• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN STRES KERJA PADA PERAWAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN STRES KERJA PADA PERAWAT"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

STRES KERJA PADA PERAWAT

Oleh:

MEYLINDA FITRIA CHAIRANI SUS BUDIHARTO, S.Psi, M.Si, Psi

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2009

(2)

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN STRES KERJA PADA PERAWAT

Telah Disetujui Pada Tanggal

_________________

Dosen Pembimbing Utama

(3)

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN STRES KERJA PADA PERAWAT

Meylinda Fitria Chairani Sus Budiharto

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja perawat. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja pada perawat. Semakin tinggi komunikasi interpersonal perawat maka semakin rendah stres kerja perawat. Sebaliknya, semakin rendah komunikasi interpersonal perawat maka stres kerja perawat semakin tinggi.

Subjek pada penelitian ini adalah perawat Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta. berjumlah 50 responden, terdiri dari 11 laki-laki dan 39 perempuan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala stres kerja dengan mengacu pada aspek-aspek stres kerja yang dikemukakan oleh Robbins (1998) dan skala komunikasi interpersonal dengan mengacu pada aspek-aspek komunikasi interpersonal yang dikemukakan oleh Rakhmat (2007) .

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan korelasi product

moment dari Pearson untuk menguji hubungan antara komunikasi interpersonal

dengan stres kerja perawat, dengan menggunakan fasilitas program SPSS versi 13.0 for Windows sebagai alat bantu analisis statistik. Hasil analisis statistik data menunjukkan korelasi sebesar r = -0,637 dan p = 0,000 (p < 0,01) yang artinya ada hubungan negatif yang signifikan antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja perawat. Sehingga hipotesis diterima.

(4)

PENGANTAR

Salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang dalam kehidupan berkarya adalah stres. Stres merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran dan kondisi fisik seseorang. Stres harus segera diatasi, namun apabila stres tidak diantisipasi dengan baik dan benar maka pada umumnya akan berakibat pada ketidakmampuan seseorang berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan maupun lingkungan di luar pekerjaannya (Siagian, 2006). Sejalan dengan Handoko (1995) bahwa lingkungan yang paling potensial menghadirkan stres adalah lingkungan kerja di mana beban tugas dari pekerjaan yang bersangkutan benar-benar dapat mengganggu karyawan atau pekerja yang bersangkutan. Stres yang berasal dan berkaitan dengan segala sesuatu dari lingkungan kerja lazim disebut dengan stres kerja. Luthans (2006) mengungkapkan bahwa stres kerja merupakan suatu kondisi yang muncul karena interaksi manusia dengan pekerjaannya yang dirincikan oleh terjadinya perubahan dalam diri individu yang mendorong terjadinya penyimpangan dari fungsi normalnya.

Stres kerja merupakan hal yang sangat umum ditemui. Menurut Ellis, dkk (2000) fenomena stres kerja biasa dialami oleh orang-orang yang terjun dalam profesi kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh The National Institute For Occupational Safety And Health (NIOSH) menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan rumah sakit atau kesehatan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk terkena gangguan kesehatan mental seperti stres dan depresi. Salah satu dari pekerjaan tersebut adalah perawat (Selye dalam Smet, 1994).

(5)

Perawat adalah orang yang bertugas untuk merawat dan menyembuhkan orang yang sakit baik dilaksanakan sendiri maupun di bawah pengawasan dokter atau suster kepala. Selanjutnya beberapa peran dari seorang perawat antara lain adalah memberikan pelayanan yang baik dalam bidang kesehatan dan melindungi hak-hak dari pasien, membuat keputusan yang tepat akan kondisi kesehatan pasien, bertanggung jawab terhadap proses perawatan yang profesional, memberi informasi kesehatan terhadap pasien, dan sebagai role model bagi masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan. Sedangkan kewajiban dari seorang perawat antara lain adalah memberikan pelayanan standar sesuai dengan standar profesi, bekerjasama dengan tenaga medis terkait lainnya dalam memberikan pelayanan darurat sebagai tugas kemanusiaan sesuai dengan batas-batas kewenangannya (Cookfair, 1996).

Perawat dalam melaksanakan tugasnya, tidak jarang harus berhadapan dengan berbagai macam tekanan, baik yang berasal dari pekerjaan maupun dari luar pekerjaannya. Anoraga (2006) menyatakan bahwa stres akan muncul jika individu menganggap suatu kondisi yang mereka alami menekan atau mengancam. Kecemasan, depresi dan penurunan kesehatan lainnya kerap kali dijumpai pada perawat. Beban tugas yang berat dan kadang berlebih diketahui sebagai sumber potensial penyebab stres kerja pada perawat (Rahardjo, 2005). Lebih rinci Sarafino (dalam Yusrizal, 2003) menjelaskan beberapa kondisi yang menyebabkan pekerjaan perawat menjadi sangat menekan. Kondisi tersebut adalah tanggung jawab atas kehidupan atau kesehatan orang lain, beban kerja yang berat, keharusan untuk selalu berhubungan dengan masalah hidup atau mati serta gambaran tentang konsekuensi yang berat yang harus ditanggung jika melakukan kesalahan.

(6)

Pada penelitian ini, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Yogyakarta merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan milik pemerintah kota Yogyakarta. RSUD Kota Yogyakarta merupakan rumah sakit yang sangat mementingkan kualitas pelayanan yang diberikan. Rumah sakit selalu berusaha melakukan pengelolaan terhadap karyawannya agar kinerja dan kualitas pelayanan tetap dalam kondisi yang baik. Namun, dengan fenomena yang ada masih dijumpai perawat yang terlihat mengalami gejala stres. Berdasarkan hasil observasi peneliti, di salah satu bangsal rumah sakit bahwa terlihat adanya ketegangan akibat tugas administrasi (laporan keperawatan) yang menumpuk dengan waktu kerja yang sebentar, yaitu yang dimaksud adalah perawat harus menyelesaikan tanggung jawabnya sesuai dengan waktu (shift) kerja yang ada. Kemudian peneliti melihat adanya kecemasan pada perawat saat berhadapan dengan situasi keperawatan yang sulit, yaitu ketika salah seorang pasien berada pada kondisi kesehatan yang memburuk. Menurut Ellis, dkk (2000) gejala-gejala stres akan lebih mungkin terjadi, apabila peristiwa yang dialaminya sangat penting dan genting, dimana masa depan seseorang tergantung kepadanya.

Stres yang dihadapi oleh perawat dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Apabila berkepanjangan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan perawat, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi prestasi kerjanya. Tidak dapat disangkal bahwa stres yang tidak teratasi pasti berpengaruh terhadap prestasi kerja.

(7)

Kemampuan seorang perawat dalam mengatasi stres kerja berbeda satu dengan lainnya, demikian juga dengan mekanisme koping yang ditampilkan serta respon terhadap stres itu sendiri, mulai dari tahap stres ringan sampai dengan tahap stres berat. Menurut Robbins (1998) stres kerja yang terjadi akan berpengaruh pada kondisi fisiologis, kondisi psikologis, dan kondisi perilaku pada perawat. Perawat yang mengalami stres kerja dengan intensitas yang tinggi akan mempengaruhi bagaimana perawat tersebut dalam menjalin hubungan emosional dengan pasiennya (Ellis dkk, 2000).

Caldwell, et. al. (Purwandari, 2000) menjabarkan faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja pada perawat yaitu Lingkungan fisik, beban kerja (terkait dengan pasien atau non pasien), macam dan tingkat kegawatan penyakit, hubungan interpersonal dan komunikasi, dan pembuatan keputusan (terkait dengan respon kehilangan dan kematian). Sedangkan Smet (1994) menyatakan bahwa stres yang berkaitan dengan pekerjaan pada perawat lebih sering muncul berupa ketegangan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari daripada peristiwa-peristiwa besar yang traumatis. Meskipun kecil, ketegangan sehari-hari dapat menyebabkan stres, karena pola kejadian yang relatif tetap dan terus-menerus, seperti beban tugas yang meningkat, komunikasi yang kurang efektif, pertentangan dan konflik.

Pada penelitian Hartono (2004) sumber stres kerja perawat ialah berasal dari kondisi lingkungan fisik pekerjaan, beban kerja, kondisi penyakit yang dihadapi perawat, pembuatan keputusan dan hubungan interpersonal. Stres yang tidak diatasi dengan baik dapat berakibat pada ketidakmampuan individu berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan maupun di

(8)

luar lingkungan pekerjaan. Selanjutnya lingkungan kerja dapat menjadi sumber timbulnya stres kerja, yaitu tuntutan kerja, tanggung jawab kerja, lingkungan fisik kerja, rasa kurang memiliki pengendalian, hubungan antar manusia, rasa kurang pengakuan dan peningkatan jenjang karier, serta kurang aman dalam bekerja (Hendrartini dan Pamardiningsih, 1999).

Komunikasi merupakan proses yang kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna, karena merupakan metode utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial bagi perawat, mencakup ketrampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku “caring” atau kasih sayang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Selanjutnya perawat yang memiliki keterampilan berkomunikasi dengan baik tidak saja akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, hal tersebut dapat mencegah terjadinya masalah legal, juga mampu memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan mampu meningkatkan citra profesi keperawatan serta citra dari rumah sakit (hhtp://ppni.or.id, 2006).

Hardjana (2003) mengemukakan lima macam komunikasi dari segi pasangan yang terlibat, yaitu intrapersonal, interpersonal, kelompok kecil, kelompok besar dan publik. Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, sehingga pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula. Komunikasi

(9)

interpersonal antara perawat dengan pasien dalam hal ini lebih ditekankan pada hubungan yang bersifat humanistik yang mengharuskan perawat untuk terlibat secara mendalam dengan pasien dan memandang pasien sebagai individu yang mempunyai kebutuhan fisik, psikologis dan sosial. Melalui komunikasi interpersonal perawat berhadapan langsung dengan pasien. Dalam situasi komunikasi seperti ini, umpan balik terjadi secara langsung, yaitu perawat dapat mengetahui efek komunikasinya pada saat itu juga, karena reaksi pasien dapat diketahui pada saat perawat menyampaikan pesannya.

Komunikasi interpersonal dalam proses keperawatan bertujuan membangun hubungan kepercayaan antara perawat dan pasien. Komunikasi interpersonal yang efektif membantu membangun kepercayaan dan hubungan interpersonal yang baik antara perawat dan pasien (Ellis dkk, 2000). Akan tetapi, kenyataannya dalam berkomunikasi perawat maupun pasien menunjukkan sikap tidak terbuka, ketidakjujuran dan minimnya sikap dukungan antara keduanya. Contohnya dari hasil observasi peneliti dalam sebuah proses keperawatan ialah pada saat pasien diminta untuk jujur akan respon yang dihasilkan dari proses pemberian pengobatan, apakah pasien mengalami gejala baru dari pengobatannya tersebut atau keadaanya normal saja. Namun, pasien salah memberikan interpretasi dari respon obat yang diberikan sehingga pasien terlihat tidak jujur terhadap apa yang dirasakannya. Dan pada akhirnya perawat meminta bantuan kepada Dokter jaga untuk menangani gejala yang sebenarnya pasien rasakan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat senior RSUD Kota Yogyakarta, pada awal bulan Desember 2008, diketahui bahwa komunikasi yang

(10)

terjadi antara perawat dengan pasien terjalin baik. Pada hakikatnya perawat harus memahami pasien, karena perawat memang diwajibkan untuk memberikan pelayanan sebaik mungkin, walaupun terkadang dalam keperawatan pasien tidak bekerjasama dengan baik. Perawat sendiri memahami kondisi dari si pasien dimana seseorang yang sedang sakit pastilah emosinya tidak stabil, sehingga dibutuhkan pengertian yang lebih, bahwa orang yang sedang sakit akan mengalami hambatan dalam menjalin kerjasama ataupun berkomunikasi dengan baik. Namun, perawat juga tidak memungkiri bahwa terkadang muncul perasaan jenuh untuk memahami keadaan tersebut, dimana pada akhirnya perawat merasa putus asa dalam menjalani pekerjaannya, dan dapat memunculkan gejala-gejala stres pada dirinya yaitu mudah marah atau mudah sekali tersinggung. Sehingga perawat dikatakan galak atau tidak memahami pasiennya. Untuk itulah perawat dituntut lebih bijak dalam menghadapi pasien dengan berbagai karakter, di mana perawat yang kompeten harus menjadi seorang komunikator yang efektif dan setiap perawat mempunyai tanggung jawab untuk memperhatikan perkembangannya sendiri dalam bidang komunikasi interpersonalnya.

Menurut Pace & Faules (2005) perilaku komunikasi dan reaksi telah lama dianggap sebagai anteseden dan konsekuensi keadaan yang penuh stres. Dengan kata lain, cara orang berkomunikasi boleh jadi menimbulkan stres pada diri mereka dan orang lain, dan stres boleh jadi mempengaruhi cara orang berkomunikasi”. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal yang buruk antara perawat dan pasien dapat menjadi penyebab terjadinya stres kerja pada perawat, sebaliknya kondisi psikologis yang “full stress” akan mempengaruhi bagaimana

(11)

perawat mengadakan interaksi dengan pasiennya, termasuk salah satu diantaranya adalah kemampuan komunikasi interpersonal.

Berdasarkan berbagai fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara komunikasi interpersonal dengan Stres Kerja pada Perawat. Seorang perawat diharapkan bisa melakukan hubungan emosi yang baik dengan pasiennya yaitu melakukan komunikasi interpersonal sehingga perawat tidak merasa terbebankan oleh tugas dan tanggung jawabnya, yang apabila hubungan tersebut tidak kondusif akan mengakibatkan stres kerja. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui “apakah ada hubungan yang signifikan antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja”.

METODE PENELITIAN A. Subjek Penelitian

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling, yaitu sampel diambil berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan terlebih dahulu. Adapun karakteristik perawat adalah sebagai berikut : minimal berpendidikan Akademi keperawatan (D3 keperawatan) dan telah bekerja sedikitnya 1 tahun, dengan alasan karena dengan masa kerja tersebut, perawat sudah mengetahui kondisinya yang ada di tempat kerja serta mampu mengukur seberapa jauh perawat melakukan komunikasi dengan para pasiennya.

(12)

B. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Peneliti akan menggunakan dua buah skala untuk mengukur kedua variabel, yaitu:

1. Skala Stres Kerja Perawat

Skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala yang disusun oleh peneliti terdiri dari 30 pertanyaan terbagi dalam tiga aspek (Robbins,1998) yaitu (1) aspek fisik, jumlah 10 pertanyaan; (2) aspek psikologis, jumlah 10 pertanyaan; (3) aspek perilaku, jumlah 10 pertanyaan.

2. Skala Komunikasi Interpersonal

Skala komunikasi interpersonal dalam penelitian ini disusun oleh peneliti terdiri dari 30 pertanyaan terbagi dalam tiga aspek (Rakhmat, 2007), yaitu (1) aspek sikap percaya (trust) terdiri dari tiga hal (menerima, empati, dan kejujuran), jumlah 10 pertanyaan; (2) aspek sikap suportif, jumlah 10 pertanyaan; (3) aspek sikap terbuka, jumlah 10 pertanyaan.

C. Metode Analisis Data

Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional, yaitu mencari hubungan negatif antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja pada perawat. Untuk metode analisis data, peneliti menggunakan analisis staristik. Penelitian ini menggunakan statistik korelasi product moment Pearson. Teknik korelasi ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara komunikasi

(13)

interpersonal dengan stres kerja pada perawat. Dalam pengolahan data, peneliti menggunakan program komputer SPSS 13.0 for Windows.

HASIL PENELITIAN 1. Hasil Uji Asumsi

Uji asumsi dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan analisis data. Uji asumsi ini meliputi uji normalitas dan uji linieritas. Uji normalitas dan uji linieritas merupakan syarat sebelum dilakukannya pengetesan nilai korelasi, dengan maksud agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya ditarik (Hadi, 2000).

a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah variabel penelitian ini terdistribusi secara normal atau tidak. Kaidah yang digunakan yaitu jika p > 0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p < 0,05 maka sebaran data tidak normal.

Hasil uji normalitas pada skala stres kerja perawat menunjukkan nilai K-SZ sebesar 0,710 dengan p = 0,694 dan pada skala komunikasi interpersonal menunjukkan nilai K-SZ sebesar 1,056 dengan p = 0,215. Hasil uji normalitas ini menunjukkan bahwa skala stres kerja perawat dan skala komunikasi interpersonal memiliki sebaran normal.

b. Uji Linieritas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel stres kerja dan intensi turnover memiliki hubungan yang linear. Hubungan antara kedua variabel

(14)

dikatakan linier apabila p < 0,05 begitu pula sebaliknya, hubungan antara kedua variabel dikatakan tidak linier apabila p > 0,05.

Hasil uji linearitas dalam penelitian ini menunjukkan korelasi antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja pada perawat dengan hasil p Linearity = 0,000 (p < 0,05) dan Deviation from Linearity = 0,104 (p > 0,05) maka dapat dikatakan bahwa hubungan komunikasi interpersonal dengan stres kerja pada perawat mempunyai hubungan korelasi yang linier.

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi non-parametric dari Spearman, karena kedua variabel tidak memenuhi syarat uji uji linearitas, yaitu skor kedua variabel berdistribusi normal tetapi kedua variabel tersebut tidak mempunyai hubungan yang linear dengan bantuan program SPSS 13.0 for windows.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa r = -0,637 dengan p = 0,000 (p < 0,05). Berdasarkan hasil korelasi tersebut bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja perawat, sehingga hipotesa yang diajukan diterima.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka hipotesis yang telah diajukan yaitu ada hubungan negatif antara stres kerja perawat dengan komunikasi interpersonal dapat diterima. Korelasi antara kedua variabel tersebut adalah

(15)

semakin tinggi komunikasi interpersonal maka akan semakin rendah stres kerja pada perawat. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah komunikasi interpersonal maka akan semakin tinggi stres kerja pada perawat. Hasil analisis korelasi dengan menggunakan teknik product moment dari Pearson menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar -0,637 dengan p = 0,000 (p < 0,05), menunjukkan adanya hubungan antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja. Komunikasi interpersonal merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap tinggi rendahnya stres kerja.

Stres kerja perawat pada penelitian ini dijelaskan sebagai kondisi yang dirasa tidak menyenangkan dari interaksi perawat dengan pekerjaannya yang dapat menyebabkan ketegangan dilingkungan kerja dengan meliputi aspek fisiologis, psikologis, dan perilaku di tempat kerja. Komunikasi interpersonal pada penelitian ini dijelaskan sebagai kemampuan dalam proses komunikasi perawat dengan pasiennya dimana terjadi umpan balik, yang bertujuan meningkatkan efektivitas pribadi dan efektivitas antar pribadi yang ditandai dengan adanya kepercayaan, dukungan, dan keterbukaan.

Hubungan antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja perawat bersifat negatif. Terbukti bahwa semakin komunikasi interpersonal yang terjalin antara perawat dan pasien kurang efektif (rendah) maka stres kerja akan semakin tinggi. Perawat yang mengalami komunikasi Interpersonal yang kurang efektif dalam pekerjaannya akan cenderung bersikap negatif seperti merasa cemas dan merasa tidak mampu mendengarkan apa yang dikatakan oleh pasien dengan baik, sehingga tidak mampu melakukan active listening (mendengarkan dengan aktif dan penuh

(16)

perhatian). Kecemasan yang dialami perawat apabila tidak cepat diatasi akan dapat sangat mempengaruhi interaksinya dengan orang lain terutama kepada pasien.

Komunikasi interpersonal merupakan suatu proses karena melalui komunikasi seseorang menyampaikan dan mendapatkan respon. Dampak dari komunikasi interpersonal yang kurang efektif diantara perawat dan pasien, membuat perawat tidak dapat memberikan pelayanan pada pasien dengan baik. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh : minimnya rasa percaya antara perawat dan pasien dalam proses perawatan, karena rasa ketidakpercayaan tersebut maka satu sama lain menunjukkan sikap tidak terbuka, dan terakhir tidak adanya dukungan yang bisa diberikan dimana sikap percaya tersebut pada hakikatnya menumbuhkan rasa kesamaan dan kemudian dapat menjalin kerjasama yang baik dalam tindakan keperawatan. Proses komunikasi interpersonal dibangun berdasarkan hubungan saling percaya, sikap suportif dan sikap terbuka dengan pasien. Komunikasi yang efektif merupakan hal yang esensial dalam menciptakan hubungan antara perawat dan pasien, karena melalui komunikasi interpersonal perawat dan pasien dapat menyampaikan informasi, pengetahuan, perasaan, dan perbuatannya secara timbal balik (Ellis., dkk, 2000). Maka dengan komunikasi interpersonal yang terjadi terus-menerus, dapat meningkatkan keterikatan psikologis antara perawat dan pasien, menumbuhkan sikap saling percaya, menumbuhkan kesamaan, dan untuk kemudian sama-sama dalam bertindak (Smet, 1994).

Namun, apabila dalam suatu komunikasi interpersonal terjadi suatu percekcokan dan mengakibatkan ketidakefektifan dalam berkomunikasi, maka tidak memungkinkan hal tersebut dapat menimbulkan suatu efek negatif pada diri individu

(17)

yaitu terjadinya stres. Sehingga komunikasi yang seharusnya berjalan dengan efektif malah berbalik menjadi komunikasi yang negatif, dan hal tersebut membuat perawat kesulitan untuk menjalin hubungan dengan pasien dalam proses pemberian pelayanan kesahatan. Pada hakikatnya perawat dituntut sebaik mungkin untuk memberikan pelayanan, namum tidaklah mungkin bahwa dari lingkungan pekerjaannya sendiri perawat mengalami suatu perilaku negatif yaitu stres kerja. Perawat yang mengalami stres kerja akan mengambil jarak dan menarik diri dari pasien karena menganggap pasien adalah penyebab timbulnya masalah sehingga mereka akan cenderung menghindari (Cherniss dalam Purwandari, 2000).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal yang dimiliki perawat RSUD kota Yogyakarta tergolong tinggi yaitu 56%. Hal ini karena dipengaruhi oleh masa kerja responden (70%) yaitu di atas 5 tahun. Semakin lama masa kerja maka akan semakin banyak mendapatkan pengalaman sehingga akan meningkatkan kepercayaan dan akan semakin terbuka orang lain untuk mengungkapkan dirinya. Kepercayaan dan keterbukaan seseorang akan meningkatkan efektivitas komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal tidak dapat dipisahkan dari tingkah laku seseorang yang melibatkan aktivitas fisik, mental dan juga dipengaruhi latar belakang sosial budaya, pengalaman, usia, dan pendidikan (Rakhmat, 2007). Sehingga dalam masa kerja yang sudah amat berpengalaman dalam melayani pasien tidak membuat perawat kesulitan dalam menjalin komunikasi interpersonal yang baik dengan pasien. Selain itu dalam proses keperawatan, semakin lama masa kerja perawat, maka semakin banyak

(18)

pengetahuan perawat tentang kepribadian, sikap, sifat, dan lain-lain yang berkaitan dengan pasien.

Sementara stres kerja yang dimiliki perawat RSUD kota Yogyakarta menunjukkan hasil stres kerja yang dialami perawat tergolong sangat rendah yaitu 42%, ini dibuktikan dengan hasil perhitungan ketegorisasi. Dalam hal ini walaupun hasil dari stres kerja sangat rendah namun tidak akan dapat dipungkiri bahwa stres kerja masih tetap dirasakan oleh sebagian responden. Pada tingkatan tertentu stres dianggap perlu, Supratiknya (1995) menjelaskan pendapat dari beberapa kalangan ahli bahwa apabila tidak ada stres dalam pekerjaan, maka karyawan tidak akan merasa ditantang untuk mengerahkan segala kemampuannya untuk berprestasi tinggi dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Sehingga tidak adanya stres dalam hasil penelitian yang peneliti lakukan ini, akan dapat memunculkan permasalahan baru yang terjadi pada perawat di rumah sakit umum daerah tersebut. Karena dengan hasil prosentase sangat tinggi sebesar 42% dengan hasil kategorisasi stres sangat rendah, maka dapat disimpulkan bahwa perawat tidak mengalami stres dalam pekerjaannya, dan dengan analisis teori yang dikemukakan diatas bahwa tidak adanya stres sama sekali akan mengakibatkan menurunnya prestasi kerja.

Sama halnya Selye (Smet, 1994) bahwa stres adalah bumbu kehidupan dan setiap orang pasti mengalami stres. Oleh karena itu, tidak ada stres sama sekali berarti kematian. Berdasarkan hasil observasi kembali yang peneliti lakukan di lapangan, peneliti berpendapat bahwa kondisi tersebut mungkin disebabkan oleh tugas-tugas yang dilakukan oleh perawat tetap dalam merawat pasien seringkali

(19)

dibantu oleh perawat-perawat tidak tetap atau calon perawat yang sedang praktek di RSUD tersebut. Maka perawat-perawat tetap yang menjadi subjek penelitian seringkali hanya mengerjakan tugas-tugas administratif bangsal. Perawatan terhadap pasien seperti memberikan obat, mengganti infus, mencatat suhu, mencatat denyut jantung dan pernafasan pasien pada saat jam tertentu serta terkadang memandikan pasien dibebankan kepada perawat-perawat tidak tetap atau perawat praktek.

Selanjutnya hasil dari analisis menunjukkan bahwa sebagian besar perawat mempunyai masa kerja > 5 tahun (70%), sehingga sangat memungkinkan perawat beradaptasi dengan lingkungan pekerjaannya. Pengaruh antara masa kerja terhadap stres kerja pada tenaga kerja yaitu semakin lama masa kerja dari tenaga kerja, maka semakin menurun tingkat stres kerja hal ini disebabkan karena tenaga kerja sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya (Hartono, 2004).

Selain itu hubungan interpersonal juga sangat menentukan apakah perawat mengalami stres kerja tinggi atau tidak. Dari hubungan interpersonal yang baik lahir pola perilaku komunikasi interpersonal yang baik pula, yaitu bukan hanya sekedar penyampaian isi pesan tetapi juga menentukan kadar hubungan interpersonal. Dengan semakin baiknya hubungan interpersonal semakin terbuka orang mengungkapkan dirinya, sehingga semakin efektif komunikasi yang berlangsung (Rakhmat, 2007). Dalam penelitian pada perawat RSUD kota Yogyakarta didapatkan hasil bahwa terdapat tingginya komunikasi interpersonal dibuktikan bahwa perawat memahami akan eksistensi dari pekerjaan mereka sebagai peawat, sehingga

(20)

mereka memahami ataupun memanglumi ucapan ataupun tingkah laku yang pasien berikan terhadapnya.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan mengapa stres kerja yang terungkap sangat rendah, antara lain terdapat dalam penyebaran angket, yaitu dimana peneliti tidak mengamati secara langsung pengisian dari angket tersebut. Sehingga ada kemungkinan terjadinya unsur kesamaan dalam pengisian angket diantara sesama perawat (konfermitas). Selain itu perawat juga tidak ingin citra diri mereka terlihat buruk di mata masyarakat. Sehingga jawaban yang diberikan subjek tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Hal tersebut dikarenakan sebelumnya ada dari salah seorang perawat yang amat mempertanyakan lebih rinci inti dari penelitian yang peneliti lakukan, dan apa hasil dari penelitian ini akan mempengaruhi citra dari rumah saikt tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara komunikasi interpersonal dengan stres kerja pada perawat Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta. Semakin tinggi komunikasi interpersonal maka akan semakin rendah stres kerja pada perawat. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah komunikasi interpersonal maka akan semakin tinggi stres kerja pada perawat. Dengan demikian hipotesis penelitian yang diajukan diterima.

(21)

DAFTAR PUSTAKA Anoraga, P. 2006. Psikologi Kerja. Jakarta : Rineka Cipta.

Cookfair, J.M. 1996. Nursing Care in the Community. USA :Mosby Year book Inc. Darmawan, A. 1993. Hubungan antara Komunikasi Interpersonal dengan

Keterlibatan Kerja pada Tenaga Perawat di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM. Ellis, R.B., Gates, R.J., Kenworthy, N. 2000. Komunikasi Interpersonal Dalam

Keperawatan. (terjemahan). Jakarta : Penerbit buku kedeokteran. EGC. Hardjana, A.M. 2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta :

Kanisius.

Hartono. 2004. Hubungan antara persepsi perawat tentang hubungan interpersonal perawat-dokter dengan stres kerja perawat diruang rawat inap cendana RSUD Dr Moewardi Surakarta. (Skripsi). Yogyakarta : Program studi Ilmu keperawatan, Fakultas Kedokteran UGM.

Hendrartini dan Pamardiningsih. 1999. Perbedaan Kepuasan Kerja dan Stres Kerja antara Dokter GIGI yang Bekerja di Puskesmas dan Rumah Sakit Umum di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. XV, No.3, 115-123.

Luthans, F. 2006. Perilaku Organisasi, Edisi bahasa Indonesia kesepuluh. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Pace, R. Wayne dan Faules, Don. F. 2005. Komunikasi Organisasi : Strategi meningkatkan kinerja perusahaan. (terjemahan). Bandung : Rosada.

Purwandari, H., 2000. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja perawat di instalasi Rawat intensif RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Program studi Ilmu keperawatan, Fak. Kedokteran, UGM. Yogyakarta.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2006. Komunikasi Dalam Keperawatan. http://www.inna-ppni.or.id/html 16/02/2009.

Rakhmat, J. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Robbins, S.P.,1998. Organizational Behavior Concept, Controversies Application. Eight edition. New Jersey : Prentice Hall Internasional Inc.

(22)

Identitas Penulis

Nama : Meylinda Fitria Chairani (ria)

Alamat : Perum. Jatiwaringin asri Blok C9/6 Pondok Gede- BEKASI 17411

Referensi

Dokumen terkait

 Akuntansi Biaya Bahan Baku, Biaya Tenaga Kerja Langsung, Biaya Overhead Pabrik Perkuliahan tatap muka, latihan soal 50 menit 100 menit  Mahasiswa mampu menyebutkan

Alat pemasaran ini terdiri dari (1) Produk (product) , yakni sesuatu yang ditawarkan dalam pasar untuk mendapatkan perhatian sehingga produk yang dijual akan

Istri saya khususnya sangat senang melakukan seperti ini bahwa Allah Ta’ala pada tahun ini telah memberikan taufik kepada kami untuk memberikan pengorbanan yang baik dan

Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil analisis data pembenahan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia pada Dinas Pemuda dan Olahraga untuk mencapai kinerja yang

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air dan plankton yang didapat dari perairan Sungai Wedung, es batu untuk mengawetkan sampel air pada coolbox , serta

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, maka kebutuhan terhadap suatu jaringan akan semakin meningkat, terutama untuk menghubungkan jaringan yang satu

sanksi pembentukan PPAP sebesar kemungkinan kerugian Bank dari nilai transaksi, dan atau sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) Undang-undang Nomor 7

a. Pembakuan konsep, definisi, klasifikasi, dan ukuran-ukuran. Koordinasi dan atau kerjasama penyelenggaraan statistik antara BPS, instansi pemerintah, dan masyarakat