• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. ANALISA DAN BAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 4. ANALISA DAN BAHASAN"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB 4.

ANALISA DAN BAHASAN

4.1 Analisa Rencana Kebutuhan Ruang

Analisa rencana kebutuhan ruang dibuat dengan menentukan jenis-jenis ruang beserta luasannya, dengan mengacu kepada ketetapan standar. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jenis Kebutuhan Ruang Asrama

No Nama Ruangan Sifat Pemakai Ukuran Standar

Material

1 Single Bedroom Pribadi 1 9 m2

Flooring: linoleum/vinyl composition tile

Wall: gypsum/masonry

Ceiling: gypsum board

2 Double Bedroom Pribadi 2 6 m2/orang

Flooring: linoleum/vinyl composition tile

Wall: gypsum/masonry

Ceiling: gypsum board

3 Koridor Umum ~ ~ Flooring: linoleum/vinyl composition tile/rubber Wall: gypsum/masonry Ceiling: acoustical panel/gypsum board

Add: Exit Sign

4 Kamar Mandi Bersama

Umum 5 Shower:

1 m2/orang

(2)

No Nama Ruangan Sifat Pemakai Ukuran Standar Material Toilet: 1,25 m2/orang 1 pasang bilik shower & Toilet/10 kamar

Wall: glazed concrete masonry/structural glazed facing tile/ceramic tile wainscot

Ceiling: fiberglass plastic grid

Add: floor drain

5 Lounge/Ruang Berkumpul

Umum 50 1 m2/orang

F/W/C: sama dengan bedroom

Add: stop kontak, outlet telepon/tv/internet

6 Lobby/Entrance Umum 20 1 m2/orang

F/W/C: sama dengan bedroom

Add: stop kontak, outlet telepon/tv/internet 7 Laundry Umum 8 1 pasang washer & dryer/25 kamar Dimensi washer & dryer: 0,75 m x 0,75 m F/W/C: sama dengan kamar mandi umum

Add: floor drain, utility sinks 8 Parkir Sepeda Motor Pribadi 150 3,3 m2/sepeda motor Flooring: concrete/masonry Wall: concrete

Sumber: College and University Residence Hall Design Guidelines,

(3)

4.2 Analisa Rencana Jumlah Penghuni

Berhubungan dengan aspek finansial bangunan yakni jumlah ruangan yang akan disewakan, perlu diketahui jumlah penghuni berdasarkan ketersediaan lahan. Diketahui bahwa KDB bangunan adalah 2050 m2, dengan asumsi 75% akan digunakan untuk keperluan sewa, dan luas ruang tidur untuk 1 orang adalah 12,5 m2. Maka didapatlah rencana perkiraan penghuni= (2050 x 75%)/12,5 = 123 jiwa

4.3 Analisa Rencana Kebutuhan Ruang Berdasarkan Jumlah Penghuni

Tabel 4.2 Rencana Luas Ruangan Asrama

No Jenis Ruangan Ukuran Ruang Jumlah Ruang Total Luasan

1 Single Bedroom 9 m2 123 1107 m2

2 Kamar Mandi Bersama 24 m2 4 96 m2

3 Laundry 24 m2 4 96 m2

4 Lounge 1 m2 x 123 = 123 m2 1 123 m2

5 Lobby/Entrance 123 m2 1 123 m2

Luasan Total (dengan 20% sirkulasi) 1854 m2

Gambar 4.1 Rencana Hubungan Ruang

4.4 Analisa Tapak

Lokasi tapak beralamat pada Jl. Anggrek, Kebon Jeruk. Jakarta Barat. 11530. Memiliki luasan lahan sebesar 4100 m2, peruntukan sebagai wisma susun, dengan jumlah lantai yang diizikan adalah empat lantai, KDB=50%, dan KLB=2. Secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 4.2

(4)

Gambar 4.2 Gambaran Lokasi

Tidak ada akses langsung dari jalan raya, sehingga untuk mencapai lokasi baik menggunakan kendaraan atau berjalan kaki harus melewati area parkir kampus Binus, sebagaimana yang dijelaskan pada Gambar 4.3. Mahasiswa kampus dapat mencapai lokasi melalui area kantin dan gedung parkir (poin 1), dan pencapaian dari jalan raya dapat langsung melalui area parkir terbuka.

(5)

Gambar 4.4 Suasana Lokasi

Pada Gambar 4.4 merupakan gambaran suasana lokasi tapak. Secara spesifik pada poin No.1 di arah barat laut terdapat pembangunan proyek yang belum rampung, berdasarkan data LRK proyek tersebut adalah bangunan dengan jumlah maksimal lantai sebanyak 25 lantai. Pada poin No. 2 Merupakan akses menuju lokasi lahan yang dapat dicapai melalui tembusan dari area kantin Kampus Anggrek maupun area parkir. Pada poin No. 3 adalah suasana lahan, yang merupakan tanah kosong. Dan pada poin No. 4 terlihat akses jalan raya menuju lokasi.

Lokasi lahan memiliki data latitude dan longitude sebagai berikut: 6012’ Selatan dan 106046’ Timur. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui secara umum pergerakan jalur matahari pada lokasi lahan. Jalur matahari katulistiwa saat

(6)

matahari melintas tepat diatas lokasi lahan, adalah pada bulan Maret dan Oktober. Jalur matahari Utara terjadi selama 6 bulan sejak April hingga September. Jalur matahari selatan terjadi hanya selama 4 bulan, yakni pada bulan November, Desember, Januari, Februari. Berdasarkan data tersebut pembayangan terbanyak akan terjadi pada sisi selatan lahan.

Gambar 4.5 Gambaran Pergerakan Matahari

4.5 Analisa Base Plan Gubahan Massa

Base plan atau rencana gubahan massa awal dibuat untuk mengetahui

gambaran wujud bangunan berdasarkan kondisi tapak dan keadaan lingkungan sekitar. Yang pertama dilakukan adalah membuat gubahan massa sesuai dengan peraturan IMB, ditujukan untuk menciptakan gubahan massa yang sesuai dengan peruntukan lahan baik dari segi luasan lantai hingga ketinggian.

Gubahan massa bangunan yang didapat berdasarkan peraturan IMB kemudian dapat dijadikan titik berangkan dalam merancang bangunan secara keseluruhan. Bentukan yang telah didapat kemudian dianalisa dengan meninjau aspek lingkungan sekitar, seperti orientasi, arah matahari, dsb.

4.5.1 Base Plan Bangunan Berdasarkan Peraturan IMB

Dengan mengacu pada peraturan IMB, hal yang pertama dilakukan dalam membuat base plan bangunan adalah menentukan area lahan yang akan dibangun.

(7)

Kemudian menentukan batas garis sempadan bangunan (GSB), tepatnya menarik garis imajiner sejauh lima meter kedalam area lahan. Dengan ditetapkannya GSB, maka diketahuilah area lahan yang boleh dibangun. Gubahan massa selanjutnya akan dibangun dalam batasan GSB, tidak lebih.

Gambar 4.6 Area Lahan Yang Akan Dibangun

(8)

Setelah menetapkan GSB, didapatkanlah area lahan sebesar 2850 m. Dengan mengacu pada ketetapan jumlah lantai yang diizinkan sebanyak empat lantai, dibuatlah gubahan massa sesuai dengan ukuran lahan GSB dan tingkatan lantai. Gubahan massa ini belum memasukkan aspek peraturan IMB berupa Koefisien Dasar Bangunan (KDB).

Gambar 4.8 Gubahan Massa Awal

Setelah menemukan bentuk gubahan massa awal, dimasukkanlah aspek SEP (sky exposure plane) pada gubahan massa tersebut. Aspek SEP dibuat dengan menarik bidang imajiner sejauh lima m keluar area lahan bangunan, dengan sudut kemiringan 600 kedalam bangunan. SEP yang didapat akan memotong gubahan massa bangunan, sehingga pembangunan bangunan selanjutnya haruslah mundur dari sudut kemiringan SEP tersebut.

SEP diterapkan pada massa bangunan sejak awal ditujukan sebagai batasan ketika membuat gubahan massa. Sehingga dalam proses merancang gubahan massa selanjutnya, akan dapat dengan mudah diketahui bidang bangunan mana saja yang harus mengalami setback mundur dari garis SEP. dengan jarak mundur sesuai dengan derajat kemiringan yang telah ditentukan.

(9)

Dengan menerapkan aspek SEP pada bangunan, didapatkanlah bidang miring SEP yang dimulai pada ketinggian dua lantai dari permukaan tanah. Sehingga gubahan massa pada lantai tiga dan empat harus lah mundur menjauhi bidang miring SEP tersebut.

Gambar 4.9 Bidang Imajiner SEP

(10)

Gambar 4.11 Massa Bangunan Setelah Dipotong Bidang SEP

Gambar 4.12 Tujuan Penerapan SEP

Didapatkanlah bentukan massa awal bangunan yang telah dilengkapi dengan aspek SEP. Hanya saja gubahan massa awal ini belum memenuhi peraturan IMB berupa Koefisien Dasar Bangunan, yakni luasan lantai dasar yang diizinkan untuk dibangun. Melalui perhitungan KDB akan didapat luas lantai dasar bangunan maksimal (LBD).

(11)

Menghitung luas lantai dasar bangunan maksimal (LBD) berdasarkan keseluruhan luas tanah (LT). Dapat dilakukan menggunakan rumus LBD=LT x KDB LBD=4100 x 50% = 2050 m2. Luasan lantai dasar gubahan massa awal adalah seluas 2850 m2, akan dikurangi hingga menjadi 2050 m2 dengan cara melakukan scaling atau penskalaan. Scaling dilakukan menggunakan software komputer SketchUp, dengan tujuan menyesuaikan ukuran model gubahan massa yang telah dibuat agar sesuai dengan luasan lantai dasar yang diinginkan.

Gambar 4.13 Massa Bangunan Sesuai KDB

Berdasarkan luasan dasar maksimal, yang dilakukan berikutnya adalah menghitung luasan bangunan secara keseluruhan. Dapat dihitung menggunakan rumus Luas Bangunan Keseluruhan=KLB x LT Luas Bangunan Keseluruhan= 2 x 4100 = 8200 m2.

Dengan didasari perhitungan luas bangunan keseluruhan, dapat dibuat rencana luasan lantai bangunan. Dikarenakan tinggi bangunan yang diizinkan adalah 4 lantai, penulis merencanakan untuk menyamakan luasan masing-masing lantai. Dengan perhitungan Luas Bangunan Keseluruhan/jumlah lantai 8200/4= 2050 m2. Didapatilah luasan tiap lantai bangunan seluas 2050 m2, khusus untuk lantai tiga dan empat sesuai dengan setback oleh SEP maka akan dilakukan penyesuaian luasan lantai.

(12)

Gambar 4.14 Pengaplikasian Setback Sesuai SEP

Sesuai perhitungan LBD dan aspek SEP, dapat diketahui setback lantai tiga dan empat yang kemudian akan menentukan luasan kedua lantai tersebut. Berdasarkan kemiringan SEP, lantai tiga harus mengalami setback sejauh 1,5 m dan lantai empat sejauh empat 4 m. Sehingga didapat luasan untuk lantai tiga dan empat adalah 1757 m2 dan 1282 m2, sedangkan untuk dua lantai pertama memiliki luas 2050 m2. Dengan demikian luasan total lantai bangunan yang didapat adalah 7139 m2.

4.5.2 Base Plan Bangunan Berdasarkan Analisa Pencahayaan

Dalam pembahasan berikutnya, analisa gubahan massa dicapai melalui simulasi terhadap lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan lingkungan sekitar bangunan sangat berpengaruh, sehingga rancangan bentuk bangunan haruslah sesuai.

Analisa yang pertama yakni analisa pembayangan. Ditujukan untuk mengetahui gambaran tentang kondisi pembayangan pada jalur pergerakan matahari pada lintang yang berbeda. Simulasi dilakukan pada tiga bulan berbeda yang mewakili pergerakan jalur matahari (matahari utara, katulistiwa, dan selatan). Berdasarkan simulasi tersebut didapatkanlah data sebagai berikut:

(13)

Gambar 4.15 Analisa Pembayangan Bulan Desember

Jalur Matahari Selatan. Daerah barat dan utara bangunan memiliki tingkat pembayangan yang cukup tinggi, khususnya pada saat sore hari. Kondisi ini terjadi selama kurun waktu 4 bulan (November, Desember, Januari, Februari).

(14)

Gambar 4.16 Analisa Pembayangan Bulan Maret/September

Jalur Matahari Katulistiwa. Bulan Maret dan September, jalur matahari tepat berada diatas bangunan. Sehingga pembayangan yang terjadi umumnya hanya pada bagian timur dan barat bangunan. Sisi barat pembayangan terjadi saat pagi hari, dan sisi timur pembayangan terjadi saat sore hari. Sisi utara dan selatan tidak terjadi pembayangan.

(15)

Gambar 4.17 Analisa Pembayangan Bulan Juni

Jalur Matahari Utara. Daerah utara bangunan secara teori memiliki tingkat pembayangan terendah, karena pergerakan matahari pada posisi utara yang relatif lama, yakni dalam kurun 5 bulan (April-Agustus). Tetapi dengan kondisi lahan yang pada sisi barat laut direncanakan akan didirikan bangunan high rise, maka pembayangan yang dihasilkan oleh bangunan tersebut akan sangat terasa pada lokasi. Hal ini menyebabkan keseluruhan sisi bangunan mengalami pembayangan pada waktu yang berbeda.

(16)

Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan dapat diketahui sisi-sisi bangunan yang mengalami pembayangan, pada jam dan bulan yang berbeda. Hanya saja secara spesifik tingkat kegelapan yang diterima akibat pembayangan belum dapat diketahui. Untuk itu dilakukanlah simulasi untuk mengukur tingkat pencahayaan alami yang diterima bangunan pada tiap sisinya, sesuai dengan kondisi pembayangan yang berbeda. Ditujukan untuk mengetahui pengaruh pembayangan terhadap intensitas cahaya alami, akankah pembayangan tersebut membuat tiap ruangan menjadi gelap total, atau masih dalam batas kenyamanan

visual penghuni.

Simulasi pencahayaan dilakukan pada rentang waktu dan bulan yang sama dengan simulasi pembayangan. Dilakukan pada tiga jam berbeda dalam satu hari yakni pukul sembilan pagi, satu siang, dan lima sore. Dalam kurun tiga bulan berbeda yang masing-masing mewakili ketiga jalur pergerakan matahari.

Gambar 4.18 Denah Sederhana

Untuk memulai simulasi pencahayaan, dibuatlah denah sederhana pada luasan lantai bangunan yang telah didapat. Pembuatan denah sederhana ini bertujuan untuk mengetahui pembagian ruang-ruang kamar pada bangunan, dan ruang-ruang mana saja yang mendapat akses pencahayaan alami beserta tingkatan cahaya yang diterima.

Analisa pencahayaan dilakukan pada beberapa sisi bangunan (barat, timur, utara, selatan, barat daya, dan barat laut), dengan modul ruangan berukuran 4.5 x 2,5 m seluas 10 m2. Tiap ruangan memiliki bukaan berupa jendela dengan ukuran 0.6 x 1.5 m. Analisa pencahyaan dilakukan dengan mengacu pada standar kenyamanan visual seperti yang terlihat pada Tabel. 4.3.

(17)

Tabel 4.3 Standar Kenyamanan Visual

Illuminance (lux)

Kegiatan Area

100 Penglihatan biasa Koridor

150 Pekerjaan detil Loading bay

200 Ruang yg lama dihuni Entrance halls, ruang makan

300 Pekerjaan visual yg mudah Perpustakaan, sports halls 500 Pekerjaan visual yg cukup rumit Kantor, dapur, laboratorium

750 Pekerjaan visual rumit Ruang gambar

1000 Pekerjaan visual sangat rumit Perakitan elektronik, pekerjaan lukis

1500 Pekerjaan visual sangat amat rumit Pekerjaan yg memerlukan ketelitian 2000 Pekerjaan visual luar biasa rumit Perakitan, inspeksi kain

Sumber: CIBSE Code for Lighting

Dengan mengacu pada tabel tersebut, didapati bahwa standar tingkat pencahayaan yang ingin dicapai adalah sebesar 500 lux, berdasarkan rentang 250-750 lux dan fungsi ruang kamar yang juga sebagai ruang belajar. Berikut adalah simulasi pencahayaan pada tiap sisi bangunan.

Gambar 4.19 Pencahayaan Sisi Barat

Tabel 4.4 Analisa Pencahayaan Sisi Barat Barat Bulan 09.00 13.00 17.00 Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux

(18)

Barat Bulan 09.00 13.00 17.00 Juni Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Desember Terendah:50 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 450 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 500 lux

Tingkat pencahayaan pada sisi barat bangunan terendah terjadi pada pagi hari, dan tertinggi pada saat siang hingga sore hari. Secara umum pencahayaan tertinggi terjadi pada bulan Desember. Rata-rata dalam satu hari tingkat pencahayaan berkisar antara 350 lux hingga 550 lux, masih dalam rentang standar kenyamanan visual. Hanya saja pada saat siang hari, terdapat beberapa titik pada ruangan yang tersinari cahaya matahari secara langsung dengan tingkat pencahayaan sebesar 950 lux. Nilai tersebut tergolong di atas rentang standar kenyamanan visual, walau demikian pencahayaan tersebut hanya terjadi pada beberapa titik saja tidak keseluruhan ruangan. Sehingga secara umum ruangan masih tergolong nyaman secara visual.

(19)

Tabel 4.5 Analisa Pencahayaan Sisi Timur Timur Bulan 09.00 13.00 17.00 Maret Terendah:250 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 600 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 450 lux Juni Terendah:250 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 600 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 500 lux Desember Terendah:250 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 600 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 450 lux

Tingkat pencahayaan pada sisi timur bangunan tertinggi terjadi pada pagi hari, dan terendah pada saat siang hingga sore hari. Secara umum pencahayaan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Rata-rata dalam satu hari tingkat pencahayaan berkisar antara 450 lux hingga 600 lux, masih dalam rentang standar kenyamanan

visual. Pada pagi hari terdapat paparan cahaya matahari secara langsung, yang

membuat terjadinya beberapa titik silai sebesar 950 lux. Hal ini terjadi pada ketiga rentang bulan.

(20)

Tabel 4.6 Analisa Pencahayaan Sisi Utara Utara Bulan 09.00 13.00 17.00 Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 550 lux Rata-Rata: 300 lux Juni Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 250 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 650 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 450 lux Desember Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux

Tingkat pencahayaan pada sisi utara bangunan tertinggi terjadi pada siang hari, dan terendah pada saat pagi dan sore hari. Secara umum pencahayaan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Rata-rata dalam satu hari tingkat pencahayaan berkisar antara 300 lux hingga 650 lux, masih dalam rentang standar kenyamanan

visual. Pada bulan Juni saja saat pagi hari dan siang hari terdapat paparan cahaya

matahari secara langsung, yang membuat terjadinya beberapa titik silau sebesar 950 lux.

(21)

Tabel 4.7 Analisa Pencahayaan Sisi Selatan Selatan Bulan 09.00 13.00 17.00 Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Juni Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Desember Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 500 lux

Tingkat pencahayaan pada sisi selatan bangunan secara keseluruhan stabil sejak pagi hari hingga sore hari. Dengan nilai pencahayaan rata-rata dalam rentang 400 lux hingga 500 lux. Terkecuali pada bulan Desember, pencahayaan stabil sejak pagi hingga sore dengan nilai 500 lux hingga 550 lux. Cukup tinggi dibandingkan dengan dua bulan sebelumnya yakni Maret dan Juni. Paparan cahaya matahari secara langsung hanya terjadi pada bulan Desember, mulai saat pagi hingga sore hari sebesar 950 lux.

(22)

Tabel 4.8 Analisa Pencahayaan Barat Laut Selatan Bulan 09.00 13.00 17.00 Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 350 lux Juni Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 400 lux Terendah: 50 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 500 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 750 lux Rata-Rata: 350 lux Desember Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 850 lux Rata-Rata: 500 lux

Tingkat pencahayaan pada barat laut bangunan pada bulan Maret dan Juni cenderung rendah pada saat pagi hari sebanyak 350 lux dan tinggi saat siang hingga sore hari sebanyak 450 lux hingga 550 lux. Pada bulan Desember tingkatan cahaya menjadi stabil saat pagi hingga sore dengan rata-rata 350 lux. Secara keseluruhan memiliki tingkat pencahayaan tinggi pada jalur matahari khatulistiwa (Maret) dan Utara (Juni).

(23)

0 100 200 300 400 500 600

Barat Timur Utara Selatan Barat Laut Barat Daya 9:00 13:00 17:00 Tabel 4.9 Analisa Pencahayaan Barat Daya

Selatan Bulan 09.00 13.00 17.00 Maret Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Juni Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah:50 lux Tertinggi: 650 lux Rata-Rata: 350 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Desember Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux Terendah: 150 lux Tertinggi: 950 lux Rata-Rata: 550 lux

Tingkat pencahayaan pada barat daya bangunan tertinggi pada saat sore hari di bulan Maret, dan siang hingga sore hari di bulan Desember sebanyak 550

lux.

Secara keseluruhan hasil simulasi pencahayaang masing-masing sisi bangunan pada bulan yang berbeda dapat disimpulkan dalam bentuk grafik. Seperti yang terlihat pada gambar-gambar berikut:

Grafik Pencahayaan Bulan Maret/September

Lux

(24)

0 100 200 300 400 500 600 700

Barat Timur Utara Selatan Barat

Laut Barat Daya 9:00 13:00 17:00 0 100 200 300 400 500 600

Barat Timur Utara Selatan Barat

Laut Barat Daya 9:00 13:00 17:00 Pada Bulan Maret/September, sisi dengan tingkat pencahayaan tertinggi adalah sisi timur dengan rata-rata intensitas lux per hari sebesar 516 lux. Sedangkan untuk sisi dengan pencahayaan terendah adalah sisi barat laut dengan rata-rata intensitas lux sebesar 366 lux.

Grafik Pencahayaan Bulan Juni

Lux

Gambar 4.26 Grafik Pencahayaan Bulan Juni

Pada Bulan Juni, sisi dengan tingkat pencahayaan tertinggi adalah sisi utara dengan rata-rata intensitas lux per hari sebesar 550 lux. Sedangkan untuk sisi dengan pencahayaan terendah adalah sisi barat laut dan barat daya, dengan rata-rata intensitas lux sebesar 416 lux.

Grafik Pencahayaan Bulan Desember

Lux

(25)

Pada Bulan Desember, sisi dengan tingkat pencahayaan tertinggi adalah barat daya dengan rata-rata intensitas lux per hari sebesar 550 lux. Sedangkan untuk sisi dengan pencahayaan terendah adalah sisi utara, dengan rata-rata intensitas lux sebesar 400 lux.

Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan mengenai intensitas pencahayaan pada masing-masing sisi bangunan pada rentang bulan yang berbeda. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.10 di bawah.

Tahap berikutnya yang akan dilakukan adalah melakukan analisa terhadap kesimpulan simulasi tersebut, yakni menentukan sisi mana saja yang tergolong sesuai dengan tingkat pencahayaan yang ingin dicapai. Bila terdapat sisi yang memiliki tingkat pencahayaan tidak sesuai dengan target, baik itu lebih tinggi maupun lebih rendah, maka perlu dilakukan penggubahan ukuran jendela agar cahaya yang diterima ruangan dapat sesuai dengan target.

Tabel 4.10 Tabel Kesimpulan Simulasi Pencahayaan Sisi Ukuran Bukaan Rata-Rata Pencahayaan Kondisi Matahari Kantilever Jendela Kondisi Terburuk Barat 0.9 m2 488 lux Sunny sky (best) Tidak Ada

×

Juni

Timur 0.9 m2 521 lux Desember

Utara 0.9 m2 450 lux Desember

Selatan 0.9 m2 455 lux Maret

Barat Laut 0.9 m2 430 lux Maret Barat Daya 0.9 m2 460 lux Juni

Sesuai dengan tabel di atas, sisi dengan tingkat pencahayaan tertinggi adalah sisi timur dengan rata-rata sebesar 521 lux. Sisi dengan tingkat pencahayaan terendah adalah sisi barat laut dengan rata-rata sebesar 430 lux. Sisi lainnya seperti utara, selatan, dan barat laut berkisar antara 450-460 lux.

Simulasi tersebut dilakukan pada kondisi cuaca terbaik (sunny sky) dengan asumsi permukaan bangunan rata tanpa kantilever. Untuk mendapatkan ukuran jendela yang optimal untuk tiap sisi bangunan, dilakukan simulasi berikutnya pada keadaan cuaca terburuk. Dengan tujuan dalam kondisi terburuk pun (paling mendung), saat siang hari bukaan jendela tetap dapat memberikan pencahayaan yang sesuai standar sehingga penggunaan lampu tidak diperlukan.

(26)

Dengan demikian dilakukanlah simulasi serupa dengan simulasi sebelumnya. Melalui simulasi sebelumnya, dapat diketahui dalam tiga bulan berbeda kapan saja kondisi terburuk tiap sisi bangunan (rentang lux paling rendah). Hal ini akan dijadikan titik berangkat untuk simulasi selanjutnya, yakni mensimulasikan bulan kondisi sisi terburuk ditambah dengan parameter lain seperti kondisi cahaya terburuk cloudy sky dan penambahan kantilever pada jendela.

Tabel 4.11 Tabel Kesimpulan Simulasi Pencahayaan Lanjutan Sisi Ukuran Bukaan Rata-Rata Pencahayaan Kondisi Matahari Kantilever Jendela Kondisi Terburuk Barat 0.9 m2 300 lux Cloudy sky (worst) Ada

Juni

Timur 0.9 m2 350 lux Desember

Utara 0.9 m2 300 lux Desember

Selatan 0.9 m2 300 lux Maret

Barat Laut 0.9 m2 250 lux Maret Barat Daya 0.9 m2 300 lux Juni

Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dengan mengandalkan bukaan jendela sebesar 0.9 m2, pencahayaan pada tiap sisi bangunan cenderung rendah. Rentang pencahayaan berkisar antara 250 hingga 350 lux. Mengingat simulasi dilakukan pada kondisi terburuk masing-masing sisi dengan keadaan cloudy sky dan penambahan kantilever pada jendela, hal ini membuat ruangan menjadi lebih gelap. Dengan keadaan seperti itu dapat disimpulkan bahwa jendela dengan bukaan 0.9 m2 tidak cukup optimal sebagai sumber pencahayaan ruangan.

Bukaan jendela dengan ukuran 0.9 m2 tergolong optimal hanya pada saat kondisi langit terbaik berupa sunny sky, dan tidak adanya kantilever pada jendela. Hal tersebut meningkatkan jumlah cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Hanya saja pada saat kondisi langit yang kurang baik seperti pada simulasi tabel 4.11, ruangan dengan bukaan jendela sebesar 0.9 m2 cenderung memiliki lux yang rendah. Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar 4.28 dibawah.

(27)

Gambar 4.28 Contoh Kondisi Sisi Utara

Pada Gambar 4.28 di atas memperlihatkan keadaan ruangan sisi utara dengan bukaan jendela sebesar 0.9 m2. Pada poin 1, kondisi langit terbaik berupa

sunny sky dan jendela tanpa kantilever, jumlah rata-rata lux pada ruangan tersebut

adalah 450 lux. Sedangkan pada poin 2, kondisi langit terburuk berupa cloudy sky dan penambahan kantilever, menurunkan jumlah cahaya menjadi 300 lux.

Dikarenakan tiap sisi pada kondisi tertentu memiliki kebutuhan pencahayaan yang berbeda, maka ukuran bukaan tidak dapat disamakan. Dengan mengacu pada simulasi pencahayaan pada kondisi terburuk, dibuat lah simulasi berikutnya untuk menentukan ukuran bukaan jendela yang tepat untuk masing-masing sisi bangunan. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 4.12, simulasi

(28)

0 100 200 300 400 500 600

Barat Timur Utara Selatan Barat Laut Barat Daya

Ukuran Lama Ukuran Baru dilakukan pada tiap sisi bangunan pada kondisi terburuk, dengan rentang waktu pukul 09.00, 13.00, dan 15.00.

Tabel 4.12 Tabel Kesimpulan Simulasi Pencahayaan Lanjutan Sisi Ukuran Bukaan Rata-Rata Pencahayaan Kondisi Matahari Kantilever Jendela Kondisi Terburuk Barat 1.2 m2 500 lux Cloudy sky (worst) Ada

Juni

Timur 1.2 m2 500 lux Desember

Utara 1.5 – 2 m2

550 lux Desember

Selatan 1.5 m2 550 lux Maret

Barat Laut 2 m2 550 lux Maret Barat Daya 1.2 m2 500 lux Juni

Gambar 4.29 Grafik Perbandingan Ukuran Jendela

Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, didapatkan ukuran bukaan jendela untuk tiap-tiap sisi bangunan pada kondisi cuaca terburuk. Pada kondisi terburuk dengan ukuran bukaan jendela yang baru, ruangan akan tetap mendapat pencahayaan dengan rentang 500 – 550 lux. Sehingga walau dalam keadaan mendung pun, pada saat siang hari ruangan tidak perlu mengandalkan penggunaan lampu.

(29)

4.5.3 Base Plan Bangunan Berdasarkan Kebutuhan Ruang & Struktur Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa tiap sisi bangunan akan mendapatkan akses pencahayaan matahari. Dengan kondisi tapak yang ada dan pembayangan yang dihasilkan, secara kesuluruhan tiap sisi bangunan tetap mendapat pencahayaan yang masih tergolong dalam rentang kenyamanan visual. Hanya saja sisi bangunan yang mendapat akses pencahayaan adalah sisi terluar bangunan yang menghadap ke arah luar. Berdasarkan rancangan denah sederhana yang telah dibuat, terdapat deret ruangan di bagian dalam bangunan yang tidak mendapat akses pencahayaan sama sekali. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.30 dibawah ini (area berwarna abu-abu).

Dikarenakan deret ruang tersebut tidak memiliki bukaan sama sekali, maka dapat dikatakan bahwa tingkat pencahayaan pada ruang-ruang tersebut adalah 0 lux. Pencahayaan pada deret ruang tersebut harus dicapai dengan mengandalkan penggunaan lampu setiap saat. Dengan keadaan seperti ini diketahui bahwa base plan gubahan massa yang dicapai, belum lah tergolong sebagai bentuk bangunan optimal. Dikarenakan tidak dapat menyediakan akses pencahayaan alami bagi seluruh ruang dalam bangunan.

Gambar 4.30 Ruangan Yg Tidak Mendapat Cahaya Alami

Untuk mengatasi permasalahan ini, dilakukan penggubahan bentuk massa bangunan selanjutnya. Ruang-ruang yang berada pada sisi terluar bangunan mampu mendapatkan akses pencahayaan alami melalui arah horizontal. Sedangkan untuk ruang bagian dalam bangunan, arah horizontal tidak memungkinkan untuk menerima cahaya alami. Dengan demikian pilihan selanjutnya adalah melalui arah vertikal, yakni dengan menciptakan bukaan pada

(30)

bangunan yang memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam bangunan. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan void.

Gambar 4.31 Gubahan Massa Saat Ini

(31)

Gubahan massa saat ini telah memiliki luasan sesuai dengan perhitungan KDB. Penambahan void tentunya akan mengurangi luasan lantai bangunan, karena terdapat sejumlah luasan lantai yang dihilangkan untuk membuat void. Melalui Gambar 4.32 dapat terlihat penambahan void pada bagian tengah bangunan, kemudian luasan lantai yang terpakai untuk void didistribusikan ke sisa bagian bangunan agar luasan lantai tetap seluas 2050 m2.

Void yang telah dibuat dicapai dengan melakukan extrude pada modul

bangunan. Hal tersebut belum cukup efektif, karena terdapat bagian void yang terlalu sempit seperti pada Gambar 4.33. Mengingat jarak sisi bangunan yang saling berhadapan adalah 12 m (A-Z Persyaratan Teknis Bangunan, 2013). Tak hanya itu, ukuran void dianggap terlalu besar dan menghabiskan area sewa yang cukup banyak. Maka dibuatlah gubahan massa selanjutnya dengan membuat pembagian area void, seperti yang terlihat pada Gambar 4.34 dibawah.

(32)

Gambar 4.34 Pembagian Void

Pembagian void pada gubahan massa bangunan ditujukan agar deret ruangan bagian dalam bangunan asrama bisa mendapatkan akses pencahayaan alami, sebagaimana dengan deret ruangan pada sisi bangunan terluar.

Gambar 4.35 Denah Dengan Void

Setelah mendapatkan bukaan void seperti yang terlihat pada gambar di atas, perlu dilakukan selanjutnya adalah simulasi pembayangan. Simulasi pembayangan dilakukan untuk mengetahui tingkat pembayangan yang terjadi terhadap gubahan massa baru, khususnya pada sisi-sisi bangunan di area void.

(33)

Simulasi dilakukan dengan menghitung akumulasi pembayangan yang terjadi pada rentang waktu pukul 09.00 hingga 17.00, pada tiga bulan yang berbeda. Seperti simulasi sebelumnya, ketiga bulan yang berbeda ditetapkan untuk mewakili perbedaan pergerakan jalur matahari. Berdasarkan simulasi yang dilakukan, bagian void bangunan secara umum cenderung gelap akibat pembayangan. Dengan tingkat pembayangan paling tinggi terjadi pada bulan Juni, seperti yang terlihat pada gambar 4.36 di bawah ini

(34)

Dengan tujuan untuk meningkatkan akses cahaya alami yang masuk melalui void, untuk itu proses gubahan massa selanjutnya akan dilakukan dengan menerapkan sistem hirarki bangunan.

Gambar 4.37 Sistem Hirarki 1

Sistem hirarki bangunan yang dimaksud adalah, penentuan titik posisi tertinggi pada bangunan. Ketika suatu bagian pada bangunan ditetapkan sebagai titik tertinggi, maka keseluruhan massa bangunan yang mengelilingi titik tersebut akan dianggap memiliki hirarki yang lebih rendah. Pada kasus penelitian ini dapat terlihat pada Gambar 4.37 di atas. Pada gambar tersebut terlihat sistem hirarki bangunan, yang dicapai dengan menerapkan aspek SEP. diakarenakan adanya garis miring SEP, maka pembangunan massa bangunan harus terjadi setback.

Setback ini lah yang memperlihatkan hirarki bangunan. Dapat terlihat bahwa

hirarki tertinggi bangunan ini adalah bagian tengah, sehingga bentuk massa bangunan tercipta seolah berbentuk berundak. Semakin jauh dari titik tengah, maka semakin rendah.

Berhubungan dengan upaya untuk meningkatkan cahaya alami yang masuk melalui void, maka dilakukan pemindahan titik hirarki bangunan. Titik hirarki tertinggi bangunan digeser ke sisi barat bangunan. Sehingga posisi titik

(35)

hirarki kini berada pada bagian tengah sisi barat. Dengan penempatan titik hirarki baru ini, maka keseluruhan bentuk massa bangunan akan mengikuti.

Gambar 4.38 Sistem Hirarki 2

Gambar 4.39 Perbedaan Cahaya Masuk Pada Kedua Hirarki

Pemilihan pemindahan titik hirarki ke sisi barat, ditujukan untuk memperbanyak cahaya alami dari sisi timur untuk masuk ke void bangunan. Hal

(36)

0 2000 4000 6000 8000 10000 Bentuk Lama Bentuk Baru 9:00 11:00 13:00 15:00 ini didasarkan pada analisa pembayangan dan pencahayaan yang telah dibahas sebelumnya.

Untuk mengetahui perbedaan yang dihasilkan dengan melakukan penggubahan massa pada area void, dilakukanlah simulasi pencahayaan. Ditujukan untuk mengukur intensitas cahaya yang jatuh pada permukaan sisi dalam void. Berdasarkan simulasi pembayangan pada Gambar 4.34, simulasi dilakukan pada saat pembayangan tertinggi yakni bulan Juni, pada waktu pukul 09.00 dan 13.00 (maksimalisasi pencahayaan matahari timur).

Gambar 4.40 Simulasi Pencahayaan Pada Permukaan Void

Lux

(37)

Melalui simulasi tersebut diketahui bahwa penggubahan bentukan massa baru seperti pada Gambar 4.37, dapat meningkatkan intensitas cahaya matahari pada permukaan void dibandingkan dengan gubahan massa lama.

Gambar 4.42 Penambahan Akses Masuk

Gubahan massa yang didapat kini masih tergolong sebagai bangunan

massive, tanpa adanya akses masuk menuju area-area bangunan khususnya area void. Dengan itu, dibuatlah akses masuk yang memotong gubahan massa

bangunan, sehingga pencapaian menuju kedua area void dapat dilakukan. Seperti yang terlihat pada Gambar 4.40.

Selain tidak adanya akses pencapaian masuk ke dalam bangunan, permasalahan lain yang ditemui adalah kemungkinan koridor bagian dalam bangunan menjadi gelap total dikarenakan tidak adanya akses pencahayaan pada koridor. Penerapan void mampu memberikan pencahayaan pada ruangan-ruangan bagian dalam bangunan, tetapi tidak bagi koridor. Walaupun secara umum koridor adalah ruang bangunan yang sedikit tingkat pemakaiannya dan tidak memerlukan penerangan yang tinggi, tetapi aspek pencahyaan pada koridor tetap harus menjadi perhatian. Dengan demikian diperlukan area bukaan tambahan, guna memberikan akses pencahayaan yang merata pada koridor. Penambahan area bukaan perlu

(38)

memperhatikan aspek pembagian kebutuhan ruang, untuk menentukan bagian mana saja yang dapat difungsikan sebagai bukaan.

Pada kajian sebelumnya pada subbab 4.1 hingga 4.3 adalah pembahasan mengenai perhitungan luasan dan kebutuhan ruang. Pembahasan tersebut barulah secara dasar dan sederhana, untuk mengetahui perkiraan luasan dan kebutuhan ruang yang diperlukan. Karena saat ini telah tercipta gubahan massa baru sesuai analisa base plan, maka yang dilakukan selanjutnya ada melakukan perhitungan luasan dan kebutuhan ruang sesuai dengan gubahan massa yang telah dicapai.

Berikut pada Tabel 4.13 adalah perhitungan luas ruangan minimum bangunan berdasarkan kebutuhan pengguna sebanyak 200 orang. Penentuan jumlah pengguna didasarkan pada standar oleh Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Di Perkotaan, terlihat pada Tabel 4.14. Kepadatan penduduk tinggi adalah pada maksimal 400 jiwa/ha. Menyesuaikan dengan batas ukuran lahan yakni maksimal 0.5 ha, maka disimpulkan bahwa penghuni pada kawasan bangunan tidak melebihi 200 jiwa.

Tabel 4.13 Rencana Luas Ruangan Gubahan Massa

No Jenis Ruangan Ukuran Ruang Jumlah Ruang Total Luasan

1 Single Bedroom 12.5 m2 (berdasarkan modul 5x2,5 m & minimal ukuran 9 m2) 200 2500 m2

2 Kamar Mandi Bersama 24 m2 24 576 m2

3 Laundry 24 m2

6 144 m2

4 Lounge 1 m2 x 200 = 200 m2 1 200 m2

5 Lobby/Entrance 1 m2 x 200 orang 1 200 m2

Luasan Total 4344 m2

Tabel 4.14 Standar Kepadatan Penduduk

Klasifikasi Kawasan

Kepadatan

Rendah Sedang Tinggi Sangat Padat

Kepadatan <150 jiwa/ha 151-200 jiwa/ha 201-400 jiwa/ha

>400 jiwa/ha

(39)

Berikut adalah data mengenai gubahan massa yang telah didapat (belum termasuk parkir):

Tabel 4.15 Luasan Lantai Gubahan Massa

Ruang Terpakai: 75% x 5359 = 4019 m2 Sirkulasi:

25% x 5359 = 1339 m2 Ruang Terpakai Sewa: 75% x 4019 = 3014 m2 Ruang Terpakai Penunjang: 25% x 4019 = 1000 m2

Gambar 4.43 Bubble Diagram 1

Berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang yang telah didapat, dibuatlah rencana zoning seperti pada gambar bubble diagram di atas. Dengan memperhatikan jumlah ruangan yang diperlukan dan bentuk gubahan massa yang

massive, penulis berasumsi akan menjadi kurang efisien bila ruang-ruang penting

dan berukuran besar seperti entrance dan lounge dipusatkan pada satu area tersendiri. Terlebih lagi dengan banyaknya jumlah unit kamar yang tersedia, akses menuju entrance dan lounge tentunya akan menjadi sangat jauh.

Luasan Lantai Lantai Luas Lantai 1 1912 m2 Lantai 2 1854 m2 Lantai 3 1115 m2 Lantai 4 478 m2 Total 5359 m2

(40)

Dengan demikian, penulis melakukan pembagian zoning ruangan dengan tujuan tiap-tiap ruangan dapat terbagi rata.

Gambar 4.44 Bubble Diagram 2

Dengan pembagian zoning tersebut, dapat dibuat pula pembagian bentuk bangunan. Dicapai dengan membagi-bagi bentuk bangunan berdasarkan modul, seperti yang terlihat pada gambar di bawah. Dengan terbaginya bangunan berdasarkan beberapa modul, terdapat jarak antar modul bangunan. Jarak antar bangunan ini akan difungsikan sebagai connecting berupa area entrance/lobby dan pencapaian (akses tangga). Jarak antar bangunan ini pun akan berfungsi sebagai bukaan-bukaan untuk memungkinkan akses pencahayaan masuk ke dalam koridor.

(41)

Gambar 4.46 Bangunan Dengan Pembagian Modul

Gambar 4.47 Fungsi Jarak Antar Bangunan

Dengan demikian pada tahap ini, tercipta rencana bentuk bangunan yang telah sesuai dengan aspek luasan dan kebutuhan ruang. Tercipta pula area-area yang dapat difungsikan sebagai area bukaan, untuk menanggulangi permasalahan koridor yang gelap. Secara spesifik mengenai permasalahan pencahayaan pada koridor, dibuatlah simulasi pencahayaan untuk mengetahui seberapa besar peran bukaan tersebut.

(42)

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

Hirarki 1 Hirarki 2 Bentuk Berdasarkan Modul 9:00 11:00 13:00 15:00

Gambar 4.48 Simulasi Pencahayaan Area Void

Simulasi dilakukan pada bulan Juni (pembayangan tertinggi), pada rentang waktu pada pagi hari dan siang hari. Berdasarkan simulasi tersebut diketahui pencahayaan yang jatuh pada permukaan bidang void, memiliki tingkat yang lebih tinggi dibandingkan bentuk bangunan sebelumnya.

Lux

(43)

Sejauh ini telah didapatkan data-data mengenai ukuran jendela masing-masing sisi bangunan, jumlah cahaya pada permukaan void, hingga pembuatan modul denah. Hal yang dapat dilakukan selanjutnya adalah menrapkan data-data yang telah didapat melalui beragam simulasi, ke dalam desain bangunan secara keseluruhan. Khususnya menerapkan jendela sesuai ukuran untuk kebutuhan masing-masing sisi bangunan.

Sebelum melakukan itu, perlu ditinjau kembali bentukan denah yang telah dirancang. Walaupun telah mengikuti modul, terdapat ruang-ruang yang dianggap kurang efektif seperti yang terlihat pada Gambar 4.50. Untuk itu dilakukanlah penggubahan denah berdasarkan modul structural, sehingga didapatkan ukuran-ukuran ruang yang lebih efektif seperti pada Gambar 4.51.

Gambar 4.50 Ruang Tidak Efektif Pada Denah

(44)

Pada denah tersebut, peletakan furnitur pada tiap ruangan didasari pada data-data hasil simulasi. Secara inti peletakan furniture dalam ruangan mengikuti kondisi cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Mengingat ruangan tidak hanya berfungsi sebagai kamar tidur tetapi juga ruang belajar dan bekerja.

Sebagai contoh pada Gambar 4.52 adalah sisi bangunan selatan. Berdasarkan simulasi pencahayaan, sisi ini secara umum mendapatkan cahaya matahari langsung yang mengarah pada bagian kiri ruangan. Maka peletakan furnitur pun disesuaikan dengan kondisi ini. Pada sisi bangunan lain dengan keadaan pencahayaan yang berbeda, maka peletakan furnitur pada masing-masing ruangan akan berbeda-beda pada tiap sisi bangunan.

(45)

Contoh lainnya adalah seperti pada Gambar 4.53 di bawah, yakni sisi utara bangunan. Cahaya matahari langsung yang masuk ke dalam ruangan secara umum mengarah pada bagian kanan ruangan. Dengan demikian, penempatan furnitur ruangan pun menyesuaikan dengan hal tersebut.

Gambar 4.53 Peletakan Ruang Sisi Utara

Untuk lebih jelasnya lagi, pada Gambar 4.54 terlihat penjelasan lebih rinci mengenai pengaruh kondisi cahaya ruangan terhadap penempatan furnitur ruangan. Kondisi cahaya pada ruangan berbeda-beda tingkat lux tergantung pada kedalaman ruang. Dengan demikian penempatan furnitur disesuaikan dengan kegunaan aktivitas furnitur tersebut pada kedalaman ruang tertentu sesuai dengan kondisi cahaya.

(46)

Gambar 4.54 Penjelasan Penempatan Furnitur

Tak hanya mengenai peletakan furnitur, melalui simulasi pencahayaan pun diketahui ukuran jendela yang berbeda-beda pada tiap sisi bangunan. Sebagai contoh pada Gambar 4.55 di bawah, pada sisi utara terdapat bagian bangunan yang terhalangi bayangan gedung dan ada bagian yang tidak. Dengan demikian kebutuhan pencahayaan deret ruangan yang terhalangi bayangan dan yang tidak pun berbeda. Seperti pada gambar di bawah terlihat pada bagian yang tidak terhalangi bayangan, dengan jendela berukuran 1.5 m2 sudah dapat memasukkan cahaya matahari sebesar rata-rata 550 lux. Namun pada bagian yang terhalangi bayangan, untuk mencapai rata-rata 550 lux, memerlukan jendela berukuran 2 m2. Penentuan ukuran jendela didasari atas ukuran yang mampu menyediakan pencahayaan paling dekat dengan standar yang ingin dicapai, yakni 500 lux. Sebagai contoh pada gambar 4.56, jendela dengan ukuran 0,9 m2 menghasilkan

(47)

pencahayaan yang rendah dan 4 m2 menghasilkan pencahayaan berlebih atau

overbright.

Gambar 4.55 Ukuran Jendela Sesuai Kebutuhan

(48)

Gambar 4.57 Perspektif Tampak Bangunan

Gambar

Gambar 4.11 Massa Bangunan Setelah Dipotong Bidang SEP
Gambar 4.14 Pengaplikasian Setback Sesuai SEP
Gambar 4.18 Denah Sederhana
Tabel 4.3 Standar Kenyamanan Visual
+7

Referensi

Dokumen terkait

merupakan hama yang telah mendapatkan perhatian sebagai hama tanaman jagung dan menjadi hama minor pada tanaman kedelai.. Sedangkan di Indonesia

Simpa Simpanan Waj nan Wajib Pemin ib Peminjam bisa di jam bisa diambil dar ambil dari jumla i jumlah pinj h pinjaman pada aman pada saat pencairan pinjaman;..

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Bannister (1996) bahwa pendidikan konsumen dipandang perlu diberikan di sekolah-sekolah karena pendidikan ini memiliki

Berdasarkan hal tersebut, ilmu al-mubhamat ini yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, dan tidak pula dirincikan penjelasannya sedikitpun (kecuali yang dijelaskan al-Qur’an pada

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan pembelajaran membaca aspek kebahasaan pada siswa kelas XI SMA Negeri 13 Bandar Lampung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

Program kerja PPL telah terlaksana dengan baik dan lancar. Kegiatan praktik mengajar di kelas. Selain itu, program tambahan dari sekolah juga telah terlaksana dengan

Gambar 5 Pengetahuan petani responden terhadap hama dan penyakit pada pertanaman kentang di Kecamatan Cikajang (a) dan Cisurupan (b) Hasil wawancara petani responden

Duport (1749-1819) membahas perbedaan ciri panjang bow, berat dan kerapatan hairbow dalam tulisannya (1806) dan dengan spesifik merekomendasikan bow buatan Tourte. Dengan