf & Chau, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Hwa (2009) mengatakan bahwa

menyatakan emotional labor dapat meningkatkan kualitas pelayanan, loyalitas

konsumen, meningkatkan keuntungan finansial, kepuasan karyawan, kepuasan

kerja, komitmen organisasi, turn over dan kesejahteraan psikologiskaryawan. Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka peneliti ingin melihat

(21)

D. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti memiliki hipotesa bahwa

ada pengaruh positif emotional labor terhadap kesejahteraan psikologis karyawan perbankkan. Hal ini berarti bahwa emotional labor akan

Referensi

Dokumen terkait

Implikasi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengakibatkan kekosangan hukum, karena dalam Undang- Undang Pilkada tidak dikenal calon tunggal tetapi hanya

Dewi Setyorini, S.Psi, MSi, selaku Dekan Fakultas Psikologi Unversitas Katolik Soegijapranata Semarang sekaligus dosen pembimbing yang telah memberikan pengetahuan,

Tingkat permintaan produksi yang tidak tetap dan adanya nilai penambahan permintaan yang cukup fluktuasi dari konsumen serta banyaknya bahan baku yang diperlukan dari supplier

Rahmadita : sama seperti nomer 2 dan 3 pak, kalau nomer 4 dicari luasnya Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa pada soal nomer 3b siswa masih salah dalam

Menimbang, bahwa terlepas dari ketentuan-ketentuan formil sebagaimana terurai di atas, dalam perkara aquo, disamping ada kepentingan hukum Para Pemohon, juga

Pelatihan dengan mengikuti tiap tingkatan level sesuai keterampilan ini menggunakan biaya pribadi dari tiap orang yang mengikuti pelatihan ini. Biaya untuk mengikuti kursus ini

Tahapan penelitian yang dilakukan pertama adalah identifikasi permasalahan yang ada pada gempabumi dan cuaca pelayaran yang didapatkan dari berita-berita terkait

: Menganalisis fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan beberapa teks deskriptif lisan dan tulis dengan memberi dan meminta informasi pendek dan sederhana terkait