BAB 2
2.1. Pembajakan Kapal: Selayang Pandang
Pembajakan kapal dalam lingkup global bukan merupakan cerita baru, berdasarkan sejarahnya, kasus pembajakan kapal pertama yang tercatat
dalam tulisan terjadi abad ke-14 Sebelum Masehi (SM) di perairan Mediterania sekitar wilayah Aegean, Yunani. (Maritime-connector.com, 2016). Sejak saat itu, pembajakan kapal terus berkembang seiring dengan
semakin pesatnya intensitas perdagangan melalui laut di daerah Mediterania. Julius Cesar, kaisar Romawi, bahkan pernah menjadi korban dari pembajakan
kapal di wilayah tersebut ketika kapalnya ditahan oleh pembajak dari Sisilia pada tahun 75 SM. (Time.com, 2008). Pada saat itu, banyak pembajak kapal merupakaan orang pesisir yang menghadang kapal yang sedang berlayar
untuk meminta ransum dan melepaskan kapal tersebut jika sudah mendapatkan apa yang mereka minta atau ketika tidak ada sama sekali. Hal
ini tentu berbeda dengan pembajakan kapal kontemporer dimana beberapa pelaku pembajakan akan menahan kapal tersebut selama beberapa waktu tertentu jika kapal tidak memiliki barang berharga di tempat seperti yang
dilakukan perompak Somalia terhadap kapal MV. Sinar Kudus milik Indonesia di tahun 2011 dan MV. Maersk Alabama yang terkenal di tahun
2013 yang kemudian diangkat menjadi film layar lebar.
Secara etimologi, pembajakan berawal dari kata ‘bajak’ dalam
bahasa Indonesia dan ‘pirate’ dalam bahasa Inggris. Pirate sendiri merupakan berasal dari bahasa latin ‘pirata’ yang berarti pelaut atau pencuri laut dan
Sedangkan secara definitif, dalam penelitian ini penulis akan
menggunakan definisi yang telah ditetapkan oleh International Maritime Bureau di tahun 1992. Definisi ini menjelaskan bahwa tujuan utama dari
pembajakan kapal adalah untuk mencuri barang dengan naik ke atas kapal baik yang sedang berlayar maupun yang sedang berhenti. (Beckman, Grundy-Warr, Forbes & Schofield, 1995: 5) Dengan definisi ini, maka seluruh
aktivitas penahanan dan pencurian barang di atas kapal dapat didefinisikan sebagai pembajakan tanpa melihat lokasi atau tempat kejadian perkara.
Karena definisi yang digunakan tidak seperti definisi yang ditetapkan oleh
United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) (1982) dimana dalam definisi UNCLOS, pembajakan kapal adalah ketika aktivitas tersebut
dilakukan di laut lepas/ internasional.
Aktivitas pembajakan kapal mecapai ‘Masa Keemasan’-nya pada abad pertengahan terutama pada abad 16 hingga abad 19 di wilayah-wilayah seperti laut Mediterania, perairan Eropa Barat, laut Karibia, hingga laut Cina
Selatan. (Shiddique, 2009) Puncak dari masa keemasan pembajakan kapal ini terjadi sepanjang tahun 1650an hingga 1730an dimana pada saat itu terjadi
ledakan pembajakan kapal yang cukup masif karena banyak yang mengakui status hukum pembajak kapal demi kepentingan negara seperti Inggris dan Perancis. Pada rentang waktu tersebut, Inggris dan Perancis sedang dalam
persaingan dagang dengan Spanyol sehingga Inggris dan Perancis mengeluarkan letter of marque (surat otoritas) kepada pembajak kapal untuk
wilayah Karibia untuk saling menghancurkan kapal negara lainnya. (Roland,
2007)
Penurunan aktivitas pembajakan kapal terjadi pada awal abad ke 18, terutama sejak tahun 1713 ketika Perjanjian Utrecht ditandatangani oleh negara-negara kolonial Eropa, diantaranya Inggris, Spanyol, Perancis,
Portugal, dan Belanda. (Encyclopedia Britannica, n.d.) Setelah perjanjian Utrect, negara Eropa sangat tidak toleran terhadap aksi pembajakan, mereka
meningkatkan militer laut mereka untuk mengamankan kapal dagangnya dari pembajakan. Hal ini menandai selesainya Masa Keemasan pembajakan kapal hingga akhirnya pembajakan kapal pun bertransformasi menjadi pembajakan
modern di masa kontemporer.
Dari penjabaran diatas dapat terlihat suatu perubahan pola pikir
kerajaan atau pun negara pada saat itu dalam memandang aktivitas pembajakan kapal. Interaksi antar subjek, dalam hal ini negara/ kerajaan
dengan aktivitas pembajakan kapal, yang dinamis dari waktu ke waktu juga berbanding lurus dengan identitas yang diberikan negara/ kerajaan dalam memandang kasus pembajakan ini.
Pada awal perkembangan aktivitas pembajakan kapal yang terpusat
di laut Mediterania, para pembajak kapal yang sebagian besar berasal dari daerah Sisilia (sekarang Italia) diidentifikasikan sebagai subjek yang mengganggu kelangsungan perdagangan antar kerajaan terutama
mengganggu hegemoni kekaisaran Romawi di perairan tersebut. Hal ini dibuktikan Irving (2012) dalam tulisannya dimana pada saat itu kekaisaran
in-group dan out-group antara Roma dengan pembajak Sisilia dan
menganggap pembajakan kapal merupakan suatu hal yang salah dan perlu penanganan khusus.
Seiring dengan kejatuhan Romawi dan mulai berkembangnya negara-bangsa di wilayah Eropa, dapat terlihat pula perubahan identitas yang
disematkan terhadap pembajak kapal. Pada abad Pertengahan, pembajakan kapal dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan bahkan diizinkan oleh
negara/ kerajaan. Inggris sebagai contoh, telah memberikan izin resmi kerajaan kepada pembajak kapal yang dikenal dengan nama privateer untuk membajak kapal-kapal dagang dari negara lain yang merupakan rival mereka
seperti Spanyol, Perancis, dan Belanda. (Isil, 2016)
Inggris bahkan beberapa kali memberikan gelar Sir (gelar
kebangsawanan) kepada privateer seperti Sir Francis Drake dan Sir Henry Morgan atas jasa mereka terhadap kerajaan. (Isil, 2016). Dari kebijakan ini
dapat terlihat bahwa pembajakan kapal tidak lagi diidentifikasikan sebagai suatu hal yang mengancam, tetapi dilihat sebagai suatu hal yang heroik. Konstruksi sosial pada abad Pertengahan menganggap bahwa seseorang/
kelompok akan menjadi in-group dari suatu lembaga seperti negara atau kerajaan jika melakukan pembajakan kapal terhadap musuh dari negara atau
kerajaan lain.
Pemaknaan ‘positif’ terhadap pembajak kapal yang terjadi selama
abad 15 ini tidak berlangsung lama. Perubahan pola pikir komunitas internasional pada tahun 1713 kembali mengubah identitas yang dimiliki oleh
perairan yang menjadi jalur perdagangan yang malah membahayakan
keselamatan kapal dagang dari negara mereka sendiri. (Golden-age-of-piracy.com, 2016) Proses sekuritisasi berlangsung hingga akhirnya
negara-negara tersebut membuat perjanjian damai Utrecht. Hasil dari pernjanjian ini membuat pembajakan kapal kembali dianggap sebagai hal yang melanggar aturan internasional dan perlu dikurangi keberadaannya.
Pada abad 19, negara –negara Eropa kembali melakukan proses
sekuritisasi terhadap segala jenis aktivitas pembajakan terutama aksi
privateering melalui pertemuan “The Paris Declaration Respecting Maritime
Law” pada tanggal 16 April 1856 dengan pernyataan yang dikutip oleh
Natalino dalam bukunya “The Law of Naval Warfare: A Collection of Agreements and Documents with Commentaries” (1988: 64) bahwa
privateering telah, dan akan tetap, dihilangkan dalam peperangan antara negara-negara penandatangan deklarasi. Hingga saat ini, pembajakan kapal tetap dikonstruktikan sebagai aktivitas ilegal seiring dengan menguatnya
norma internasional untuk mencegah dan mengecam aktivitas tersebut. Namun demikian, pembajakan kapal tidak pernah benar-benar hilang,
terutama di wilayah Afrika dan Asia
2.2. Pembajakan Kapal Kontemporer (1990an – sekarang)
Akhir dekade 1990an menjadi titik kembalinya aktivitas pembajakan kapal di beberapa kawasan terutama perairan Afrika dan beberapa wilayah di
Asia. Kali ini, isu pembajakan kapal menjadi salah satu isu utama dalam pembuatan kebijakan luar negeri karena 80% kargo perdagangan global
melakukan aktivitasnya. Pada Masa Keemasan-nya dulu, pembajak kapal
menggunakan kapal besar yang mirip dengan kapal perang negara-negara untuk menyeimbangi kemampuan kapal lawan saat menyerang. Namun
sekarang, aktivitas pembajakan kapal dilakukan dengan menggunakan kapal motor kecil (small speed boat) yang memiliki kecepatan hingga 15-25 knot tergantung dengan kondisi perairan.1
Dalam perkembangannya, aktivitas pembajakan kontemporer
tertinggi masih terjadi di laut lepas/ international water, namun angka ini terkonsentrasi di Teluk Aden (Tanduk Afrika), perairan India Barat dan laut Arab dimana pembajak kapal Somalia yang melakukan aktivitas pembajakan
di laut internasional dengan menargetkan kapal-kapal tanker dengan pelayaran internasional. (Kraska, 2011: 35) Sedangkan, di wilayah lain seperti
Asia terutama di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, aktivitas pembajakan terjadi di dalam laut territorial negara pesisir atau ketika kapal sedang berlabuh. (Kraska, 2011: 37) Secara trennya sejak dekade 1990, terdapat 3
wilayah yang menjadi hotspot bagi aktivitas ini, yaitu perairan Tanduk Afrika, perairan India Barat, dan perairan Asia Tenggara. Dalam penelitian ini,
peneliti akan membahas lebih detil terhadap 2 wilayah; perairan Tanduk Afrika dan laut di Asia Tenggara. Perairan India Barat tidak termasuk dalam penelitian karena pelaku pembajakan di wilayah tersebut adalah pembajak
berasal dari Somalia yang juga melakukan aktivitas di Tanduk Afrika. 2.1.1 Perairan Afrika Barat (Teluk Aden dan Laut Arab)
Dapus
Golden-age-of-piracy.com. (2016). Golden Age of Piracy. [online] Available at: http://www.golden-age-of-piracy.com/golden-age-of-piracy/post-spanish-succession-period.php [Accessed 8 Jun. 2016].
Perseus.tufts.edu. (2016). Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon. [online] Available at: http://www.perseus.tufts.edu/hopper/ text?
doc=Perseus%3Atext%3A1999.04.0057%3Aentry%3D %2380341&redirect=true [Accessed 8 Jun. 2016].
Maritime-connector.com. (2016). History of piracy. [online] Available at:
http://maritime-connector.com/wiki/history-of-piracy/ [Accessed 8 Jun. 2016].
Irving, J. (2012). Pirates in the Ancient Mediterranean. [online] Ancient History Encyclopedia. Available at: http://www.ancient.eu/Piracy/ [Accessed 8 Jun. 2016].
Isil, O. (2016). Piracy and Privateering with Elizabethan Maritime Expansion.
[online] Nps.gov. Available at:
Roland, J. (2007). Letters of Marque and Reprisal. [online] Constitution Society.
Available at: http://www.constitution.org/mil/lmr/lmr.htm [Accessed 8 Jun. 2016].
Shiddique, H. (2009). From ancient Greece to Hollywood: a brief history of piracy. The Guardian, [online] p.2. Available at:
http://www.theguardian.com/news/blog/2009/aug/12/piracy-history-arctic-sea [Accessed 8 Jun. 2016].
TIME.com. (2008). Top 10 Audacious Acts of Piracy - TIME. [online] Available
at:
http://content.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,1860715_18 60714,00.html [Accessed 8 Jun. 2016].
Encyclopedia Britannica. (n.d.). treaties of Utrecht. [online] Available at: http://www.britannica.com/topic/treaties-of-Utrecht [Accessed 8 Jun. 2016].
Luft, G. and Korin, A. (2004). Terrorism Goes to Sea. [online] Foreign Affairs. Available at: https://www.foreignaffairs.com/articles/oceans/2004-11-01/terrorism-goes-sea [Accessed 16 Jun. 2016].
Winn, P. (2014). Strait of Malacca Is World's New Piracy Hotspot. [online] NBC News. Available at: