• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Buah Bakau (Rhizophora mucronata Lamk.) pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Buah Bakau (Rhizophora mucronata Lamk.) pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley Secara In Vivo"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL BUAH

BAKAU (

Rhizophora mucronata

Lamk.) PADA TIKUS PUTIH

GALUR Sprague Dawley SECARA

IN VIVO

ADITYA YUDHA PRAWIRA SUKARNO

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Buah Bakau (Rhizophora mucronata Lamk.) pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley Secara In Vivo adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Aditya Yudha Prawira Sukarno

(4)
(5)

ABSTRAK

ADITYA YUDHA PRAWIRA SUKARNO. Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Buah Bakau (Rhizophora mucronata Lamk.) pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley Secara In Vivo. SRI PURWANINGSIH dan EKOWATI HANDHARYANI.

Peradangan pada jaringan hati disebabkan radikal bebas hasil metabolisme senyawa hepatoksikan seperti alkohol, parasetamol, dan CCl4 menyebabkan prevalensi penyakit hati semakin meningkat. Penelitian bertujuan mengetahui aktivitas antioksidan buah bakau (R.mucronata) sebagai hepatoprotektor dan mengetahui pengaruhnya terhadap kadar enzim spesifik hati, MDA hati, dan gambaran histopatologi hati. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol buah bakau memiliki aktivitas antioksidan sebesar 0,72 ppm. Perlakuan ekstrak buah bakau memberikan efek penyembuhan pada jaringan hati yang dianalisis melalui kadar enzim AST, enzim ALT, MDA, dan pengamatan histopatologi. Efek pemulihan terbaik pada kadar enzim AST terdapat pada dosis 1 mg/kg BB sebesar 23,6 U/L, kadar enzim ALT dosis 5 mg/kg BB sebesar 15,7 U/L, dan kadar MDA terbaik dosis 5 mg/kg BB sebesar 62,12 mg/kg BB. Gambaran histopatologi hati dosis 5 mg/kg BB menunjukkan adanya efek perlindungan dan pemulihan terbaik pada sel hati dari CCl4.

Kata kunci: antioksidan, buah bakau (R.mucronata), hepatoprotektif.

ABSTRACT

ADITYA YUDHA PRAWIRA SUKARNO. Effect Hepatoprotective Ethanol Extract of Propagule Mangrove (Rhizophora mucronata Lamk.) in White Rat Strain Sprague with In Vivo Methods.

Imfflamation in liver tissue caused by free radical metabolism results of toxic compounds such as alcohol, paracetamol, and carbon tetrachloride (CCl4) cause prevalence of liver disease more increased. This research was conducted to investigate antioxidant activity of propagule mangrove (R.mucronata) as a hepatoprotector and determined the level effect of specific liver enzymes, liver MDA, and histopathological studies. Results showed ethanol extract of mangrove propagule has antioxidant activity about 0,72 ppm. Treatment of propagule mangrove extract had a hepatoprotective effect on liver tissue were illustrated by enzyme levels of AST, ALT, MDA, and histopathological studies. Results showed that the best dose showing optimum recovery effect in level AST enzyme was 1 mg/kg BW with activity about 23,6 U/L, in level ALT enzyme was 5 mg/kg BW activity 14,3 U/L, level of MDA was 5 mg/kg BB activity 62,12 U/L. Highest hepatoprotective activity in histopathological studies showed by 5 mg/kg BB dosing.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL BUAH

BAKAU (

Rhizophora mucronata

Lamk.) PADA TIKUS PUTIH

GALUR Sprague Dawley SECARA

IN VIVO

ADITYA YUDHA PRAWIRA SUKARNO

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)

Judul Skripsi : Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Buah Bakau (Rhizophora mucronata Lamk.) pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

Nama : Aditya Yudha Prawira Sukarno

NIM : C34090049

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Purwaningsih, MSi Pembimbing I

Prof Drh Ekowati Handharyani, MSi PhD Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua Departemen

(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala, atas berkat rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 hingga September 2013

dengan judul Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Buah Bakau (Rhizophora mucronata Lamk.) pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley secara

in vivo.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan karya ilmiah ini, terutama kepada:

1. Dr Ir Sri Purwaningsih, MSi dan Prof Drh Ekowati Handharyani, MSi PhD selaku dosen pembimbing, terima kasih atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis,

2. Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan,

3. Dra Ella Salamah Msi, selaku dosen penguji, terima kasih telah memberikan banyak masukan yang bermanfaat kepada penulis,

4. Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan, serta

5. Taman Konservasi Suaka Margasatwa Pantai Indah Kapuk yang telah menyediakan sampel penelitian.

Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan seluruh keluarga tercinta atas segala dukungan moril, materil, doa, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada seluruh staf dan teman-teman yang turut berjuang bersama di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang luar biasa atas seluruh bantuannya kepada teman-teman Departemen Teknologi Hasil Perairan, khususnya angkatan 46 yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu.

Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah penelitian ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Ruang Lingkup Penelitian ... 2

METODE ... 4

Bahan ... 4

Alat... 4

Prosedur Analisis Penelitian... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11

Karakteristik Buah Baku (R.mucronata) ... 11

Rendemen Buah Bakau (R.mucronata) ... 11

Komposisi Kimia Buah Bakau (R.mucronata)... 12

Aktivitas Antioksidan Buah Bakau (R.mucronata) ... 14

Komponen Bioaktif Ekstrak Buah Bakau (R.mucronata) ... 16

Kadar AST dan ALT Serum Tikus ... 18

Kadar MDA pada Hati Tikus ... 21

Gambaran Histopatologi Hati Tikus ... 23

SIMPULAN DAN SARAN ... 27

Simpulan ... 27

Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

LAMPIRAN ... 34

(14)

DAFTAR TABEL

1 Pengukuran morfometrik buah bakau (R.mucronata) ... 11

2 Komposisi kimia buah bakau (R.mucronata) segar dan kering ... 12

3 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar buah bakau... 16

DAFTAR GAMBAR

1 Pengukuran morfometrik buah bakau ... 11

2 Persentase rendemen buah bakau (R.mucronata) ... 12

3 Rataan aktivitas antioksidan ekstrak kasar buah bakau (R.mucronata) dengan perlakuan suhu evaporasi ... 15

4 Rataan pengukuran kadar enzim AST serum pada tikus normal, CCl4, E1= Ekstrak 1 mg/kg BB, E5= Ekstrak 5 mg/kg BB, E25= Ekstrak 25 mg/kg BB, Sylimarin dosis 25 mg/kg BB (n=3) ... 18

5 Rataan pengukuran kadar enzim ALT pada tikus normal, CCl4, E1= Ekstrak 1 mg/kg BB, E5= Ekstrak 5 mg/kg BB, E25= Ekstrak 25 mg/kg BB, Sylimarin dosis 25 mg/kg BB (n=3) ... 19

6 Rataan pengukuran kadar MDA pada tikus normal, CCl4, E1= Ekstrak 1 mg/kg BB, E5= Ekstrak 5 mg/kg BB, E25= Ekstrak 25 mg/kg BB, Sylimarin dosis 25 mg/kg BB (n=3) ... 21

7 Gambaran histopatologi hati tikus pada kelompok normal (A), kelompok yang diberi CCl4 (B), kelompok perlakuan ekstrak buah bakau dosis 5 mg/kg BB (C), kelompok perlakuan sylimarin dosis 25 mg/kg BB. Pewarnaan H&E. Keterangan: Area fokus peradangan (D), sel Kupffer (K), sel nekrosis (N)... 23

DAFTAR LAMPIRAN

1 Morfometrik buah bakau ... 35

2 Perhitungan rendemen buah bakau ... 36

3 Perhitungan analisis proksimat buah bakau ... 36

4 Contoh perhitungan aktivitas antioksidan ekstrak perlakuan suhu evaporasi terbaik ... 37

5 Analisis statistik aktivitas antioksidan ... 38

6 Perhitungan kadar MDA hati tikus ... 39

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit hati merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia. Secara epidemiologis Indonesia termasuk daerah endemik sedang sampai tinggi hepatitis B di dunia (WHO 2012).Sekitar 300-350 juta orang terinfeksi virus hepatitis B dan 78% di antarnya ada di Asia. Sebanyak 170 juta orang terinfeksi hepatitis C dengan angka kematian lebih dari 350 ribu per tahun. Tahun 2012, penduduk Indonesia yang menderita hepatitis B dan C lebih dari 20 juta orang (KEMENKES 2012). Dua jenis penyakit inilah yang sering dikaitkan dengan penyakit hati (sirosis). Sirosis dapat berkembang menjadi kanker hati. Sirosis maupun kanker hati akan berakhir pada kematian penderitanya.

Penyakit hati atau yang lebih dikenal sebagai hepatitis merupakan suatu proses peradangan pada jaringan hati. Menurut Nugraha et al. (2008) penyebab timbulnya kerusakan fungsi hati adalah virus, bakteri aflatoksin, konsumsi alkohol yang berkepanjangan serta obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai macam mekanisme.

Hati merupakan organ yang sangat penting dan memiliki aneka fungsi dalam proses metabolisme sehingga organ ini sering terpapar zat kimia. Zat kimia tersebut akan mengalami detoksikasi dan inaktivasi sehingga menjadi tidak berbahaya bagi tubuh. Kerusakan hati karena obat dan zat kimia dapat terjadi jika cadangan daya tahan hati dan kemampuan regenerasi sel hati berkurang, dan selanjutnya akan mengalami kerusakan permanen (Brick 2004). Organ terbesar tubuh ini merupakan tempat utama metabolisme xenobiotik dan menjadi organ target pertama hepatoksikan seperti alkohol, parasetamol, CCl4, serta senyawa-senyawa kimia beracun lain yang akan menghasilkan metabolit asetaldehid yang sangat toksik (Hodgson 2004).

Sampai saat ini belum ada obat alami yang memuaskan untuk penyakit (kerusakan) hati. Obat-obatan tersebut selain khasiat penyembuhannya belum sempurna juga memiliki efek samping yang berbahaya karena mengandung cukup banyak komponen kimia. Harga obat yang mahal juga masih menjadi kendala utama dalam pengobatan penyakit hati. Salah satu harapan sumber alternative hepatoprotektif alami baru adalah buah bakau (Rhizophora mucronata). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa buah bakau memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dengan nilai IC50 yaitu sebesar 58,61 ppm (Priyatno 2012), dengan aktivitas antioksidan yang tinggi diindikasikan bahwa buah bakau dapat menjadi hepatoprotektor alami.

Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas. Menurut Nugraha et al. (2008) buah dengan kandungan senyawa antioksidan tinggi dapat memiliki aktivitas hepatoprotektor karena dapat mengurangi metabolit radikal bebas triklometil peroksida hasil dari transformasi CCl4. Rohaeti et al. (2010) melaporkan bahwa buah bakau juga memiliki beberapa

senyawa aktif, yaitu flavonoid, saponin, tanin, dan triterpenoid. Ravikumar & Gnanadesigan (2012) mengatakan bahwa kehadiran senyawa kimia

(16)

2

penghambatan sitokrom P450 dalam metabolisme pembentukan radikal bebas triklorometil.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai khasiat antioksidan buah bakau (Rhizophora mucronata) secara in vivo, serta dapat dijadikan dasar pengembangan tanaman buah bakau menjadi produk obat yang dapat diapakai secara luas oleh masyarakat.

Perumusan Masalah

Buah bakau spesies Rhizophora mucronata belum optimal dalam pemanfaatanya, padahal stoknya sangat berlimpah sepanjang tahunnya. Salah satu upaya pemanfaatan buah bakau jenis R. mucronata oleh masyarakat selama ini adalah sebagai obat tradisional. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa buah bakau tersebut mengandung komponen biokatif. Adanya dugaan bahwa buah bakau jenis

Rhizophora mucronata mengandung komponen aktif, sehingga buah ini diharapkan berpotensi sebagai antioksidan alami dan bisa dimanfaatkan sebagai hepatoprotektan

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan dan efek hepatoprotektif dari buah bakau (Rhizophora mucronata).

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi mengenai aktivitas antioksidan dan efek hepatoprotektif yang dihasilkan oleh komponen aktif dari buah bakau secara in vivo.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian antioksidan dari buah bakau (Rhizophora mucronata) sebagai hepatoprotektor secarain vivo. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian inti. Tahapan penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan ekstrak dengan hasil perlakuan terbaik.Analisis yang dilakukan meliputi preparasi dan ekstraksi (Ravikumar & Gnanadesigan 2012 dan Nurdiani et al. 2012), karakterisasi kimia (AOAC 2005), analisis aktivitas antioksidan (Hanani et al. 2005 yang dimodifikasi), dan analisis fitokimia (Harborne 1984).

(17)

3 selanjutnya dilakukan analisis aktivitas antioksidan, analisis fitokimia, dan hasil ekstraksi menghasilkan ekstrak kasar yang kemudian ditimbang untuk mendapatkan rendemennya.

Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif buah bakau (R.mucronata) secara in vivo. Analisis yang dilakukan pada penelitian utama meliputi analisis kadar enzim Aspartat Aminotransferase (AST) dan Alanin Aminotransferase (ALT) serum (Kit AMP diagnostic®), analisis kadar

Malondialdehid (MDA) hati (Iskandar et al. 2009), dan gambaran histopatologi hati (Panjaitan 2007). Pengujian efek hepatoprotektif menggunakan tikus jantan strain Sprague Dawley.

Hewan coba sebelum digunakan diaklimatisasi selama kurang lebih tujuh hari untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Pada masa aklimatisasi, hewan coba diberi makan dengan pakan standar dan minum ad libitum. Pada hari terakhir adaptasi tikus ditimbang dan dikelompokkan menjadi 6 kelompok (n=3) di dalam kandang secara terpisah. Kelompok perlakuan adalah sebagai berikut:

1. Normal : Kontrol negatif (normal)

2. CCl4: Kontrol positif, yaitu tikus diinduksi dengan CCl4 dengan dosis 2 ml/kg BB (diencerkan 1:1 (v/v) dalam cairan parafin) secara

intraperitonial pada hari pertama.

3. E1 : Perlakuan ekstrak Rhizophora mucronata. Tikus diinduksi pada hari pertama (Kelompok 1), kemudian diberikan ekstrak buah bakau terpilih dengan konsentrasi 1 mg/kg BB dilarutkan dalam air yang diinduksi secara oral pada hari ke-2 sampai hari ke-8.

4. E5 : Perlakuan sama dengan kelompok 3. Dosis ekstrak R.mucronata

yang diberikan 5 mg/kg BB.

5. E25 : Perlakuan sama dengan kelompok 3. Dosis ekstrak R.mucronata

yang diberikan 25 mg/kg BB.

6. Syl : Perlakuan hepatoprotektor standar, yaitu sylimarin. Tikus diinduksi pada hari pertama, kemudian diberikan sylimarindosis 25 mg/kg BB secara oral pada hari ke-2 sampai hari ke-8.

(18)

4

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan September 2013. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium, yaitu laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan untuk preparasi, karakterisasi, ekstraksi, dan analisis fitokimia. Analisis pengujian efek hepatoprotektif ekstrak buah bakau (Rhizophora mucronata) secara in vivo dilakukan di rumah sakit hewan IPB, laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. laboratorium klinis Mandapa, Bogor.

Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah buah bakau (Rhizophora mucronata). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis proksimat

meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat, asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl red (1:2) berwarna merah muda, larutan HCl 0,0947 N, pelarut lemak (n-heksana p.a.), larutan HCl 10% dan larutan AgNO3 0,10 N. Bahan yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 95%. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis aktivitas antioksidan adalah 1,1-diphenyl-2-picrylhdrazyl metanol, dan vitamin C sebagai kontrol positif. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendroff, kloroform, anhidrat asetat, asam sulfat pekat, serbuk magnesium, amil alkohol, air panas, larutan HCl 2 N, etanol 95%, larutan FeCl3 5%, peraksi Molisch, asam sulfat pekat, pereaksi Benedict, pereaksi Biuret dan larutan Ninhidrin 0,10%. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam pengujian efek hepatoprotektif secara in vivo adalah karbontetraklorida (CCl4), parafin, NaCl fisiologis, buffer neutral formalin 10%, buffer neutral formalin 10%, xilol, paraffin, hematoksilin-eosin (HE), buffer fosfat, kalium klorida, HCL, trikloroasetat, butilat hidroksitoluen, asam tiobarbiturat, asam klorida, tetraetoksipropana.

Alat

(19)

5 Prosedur Analisis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap analisis, yaitu karakterisasi, analisis kimia, analisis biokimia, dan analisis histopatologi. Tahap karakterisasi meliputi preparasi, pengukuran morfometrik, perhitungan rendemen, dan proses ekstraksi. Analisis kimia meliputi analisis proksimat, aktivitas antioksidan, dan pengujian fitokimia. Analisis biokimia terdiri dari pengukuran aktivitas enzim AST dan ALT serum dan kadar MDA pada hati tikus. Analisis histopatologi dilakukan dengan mengamati gambaran histopatologi preparat hati secara mikroskopis.

Karakterisasi

Tahap karakterisasi meliputi preparasi, pengukuran morfometrik, perhitungan rendemen, dan proses ekstraksi. Sampel buah bakau (Rhizophora mucronata) diambil dari kawasan Konservasi Hutan Mangrove di daerah Pantai Indah Kapuk.

Sampel buah bakau selanjutnya dilakukan pengukuran morfometrik meliputi pengukuran panjang, lebar, dan bobot dari buah bakau (R.mucronata). Sampel yang sudah diukur morfometriknya selanjutnya dikupas dan diblender untuk mendapatkan serbuk buah bakau yang selanjutnya akan diekstraksi (Ravikumar & Gnanadesigan 2012 dan Nurdiani et al. 2012).

Analisis Kimia

Analisis kimia meliputi analisis proksimat, aktivitas antioksidan, dan pengujian fitokimia. Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan yang meliputi, analisis kadar air, lemak, protein, dan abu.

a) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan dengan mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105oC selama1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang.Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105oC selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.

(20)

6

tanur pengabuan dengan suhu 600oC selama 7 jam. Cawan dimasukkan di dalam desikator dibiarkan sampai dingin dan kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar abu:

% Kadar abu =Bobot setelah tanur (g) - Cawan kosong (g) x 100% Berat sampel awal (g)

c) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Destilat kemudian dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda.Volume titran dibaca dan dicatat.Larutan blanko dianalisis seperti contoh.

Perhitungan kadarprotein:

% N = (ml HCl – ml blanko) x N HCl x 14,007 x 100% mg contoh

% Protein = % N x Faktor koreksi (6.25) d) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana). Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu

e) Analisis karbohidrat by difference

(21)

7 Pengujian aktivitas antioksidan (Hanani et al. 2005 yang dimodifikasi)

Aktivitas antioksidan ekstrak kasar buah bakau (Rhizophora mucronata) ditentukan dengan metode 1,1-diphenyl-2-picrylhdrazyl (DPPH) berdasaran metode Hanani et al. 2005 yang dimodifikasi. Tahap awal pengujian aktivitas antioksidan adalah mempersiapkan larutan sampel. Sampel ekstrak kasar dari buah bakau dilarutkan dalam methanol dengan konsentrasi 0,781, 1,562, 3,125, 6,25, 12,5, dan 25 ppm. Vitamin super ester C digunakan sebagai kontrol positif, dan untuk pembanding dengan masing-masing konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm.

Larutan blanko dengan konsentrasi 125 µM dibuat menggunakan kristal DPPH yang dilarutkan dalam etanol p.a. Proses pembuatan larutan DPPH dilakukan dalam kondisi terlindung dari cahaya matahari. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan berdasarkan kemampuan sampel yang digunakan dalam mereduksi radikal bebas DPPH. Kontrol positif menggunakan larutan asam askorbat 100 ppm yang dibuat dengan cara melarutkan kristal Vitamin C pada etanol p.a. Larutan DPPH dengan konsentrasi 125 µM diambil sebanyak 100 µL dan ditambah dengan 100 µL ekstrak, kemudian dimasukkan ke dalam

microplate yang telah disiapkan. Campuran larutan tersebut dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit.Serapan yang dihasilkan diukur dengan menggunakan EpochTM Microplate Spectrophotometer pada panjang gelombang 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya yang ditandai oleh perubahan warna ungu menjadi kuning (Molyneux 2004). Setelah itu, aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding Vitamin C dinyatakan dengan persen inhibisi yang dihitung dengan rumus berikut:

Nilai konsentrasi sampel (ekstrak maupun antioksidan pembanding Vitamin C dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan y = a + bx digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor

concentration 50%) dari masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel (ekstrak maupun antioksidan pembanding Vitamin C yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%. Uji fitokimia (Harborne 1984)

Pengujian fitokimia pada ekstrak buah bakau R.mucronata dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang diharapkan dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict, Biuret dan Ninhidrin.Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984).

a) Alkaloid

(22)

8

Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,8 gram bismutsubnitrat ditambahkan dengan 10 mL asam asetat dan 40 mL air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 mL air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi ini berwarna jingga.

Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl2 dengan 0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 mL dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 mL akuades ditambahkan 2,5 gram iodine dan 2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 mL dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Dragendorff terbentuk endapan merah hingga jingga, endapan putih kekuningan dengan pereaksi Meyer dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner.

b) Steroid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Setelah itu ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.

c) Flavonoid

Sejumlah sampel ditambahkan 0,1 mg serbuk magnesium dan 0,4 mL amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok. Adanya flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol. d) Saponin

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.

e) Fenol hidrokuinon

Sampel sebanyak 1 gram diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Adanya senyawa fenol dalam bahan ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru.

f) Tanin

Sampel sebanyak 1 gram ditambah pereaksi FeCl3 3%. Adanya warna hijau kehitaman menandakan suatu bahan mengandung komponen tanin.

Analisis biokimia

Analisis biokimia terdiri dari pengukuran aktivitas enzim AST dan ALT serum dan kadar MDA pada hati tikus.

Analisis kadar enzim AST dan ALT darah (Kit AMP diagnostic®)

(23)

9 serum darah. Serum tersebut kemudian dipisahkan ke dalam tabung ependorf. Kadar enzim AST dan ALT dianalisis dengan menggunakan Kit AMP diagnostic®.

Analisis kadar MDA hati (Iskandar et al. 2009)

Konsentrasi MDA pada organ hati diukur dengan metode thiobarbituric acid reactivesubstances (TBARS) melalui pengukuran malondialdehida sebagai produk akhir oksidasi lemak. Prinsip metode ini MDA bila direaksikan dengan asam tiobarbituburat (thiobarbiriuric acid, TBA), akan membentuk senyawa berwarna merah muda yang menyerap cahaya pada panjang gelombang 532 nm. Jumlah MDA yang terbentuk dapat menggambarkan proses peroksidasi lemak (Winarsi 2007).

Hati dipotong kemudian digerus dengan mortar sampai homogen dan ditambahkan buffer tris KCL pH 7,4 sebanyak 1 ml. Homogenat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, selanjutnya sampel ditambahkan 1 ml asam trikloroasetat (TCA) 100% kemudian divortex. Sampel homogenat kemudian ditambahkan 2ml HCL 1 M dan divortex lagi. Tabung reaksi sampel kemudian dipanaskan didalam waterbath suhu dipanaskan didalam waterbath suhu 100ºC selama ± 20 menit. Tabung reaksi yang telah dipanaskan kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm ± 10 menit. Supernatan diambil dan ditambahkan aquades sampai 3 ml dan dibaca dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm. Kadar MDA dihitung menggunakan kurva baku larutan standar MDA. Larutan standar yang digunakan adalah tetraetoksipropana (TEP). Kadar MDA diketahui dengan melakukan perhitungan menggunakan rumus berikut:

Keterangan: A = Kadar sampel dalam pmol/50 μm TEP. Fp = Faktor pengenceran.

Analisis histopatologi

Analisis histopatologi dilakukan dengan mengamati gambaran histopatologi preparat hati secara mikroskopis.

Persiapan preparat histopalogi hati (Panjaitan 2007)

(24)

10

Rancangan Percobaan

Analisis data dilakukan pada kadar enzim AST dan ALT serum, serta kadar MDA. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Model observasi RAL, yaitu sebagai berikut:

Yij = μ + αi + ∑ij Keterangan:

Yij = respon pengaruh perlakuan pada taraf i ulangan ke j

μ = pengaruh rata-rata umum

αi =pengaruh perlakuan pada taraf i

∑ij = pengaruh acak (galat percobaan) pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j

J = 1, 2, dan 3;

Jika hasil dari pengujian menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata pada selang 95% (α=0,05) maka dilakukan uji lanjut Duncan. Rumus uji Duncan adalah:

Keterangan:

Rp = nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan p = perlakuan

dbs = derajat bebas

(25)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Buah Bakau (R.mucronata)

Buah bakau yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Taman Konservasi Mangrove, Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Buah bakau terdiri dari dua bagian yaitu kelopak dan buah bakau (hipokotil). Buah bakau mempunyai hipokotil lurus, silindris, bewarna hijau kecoklatan, dan buahnya dipenuhi bintil-bintil dan bila jatuh tertancap ke dalam lumpur akan tumbuh dan membesar. Daging buah yang sudah dikupas dan dihaluskan dengan blender memiliki tekstur yang halus dan berwarna coklat.Pengukuran morfometrik buah bakau dapat dilihat pada Gambar 1.

Lebar

Panjang

Gambar 1Pengukuran morfometrik buah bakau

Buah bakau yang digunakan sebanyak 30 buah dengan pengukuran morfometrik yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1Pengukuran morfometrik buah bakau (R.mucronata)

No Parameter Nilai

1 Panjang (cm) 58,45 ± 4,22

2 Lebar (cm) 1,64 ± 0,12

3 Bobot (gr) 2,497 ± 13,06

Keterangan: data diperoleh dari 30 sampel buah bakau

Buah bakau yang sudah matang mempunyai hipokotil lurus, silindris dengan panjang 30-70 cm dan diameter 1-2 cm (FAO 2000). Berdasarkan data yang diperoleh, buah bakau yang digunakan dalam penelitian ini termasuk buah yang sudah matang.

Rendemen Buah Bakau (R.mucronata)

(26)

12

Gambar 2Persentase rendemen buah bakau (R.mucronata)

Berdasarkan Gambar 2 rendemen daging buah yang didapatkan adalah sebesar 52%,dan rendemen ekstrak kasar yang didapatkan dari total buah yang digunakan adalah sebesar 3%. Hasil penelitian Priyatno (2012) rendemen daging buah bakau yang didapatkan sebesar 44,94% dan rendemen ekstrak kasar metanol sebesar 10,95% dari total bobot buah yang digunakan.

Perbedaan rendemen buah bakau diduga disebabkan perbedaan teknik pengupasan buah dan penggunaan suhu evaporasi. Penelitian ini menggunakan suhu evaporasi yang lebih tinggi yaitu 70ºC. Berdasarkan penelitan

Ma’mun et al. (2006) menyatakan pemanasan akan menyebabkan lebih

banyaknya komponen organik yang menghilang, penguapan, sari terlarut dan kandungan bahan aktif yang lebih sedikit. Rendemen ekstrak kasar yang didapatkan pada penelitian jauh lebih sedikit.

Komposisi Kimia Buah Bakau (R.mucronata)

Informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat dalam buah bakau

R.mucronata dapat diketahui melalui analisis komposisi kimia atau proksimat. Komposisi kimia yang terkandung dalam suatu bahan pangan menunjukkan seberapa besar kuantitas dan kualitas bahan tersebut untuk memberikan asupan gizi sesuai kebutuhan manusia (Winarno 2008). Hasil analisis komposisi kimia buah bakau (R.mucronata) segar dan kering dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2Komposisi kimia buah bakau (R.mucronata) segar dan kering

Parameter R.mucronata bakau (R.mucronata) memiliki persentase yang lebih besar jika dibandingkan dengan kadar abu, protein, dan lemak. Kadar air buah bakau segar sebesar 31,96%

(27)

13 dan pada buah bakau kering mengalami penurunan menjadi 31,51%. Hal tersebut disebabkan proses pengeringan buah bakau sehingga kadar air menurun. Kadar abu dan kadar protein buah bakau segar masing-masing sebesar 1,10% dan 2.59% dan mengalami peningkatan pada buah bakau kering menjadi 1,23% dan 3,94%. Kadar lemak buah bakau segar sebesar 0,86% dan menurun menjadi 0,76%. karbohidrat pada buah bakau segar sebesar 63,49% dan pada buah bakau kering menurun menjadi 62,56%.

Air merupakan komponen yang penting dalam bahan makanan, karena air dapat memberikan pengaruh kepada penampakan, tekstur serta cita rasa. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan daya terima, kesegaran serta daya simpan bahan tersebut (Winarno 2008). Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar air buah bakau segar dan kering berturut-turut sebesar 31,96% dan 31,51%. Nilai ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Priyanto (2011) pada sampel yang sama, bahwa buah bakau segar memiliki kadar air sebesar 58,56%. Kadar air buah lindur segar (Bruguiera gymnorrhiza) hasil penelitian Sulistyawati et al. (2012) sebesar 8,93%. Buah lindur ini satu famili

Rhizophoraceae dengan buah bakau.

Buah dan sayuran termasuk makanan yangmudah mengalami kerusakan (high perishable food) karena peranan air dalam bahan pangan dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti aktivitas enzim, aktivitas mikroba, aktivitas kimiawi yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi non enzimatik (Wirakusumah 2007). Tingginya nilai kadar air buah bakau didukung karena habitatnya yang berada didekat wilayah perairan dan umumnya tumbuh di pesisir pantai (FAO 2000). Pengurangan kadar air pada buah bakau kering disebabkan karena proses pengeringan. Pengeringan dapat menghilangkan air yang terkandung dalam bahan pangan. Semakin lama waktu pengeringan yang dilakukan, kadar air yang terdapat pada suatu bahan pangan akan semakin rendah (Winarno 2008).

Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan yang dianalisis. Komponen-komponen organik terbakar, tetapi komponen anorganiknya tidak dan komponen ini disebut abu (Winarno 2008). Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar abu pada buah bakau segar sebesar 1,10% dan pada buah bakau kering 1,23%. Peningkatan kadar abu pada buah bakau kering diduga karena proses pengeringan yang dilakukan di tempat terbuka, sehingga adanya pertambahan jumlah komponen anorganik dari lingkungan luar. Hasil kadar abu pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Priyanto (2011) bahwa kadar abu buah bakau sebesar 1,25%. Apabila dibandingkan dengan kadar abu buah lindur,

kadar abu buah bakau masih lebih rendah dibandingkan penelitian Sulistyawati et al. (2012) yang menyatakan kadar abu buah lindur sebesar 1,60%.

Lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan karbohidrat dan protein. Hasil analisis lemak pada buah bakau segar sebesar 0,86% dan menurun pada buah bakau kering menjadi 0,76%. Nilai ini tidak begitu berbeda dengan hasil penelitian Priyanto (2011) menyatakan bahwa kadar lemak buah bakau sebesar 0,70%. Kadar lemak pada buah bakau masih lebih rendah dibandingkan kadar lemak buah lindur hasil penelitian Sulistyawati et al. (2012)

(28)

14

sayur mempunyai peranan penting dalam mempertahankan tekstur, rasa, aroma dan warna berupa trigliserida, sterol dan kolestrol. Penurunan kadar lemak buah bakau kering diduga disebabkan proses pemanasan. Menurut Jacoeb et al. (2008) hal tersebut disebabkan selama proses pemanasan lemak mencair bahkan menguap (volatil) menjadi komponen lain seperti flavour.

Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh, karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh dan berfungsi sebagai zat pembangun serta pengatur. Protein digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan energi mengandung N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno 2008).

Berdasarkan hasil analisis proksimat kadar protein buah bakau segar dan buah bakau kering memiliki nilai masing-masing sebesar 2,59% dan 3,54%. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Priyanto (2011) bahwa buah bakau segar memiliki kadar protein sebesar 2,53%. Kandungan protein nabati cenderung lebih rendah dari pada protein hewani, kecuali pada kacang-kacangan dan produk olahannya.Protein hewani lebih banyak menyediakan asam amino-asam amino esensial sehingga protein yang dihasilkan lebih bermutu tinggi. Angka kecukupan protein untuk orang dewasa menurut Kusnandar (2010) yaitu 50 g/hari untuk pria dan 42 g/hari untuk wanita.

Karbohidrat merupakan senyawa karbon, hidrogen, dan oksigen yang terdapat di alam. Di dalam tubuh, karbohidrat berfungsi mencegah pemecahan kelebihan protein tubuh, kehilangan mineral, serta membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 2008). Hasil analisis proksimat mendapatkan bahwa kadar

karbohidrat buah bakau segar dan buah bakau kering secara perhitungan

by difference memiliki nilai masing-masing sebesar 63,50% dan 62,57 %. Penelitian yang dilakukan Priyanto (2011) menunjukkan bahwa buah bakau segar memiliki kadar karbohidrat sebesar 36,96%. Kadar karbohidrat pada buah bakau masih lebih rendah dibandingkan kadar karbohidrat buah lindur hasil penelitian Sulistyawati et al. (2012) menyatakan karbohidrat buah lindur sebesar 82,09%.

Aktivitas Antioksidan Buah Bakau (R.mucronata)

Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lemak (Suhartono et al. 2002). Selanjutnya menurut Handayani dan Sulistyo (2008) antioksidan berpotensi menginaktifkan radikal bebas dengan mekanisme menyumbangkan satu atau lebih elektron, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam. Mekanisme antioksidan juga memungkinkan adanya sifat penstabil molekul radikal bebas yang dihasilkan oleh berbagai jenis proses kimia normal tubuh atau oleh radiasi matahari, asap rokok, dan pengaruh-pengaruh lingkungan lainnya.

(29)

15 berwarna ungu pekat menjadi kuning. Pengujian analisis antioksidan buah bakau (R.mucronata) menggunakan 5 perlakuan suhu evaporasi ekstrak yang berbeda yaitu, suhu 40 ºC, 50 ºC, 60 ºC. 70 ºC, dan 80 ºC. Hasil uji aktivitas antioksidan buah bakau (R.mucronata) dan Vitamin C tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3 Rataan aktivitas antioksidan ekstrak kasar buah bakau (R.mucronata) dengan perlakuan suhu evaporasi

Hasil analisis aktivitas antioksidan pada Lampiran 5a menunjukkan perlakuan suhu evaporasi ekstrak buah bakau memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap aktivitas antioksidan sampel buah bakau. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5b) didapatkan aktivitas antioksidan perlakuan suhu 70 ºC secara signifikan berbeda (p<0,05) pada perlakuan suhu 40 ºC, 50 ºC, 60 ºC, dan vitamin C, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu 80 ºC.

Antioksidan standar yang digunakan pada penelitian ini adalah vitamin C

dengan nilai IC50 sebesar 5,59 ppm. Penelitian yang dilakukan Banerjee et al. (2008) nilai IC50 asam askorbat sebesar 3,62 ppm. Hasil pengujian

aktivitas antioksidan menunjukkan buah bakau (R.mucronata) merupakan senyawa antioksidan kuat, karena semua perlakuan memiliki niali IC50 kurang dari 50 ppm. Menurut Molyneux (2004), suatu bahan dengan nilai IC50 < 50 ppm merupakan antioksidan yang sangat kuat.

Aktivitas antioksidan buah bakau pada perlakuan suhu70 ºC merupakan perlakuan terbaik dengan nilai IC50 sebesar 0,72 ppm, bahkan lebih baik dari Vitamin C. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Bunyapraphatsara (2002) aktivitas antioksidan metode DPPH pada buah bakau (R.mucronata) di Thailand didapatkan nilai IC50 sebesar 4,33 ppm. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Priyatno (2012) dengan sampel yang sama, didapatkan nilai IC50 ekstrak methanol buah bakau (R.mucronata) sebesar 58,61 ppm. Berdasarkan Gambar 3 diketahui semakin tinggi suhu evaporasi yang digunakan maka nilai IC50 semakin baik. Hal tersebut diduga perlakuan suhu evaporasi 70 ºC merupakan suhu optimal proses pemisahan zat antioksidan pada buah bakau. Semakin tinggi suhu evaporasi yang digunakan, komponen kimia beberapa bahan terpisah atau terkestrak secara sempurna pada kondisi optimum. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maulida et. al (2010), menyatakan pada ekstraksi antioksidan (likopen) dari buah tomat, dimana pada suhu 70 oC zat antioksidan likopen dari tomat telah dapat dipisahkan dari struktur sel tomat.

10.65d 11.06d

suhu 40 suhu 50 suhu 60 suhu 70 suhu 80 Vitamin C

(30)

16

Tingginya sifat antioksidan pada ekstrak etanol buah bakau diduga berkorelasi dengan banyaknya senyawa aktif yang dapat terdeteksi melalui uji fitokimia. Komponen bioaktif yang terdapat dalam ekstra etanol buah bakau meliputi flavonoid, tannin, saponin, dan fenol hidrokuinon. Senyawa tersebut memiliki aktivitas antioksidan.Ravikumar & Gnanadesigan (2012) mengatakan bahwa kehadiran senyawa kimia seperti flavonoid, triterpenoid, tanin, dan alkaloid yang ada pada buah bakau (R.mucronata) menjadi penyebab timbulnya

mekanisme antioksidan pada tikus yang diinduksi CCl4. Menurut Rohaeti et al. (2010) buah bakau juga memiliki beberapa senyawa aktif, yaitu

flavonoid, saponin, tanin, dan triterpenoid yang berfungsi sebagai senyawa antioksidan.Menurut Suratmo (2009), golongan fenolat merupakan senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan. Francil et al. (1985) menyatakan bahwa golongan senyawa fenolik bersifat relatif tahan terhadap panas, sedangkan menurut Kikukagawa et. al (1990) walaupun senyawa fenolik bisa terdegradasi oleh panas tinggi dan berubah menjadi radikal antioksidan, namun masih tetap memiliki aktivitas antioksidan tinggi. Peran fenol sebagai antioksidan ini juga terbukti dari hasil penelitian Escudero et al. (2008) dimana komponen polifenol dari daun Piper aduncum L. yang diekstraksi dengan etanol memiliki aktivitas antioksidan dan menurunkan kandungan hidrogen peroksida secara in vivo.

Komponen Bioaktif Ekstrak Buah Bakau (R.mucronata)

Ekstrak kasar buah bakau yang diperoleh dari proses ekstraksi menggunakan pelarut etanol 95 % diuji kandungan komponen bioaktif menggunakan metode uji fitokimia. Uji ini akan menunjukkan komponen bioaktif apa saja yang terlarut pada masing-masing pelarut. Penapisan fitokimia secara kualitatif dilakukan sebagai uji awal untuk mengetahui keberadaan senyawa kimia spesifik, yaitu senyawa metabolit sekunder yang diharapkan dapat berperan sebagai antihepatotoksik. Hasil pengujian analisis fitokimia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3Hasil uji fitokimia ekstrak kasar buah bakau

Hasil pengujian fitokimia pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ekstrak kasar buah bakau mengandungflavonoid, tanin, saponin, dan fenol hidroquinon. Adanya flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna jingga. Tanin ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna hijau pekat. Saponin ditunjukkan dengan adanya busa yang stabil setelah didiamkan selama 30 menit

(31)

17 pada pereaksi. Hidroquinon menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan dengan terbentuknya warna hijau.

Flavonoid dikenal sebagai antioksidan yang berpotensi mengobati penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas. Menurut Redha (2010) aktivitas antioksidan flavonoid bersumber pada kemampuan mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat logam. Flavonoid merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzimatis maupun non enzimatis. Alkhali dan Bandy (2009) menyatakan, sebagai antioksidan flavonoid menghambat beberapa kinerja enzim oksidator seperti xantin oksidase, serta mengkelat logam sehingga dapat mencegah terjadinya

reaksi redoks yang menghasilkan senyawa radikal bebas. Menurut Miller et al. (1996), sejumlah tanaman obat yang mengandung flavonoid

memiliki aktivitas antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang, dan antialergi. Tanin merupakan senyawa polifenol kompleks yang tersebar luas dalam tumbuhan, terutama tumbuhan berpembuluh (Harborne 1987). Hagerman (1998) menyatakan bahwa tanin mempunyai kemampuan menangkap radikal bebas. Tanin sangat efektif sebagai pendonor elektron/atom hidrogen dan pengkelat logam, sebab senyawa ini memiliki gugus hidroksil dan ikatan rangkap terkonjugasi yang memungkinkan terjadinya delokalisasi elekron.

Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Kandungan saponin pada tanaman dan obat-obatan memiliki beberapa macam bioaktivitas, seperti antivirus, anti-inflamasi, dan antiparasit (Navarroa et al. 2001), serta

meningkatkan sistem imun dan antikanker (Estrada et al. 2000). Xiong et al. (2012) menyatakan senyawa ini bersifat antioksidatif dan radikal

scavenger dengan membentuk hidroperoxida sebagai senyawa antara dan dapat menyumbangkan hidrogen pada senyawa radikal DPPH sehingga mengakhiri reaksi rantai radikal.

(32)

18

Kadar AST dan ALT Serum Tikus

Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak, salah satunya adalah fungsi detoksifikasi. Hati bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat berbahaya (misalnya obat) menjadi zat-zat yang tidak berbahaya yang kemudian dieksresikan oleh ginjal. Sel hati merupakan sel kaya organel dan mengandung berbagai enzim (Ganong 2002).

Jaringan hati mengandung enzim-enzim transaminase dalam jumlah yang besar seperti enzim serum Aspartate Transaminase (AST) dan Alanine Transaminase (ALT) yang dapat dijadikan indikator kerusakan hati, karena kedua enzim itu akan berubah terlebih dahulu dan perubahannya lebih nyata bila dibandingkan dengan enzim-enzim lainnya di hati (Sujono 2002). Hasil pengukuran kadar AST darah tikus dalam serum tikus jantan strain Sprague dawley (n=3) dengan 6 perlakuan kelompok tikus yaitu, normal, CCl4, ekstrak 1 mg/kg BB,ekstrak5 mg/kg BB, ekstrak 25 mg/kg BB, dan Sylimarin disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Rataan pengukuran kadar enzim AST serum pada tikus normal, CCl4, E1= Ekstrak 1 mg/kg BB, E5= Ekstrak 5 mg/kg BB, E25= Ekstrak 25

mg/kg BB, Sylimarin dosis 25 mg/kg BB (n=3)

(33)

19

Gambar 5 Rataan pengukuran kadar enzim ALT pada tikus normal, CCl4, E1= Ekstrak 1 mg/kg BB, E5= Ekstrak 5 mg/kg BB, E25= Ekstrak 25

mg/kg BB, Sylimarin dosis 25 mg/kg BB (n=3)

Pemberian ekstrak buah bakau (R.mucronata) selama 7 hari perlakuan pada Gambar 4 dan Gambar 5, memperlihatkanbahwa tikus yang diinduksi CCl4 mengalami penurunan kadar AST dan ALT serum jika dibandingkan dengan tikus yang tidak diinduksi (kelompok normal). Pemberian ekstrak etanol buah bakau menyebabkan efek pemulihan yang ditunjukkan dengan meningkatnya kembali kadar enzim AST dan ALT kenilai normal. Hal ini menunjukkan adanya indikasi perbaikan kerusakan hati yang disebabkan CCl4. Pemulihan terbaik kadar enzim AST ditunjukkan pada dosis 1 mg/kg BB dengan aktivitas 23,6 ± 12,8 U/L, sedangkan pada kadar enzim ALT terdapat pada dosis 5 mg/kg BB dengan aktivitas 14,3 ± 1,9 U/L. Menurut Nugraha et al. (2008) induksi CCl4 menyebabkan degenerasi organel-organeldalam sel hepatosit yang memicu lisosom melepaskan enzim-enzimdalam darah sehingga aktivitas enzim AST dan ALT meningkat. Penelitian Venukumar dan Latha (2002) dengan hewan coba tikus Sprague Dawley menunjukkan bahwa pemberian CCl4 dosis 0,5 ml/kg BB mengakibatkan peningkatan rataan kadar enzim AST dan ALT serum.

(34)

20

hati sudah sangat rendah akibat kemampuan sel hati dalam mensintesis enzim aminotransaminase sudah berkurang atau hilang sama sekali.

Karbon tetraklorida (CCl4) adalah xenobiotik yang sangat toksik terhadap sel hati, hasil biotransformasi CCl4 di dalam sel hati akan membentuk triklorometil dan triklorometilperoxi yang bersifat reaktif sehingga dapat menyebabkan peroksidasi lemak dan kematian sel (nekrosis) (Hudgson 2004). Menurut Lyrawati (2011) kadar serum AST dan ALT pada awalnya mungkin akan meningkat sangat tinggi seiring dengan kerusakan hati yang akut dan kemudian menurun ketika penyebab kerusakan dihilangkan atau ketika nekrosis sangat parah, yaitu ketika hanya sedikit hepatosit yang tersisa.

Peningkatan kadar enzim AST dan ALT serum pada kelompok tikus yang diberikan ekstrak buah bakau (R.mucronata) diduga berkaitan dengan kandungan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak yaitu, flavonoid, tanin, saponin, dan fenol hidrokuinon yang berperan sebagai antioksidan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ravikumar dan Gnanadesigan (2012), menyatakan bahwa ekstrak buah bakau (R.mucronata) dapat mengembalikan kadar enzim AST dan ALT serum dari tikus yang diinduksi CCl4 dari kelompok perlakuan positif, adanya perubahan kadar enzim ini disebabkan oleh kehadiran senyawa kimia kelas flavonoid, polifenol tanin, dan alkaloid. Kemungkinan mekanisme hepatoprotektif pada buah bakau (R.mucronata) disebabkan senyawa bioaktif tersebut melakukan penghambatan sitokrom P450 untuk menghasilkan senyawa radikal bebas triklorometilperoxi (CCl3*) hasil metabolisme CCl4. Menurut Batubara (2003) kandungan saponin, tannin, dan steroid dapat membantu memperbaiki sel hati dan menurunkan aktivitas AST dan ALT serum dengan berbagai mekanisme diantaranya; menghambat peningkatan konsentrasi lemak, selanjutnya menurut Yen dan Hui (2005) melaporkan senyawa tersebut dapat menghambat proses mutasi radikal bebas. Menurut Wang et al. 2003 senyawa saponin dan tanin dapat menginduksi enzim antioksidan dan menjadi donor elektron pada radikal bebas agar lebih stabil.

Perlakuan hepatoprotektor standar pada penelitian ini menggunakan Sylimarin. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa kelompok perlakuan sylimarin mengalami penurunan pada kadar AST serum, sebaliknya mengalami peningkatan pada kadar ALT serum.Hal tersebut menunjukkan bahwa sylimarin benar lebih spesifik bekerja pada hati. Pada umumnya, konsentrasi ALT lebih spesifik dibandingkan konsentrasi AST pada penyakit hati karena enzim ALT proporsinya lebih banyak pada organ hati dibandingkan organ tubuh lain. Menurut Meutia (2011) enzim AST tidak spesifik sebagai indikator disfungsi hati karena banyak ditemukan padaotot rangka, pankreas, jantung dan ginjal.

(35)

21 Kadar MDA pada Hati Tikus

Malondialdehid (MDA) merupakan hasil akhir dari serangan radikal bebas terhadap integritas komponen seluler. Komponen sel yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah membran sel yang mengandung poly unsaturated fatty acid (PUFA). Radikal bebas akan mengakibatkan peroksidasi lemak pada komponen PUFA tersebut dengan hasil akhir malondialdehid (MDA). Perubahan kadar MDA menunjukkan adanya perubahan aktivitas radikal bebas (Iskandar et al. 2009). Kadar MDA pada hati dari kelompok tikus yang diberikan perlakuan disajikan pada Gambar 6 dan contoh perhitungannya disajikan pada Lampiran 7.

Gambar 6 Rataan pengukuran kadar MDA pada tikus normal, CCl4, E1= Ekstrak 1 mg/kg BB, E5= Ekstrak 5 mg/kg BB, E25= Ekstrak 25 mg/kg BB,

Sylimarin dosis 25 mg/kg BB (n=3)

Berdasarkan Gambar 6 perlakuan ekstrak buah bakau (R.mucronata) selama 7 hari perlakuan memperlihatkan bahwa tikus yang diinduksi CCl4 mengalami peningkatan kadar MDA hati jika dibandingkan dengan tikus yang tidak diinduksi (kelompok normal). Adanya peningkatan kadar MDA hati merupakan indikator adanya kerusakan sel hati yang disebabkan oleh peroksidasi lemak akibat induksi CCl4. Pemberian ekstrak etanol buah bakau menyebabkan efek pemulihan yang ditunjukkan dengan penurunan kadar MDA hati. Pemulihan terbaik kadarMDA hati ditunjukkan pada dosis 5 mg/kg BB dengan aktivitas 62,12 ± 16,5 mol/L

Pemberian CCl4 pada tikus putih menyebabkan peningkatan kadar

malonaldialdehid (MDA) pada hati tikus. Menurut Lilik et al. (2006) melaporkan bahwa ada peningkatan lemak peroksida pada jaringan hati dan otot tikus setelah induksi karbon tetraklorida yang diukur menggunakan tes TBARS. Karbon tetraklorida (CCl4) akan dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 membentuk radikal triklorometil yang dapat bereaksi lebih lanjut dengan mengambil donor hidrogen pada PUFA di membran sel menghasilkan metabolit

(36)

22

klorofom dan radikal asam lemak yang dapat mengalami reaksi lanjutan jika ada oksigen. Peningkatan peroksidasi lemak berkaitan dengan pertahanan antioksidan yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antioksidan untuk mencegah pembentukan radikal bebas. Produk yang terbentuk selama peroksidasi lemak salah satunya adalah MDA (Timbrell 2002). Malonaldialdehid dapat menyebabkan kerusakan hepatosit secara berantai (Auroma 1997). Dalam mencegah kerusakan yang disebabkan radikal bebas, jaringan telah memiliki sistem pertahanan antioksidan yang mencakup antioksidan non-enzimatik (bilirubin, vitamin C dan E, glutathione) dan antioksidan enzimatik seperti

superoksida dismutase (SOD), katalase, glutathione peroksidase (GPX). Menurut Uzma et al. (2011) peroksidasi lemak yang disebabkan oleh CCl4 menyebabkan peningkatan radikal bebas, kadar MDA, dan penipisan kadar glutathione. Hal ini sejalan dengan penelitian Alzoghaibi dan Bahamman (2007) yang melaporkan produk turunan peroksidasi lemak pada penderita asma seperti MDA dapat memberikan efek ikatan silang pada protein membran, kesalahan reseptor membran, dan memudahkan enzim antioksidan menjadi tidak aktif.

Efek penghambatan peroksidasi lemak pada ektrak etanol buah bakau diduga berkaitan dengan sifat antioksidan senyawa flavonoid, steroid, tannin, saponin,dan fenol yang terkandung di dalamnya. Senyawa bioaktif terutama yang mengandung gugus fenolik mempunyai kemampuan antioksidan yang mampu mencegah peroksidasi lemak sehingga dapat mengurangi pembentukan produk

peroksidasi lemak seperti malonaldehida (Arafah 2005). Menurut Durgo et al. (2007) turunan senyawa flavonoid seperti queretin, myricetin, dan

luteolin dapat menurunkan senyawa toksik dan kadar MDA secara in vivo dengan mekanisme penghambatan aktivitas sitokrom P450. Penelitian lainnya menurut Khennouf et al. (2010) komponen fenolik seperti flavonoid (katekin dan kuertesin) dan beberapa turunan tanin (kastalagin dan akutisimin) positif menjadi

(37)

23 Gambaran Histopatologi Hati Tikus

Histopatologi adalah pemeriksaan kondisi dan fungsi jaringan yang berhubungan dengan penyakit. Histopatologi hati dilihat berdasarkan pengamatan lapang pandang secara acak. Pengamatan mikroskopis hanya mampu melihat kerusakan hati berupa degenerasi dan nekrosis (Romzah 2005). Gambaran keadaan histopatologis hati tikus pada setiap kelompok yang diamati dengan perbesaran 4x10 kali dapat dilihat pada Gambar 7.

(A) (B)

(C) (D)

(C) (D)

Gambar 7 Gambaran histopatologi hati tikus pada kelompok normal (A), kelompok yang diberi CCl4 (B), kelompok perlakuan ekstrak buah bakau dosis 5 mg/kg BB; luas sel radang mengecil (C), kelompok perlakuan sylimarin dosis 25 mg/kg BB. Pewarnaan H&E. Keterangan: Area fokus peradangan (D), sel Kupffer (K), sel nekrosis (N).

Gambar 7 menunjukkan bahwa ada perbedaan kondisi histopatologi hati pada setiap kelompok perlakuan. Hasil pengamatan mikroskopik hati pada sel normal (Gambar 7A) menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan yang spesifik, sel hati memiliki inti dan sitoplasma yang jelas, serta sel-sel hepatosit tersusun teratur dengan jarak yang sama. Gambaran histopatologi sel hati pada kelompok

K

D

(38)

24

yang diinduksi CCl4 2 ml/kg BB (Gambar 7B) menunjukkan degenerasi sel dan nekrosis (kematian sel), adanya area pada hepatosit yang mengalami peradangan, serta infiltrasi sel Kupffer yang aktif pada daerah sinusoid.

Degenerasi sel ditandai oleh bentuk susunan sel tidak teratur, bentuk sel abnormal yang ditunjukkan oleh sel yang membesar, inti sel mengecil, inti sel membesar, bahkan terdapat hepatosit yang sudah tidak berinti. Nekrosis sel ditandai dengan inti sel yang mengecil atau menghilang dan warna sitoplasma menjadi gelap pada area peradangan. Degenerasi sel hati disebabkan adanya induksi hepatoksikan CCl4. Berdasarkan pengamatan mikroskopik, degenerasi sel yang terjadi sudah masuk pada fase peradangan fagositosis. Menurut Santoso (2009) degenerasi sel baik hidropis maupun steatosis merupakan tahap awal perubahan sel akibat pengaruh agen-agen pencedera sel seperti CCl4 dan parasetamol, yang pada tingkat lanjut akan menjadi peradangan (hepatitis).

Degenerasi hidropis merupakan kerusakan sel yang dicirikan dengan adanya perubahan ukuran pada sitoplasma. Kebengkakan sitoplasma ini merupakan manifestasi akumulasi cairan yang berlebihan akibat kegagalan sel dalam mempertahankan homeostasis dan meregulasi keluar - masuknya air. Mekanisme degenerasi hidropis dimulai dari kerusakan membran plasma oleh metabolit CCl4 yang berikatan dengan lipid membran yang kemudian menyebabkan membran bocor (Cheville 1999). Selanjutnya produksi ATP menurun. Akibat berkurangnya energi menyebabkan ion sodium dan air masuk ke dalam sel dan ion potasium keluar sel, kemudian diikutidengan peningkatan tekanan osmosis yang menyebabkan banyak air mengalir kedalam sel. Hal ini berlanjut hingga menyebabkan disfungsi retikulum endoplasma dalam mensintesis protein membran (McGavin et al. 2007).

Lemak di dalam hati berupa trigliserida yang akan di hidrolisa menjadi asam lemak dan gliserol. Protein yang dibentuk oleh retikulum endoplasma mengadakan ikatan dengan trigliserida untuk membentuk lipoprotein yang dikeluarkan ke dalam plasma. Adanya zat toksik seperti CCl4 dapat mengganggu produksi protein akibat

degenerasi hidropis sehingga lipoprotein tidak terbentuk. Hal inilah yang menyebabkan lemak tidak bisa disekresikan sehingga menjadi terakumulasi dalam sel hati. Pada hati secara histopatologis degenerasi lemak tampak seperti bulatan di dalam sitoplasma berupa vakuol-vakuol, berbentuk bundar dan kosong. Selain degenerasi lemak, sel juga sering mengalami akumulasi terutama akumulasi protein di dalam sitoplasmanya (Carlton dan McGavin 1995). Sel hati yang telah mengalami degenerasi hidropis menyebabkan kebengkakan sitoplasma termasuk organel selnya. Oleh karena itu, lemak yang ada tidak dapat dimetabolisme olehsel hati

yang telah rusak sehingga terjadilah akumulasi lemak di dalamnya (Macfarlane et al. 2000). Degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa

merupakan stadium permulaan dari proses kelainan dalam hati yang kemudian menjurus kearah suatu proses peradangan (Harold 1971).

(39)

25 imun non-spesifik yang bekerja untuk melokalisasi, menetralisasi, atau menghancurkan agen pencedera dalam persiapan untuk proses penyembuhan. Agen pencedera yang dimaksud disini adalah CCl4. Infiltrasi peradangan akut diawali dengan pengeluaran sel makrofag, dan jika berlanjut didominasi oleh limfosit (Price 2006).

Adanya senyawa toksik yang masuk ke dalam jaringan seperti CCl4 juga ditandai dengan aktivasi sel Kupffer yang bersama sel-sel pertahanan lokal melakukan fagosistosis. Sel Kupffer merupakan respon kekebalan imun non-spesifik yang dapat membunuh, menghancurkan, dan mengeliminasi benda asing (Wibawan et al. 2003). Menurut Heirmayani (2007) sel Kupffer berperan dalam membentuk pertahanan lokal yang berfungsi mengeluarkan eritrosit dan runtuhan jaringan (debris) lainnya dalam hepatosit, serta bersifat fagositik terhadap benda asing. Jumlah sel Kupffer akan meningkat jika semakin rusaknya sel hati karena sel Kufpfer merupakan sel makrofag di dalam hati.

Karbon tetraklorida (CCl4) menyebabkan kerusakan pada sel melalui reaksi antara metabolitnya yang bersifat radikal bebas dengan struktur seluler jaringan hati. Dalam hepatosit, oleh enzim sitokrom P450 CCl4 akan dimetabolisme dan menghasikan 2 metabolit yang bersifat lebih toksik dan lebih reaktif dibandingkan senyawa asalnya, yaitu radikal bebas triklorometil (CCl3*) dan triklorometilperoksil CCl3O2*. CCl3* dapat berikan kovalen dengan protein, lemak, DNA yang pada akhirnya dapat memicu kerusakan hepatosit. CCl3O2* dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lemak yang menimbulkan disfungsi membran sel dan membran organel sel serta membentuk senyawa reaktif aldehid yang juga dapat menyebabkan kerusakan hepatosit. Kerusakan (nekrosis) hepatosit juga memicu aktivasi sel Kupffer (Webber 2003).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa induksi CCl4 dapat menyebabkan kerusakan sel yang ditandai dengan perubahan histopatologi sel. Menurut Panjaitan et al. (2007) melaporkan bahwa induksi CCl4 menunjukkan bahwa induksi CCl4 0,1 ml/kg BB terjadi degenerasi pada hepatosit, bahkan pada kelompok yang mendapatkan induksi CCl4 dosis 10 ml/kg BB mengalami steatosis multifokal (akumulasi lemak pada sel hati). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nugraha et al. (2008) bahwa pemeriksaan histopatologi secara mikroskopis dapat menunjukkan degenerasi sel berupa degenerasi hidrofik dan nekrosis (kematian sel) hepatosit yang diakibatkan oleh pemberian CCl4.

Hasil pengamatan mikroskopik kelompok yang diberi perlakuan ekstrak etanol buah bakau (R.mucronata) dosis 5 mg/kg BB (Gambar 7C) dan perlakuan Sylimarin dosis 25 mg/kg BB (Gambar 7D) menunjukkan adanya efek perlindungan dan pemulihan sel hati dari CCl4. Perlakuan ekstrak 5 mg/kg BB menunjukkan respon pemulihan ditandai dengan area peradangan yang lebih kecil dari kelompok CCl4. Perlakuan sylimarin menunjukkan respon pemulihan yang sangat baik, ditandai dengan jumlah sel yang mengalamai degenerasi dan nekrosis lebih sedikit. Menurut Santoso (2009) degenerasi sel dapat bersifat reversible

tetapi apabila cedera sel berlanjut dan proses perbaikan tidak baik dapat menyebabkan nekrosis (irreversible). Pemberian ekstrak etanol buah bakau (R.mucronata) dan Sylimarin dapat mengembalikan fungsi sel hati sehingga peningkatan jumlah sel yang nekrosis atau sel irreversible dapat dicegah.

(40)

26

kandungan senyawa antioksidan yang terdapat pada ekstrak tersebut. Kandungan senyawa antioksidan seperti komponen fenolik adan flavonoid telah diketahui

memiliki aktifitas antioksidan, antiinflamasi, dan hepatoprotektif (Middleton et al. 2000). Hasil penelitian Wijayanti et al. (2008) flavonoid dapat

(41)

27

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Ekstrak etanol buah bakau R.mucronata memiliki aktivitas antioksidan yang sangat tinggi sebesar 0,72 ppm. Komponen bioaktif yang terkandung pada ekstrak buah bakau diantaranya adalah flavonoid, saponin, tanin, dan fenol hidrokuinon. Pemberian ekstrak etanol buah bakau dengan dosis 5 mg/kg BB selama 7 hari perlakuan berfungsi sebagai hepatorotektor paling baik dalam menghambat kerusakan jaringan hati akibat induksi CCl4 dosis 2 mg/kg BB. Hal ini terlihat pada pemulihan kadar enzim AST dan ALT serum serta kadar MDA hati tikus. Perlakuan ekstrak etanol buah bakau dosis 5 mg/kg BB memberikan gambaran histopatologi dengan efek penurunan proses sel radang paling baik akibat pemberian ekstrak buah bakau pada sel hati yang sudah dirusak oleh CCl4.

Saran

Perlu dilakukan pemurnian pada ekstrak kasar buah bakau R.mucronata

agar diketahui senyawa pasti yang berfungsi sebagai hepatoprotektan.Perlu dilakukan analisis serum darah lanjut yang berkaitan dengan sifat antioksidan seperti glutation peroksidase (GPx), superoksida dismutase (SOD), dan katalase

Gambar

Gambar 2Persentase rendemen buah bakau (R.mucronata)
Gambar 4 Rataan pengukuran kadar enzim AST serum pada tikus normal, CCl 4 ,  E1= Ekstrak 1 mg/kg BB, E5= Ekstrak 5 mg/kg BB, E25= Ekstrak 25
Gambar 5 Rataan pengukuran kadar enzim ALT pada tikus normal, CCl 4 ,  E1= Ekstrak 1 mg/kg BB, E5= Ekstrak 5 mg/kg BB, E25= Ekstrak 25
Gambar 6 Rataan pengukuran kadar MDA pada tikus normal, CCl 4 , E1= Ekstrak  1 mg/kg BB, E5= Ekstrak 5 mg/kg BB, E25= Ekstrak 25 mg/kg BB,
+2

Referensi

Dokumen terkait

Contemporary English Version. Old Testament

Pada bidang interdisipliner, program yang kami rancang yaitu “ Mengembangkan hasil IMAP terkait dengan tata ruang pemukiman untuk memenuhi kebutuhan dalam

1 siswa dapat mengelompokkan bangun datar menurut bentuknya 2 siswa dapat mengelompokkan bangun datar menurut ukurannya 3 siswa dapat mengenal sudut dan titik sudut dari bangun ruang

Dasar penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif adalah supaya penelitian ini mampu memberikan gambaran yang jelas, terinci, mendalam dan ilmiah mengenai alih

Sub sektor tanaman pangan yang potensial dikembangkan di tiap kecamatan di Kabupaten Pati dapat menjadi arah pengembangan produksi komoditas sub sektor tanaman pangan

lea rning model tha t can be used a s a n eva lua tion tool in improving the effectiveness a nd efficiency of lea rning tha t will increa se student motiva tion a nd student

• LSP Pihak Kesatu (LSP-P1): LSP yang didirikan oleh lembaga pendidikan dan atau pelatihan dengan tujuan utama melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja terhadap peserta

Dari aspek irigasi, cara konvensional lahan sawah yang siap tanam mempunyai ketebalan air (genangan) sekitar 1-10 cm. Sedangkan sistem SRI lahan siap tanam