3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, BPS Provinsi di Indonesia, Bank Dunia dan Departemen Keuangan. Data yang tercakup dalam penelitian ini adalah data keuangan daerah, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), ketenagakerjaan, angka kemiskinan, jumlah penduduk, lama sekolah, kesehatan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data-data pendukung lainnya seperti buku, artikel, jurnal dan lain-lain diperoleh dari Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan BPS, perpustakaan di lingkungan IPB, perpustakaan Bappenas, perpustakaan Perguruan Tinggi lainnya seperti UI, ITS, STIS, dan situs-situs yang berkaitan dengan penelitian.
3.2 Alat Analisis dan Cakupan Penelitian
3.2.1 Analisis Deskriptif
Analisis ini dipergunakan untuk memberi gambaran umum perkembangan keuangan daerah di Indonesia beserta kondisi sosial makro ekonomi daerah dengan bantuan grafik dan tabel.
3.2.2 Analisis Kinerja Keuangan Daerah
Menurut Landiyanto (2005), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah: (a) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut mempunyai kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah. (b) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisai fiskal dan kemandirian daerah.
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain: Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan Dana Pinjaman (Halim, 2001).
Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian adalah: Rasio kemandirian = Ekstern Pihak dari Pendapatan Sumber Daerah Asli Pendapatan ... (3.1) Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi resiko kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi.
Tabel 3.1 Pola hubungan tingkat kemampuan daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola hubungan
Rendah sekali 0%-25% Instruktif
Rendah 25%-50% Konsultatif
Sedang 50%-75% Partisipatif
Tinggi 75%-100% Delegatif
b. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal atau otonomi Fiskal Daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penelitian Tim Fisipol UGM menggunakan skala interval sebagaimana terlihat dalam tabel 3.2 adalah sebagai berikut (Wulandari, 2001 ):
Tabel 3.2 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
Interval (%) Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-10,00 Sangat Kurang 10,01-20,00 Kurang 20,01-30,00 Cukup 30,01-40,00 Sedang 40,01-50,00 Baik >50,00 Sangat Baik
Sumber : Depdagri dan Fisipol UGM (1991) dalam Wulandari (2001)
Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: DDF = t t TPD PAD x 100 % ... (3.2) Keterangan :
DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal PADt : Total PAD Tahun t
TPDt : Total Pendapatan Daerah Tahun t
c. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin merupakan proporsi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat (Kuncoro, 1997). Sedangkan dalam menilai menilai Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dengan
menggunakan skala menurut Tumilar (1997) sebagaimana yang terlihat dalam table 3.3 sebagai berikut (Wulandari, 2001 ):
Tabel 3.3 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin
Interval (%) Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-20,00 Sangat Kurang 20,01-40,00 Kurang 40,01-60,00 Cukup 60,01-80,00 Baik 80,01-100 Sangat Baik Sumber : Wulandari (2001)
Indeks Kemampuan Rutin dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : IKR : x100% Rutin n Pengeluara Total PAD ... (3.3) Keterangan :
IKR : Indeks Kemampuan Rutin PAD : Pendapatan Asli Daerah 3.2.3 Analisis Data Panel
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif dengan menggunakan metode ekonometrika melalui analisa regresi panel data. Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.
Verbeek (2001) menjelaskan bahwa penggunaan model data panel akan didapat ada dua keunggulan utama bila dibandingkan dengan model cross section
dan time series murni. Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross section dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. Dengan menggunakan model data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga paramater yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Menurut Hsiao (2003), jumlah data dalam data panel meningkatkan jumlah derajat bebas (degree of freedom) dan mengurangi kolinieritas di antara variabel penjelas, yang dalam hal ini meningkatkan efisiensi dari penduga ekonometrik.
Kedua, penggunaan model data panel adalah dapat mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.
Secara umum keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik antara lain: (i) mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinieritas (collinearity), meningkatkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) data panel umumnya lebih baik bila digunakan dalam studi dynamics of adjustment; (iv) data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section atau time series murni; dan (v) data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni.
Walaupun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan
manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: self selectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan); dan (iv) cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analsis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulanyang tidak tepat (miss leading inference).
Terdapat dua pendekatan yang umum diaplikasikan data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random effects Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (regresor).
Misalkan:
yit = αi + Xitβ + εit ... (3.4) Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
εit = λi + uit ... (3.5)
Untuk two way error components model, komponen error dispesifikasi dalam bentuk: it t i it =λ +μ +u ε ... (3.6) Pada pendekatan one way, error term hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (λi). Pada two way dimasukkan efek dari
waktu (μt) ke dalam komponen error. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λi dan μt dengan Xit.
a. Fixed Effect Model (FEM)
FEM muncul ketika antara efek individu dan peubah penjelas memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini
membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep, yaitu:
Untuk one way komponen error: yit = αi + λi + Xitβ + uit Untuk two way error component: yit = αi + λi + μt+ Xitβ + uit
Penduga pada FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai berikut: 1)Pendekatan Pooled Least Square (PLS)
Pada prinsipnya, pendekatan ini adalah menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yang diregresikan dengan model: yit = αi + Xitβ + uit ... (3.7)
dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α. Formula
perhitungan adalah:
... (3.8)
... (3.9)
dimana dan
Dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data cross section dan data time series, dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, sehingga:
... (3.10) Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu (Gambar 3.1).
Gambar 3.1 Estimasi dengan pendekatan pooled least square
Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda.
2). Pendekatan Within Group (WG)
Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu dimana:
... (3.11)
... (3.12) Dalam hal ini
Slop yang bias ketika fixed effect diabaikan
dan
... (3.13) atau
... (3.14) sehingga,
... (3.15) Berdasarkan persamaan tersebut terlihat bahwa FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana pendekatan ini bekerja dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Estimasi dengan Pendekatan Within Group
Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG) cenderung lebih besar dari var (βPLS) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien.
Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan: pertama, didefinisikan:
∑
∑
= = − = T t it N i xx x x S 1 2 1 ) ( ... (3.16)∑
∑
= = − = T t i it N i w xx x x S 1 2 1 ) ( ... (3.17)∑
= − = N i i b xx T x x S 1 2 ) ( ... (3.18)sehingga dapat dilihat bahwa:
... (3.19) diketahui bahwa
... (3.20) sehingga, varians dari penduga β dengan pendekatan WG adalah:
... (3.21)
... (3.22)
... (3.23) =
=
Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa var(β) pada WG lebih besar dari var(β) pada PLS. Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, seperti terlihat dari tidak dimasukkannya intersep ke dalam model.
3). Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV)
Metode ini bertujuan untuk dapat merepresentasikan perbedaan intersep, yaitu dengan dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable dgit = 1 (g = i).
dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g = i), persamaan awal menjadi:
yit uit ... (3.25)
persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter βLSDV.
Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah unit observasinya besar maka terlihat cumbersome. Untuk menguji apakah intersep memang signifikan atau tidak dapat menggunkan f-test dengan hipotesis sebagai berikut:
H0 : α1 = α2 = α3 = ... = αN dan
H1 : satu dari α ada yang tidak sama
Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS ataulah LSDV. Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan
menggunakan F-statistik yaitu
dimana:
= koefisien determinasi LSDV
= koefisien determinasi Pooled Least Square k = banyaknya peubah
Jika nilai F-Stat hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan bahwa α
adalah sama untuk semua individu dapat ditolak. 4). Two Way Error Components Fixed Effect Model
Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak hanya berasal dari variasi antar individu (time invariants) tetapi juga berasal dari variasi antar waktu atau time effect, sehingga model dasar yang digunakan adalah:
... (3.26) dimana merepresentasikan time effect.
Jika masing-masing pengaruh individu (αi) dan time-effect (γt)
diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1 (s = t) peubah dummy akan diperoleh persamaan:
... (3.27) Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi.
b. Random effects Model (REM)
REM muncul ketika antara efek individu dan regresor tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error, dimana:
Untuk one way error component:
yit = αi + Xitβ + uit+ λi... (3.28)
Untuk two way error component:
yit = αi + Xitβ + uit+ λi + μt... (3.29)
Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM, yaitu:
untuk i = j
dimana:
Utuk one way error component, τi =λi
Untuk two way error component, τi =λi + μi
Dari semua asumsi di atas, yang paling penting dikaitkan dengan REM adalah asumsi bahwa nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0, atau E(τi xit) = 0. Terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan untuk menghitung estimator REM, yaitu between estimator dan Generalized Least Square (GLS).
1). Pendekatan Between Estimator
Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak hingga, dengan asumsi bahwa peubah bebas dengan error tidak saling berkorelasi atau E (xit, εi = 0) begitu juga dengan nilai rata-rata error E (xit, εi = 0)
2). Pendekatan Generalized Least Square (GLS)
Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator yang diperoleh disebut random effectss estimator. Dalam bentuk persamaan hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
c. Hausman Test
Dalam memilih apakah fixed atau random effectss yang lebih baik, dilakukan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek individu. Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan Hausman Test.
Ide dasar dari uji Hausman adalah mengkomparasi dua penduga, yakni penduga FEM dan REM. Hausman (1978) menyajikan bentuk uji hipotesis nol di mana Xit dan αi tidak berkorelasi dan hipotesis alternatif untuk kondisi yang
sebaliknya. Hausman mengasumsikan bahwa
E(uit Xis) = o untuk setiap s, dan t sedemikian sehingga penduga FEM ( RE ) akan konsisten dan efisien manakala Xitdan αi tidak berkorelasi dan penduga FEM ( FE ) konsisten bagi βmanakala kondisi bagi penduga REM ( RE ) yang konsisten tidak berlaku.
βˆ βˆ βˆ
Dalam uji ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H0: E(τi xit) = 0
atau REM adalah model yang tepat H1: E(τi xit) = 0
atau FEM adalah model yang tepat
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM – βfEM )’ (MFEM –MREM)-1 (βREM – βfEM ) ~ χ2 (k) dimana:
Madalah matriks kovarians untuk parameter β
k adalah degrees of freedom
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah
3.3 Konstruksi Model
3.3.1 Model Pertumbuhan Ekonomi
Model yang digunakan merupakan pengembangan dari fungsi produksi Cobb-Douglass, yaitu:
Yit = Ait Kitα Litβ ... (3.31)
Menurut Barro (1990) dalam Zhang dan Zou (1998), berdasarkan model pertumbuhan endogeneous bahwa kapital dalam fungsi produksi terdiri dari dua inputs: Kapital produksi (Modal swasta) dan Public spending (pengeluaran publik atau modal pemerintah). Dimana fungsi tersebut merupakan constant return to scale dari kedua input. Berangkat dari model Barro yang berasumsi bahwa public spending terdiri dari dua levels pemerintah yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provincial). Misalkan k adalah kapital stock, g adalah pengeluaran pemerintah, f adalah pengeluaran pemerintah pusat dan s adalah pengeluaran pemerintah daerah, maka:
f + s = g ... (3.32)
sehingga fungsi produksi dapat di tulis menjadi:
Y it = A k itα f itβ s itγ l itδ ... (3.33)
Setelah ditransformasi dalam logaritma natural maka persamaannya menjadi: ln Y it = a + αln k it + βln f it + γln s it + δln l it + e... (3.34)
Menurut Adinirekso (2001) pengeluaran pemerintah pusat diterjemahkan dalam bentuk sumbangan dan bantuan kepada pemerintah daerah. Sedangkan pengeluaran pemerintah daerah diasumsikan pengeluaran yang dianggarkan dari pos Pendapatan Asli Daerah.
Sumbangan dan bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam sistem anggaran di APBD merupakan komponen dana perimbangan yang terdiri dari Bagi Hasil (pajak dan non pajak), DAU dan DAK. Sementara pengeluaran pemerintah daerah dari pos PAD berasal dari pajak daerah, retribusi, laba dari BUMD dan lain-lain pendapatan yang sah.
Dalam hal ini, A, tidak hanya menggambarkan tingkat kemajuan teknologi, namun juga mencerminkan perbedaan dalam kelimpahan sumberdaya (resource endownments) dan institusi antar daerah dari waktu ke waktu, seperti halnya di dalam karateristik-karateristik spesifik lain di suatu wilayah yang tidak bisa diamati. Zhang dan Zou (1998) memasukkan beberapa variabel penjelas didalam modelnya, diantaranya adalah derajat keterbukaan daerah yang didekati dari total volume perdagangan dengan daerah lainnya, dan tingkat inflasi. Selain itu Adinirekso (2001) juga memasukkan variabel kebijakan sebagai salah satu yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Variabel kebijakan ini seperti kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2001.
Sehingga persamaan diatas dapat ditulis kembali menjadi:
ln Y it = αln K it+ β1ln BH it + β2ln DAU it + β3ln DAK it + γ1ln PD it + γ2ln RD it
+ γ3ln LD it + γ4ln PS it +δln l it + θ1lnXM it + θ2IF it + θ3D it + e ...(3.35)
Keterangan:
Y it : Nilai PDRB riil adhk 1993 (juta rupiah) pada provinsi i dan tahun t
K it : Stok Modal Swasta riil yang merupakan akumulasi dari investasi
tahun ini ditambahkan akumulasi tahun sebelumnya dikurangi depresiasi 5% (juta rupiah) pada provinsi i dan tahun t
BH it : Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dari pemerintah Pusat riil
(Juta rupiah) di provinsi i dan tahun t
DAU it : Dana Alokasi Umum riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t
DAK it : Dana Alokasi Khusus riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t
PD it : Pajak Daerah riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t
LD it : Laba dari Hasil pengelolaan kekayaan Daerah riil (juta rupiah) di
provinsi i dan tahun t
PS it : Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah riil (juta rupiah) di
provinsi i dan tahun t
l it : Tenaga kerja yang bekerja (orang) di provinsi i dan tahun t
XM it : Ekspor + Impor riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t yang
menggambarkan keterbukaan daerah INF it : Inflasi (persen) di provinsi i dan tahun t
D it : Dummy kebijakan desentralisasi di provinsi i dan tahun t
Dengan 0 : sebelum desentralisasi (1994-2000) 1 : setelah desentralisasi (2001-2008) e : Error term
3.3.2. Model Kemiskinan
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2007), jumlah orang miskin di Indonesia dipengaruhi oleh besarnya PDRB, jumlah populasi penduduk, tingkat inflasi, share sektor pertanian dan industri terhadap PDRB, serta tingkat pendidikan yang mencerminkan modal manusia (human capital). Indra (2008) dalam penelitiannya juga memasukkan variabel populasi dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin. Selain itu Indra juga memasukkan variabel kebijakan otonomi daerah yang diasumsikan berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia.
Peranan pengeluaran pemerintah menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2006) di Provinsi Sumatera Utara, juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Namun karena keterbatasan data, maka besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan masalah kemiskinan diproksi dengan besarnya penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Besarnya nilai APBD diharapkan mampu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin.
Sementara itu penelitan yang dilakukan oleh Cutter dan Katz (1991), Powers (1995) dan Fatma (2005) menggunakan variabel pengangguran dan inflasi
untuk melihat pengaruhnya terhadap kemiskinan. Mereka menemukan bahwa inflasi dan pengangguran keduanya berhubungan positif dengan jumlah penduduk miskin.
Berdasar tinjauan dari penelitian diatas maka model yang akan diterapkan pada penelitian ini adalah:
POVit = C + β1 TotKluarit+ β2 ULit+ β3POPit + β4 INFit + β 5XMit + β6Dit + e
... (3.36) Keterangan:
POV it : Jumlah orang yang hidup di bawah kemiskinan (orang) pada
provinsi i dan tahun t
TotKluar it : Total pengeluaran pemerintah riil (juta rupiah) pada provinsi i dan
tahun t
UL it : Pengangguran (Unemployement) (orang) di provinsi i dan tahun t
Pop it : Populasi (jumlah penduduk) (orang) di provinsi i dan tahun t
INF it : Inflasi (persen) di provinsi i dan tahun t
XM it : Ekspor + Impor riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t
D it : Dummy kebijakan desentralisasi di provinsi i dan tahun t
Dengan 0 : sebelum desentralisasi (1994-2000) 1 : setelah desentralisasi (2001-2008) e : Error term
3.3.3 Model Ketenagakerjaan
Untuk melihat hubungan antara desentralisasi fiskal dengan ketenagakerjaan, penulis menggunakan model sebagai berikut:
TPTit = C + β1 TotKluarit+ β2 Upahit+ β3Pendidikanit + β 4Kit + β5Dit + e
Keterangan:
TPT it : Tingkat pengangguran terbuka (persen) pada provinsi i dan
tahun t
TotKluar it : Total pengeluaran pemerintah riil perkapita (juta rupiah) pada
provinsi i dan tahun t
Upah it : Upah riil (juta rupiah) di provinsi i dan tahun t
Pendidikan it : Tingkat pendidikan (diproksi dengan jumlah murid
berpendidikan SMA keatas) di provinsi i dan tahun t
K it : Investasi swasta riil perkapita (juta rupiah) di provinsi i dan
tahun t
D it : Dummy kebijakan desentralisasi fiskal di provinsi i dan tahun t
Dengan 0 : sebelum desentralisasi fiskal (1994-2000) 1 : setelah desentralisasi fiskal (2001-2008) e : Error term