i
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA DI YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Andina Pramitasari
059114082
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
aku tidak akan pernah menyerah pada apapun juga
sebelum kucoba semua yang kubisa,
tetapi aku tetap berserah kepada kehendakNya
karena hatiku percaya Tuhan punya rencana
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka
semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah
kamu kuatir akan hari esok, karena hari esok mempunyai
kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah unutk sehari.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
BAPA di surga untuk semua mujizat yang sudah KAU berikan,
Ibuku tercinta yang tak akan pernah tergantikan, Babe yang selalu jadi
sumber semangatku, Budhe Henny dan Pakdhe Dar yang selalu ada untukku,
Embah yang selalu ada dalam hatiku, Tante Ning, Om Bambang, Tante Miek,
Lentera adikku, Nadia kakakku, dan si kecil Vavay
vii
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA DI YOGYAKARTA
Andina Pramitasari
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk membahas hubungan antara pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh remaja di Yogyakarta. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional dan variabel bebasnya adalah pola asuh demokratis. Subyek penelitian berjumlah 127 orang. Subyek dipilih dengan menggunakan metodepurposive sampling. Metode pengumpulan data menggunakan skala psikologis dengan penskalaan model Likert. Pada skala kecerdasasn emosional, validitas yang digunakan adalah validitas isi dengan melibatkan professional judgement. Analisis aitem pada skala tersebut menggunakan uji beda aitem, yaitu aitem yang memiliki koefisien korelasi < 0,30 akan dinyatakan gugur. Reliabilitas skala penelitian kecerdasan emosional sebesar λ = 0,908 dengan jumlah 25 aitem. Skala kedua yang digunakan adalah skala pola asuh demokratis yang disusun oleh Catarina Novita Wahyuningtyas. Reliabilitas dalam skala pola asuh demokratis ini sebesar 0,963 dengan jumlah aitem sebanyak 60 butir. Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah Pearson Product Moment. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional pada remaja di Yogyakarta. Hasil tersebut membuktikan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil r = 0,287 dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05). Hal ini berarti bahwa remaja yang diasuh dengan pola pengasuhan cenderung demokratis memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi dan remaja yang diasuh dengan pola asuh cenderung tidak demokratis akan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.
viii
CORRELATION BETWEEN AUTHORITATIVE PARENTING STYLE AND EMOTIONAL INTELLIGENCE OF ADOLESCENT IN
YOGYAKARTA Andina Pramitasari
ABSTRACT
This objective research discussed about the correlation between authoritative parenting style and emotional intelligence of adolescent in Yogyakarta. Dependent variable in this research was authoritative parenting style and the independent variable was emotional intelligence from the adolescent in Yogyakarta. Subject of this research were 127 members. Subject were determined by using purposive sampling method. Data gained used emotional intelligence scale with Likert model scale. In emotional intelligence scale, profesional judgement used to examine scale construct validity. Item which correlated item-scale correlation < 0,03 was deleted. Scale
reliability coefficient from emotional intelligence scale was showed by λ = 0,908 with 25 item. The
second scale on this research was authoritative parenting style scale that made by Catarina Novita Wahyuningtyas. Scale reliability coefficient from authoritative parenting style scale was
showed λ = 0,963 with 60 item. Data analysis technique used in this research was Pearson
Product Moment. The result of data analysis showed that there was a significant positive correlation between authoritative parenting style and emotional intelligence of adolescent in Yogyakarta. The correlation was showed by yield r = 0,287 with p = 0,001 (p < 0,05). It means that adolescent with preference to authoritative parenting style have high level of emotional intelligence. Of the contrary, the adolescent with preference to unauthoritative parenting style will have lower level of emotional intelligence.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih karunia yang melimpah dalam hidup penulis sehingga pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis sangat menyadari bahwa dapat diselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi., M.Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini serta Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. dan Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan nilai yang terbaik bagi penulis. 3. Ibu Maria Laksmi Anantasari, S.Psi., M.Psi. selaku dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani masa perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
xi
6. Ibuku tercinta Sri Murwati (alm) yang tak akan pernah tergantikan di dalam hidup penulis dan Eyang Sukarti (alm), “maaf Mbah, janjiku kutepati tidak pada waktunya”.
7. Bapak Wahyu Sarkoro “Babe Gue” yang menjadi sumber semangat bagi penulis (Be, you’re the best!). Budhe Henny dan Pakdhe Darminto yang selama dua belas tahun ini menjadi orang tua penulis (selamanya kalian akan tetap menjadi orang tua bagiku).
8. Adikku Lentera Pradista yang selama ini selalu berbagi dalam segala hal dengan penulis (Jeng, makasih ya…ingat, WARA di depan mata!). Kakakku Nadia Pramesti yang telah meminjamkan printernya kepada penulis (Mbak, maap ya kalo gw lulus duluan, elu kelamaan sih…hahahahah ^.^ dan semangat buat EO baru lu!).
9. Nathalina Hendarningtyas, Christiano Hendarwan, I Kadek Mas Adisasmita, dan I Putu Mas Vasyamahista Satya Sasmita yang telat menjadi bagian dari hidup penulis.
10. Tante Ning, Om Bambang, Tante Mamiek, Tante Eko, dan Tante Prarti sekeluarga yang telah memberikan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya dengan baik.
xii
12. I Rai, Ita, Oposh, Koen, Fera, dan seluruh mahasiswa Psikologi angkatan 2005 (baik yang udah lulus maupun belum lulus, ingatlah bahwa aq pernah mengenal kalian dan akan selalu mengingat kalian).
13. Sherly, Citra, Hayu, Yupha, Manto, Clara, Fifi, dan seluruh anak bimbingan skripsi Pak Heri (setelah ini giliran kalian!)
14. Keluarga kecil Toni Handoko dan Lidiya Handoko (banyak hal baru yang aku temukan semenjak mengenal kalian), Aditya Anwar Nasution (dot, kapan skripsinya mulai dikerjain?), Stevans Art (Ah, kutunggu kemunculanmu di layar kaca).
15. D’Grace Holic : Dee Sekar (Simbok), Pipit, Jose, Indro, Jarwo, Eko, Kak Nina, Kak Dewi, Andry, Anggi, dan semua anggota D’Grace yang telah meninggalkan kota Jogja.
16. Impact Multimedia Ministry (IMM): Chaper, Jojo, Gondre, Mega, Andre, Markus, Nilam, Ivan, Ko Lowen, dan selruh crew yang tergabung dalam pelayanan ini (terima kasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini, kalian yang terbaik!).
17. Elite Soldier Boot Camp (ESBC): Ko Andy (terima kasih untuk pinjaman komputernya), komandan Gimin (untuk pengertiannya selama ini), Soso, Ko Yuli, Ko Bony, Yokha, dan semua anggota tim yang tergabung di dalamnya (terima kasih untuk keluarga ini, ESBC selalu di hati!)
xiii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan, maka segala bentuk kritik dan saran serta segala petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak, penulis terima dengan senang hati.
Semoga Tuhan Yesus Kristus melimpahkan kasih karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Tuhan Memberkati.
Yogyakarta, 22 Januari 2011
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ……… iii
HALAMAN MOTTO ……… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……… v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi
ABSTRAK ………. vii
ABSTRACT ………... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ……. ix
KATA PENGANTAR ………... x
DAFTAR ISI ……….. xiv
DAFTAR TABEL ……….. xvii
DAFTAR GAMBAR ………. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xix
BAB I : PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Rumusan Masalah ………... 7
C. Tujuan Penelitian ……….. 7
D. Manfaat Penelitian ……… 7
1. Manfaat Teoritis ……….. 7
2. Manfaat Praktis ………... 8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ………. 9
A. Remaja ………... 9
1. Pengertian Remaja ………... 9
2. Karakteristik Remaja ………... 10
B. Kecerdasan Emosional ………... 13
xv
2. Faktor – faktor Pembentuk Kecerdasan Emosional ……… 16
3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ……….. 17
C. Pola Asuh Demokratis ……….. 20
1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua ……… 20
2. Pengertian Pola Asuh Demokratis ……….. 22
3. Aspek-aspek Pola Asuh Demokratis ………... 23
D. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dan Kecerdasan Emosional pada Remaja ………... 24
E. Hipotesis ……… 28
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ……… 29
A. Jenis Penelitian ……….. 29
B. Identifikasi Variabel Penelitian ………... 29
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ……….. 29
1. Kecerdasan Emosional ……… 30
2. Pola Asuh Demokratis ……… 30
D. Subyek Penelitian ……….. 31
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ……… 31
1. Skala Kecerdasan Emosional ……….. 31
2. Skala Pola Asuh Demokratis ………... 33
F. Pertanggungjawaban Mutu ………... 33
1. Uji Validitas ……… 33
2. Uji Daya Beda Aitem ……….. 34
3. Uji Reliabilitas ……… 37
G. Teknik Analisis Data ……… 38
1. Uji Asumsi ………. 38
a. Uji Normalitas ……….. 38
b. Uji Linearitas ……… 39
2. Uji Hipotesis ……….. 39
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 40
A. Pelaksanaan Penelitian ……….. 40
xvi
C. Hasil Teknik Analisis Data ……….. 43
1. Hasil Uji Asumsi ………. 43
a. Hasil Uji Normalitas ………. 43
b. Hasil Uji Linearitas ……….. 43
2. Hasil Uji Hipotesis ………. 44
3. Hasil Uji Tambahan ……… 45
D. Pembahasan ………... 46
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 50
A. Kesimpulan ………... 50
B. Saran ………. 50
xvii
DAFTAR TABEL
1. Tabel Spesifikasi Skala Uji Coba Kecerdasan Emosional……… 32 2. Tabel Skor Butir-Butir Skala Kecerdasan Emosional………... 32 4. Tabel Spesifikasi Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba dan
Sesudah Uji Coba……….. 36
5. Tabel Spesifikasi Skala Penelitian Kecerdasan Emosional………... 37 6. Tabel Data Demografi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia... 41 7. Tabel Data Demografi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin… 41 8. Tabel Data Demografi Subyek Penelitian Berdasarkan Tempat Tinggal
di Yogyakarta……… 42
9. Tabel Data Demografi Subyek Penelitian Berdasarkan Pengasuh Sejak
Kecil ………. 42
xviii
DAFTAR GAMBAR
1 Skema hubungan positif pola asuh demokratis dan kecerdasan
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Hasil Uji Daya Beda Aitem dan Uji Reliabilitas Skala Kecerdasan Emosional
Lampiran II : Hasil Uji Asumsi dan Uji Hipotesis
Lampiran III : Skala Penelitian Pola Asuh Demokratis dan Kecerdasan Emosional
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Adolescent atau lebih dikenal dengan istilah remaja merupakan suatu masa transisi seseorang dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2002). Erikson (dalam Santrock, 2002) menyebutkan bahwa pada masa ini, remaja mengalami tahap perkembangan identity versus identity confusion. Pada tahap perkembangan ini, remaja akan dihadapkan dengan banyak pertanyaan seputar diri mereka.
Berbagai permasalahan akan dialami seseorang saat memasuki tahap remaja ini. Hal tersebut diakibatkan oleh perubahan dari masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan pada orang lain khususnya orang tua menuju masa dewasa yang penuh dengan otonomi dan tanggung jawab (Kurnianingsih, 2009). Neidhart (dalam Gunarsa dan Gunarsa (1981) mengatakan bahwa pada masa ini remaja dituntut untuk dapat berdiri sendiri dan lebih bertanggung jawab terhadap hidup yang dijalaninya.
Hal serupa juga dikatakan oleh G. Stanley Hall bahwa masa remaja adalah masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan buaian suara hati (Santrock, 2002). Pada masa ini, remaja mengalami suatu masa yang sering disebut dengan istilah masa badai dan stress (storm and stress). Seorang anak
remaja mungkin saja pada suatu waktu dapat berbuat kasar kepada temannya, namun di waktu yang berbeda menjadi baik kepada teman yang sama.
Selain mengalami masa peralihan menuju masa dewasa, remaja juga mengalami perkembangan psikoseksualitas dan perkembangan emosionalitas. Stanley Hall (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 1981) menyebutkan bahwa pada masa ini terlihat adanya keadaan labil dan kegoncangan emosionalitas yang sewaktu-waktu muncul dalam diri remaja. Menurut Erikson (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 1981), ketakutan dan emosionalitas yang tidak stabil merupakan hal yang normal dialami oleh remaja, karena remaja harus menemukan keseimbangan yang baru dalam hidupnya.
Perkembangan emosionalitas pada remaja tentu saja berkaitan dengan emosi yang ada dalam diri remaja tersebut. Menurut Daniel Goleman (1997), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
serta tantangannya dengan menguasai kehidupan emosional kita melalui kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan. Tetapi, nafsu pun dapat dengan mudah menjadi tidak terkendali dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 1997).
Menurut Mayer (Goleman, 1997) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu dengan kesadaran diri, bangkit dari permasalahan yang ada, tenggelam dalam permasalahan, atau pun pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Kecerdasan emosional yang dimiliki oleh seseorang meliputi beberapa hal di dalamnya. Mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain(empati), dan membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 1997). Dalam mempengaruhi kesuksesan seseorang, kecerdasan emosional memiliki bagian sekitar 80% sedangkan 20% lainnya dipengaruhi oleh kecerdasan kognitif.
menyebabkan emosi yang dimiliki oleh remaja tidak stabil (Ikawati dan Udati, 2000). Ketidakstabilan ini meliputi kontrol emosi dan pengelolaan emosi yang dimiliki oleh remaja. Kurangnya kontrol emosi dan pengelolaan emosi pada remaja ini menjadi salah satu faktor terbentuknya kenakalan remaja (Alhamri dan Fakhrurrozi, 2007).
Banyak terdapat kasus-kasus kenakalan remaja yang disebabkan oleh kurangnya kontrol emosi pada remaja. Kasus kenakalan remaja tersebut terjadi pula di kota Yogyakarta yang merupakan kota pelajar. Terdapat sebuah kasus kenakalan remaja yang terjadi di daerah Bantul pada akhir tahun 2009, seorang anak bernama Kirun (15) didapati mencuri sebuah radio milik tetangganya hanya karena ingin mendengarkan band idolanya bernyanyi (Demi Band Idola, Koran Merapi, 13 Desember 2009). Dalam kasus ini tampak bahwa Kirun tidak dapat mengontrol emosi “kenikmatan” yang ada dalam dirinya. Di dalam kenikmatan tersebut mengandung unsur kenikmatan indrawi (indra pendengar), rasa terpesona, takjub, dan kagum pada sesuatu atau seseorang (Goleman, 1997). Kurangnya kontrol emosi Kirun ini menyebabkan dia mencuri radio agar apa yang diinginkannya dapat tercapai.
seseorang), faktor yang berasal dari lingkungan keluarga (pola asuh orang tua), dan faktor pendidikan emosi yang diperoleh dari lingkungan di luar rumah seperti sekolah, tempat tinggal, dan tempat bekerja (Goleman, 1997).
Salah satu faktor pembentuk kecerdasan emosional seseorang adalah faktor lingkungan keluarga yang berkaitan dengan pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga. Oleh sebab itu, peranan dan tanggung jawab orang tua sangat besar dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya (Wahyuningtyas, 2010).
Hurlock (1996) menyatakan bahwa setiap orang tua berbeda di dalam menerapkan pola sikap dan perilaku mereka terhadap anak. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa sikap yang mereka pelajari di dalam mengasuh dan mendidik. Seorang peneliti bernama Diana Baumrind melakukan sebuah penelitian yang berkaitan dengan pola asuh orang tua terhadap anak (Steinberg, 2002; Martinez dan Graćia, 2007; Besembum, 2008; Santrock, 2009). Tipologi gaya pola asuh Baumrind tersebut diidentifikasikan dalam empat pola pengasuhan yang berbeda, yaitu authoritarian parenting style (pola asuh otoriter), authoritative parenting style (pola asuh autoritatif/ demokratis),indulgent parenting style(pola asuh permisif yang pemurah),dan neglectful parenting style(pola asuh permisif yang penuh dengan kelalaian).
ditimbulkan apabila dibandingkan dengan ketiga gaya pengasuhan lainnya. Hal ini disebabkan pula oleh karakteristik orang tua jaman sekarang yang cenderung memberikan kebebasan lebih kepada anaknya untuk berkembang sesuai dengan keinginan anak tersebut. Kecenderungan orang tua seperti saat ini tidak terjadi pada orang tua jaman dulu yang cenderung bersikap otoriter dalam mendidik dan membesarkan anaknya. Seiring dengan perkembangan jaman, orang tua jaman sekarang lebih memposisikan diri sebagai sahabat bagi anak-anaknya, sehingga anak pun menjadi lebih memiliki ruang bergerak yang lebih leluasa dalam melakukan berbagai aktifitas sehingga pada akhirnya anak yang mendapatkan pengasuhan dengan tipe demokratis ini akan lebih bertanggung jawab, lebih kreatif, lebih sukses, dan lebih banyak memiliki keterampilan sosial dalam menghadapi tantangan jaman yang terus berkembang.
Kurniasari (2004) mengatakan bahwa persepsi terhadap pola asuh demokratis mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional pada remaja. Ketika remaja dibesarkan dengan menggunakan tipe pengasuhan yang cenderung demokratis maka remaja yang bersangkutan dapat mengenali emosi dirinya, mengelola emosi dirinya, memotivasi dirinya sendiri, mengenali emosi orang lain, dan mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain.
ada hubungan yang positif antara pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional pada remaja di Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka dirumuskanlah sebuah masalah yang akan dianalisa yaitu adakah hubungan antara pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional pada remaja di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional pada remaja di Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis a. Bagi remaja
Informasi tentang hubungan pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional ini berguna bagi remaja sebagai sumber pembelajaran dalam perkembangan kepribadian. Dengan demikian, remaja pun dapat mengetahui gambaran tentang pola asuh yang mereka terima selama ini. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan kecerdasan emosional yang ada dalam diri remaja itu sendiri.
b. Bagi masyarakat akademis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Pengertian Remaja
Muss (dalam Sarwono, 2008) mengatakan bahwa remaja atau adolescene (Inggris) berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti tumbuh ke arah kematangan. Kematangan ini tidak semata-mata berupa kematangan fisik, tetapi juga merupakan kematangan sosial psikologisnya.
Badan kesehatan dunia atau WHO mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual (Sarwono, 2008). Ada tiga kriteria di dalamnya, yaitu biologis, psikologis, dan sosioal ekonomi dengan pembatasan usia mulai dari 10 tahun sampai 20 tahun. Remaja mengalami perkembangan biologis dengan munculnya tanda-tanda seksual sekunder. Selanjutnya secara psikologis remaja mengalami perkembangan dalam pola identifikasi dirinya dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Sedangkan secara sosial ekonomi, remaja mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Pengertian remaja juga dapat dilihat berdasarkan usia kronologisnya. Hurlock (1996) membagi masa remaja menjadi dua bagian yaitu masa remaja awal (13-16 tahun) dan masa remaja akhir (17-18 tahun). Pembagian usia remaja Hurlock ini lebih sempit dari ahli lain
sehingga terjadi sedikit kesenjangan jika dibandingkan dengan teori dari ahli lainnya.
Mőnks, Knoers, dan Hadinoto (2002) memberikan batasan usia remaja yang berbeda pula, dia memberikan batasan usia remaja yaitu antara 12-21 tahun. batasan tersebut dibagi ke dalam tiga bagian yaitu masa remaja awal (12 < 15 tahun), masa remaja pertengahan (15 < 18 tahun), dan masa remaja akhir (18 < 21 tahun).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang berada dalam masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja dibagi menjadi tiga periode yaitu masa remaja awal (12< 15 tahun), masa remaja pertengahan (15 < 18 tahun), dan masa remaja akhir (18 < 21 tahun).
2. Karakteristik Remaja
berbeda, Hurlock (1996) secara spesifik melihat karakteristik remaja sebagai berikut :
a. Masa remaja sebagai periode penting, karena terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Lewin menyebutnya sebagai manusia marginal, bukan lagi anak kecil namun belum juga bisa dikatakan dewasa (Sarwono, 2008).
c. Masa remaja sebagai periode perubahan, terjadi perubahan bentuk fisik, emosi, minat dan peran, serta perubahan nilai-nilai dan tanggung jawab.
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah, karena kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah dan karena remaja merasa sudah mandiri, sehingga mereka merasa bisa mengatasi masalahnya sendiri.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri. Identitas diri yang dicari oleh remaja berupa usaha untuk mencari tahu siapa diri, apa perannya dalam masyarakat, apakah ia masih dikatakan sebagai anak-anak atau sudah disebut sebagai orang dewasa.
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Dalam hal ini, remaja melihat dirinya sendiri maupun orang lain sesuai dengan kaca mata dan anggapan yang mereka inginkan.
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Remaja mulai berperilaku yang dihubungkan dengan status kedewasaan seperti merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan terlarang, dan terlibat seks bebas agar mereka memperoleh citra sebagai orang dewasa sebagaimana yang mereka inginkan.
Karakteristik yang dimiliki oleh remaja bertujuan untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan remaja yaitu mampu menerima keadaan fisiknya, menerima dan memahami peran seks usia dewasa, membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis, dan mencapai kemandirian emosional dan ekonomi. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat, memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua, serta mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa merupakan tugas-tugas perkembangan remaja. Selain itu, mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan memahami serta mempersiapkan berbagai tanggung jawab dalam kehidupan keluarga juga merupakan tugas-tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh remaja.
kalangan remaja SMA. Hal tersebut dikarenakan pada masa SMA remaja mulai banyak mencoba hal-hal baru dalam hidupnya. Kebutuhan remaja akan adanya teman sebaya pun meningkat. Selain itu, pada masa ini remaja dilihat sering bertindak menyerupai orang dewasa dan meninggalkan atribut mereka sebagai anak kecil (Wahyunigsih, 2004).
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan seseorang (Goleman, 1997). Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EI sebagai suatu himpunan dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial dan melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Shapiro, 1998).
kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Di dalam buku yang berjudul Frame Of Mind yang dikarang oleh Howard Gardner mengatakan bahwa untuk meraih kesuksesan dalam hidup tidak hanya ditentukan oleh satu jenis kecerdasan yang monolotik saja namun masih ada spektrum kecerdasan lain yang lebih lebar yang juga mendukung tercapainya kesuksesan seseorang. Gardner membagi kecerdasan lain tersebut dalam tujuh bagian yaitu kecerdasan linguistik, matematika/ logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal, dan intrapersonal. Ketujuh kecerdasan tersebut dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional (Goleman, 1997).
Masih dalam buku yang sama, Gardner juga menjelaskan tentang kecerdasan pribadi yang terdiri kecerdasan intra pribadi dan kecerdasan antar pribadi. Kecerdasan antar pribadi merupakan kemampuan untuk memahami orang lain, memotivasi mereka. Sedangkan kecerdasan intra pribadi lebih pada kemampuan yang korelatif yang mengacu ke dalam diri. Dalam rumusan lain, Gardner mengatakan bahwa inti kecerdasan pribadi mencakup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain (Goleman, 1997)
kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Di sisi lain, kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional (Wahyuningsih, 2004).
Pada akhirnya, Goleman (1997) menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang dalam mengatur kehidupan emosinya dengan menggunakan kecerdasan (to manage our emotional life with intelligence) dan menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
2. Faktor-faktor Pembentuk Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional seseorang tidak terbentuk tanpa sebab. Goleman (1997), menyebutkan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional seseorang, yaitu : a. Faktor genetik
Faktor genetik atau faktor keturunan termasuk salah satu faktor pembentuk kecerdasan emosional seseorang. Bentuk dari faktor keturunan ini adalah temperamen yaitu kesiapan untuk memunculkan emosi tertentu atau suasana hati tertentu yang membuat orang menjadi murung, takut, atau bergembira (Goleman, 1997). Temperamen inilah yang biasanya diturunkan dari orang tua kepada anaknya.
b. Faktor lingkungan keluarga
c. Faktor lingkungan sosial masyarakat
Faktor lain yang membentuk kecerdasan emosional seseorang adalah faktor lingkungan di luar rumah yang dapat berupa lingkungan sekolah, lingkungan bermain, atau komunitas yang digelutinya. Dalam kaitannya dengan remaja, pendidikan emosi yang diberikan oleh sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan kecerdasan emosional seseorang (Goleman, 1997). Bentuk pendidikan emosi yang ada di sekolah salah satunya melalui pengajaran budi pekerti di sekolah.
3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Salovey (dalam Goleman, 1997) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut dengan membaginya ke dalam 5 wilayah utama, yaitu :
a. Mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi, kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Para ahli menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seeorang akan emosinya sendiri.
bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi dan emosi berlebihan yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain apabila tidak memiliki keterampilan dalam berkomunikasi.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain (Goleman, 1997).
C. Pola Asuh Demokratis
1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Keluarga adalah lembaga pertama dan terkecil yang berperan besar dalam perkembangan hidup seseorang. Interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula tingkah laku seseorang ketika berhadapan dengan orang lain di lingkup yang lebih luas. Oleh sebab itu, orang tua memiliki peranan yang sangat besar dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya (Wahyuningtyas, 2010).
orang tua merupakan suatu metode disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anaknya. Dalam pola pengasuhan anak terdapat dua elemen penting yang digunakan sebagai acuan, yaitu pola pengasuhan yang responsiveness dan pola pengasuhan yang demandingness. Pola asuh responsiveness mengacu kepada gaya pengasuhan yang penuh dengan kehangatan dan dukungan orang tua kepada anaknya sedangkan pola pengasuhan demandingness mengacu pada suatu pola pengasuhan yang mengontrol tingkah laku dengan memberikan berbagai disiplin dan peraturan yang harus ditaati (Martinez dan Graćia, 2007).
Berdasarkan dua elemen penting di atas, Baumrind (Steinberg, 2002; Martinez dan Graćia, 2007; Santrock, 2009) membaginya kembali menjadi 4 tipe pola pengasuhan yaitu :
a. Authoritative parenting (tingkat demandingness dan responsiveness tinggi)
b. Indulgent parenting (tingkat demandingness rendah dan tingkat responsivenesstinggi)
c. Authoritarian parenting (tingkat demandingness tinggi dan tingkat responsivenessrendah)
d. Neglectful parenting (tingkat demandingness dan responsiveness rendah)
2. Pengertian Pola Asuh Demokratis
tinggi dan pemberian dukungan positif serta kehangatan yang tinggi (Steinberg, 2002; Santrock, 2007). Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan demokratis di keluarganya membuat suasana kondusif bagi anak untuk bertingkah laku mandiri dan bertanggung jawab. Orang tua memberikan informasi dan alasan tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Di sisi lain orang tua juga berperan dalam memberikan contoh yang baik dalam bertingkah laku dan bertutur kata agar kepada anak (Ikawati dan Udati, 2000).
Dalam pola asuh ini, orang tua memberlakukan peraturan-peraturan dalam keluarga yang dibuat bersama oleh anggota keluarga yang bersangkutan. Setiap pemikiran dan pendapat anak juga selalu diperhatikan dan dipertimbangkan bersama oleh orang tua sebelum akhirnya mengambil keputusan yang terbaik bagi kedua belah pihak. Kontrol orang tua pun tidak lepas dari anak. Hal ini dilakukan agar anak taat pada setiap peraturan yang ada dan dapat membedakan hal yang baik dan hal yang buruk. Dengan demikian anak secara tidak langsung akan belajar untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan sikap terbaik bila berhadapan dengan suatu peraturan. Selain itu, komunikasi terbuka dua arah akan membangun kepercayaan diri dalam diri anak (Steinberg, 2002; Santrock, 2007, 2009).
dibuat berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara anak dan orang tua serta kebebasan yang diberikan oleh orang tua kepada anak untuk mengutarakan ide dan pendapatnya (Wahyuningtyas, 2010).
3. Aspek-aspek Pola Asuh Demokratis
Santrock (dalam Wahyuningtyas, 2010) mengungkapkan aspek-aspek yang terdapat dalam pola asuh demokratis sebagai berikut :
a. Aspek keseimbangan antara kendali dan otonomi yang diberikan oleh orang tua
Dalam hal ini, orang tua memberikan motivasi dan kebebasan yang terarah kepada anak serta menerapkan peraturan yang dibuat berdasaran kesepakatan bersama dengan anak. Selain itu, orang tua juga selalu melibatkan anak dalam pengambilan keputusan yang behubungan dengan kepentingan anak tersebut.
b. Aspek komunikasi secara verbal antara anak dan orang tua
Pada aspek ini, terjadi komunikasi dua arah antara anak dan orang tua. Orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan dan menyampaikan ide dan pendapatnya. Selain itu, orang tua juga mampu bersikap paraphrasing dan memiliki teknik bertanya yang baik untuk memancing sikap kritis pada anak.
c. Aspek kehangatan dan keterlibatan orang tua terhadap perkembangan anak
dan mendidik anak. Disamping itu, orang tua mampu memberikan keteladanan yang baik dan mengikuti setiap perkembangan yang terjadi pada anak sehingga anak mengakui keberadaan orang tua dalam hidup mereka.
D. Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dan Kecerdasan Emosional pada Remaja
Berkembangnya kecerdasan emosional remaja tak dapat dipisahkan dari pola asuh yang diterima oleh remaja di rumah sebagai lingkungan terkecil dalam kehidupan seseorang. Pola asuh yang dinilai paling tepat digunakan untuk mengasuh dan mendidik anak adalah pola asuh demokratis, seperti yang telah diungkapkan oleh Steinberg dan Silk (dalam Santrock, 2007). Pola asuh tersebut dinilai paling tepat karena dapat menghasilkan sikap-sikap yang positif bagi anak. Keseimbangan kendali dan kebebasan yang diberikan oleh orang tua, komunikasi verbal dua arah antara anak dan orang tua serta kehangatan dan keterlibatan orang tua dalam perkembangan anak merupakan bagian-bagian penting yang terdapat dalam pola asuh demokratis.
dengan orang tersebut. Hal tersebut menunjang terbinanya hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar (Goleman, 1997). Keterampilan-keterampilan inilah sekaligus dapat meningkatkan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh remaja.
Dalam penerapan pola asuh demokratis, pemberian otonomi atau kebebasan dari orang tua kepada anak merupakan salah satu aspek yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut dilakukan dalam bentuk mengikutsertakan remaja dalam membuat peraturan-peraturan yang nantinya akan diterapkan di dalam rumah. Remaja diberi kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, apabila telah terjadi kesepakatan bersama maka remaja pun harus bertanggung jawab atas keputusan yang telah dibuat (Santrock, 2007). Hal ini secara tidak langsung akan menumbuhkan motivasi dalam diri remaja untuk berkembang menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga remaja mampu hidup lebih mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri (Goleman, 1997). Apabila remaja mampu untuk hiup lebih mandiri dan bertanggung jawab maka hal tersebut pun akan meningkatkan kecerdasan emosional remaja yang bersangkutan.
E. Hipotesis
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian korelasional merupakan suatu jenis penelitian dengan karakteristik berupa hubungan korelasional antara dua variabel atau lebih (Supratiknya, 1998; Kerlinger, 2006). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang hendak diteliti yaitu pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antar kedua variabel tersebut di atas.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel tergantung : kecerdasan emosional
2. Variabel bebas : pola asuh demokratis
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional adalah batasan atau spesifikasi dari variabel-variabel penelitian yang secara konkret berhubungan dengan realitas yang akan diukur dan merupakan manifestasi dari hal-hal yang diamati dalam penelitian (Sutrisnawati, 2009). Definisi operasional dibuat untuk menghindari salah pengertian akan variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini.
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, dan mengenali emosi orang lain (empati), serta mampu membina hubungan dengan orang lain.
Semakin tinggi skor subyek, maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional yang dimilikinya. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh oleh subyek maka semakin rendah kecerdasan emosionalnya.
2. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua kepada anak yang ditandai dengan adanya komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, kehangatan serta keterlibatan orang tua dalam perkembangan anak, serta adanya kendali dan otonomi yang diberikan oleh orang tua kepada anak. Dalam penelitian ini, pola asuh diukur berdasarkan persepsi remaja terhadap pola asuh yang diterimanya dari orang tua.
D. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah remaja dengan karakteristik pelajar SMA di Yogyakarta. Pengambilan subyek di usia remaja ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa masa remaja merupakan periode perkembangan dalam hidup yang penting bagi seseorang.
Teknik Purposive Sampling digunakan dalam penelitian ini untuk mengambil data. Dalam teknik ini, pemilihan subyek dilakukan berdasar pada karakteristik yang sudah ditentukan dan diketahui lebih dulu, serta berdasarkan pada cirri dan sifat populasinya (Winarsunu dalam Sutrisnawati, 2002). Beberapa karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah :
1. Subyek berada dalam rentang usia remaja pertengahan yaitu 15-18 tahun (Mőnks, Knoers, dan Hadinoto, 2002)
2. Subyek merupakan pelajar SMA di Yogyakarta.
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Skala Kecerdasan Emosional
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional adalah skala kecerdasan emosional. Skala ini digunakan untuk mengungkapkan kecerdasan emosional seseorang yang didasarkan pada 5 aspek kecerdasan emosional.
Spesifikasi pernyataan-pernyataan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 1
Tabel Spesifikasi Aitem-aitem Skala Kecerdasan Emosional (uji coba)
Aspek Favorable Unfavorable Jmlh
Mengenali Emosi Diri 1,11,21,31,41,51,61,71 6,16,26,36,46,56,66 15 Mengelola Emosi Diri 2,12,22,32,42,52,62,72 7,17,27,37,47,57,67 15 Memotivasi Diri 3,13,23,33,43,53,63,73 8,18,28,38,48,58,68 15 Mengenali Emosi orang lain 4,14,24,34,44,54,64,74 9,19,29,39,49,59,69 15 Membina Relasi 5,15,25,35,45,55,65,75 10,20,30,40,50,60,70 15
Jumlah 40 35 75
Dalam menjawab skala ini, subyek diminta untuk memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yang disajikan oleh peneliti. Penilaian untuk aitem favorable dan unfavorable memiliki skor yang berbeda. Berikut adalah skor untuk pernyataan favorable (positif) dan unfavorable (negatif) :
Tabel 2
Skor Butir-butir Skala Kecerdasan Emosional Skor Alternatif Jawaban
Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai (SS) 4 1
Sesuai (S) 3 2
Tidak Sesuai (TS) 2 3
2. Skala Pola Asuh Demokratis
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pola asuh demokratis adalah skala pola asuh demokratis yang disusun oleh Catarina Novita Wahyuningtyas pada tahun 2010 dalam penelitiannya yang berjudul “Hubungan antara Pola Asuh Demokratis dengan Harga Diri Remaja”. Skala pola asuh demokratis ini memiliki 60 aitem yang terdiri dari 25 aitem favorable dan 35 aitem unfavorable dengan nilai reliabilitas skala sebesar 0,963. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah 157 siswa SMA di Yogyakarta.
Peneliti tidak melakukan uji coba pada skala pola asuh demokratis karena uji coba pada skala ini telah dilakukan oleh Catarina Novita Wahyuningtyas pada tahun 2010 dengan melibatkan 58 subyek yang memiliki karakteristik yang sama dengan karakteristik subyek pada penelitian ini.
F. Pertanggungjawaban Mutu 1. Uji Validitas
Adapun validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas model ini merupakan bentuk validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau professional judgement (Azwar, 2005). Hal ini dilakukan dengan mengkolsutasikan setiap aitem dengan orang lain atau ahli yang dipandang lebih memahami hal-hal yang akan diukur (Supratiknya, 1998).
Pada skala kecerdasan emosional ini, validitas aitem diuji menggunakan pengujian validitas isi yang pengujiannya dilakukan dengan mengkonsultasikannya kepada dosen pembimbing skripsi yaitu Bapak Y. Heri Widodo, M.Psi.
2. Uji Daya Beda Aitem
Uji daya beda aitem atau lebih dikenal dengan seleksi aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana setiap aitem yang dibuat mampu membedakan antara individu yang memiliki dan individu yang tidak memiliki atribut yang diukur. Pengujian daya beda aitem ini menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) atau dikenal pula dengan sebutan parameter daya beda aitem (Azwar, 2007).
Uji coba skala kecerdasan emosional dalam penelitian ini melibatkan 55 remaja yang berada dalam jenjang pendidikan menengah atas (SMA) dengan rentang usia 15-18 tahun. Setelah data terkumpul, penghitungan skor skala kecerdasan emosional ini dilakukan dengan menggunakanSPSS 16.0 for Windows.
Tabel 3
Tabel Speifikasi Skala Kecerdasan Emosional Sebelum dan Sesudah Uji Coba
Sebelum Uji Coba Sesudah Uji Coba
Aspek
Favorable Unfavorable Favorable Unfavorable
Mengenali
Jumlah total 75 45
Tabel 4
Tabel Spesifikasi Skala Penelitian Kecerdasan Emosional
Aspek Favorable Unfavorable Jmlh
Mengenali Emosi Diri 41 36,46,56,66 5
Mengelola Emosi Diri 42,62,72 17,57 5
Memotivasi Diri 53 8,38,48,58 5
Mengenali Emosi orang lain 34,74 19,39,59 5
Membina Relasi 65 20,30,50,60 5
Jumlah 8 17 25
3. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah kepercayaan, kebenaran, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya. Reliabilitas digunakan untuk melihat sejauh mana suatu pengukuran memiliki hasil yang relatif sama jika dilakukan beberapa kali pengukuran terhadap subjek atau kelompok subjek yang sama (Azwar, 2004).
Sebaliknya, semakin koefisien reliabilitasnya mendekati angka 0 maka semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2007).
Reliabilitas pada skala kecerdasan emosional ini dihitung dengan teknik Alpha Cronbach dengan menggunakan SPSS 16.0 for Windows. Tujuan digunakannya teknik ini yaitu untuk melihat konsistensi antar aitem bagian dari skala (Azwar, 2007).
Dari hasil uji coba skala kecerdasan emosional ini diperoleh hasil bahwa skala uji coba ini memiliki nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,910 dengan 75 aitem dan 55 subyek. Jumlah aitem yang gugur sebanyak 30 aitem. Setelah menghilangkan aitem-aitem yang gugur tersebut, koefisien reliabilitas skala uji coba ini menjadi 0,908 dengan jumlah aitem sebanyak 25 butir. Berdasarkan hasil penghitungan reliabilitas di atas diperoleh hasil bahwa skala kecerdasan emosional tersebut bersifat reliabel.
G. Teknik Analisis Data 1. Uji Asumsi
Dalam penggunaan teknik korelasi, uji asumsi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh kesimpulan yang benar dan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Uji asumsi ini meliputi uji normalitas dan uji linearitas
a. Uji Normalitas
melakukan uji one Sample Kolmogorov Smirnov. Apabila nilai p > 0,05 maka data tersebut dikatakan terdistribusi secara normal dan jika p < 0,05 maka data terdistribusi secara tidak normal.
b. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang diuji berhubungan secara linear. Uji linearitas ini dilakukan dengan menggunakan test for linearity yang terdapat dalam SPSS 16.0 for Windows. Data dikatakan linear apabila kedua variabel yang diteliti memiliki signifikansi kurang dari 0,05 (p < 0,05).
2. Uji Hipotesis
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian tentang hubungan pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional ini dilaksanakan mulai tanggal 24 November 2010 sampai 30 November 2010 dengan cara meminta subyek untuk memberikan jawaban pada kuesioner yang dibagikan sesuai dengan keadaan subyek saat mengisi skala tersebut. Kuesioner tersebut berisi dua skala penelitian yaitu skala kecerdasan emosi dan skala pola asuh demokratis. Kuesioner disebar secara personal/ informal dengan tidak menggunakan surat ijin tertulis yang ditujukkan kepada pihak sekolah. Namun untuk keabsaahan penelitian yang mencakup kesediaan subyek, digunakanlah inform concern sebagai bukti bahwa data penelitian ini dapat digunakan untuk kepentingan penelitian.
Peneliti membagikan sebanyak 150 eksemplar kuesioner yang tersebar di beberapa sekolah di Yogyakarta seperti SMA BOPKRI 2 Yogyakarta, SMA BOPKRI 1 Yogyakarta, SMAN 9 Yogyakarta, SMA Kolese De Britto, SMAN 1 Depok, SMA BOPKRI Banguntapan, SMAN 1 Banguntapan, dan SMAN 2 Banguntapan. Kuesioner yang kembali ke peneliti sebanyak 146 eksemplar dan yang memenuhi syarat untuk dipakai dalam penelitian sebanyak 127 eksemplar.
B. Data Demografi Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah remaja putra dan putri yang memiliki rentang usia 15-18 tahun. Berikut ini merupakan tabel data demografi subyek :
1. Berdasarkan usia
Tabel 5
Data Demografi Subyek Penelitian Berdasarkan Usia
USIA JUMLAH PERSENTASE
15 tahun 46 36,2
16 tahun 43 33,9
17 tahun 32 25,2
18 tahun 6 4,7
Jumlah 127 100
2. Berdasarkan jenis kelamin
Tabel 6
Data Demografi Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jns Klmn JUMLAH PERSENTASE
Perempuan 82 64,6
Laki-laki 45 35,4
3. Berdasarkan tempat tinggal di Yogyakarta Tabel 7
Data Demografi Subyek Penelitian Berdasarkan Tempat Tinggal di Yogyakarta
4. Berdasarkan pengasuh sejak kecil Tabel 8
Data Demografi Subyek Penelitian Berdasarkan Pengasuh Sejak Kecil
C. Hasil Teknik Analisis Data 1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya sebaran data penelitian yang telah dilakukan. Uji normalitas dalam
Tempat Tinggal JUMLAH PERSENTASE
Rumah orang tua 113 89
Rumah kerabat 7 5,5
Kos/ asrama 7 5,5
Jumlah 127 100
Pengasuh JUMLAH PERSENTASE
Ayah dan Ibu 115 90,5
Ayah atau Ibu saja 7 5,5
Kerabat/ Saudara 5 4
penelitian ini menggunakanSPSS 16.0 for windows. Berikut ini adalah hasil uji normalitas dalam penelitian ini :
i. Uji normalitas pada skala kecerdasan emosi menunjukkan nilai p sebesar 0,307 (p > 0,05). Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi terdistribusi secara normal karena memiliki nilai p > 0,05.
ii. Uji normalitas pada skala pola asuh demokratis menunjukkan nilai p sebesar 0,677 (p > 0,05). Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel pola asuh demokratis terdistribusi secara normal karena memiliki nilai p > 0,05.
b. Uji Linearitas
Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang diuji dalam penelitian bersifat linear. Uji linearitas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa nilai linearitasnya sebesar 0,000 (p < 0,05. Nilai tersebut menunjukkan bahwa antara variabel kecerdasan emosi dan variabel pola asuh demokratis memiliki hubungan yang linear.
2. Uji Hipotesis
tailed atau satu ekor dilakukan dalam penelitian ini karena hipotesisnya sudah mengarah kepada arah yang positif (Hadi,2004).
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara variabel pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional remaja adalah 0,287 dengan probabilitas sebesar 0,001 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima yang berarti terdapat hubungan positif antara variabel pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional pada remaja di Yogyakarta. Remaja yang diasuh dengan pola asuh cenderung demokratis memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.
Meskipun demikian, nilai hipotesis sebesar 0,287 memiliki arti bahwa sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel pola asuh demokratis terhadap kecerdasan emosional hanya sebesar 8,23%, sedangkan 91,77% lainnya dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya antara lain faktor genetik, faktor lingkungan di luar rumah yaitu perkembangan jaman yang semakin cepat dan pesat dalam berbagai bidang serta luasnya lingkup pergaulan remaja.
3. Uji Tambahan
Tabel 9
Data Mean Empiris dan Mean Teoritis Skala Pola Asuh Demokratis dan Skala Kecerdasan Emosional
Mean
Variabel N t P
Teoritis Empiris
Pola Asuh Demokratis 16,937 0,000 150 186.61 Kecerdasan Emosional
127
12,332 0,000 62,5 70.38
Dalam skala pola asuh demokratis diperoleh hasil mean teoritis sebesar 150 dan mean empirisnya sebesar 186,61. Nilai t pada skala pola asuh demokratis ini sebesar 12,332 sedangkan nilai p pada skala ini adalah 0,000 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa mean empiris lebih besar daripada mean teoritisnya dan memiliki pengertian bahwa pola asuh yang diterima subyek cenderung demokratis.
Pada skala kecerdasan emosional diperoleh nilai mean teoritis sebesar 62,5 dan mean empiris sebesar 70,38. Nilai t pada skala ini sebesar 16,937 dan nilai p sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan arti yang sama dengan skala pola asuh demokratis yaitu kecerdasan emosional pada subyek penelitian tergolong tinggi.
D. Pembahasan
demokratis dan kecerdasan emosional pada remaja di Yogyakarta. Remaja dengan pola asuh yang cenderung demokratis akan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Meskipun demikian, pola asuh demokratis hanya memberi sedikit sumbangan terhadap perkembangan kecerdasan emosional remaja dan sumbangan lain yang mungkin mempengaruhi kecerdasan emosional remaja adalah faktor genetik dan lingkungan di luar rumah yang dapat berupa luasnya pergaulan remaja serta perkembangan jaman yang kian pesat.
Dalam penelitian ini, pola asuh yang cenderung demokratis berpengaruh terhadap kecerdasan emosional seorang remaja. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain komunikasi yang terbuka antara remaja dengan orang tua (Santrock, 2007). Komunikasi yang terbuka ini meliputi kebebasan remaja dalam mengutarakan pendapatnya kepada orang tua mereka maupun orang lain serta menerima kritikan yang ditujukan kepada mereka (Goleman, 1997). Keterampilan komunikasi ini menunjang tumbuhnya rasa empati terhadap orang lain yang menjadi bekal untuk menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar. Remaja yang mampu membina hubungan yang baik dengan lingkungannya dan mampu berempati dengan orang-orang di sekitarnya berarti memiliki kecerdasan emosional yang tinggi pula.
orang tua kepada anak remajanya. Kebebasan yang diberikan orang tua keada anak meliputi keikutsertaan anak dalam membuat peraturan-peraturan di dalam rumah dan kebebasan anak dalam memilih segala sesuatu yang sesuai dengan keinginannya (Santrock, 2007). Besarnya kebebasan yang diberikan orang tua kepada anak bertujuan meningkatkan motivasi diri pada remaja yang sekaligus melatih remaja untuk hidup lebih mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri (Goleman, 1997). Kemampuan remaja untuk memotivasi diri sehingga mampu untuk hidup lebih mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal-hal yang menjadi faktor terbentuknya kecerdasan emosional seseorang yang berkaitan dengan kecenderungan pola asuh demokratis yang diterima oleh remaja.
Hasil uji tambahan dalam penelitian ini menunjukan bahwa kecerdasan emosional pada subyek tergolong tinggi. Hal tersebut dikarenakan secara umum remaja sekarang diberikan kebebasan yang lebih besar oleh orang tua apabila dibandingkan dengan remaja jaman dulu (Henny, komunikasi pribadi, 10 Februari, 2011). Kebebasan yang dimaksud mencakup kebebasan berkomunikasi antara remaja dengan orang tua (Santrock, 1997). Remaja memiliki kebebasan mengutarakan pendapatnya kepada orang tua (Santrock, 2007) dan bersedia menerima masukan dan kritikan dari orang tua yang berkaitan dengan eputusan-keputusan yang diambil oleh remaja (Goleman, 1997). Kebebasan ini juga berkaitan kebebasan remaja dalam pergaulannya. Luasnya lingkup pergaulan remaja sekaligus mengasah keterampilan remaja untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Keterampilan ini merupakan bagian dari kemampuan membina hubungan dengan orang lain yang menjadi bagian dari kecerdasan emosional seseorang. Kemampuan membina hubungan ini meliputi sikap remaja yang mudah bergaul, mau bekerja sama dengan orang lain, mau berbagi, suka menolong, dan lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain (Goleman, 1997).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara pola asuh demokratis dan kecerdasan emosional pada remaja di Yogyakarta. Remaja yang menerima pola pengasuhan yang cenderung demokratis di dalam keluarga akan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Dari hasil penelitian tersebut juga dapat dilihat bahwa pola pengasuhan yang diterima oleh subyek penelitian cenderung demokratis dan kecerdasan emosional pada subyek tergolong tinggi. Meskipun demikian, pola pengasuhan yang cenderung demokratis ini hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap kecerdasan emosional subyek.
B. SARAN
Melihat hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan dalam penelitian ini, peneliti mengajukan saran bagi peneliti selanjutnya yang akan menggunakan topik yang sama agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. 1. Bagi Peneliti
Apabila peneliti akan melakukan penelitian serupa, hendaknya menyertakan seluruh data yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kelemahan penelitian dan
kesalahan tafsir dalam membaca hasil penelitian sekaligus guna memperkuat penelitian yang dilakukan.
2. Bagi Remaja
DAFTAR PUSTAKA
Alhamri, A., & Fakhrurrozi, M. (2007). Kecerdasan emosi pada remaja pelaku tawuran. Jurnal Universitas Gunadarma. Diunduh pada 24 September 2010 dari http://www.google.com
Azwar, S. (2004).Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Relajar _______. (2005).Metode Penelitian, Edisi I.Yogyakarta: Pustaka Pelajar _______. (2007).Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Relajar Besembum, I. (2008). Gaya pola asuh orang tua. Tesis. Universitas Persada
Indonesia Y. A. I. Jakarta. Diunduh pada 5 Oktober 2010 dari http://one.indoskripsi.com/content/kategori-skripsi
Demi band idola, ABG nyolong radio tetangga. (2009, 13 Desember). Koran Merapi, h. 2.
Gunarsa, J. S. D., & Gunarsa, S. D. (1981). Psikologi remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Goleman, D. (1997). Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hadi, S. (2004).Metodologi Research. Yogyakarta: Penerbit Andi
Hurlock, E. B. (1996).Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
___________. (1998).Adolescent Development.Tokyo: The McGraw Hill Kogakusha, Ltd.
Ikawati, & Udati, T. (2000). Sikap otoriter, demokrasi, dan permisif orang tua pada remaja pengguna dan bukan pengguna obat. Media Informasi Penelitian, 163.19-31.
Kerlinger, F. N. (2006). Asas-asas penelitian behavioral (ed. ke-3). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kurnianingsih, E. (2009). Hubungan antara perilaku seksual pranikah dengan kelekatan aman remaja-orang tua.Skripsi yang tidak diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Kurniasari, C. (2004).Hubungan antara persepsi terhadap pola asuh demokratis dengan kecerdasan emosional pada remaja. Skripsi. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Psychology, vol.10, no.002, 338-348. Diunduh pada 29 September 2010 darihttp://148.215.1.128/redalyc_captura/src/registro/Portaldilla.jsp?cvere vtit=17210214&CvEntRev=17214/03/2008.02:00:34a.m
Mőnks, F. J., Knoers, A. M. P., & Hadinoto, S. R. (2002). Psikologi perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Perkasa, E. (2010, 5 Agustus). Orang tua berperan mengawasi [Suara mahasiswa]. Harian JogloSemar,h. 9.
Santrock, J. W. (2002).Life-span development: Perkembangan masa hidup Jilid I (ed. Ke-5). Jakarta: Penerbit Erlangga.
__________. (2007). A tropical approach to life span development. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
__________. (2009). Life-Span Development (ed. Ke-12). New York: The MacGraw-Hill Companies, Inc.
Sarwono, S. W. (2008). Psikologi remaja (Ed. rev. ke-12). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Shapiro, L. E. (1998).Mengajarkan Emotional Intteligence pada Anak.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Steinberg, L.D. (2002). Adolescent, Sixth Edition. New York: The MacGraw-Hill Companies, Inc.
Supratiknya, A. (1998). Statistic Psikologi. Yogyakarta: Pusat Penerbitan dan Pengembangan Sumber Belajar Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Sutrisnawati, K. M. (2009). Hubungan antara level karier dengan employee engagement pada konsultan PT. Orindo Alam Ayu Yogyakarta. Skripsi. Universitas Sanata Dharma.
Taganing, N. M., & Fortuna, F. (2008). Hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Jurnal Universitas Gunadarma. Diunduh pada 24 September 2010 dari http://www.google.com
Wahyuningsih, A. S. (2004). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa kelas II SMU Lab School Jakarta Timur. Skripsi. Universitas Persada Indonesia Y. A. I. Jakarta. Diunduh pada 9 Oktober 2010 dari http://one.indoskripsi.com/content/kategori-skripsi Wahyuningtyas, C. N. (2010). Hubungan antara pola asuh demokratis dan harga
LAMPIRAN I
Hasil Uji Daya Beda Aitem dan Uji Reliabilitas
Uji Daya Beda Aitem dan Uji Reliabilitas Skala Kecerdasan Emosional
Items N of Items
.910 .915 75
a1 210.00 352.519 -.049 .912
a2 209.65 353.490 -.094 .911
a3 209.73 347.832 .213 .909
a4 209.62 346.611 .190 .909
a5 210.15 342.830 .423 .908
a6 210.67 350.928 .004 .911
a7 210.49 348.218 .085 .911
a8 209.91 338.603 .612 .907
a9 210.49 339.403 .414 .908
a10 210.27 340.387 .508 .907
a11 209.65 345.564 .225 .909
a12 210.00 344.778 .255 .909
a13 209.82 342.707 .395 .908
a14 209.89 343.432 .393 .908
a15 209.93 337.069 .572 .907
a16 210.62 359.018 -.301 .913
a17 210.60 340.096 .345 .908
a18 210.65 337.749 .466 .907
a19 210.35 332.527 .571 .906
a20 210.04 338.813 .574 .907
a21 210.49 356.514 -.183 .913
a22 210.25 347.897 .128 .910
a24 210.29 342.951 .329 .908
a25 210.15 339.756 .543 .907
a26 210.71 345.432 .168 .910
a27 210.73 342.239 .276 .909
a28 209.93 339.735 .396 .908
a29 210.38 339.092 .405 .908
a30 210.22 338.692 .582 .907
a31 210.07 346.698 .188 .909
a32 210.36 346.606 .232 .909
a33 209.82 347.781 .152 .910
a34 209.93 342.180 .449 .908
a35 210.16 344.251 .344 .908
a36 210.95 339.682 .435 .908
a37 210.51 346.588 .210 .909
a38 210.13 335.113 .594 .906
a39 210.29 340.099 .426 .908
a40 210.22 337.248 .562 .907
a41 210.45 342.364 .364 .908
a42 210.11 338.173 .438 .907
a43 209.56 340.028 .538 .907
a44 209.91 345.677 .228 .909
a45 210.18 349.485 .076 .910
a46 210.56 340.658 .398 .908
a47 210.89 347.358 .156 .910
a48 210.18 337.707 .558 .907
a49 210.64 354.051 -.099 .912
a50 210.20 335.126 .585 .906
a51 210.22 352.470 -.049 .911
a52 210.53 347.106 .177 .910
a53 209.64 336.495 .617 .906
a54 209.95 343.756 .411 .908
a55 210.05 340.015 .479 .907
a56 210.42 335.211 .592 .906
a57 210.22 339.396 .474 .907
a58 210.07 334.069 .578 .906
a59 210.18 336.670 .576 .907
a60 210.24 335.813 .671 .906
a61 210.18 343.892 .237 .909
a62 209.85 341.386 .424 .908
a63 209.91 337.269 .437 .907
a65 210.16 337.806 .591 .907
a66 210.44 341.621 .379 .908
a67 210.36 342.236 .309 .909
a68 209.84 335.880 .520 .907
a69 210.45 346.808 .135 .910
a70 210.38 340.463 .357 .908
a71 210.31 354.366 -.114 .912
a72 209.85 341.090 .488 .907
a73 209.76 345.443 .272 .909
a74 209.84 343.436 .420 .908
a75 209.89 342.766 .342 .908
*cetak tebal = aitem yang gugur
Tahap II
Items N of Items
.938 .939 48
a5 135.1091 266.766 .446 .937
a8 134.8727 263.632 .601 .936
a9 135.4545 263.586 .436 .937
a10 135.2364 265.036 .507 .936
a13 134.7818 267.618 .365 .937
a14 134.8545 268.423 .352 .937
a15 134.8909 261.580 .595 .936
a17 135.5636 264.399 .356 .938
a18 135.6182 261.870 .498 .936
a19 135.3091 258.625 .550 .936
a20 135.0000 263.222 .595 .936
a23 134.8727 263.706 .434 .937
a24 135.2545 267.860 .301 .938
a28 134.8909 263.432 .436 .937
a29 135.3455 263.230 .428 .937
a30 135.1818 263.337 .592 .936
a34 134.8909 266.618 .448 .937
a35 135.1273 267.965 .369 .937
a36 135.9091 263.158 .488 .936
a38 135.0909 260.084 .605 .936
a39 135.2545 263.971 .460 .937
a40 135.1818 262.189 .564 .936
a41 135.4182 265.803 .408 .937
a42 135.0727 261.439 .500 .936
a43 134.5273 264.995 .521 .936
a46 135.5273 264.069 .449 .937
a48 135.1455 262.386 .570 .936
a50 135.1636 260.028 .599 .936
a53 134.6000 262.133 .590 .936
a54 134.9091 268.899 .355 .937
a55 135.0182 264.759 .475 .937
a56 135.3818 260.870 .573 .936
a57 135.1818 262.485 .550 .936
a58 135.0364 258.443 .617 .935
a59 135.1455 261.497 .587 .936
a60 135.2000 260.459 .697 .935
a62 134.8182 265.744 .431 .937
a63 134.8727 262.446 .428 .937
a64 134.8545 269.534 .255 .938
a65 135.1273 263.076 .573 .936
a66 135.4000 266.281 .369 .937
a67 135.3273 265.039 .372 .937
a68 134.8000 260.533 .539 .936
a70 135.3455 265.341 .346 .938
a72 134.8182 266.189 .458 .937
a74 134.8000 268.163 .393 .937
a75 134.8545 267.719 .313 .938