• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. penyingkiran susu, biaya perawatan dan pengobatan yang cukup tinggi, serta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. penyingkiran susu, biaya perawatan dan pengobatan yang cukup tinggi, serta"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Mastitis merupakan salah satu masalah yang paling sering ditemukan pada peternakan sapi perah di Indonesia. Kasus ini menyebabkan kerugian cukup besar yang berakibat pada penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, penyingkiran susu, biaya perawatan dan pengobatan yang cukup tinggi, serta pengafkiran ternak lebih awal. Tingkat kejadian mastitis sangat tinggi baik yang bersifat subklinis maupun klinis (Wibawan dkk, 1992). Kasus mastitis subklinis disebabkan oleh adanya infeksi dari berbagai macam bakteri, dan S.aureus merupakan salah satu bakteri patogen penting yang menyebabkan mastitis subklinis yang menimbulkan kerugian ekonomi pada peternakan di seluruh dunia dan hal ini juga berlaku pada kasus mastitis klinis (Akineden dkk, 2001; Haveri dkk, 2008; Hwang dkk, 2010).

Data mengenai kasus mastitis di Indonesia telah banyak dilaporkan. Beberapa data menampilkan persentase kejadian mastitis subklinis cukup tinggi, seperti pada tahun 1983 tercatat 67% mastitis subklinis di pulau Jawa dan tahun 1987 lebih dari 80% sapi yang diperiksa di DKI Jakarta menderita mastitis subklinis. Berdasarkan hasil survei Aksan dan Pahlevi (2006), untuk prevalensi kasus mastitis klinis di kecamatan Grati kabupaten Pasuruan pada tahun 2005 adalah 7,2% sedangkan sisanya adalah kasus mastitis subklinis. Menurut Wahyuni dkk. (2012), dari 50 sampel susu yang diambil dari 20 sapi di

(2)

peternakan Magelang, terisolasi 111 koloni dimana 11 koloni atau sebesar 9,9% merupakan S. aureus. Selanjutnya dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1996 persentase mastitis subklinis baik di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berkisar 80-90%, dan pada tahun 1999 di Kabupaten Bogor dan sekitarnya tercatat 70% sapi-sapi tersebut menderita mastitis subklinis (Sudarwanto, 1999).Data lain dikemukakan oleh Wahyuni (1998), bahwa kejadian mastitis subklinis berkisar 76% sampai91% dan 90% sampai 95% (Nickerson dkk., 1995). Kejadian mastitis di lapangan 97-99% merupakan mastitis subklinis, sedangkan 2-3% mastitis klinis (Wahyuni, 2008). Mastitis subklinis di beberapa kota di Indonesia pernah dilaporkan oleh Wahyuni dkk. (2008) yaitu Bogor (76%), Boyolali (91%), dan Malang (81%).

Staphylococcus aureus selain menimbulkan mastitis juga mampu menimbulkan berbagai macam kasus penyakit pada manusia antara lain infeksi kulit, keracunan makanan, endokarditis, pneumonia, osteomielitis, sepsis artritis dan encephalitis (Tsang dkk, 2004). Patogenesitas S.aureus merupakan kombinasi adanya faktor virulensi, proses invasif, dan adanya resistensi terhadap antibiotik. Salah satu faktor virulensi S.aureus yang menimbulkan keracunan makanan adalah adanyastaphylococcal enterotoxin(SEs).

Staphylococcal enterotoxin (SE) merupakan penyebab utama kasus keracunan makanan yang berhubungan dengan kasus gastroenteritis dengan gejala klinis muntah, dengan atau tanpa disertai diare sebagai hasil infeksi dari satu atau beberapa jenis enterotoksin (Vasconcelos dan Cunha, 2010). Susu segar merupakan salah satu sumber utama munculnya S.aureus pada produk susu.

(3)

Munculnya keracunan makanan pada manusia dikarenakan kurangnya higienitas dan ketidaksempurnaan saat pasteurisasi, juga adanya infeksi pada sapi perah(Tan dan Hogg, 2008; Fagundes dkk., 2010).

Staphylococcal enteroxin merupakan protein ekstraseluler berupa rantai polipeptida dengan berat 30 kDa, bersifat superantigenik yaitu suatu antigen yang memiliki mekanisme kerja dengan cara berinteraksi dengan limfosit T, tanpa adanya spesifisitas antigen pada sel. Kondisi ini merangsang terjadinya proliferasi sel dan peningkatan sitokin ( Ferrens dkk., 1998). Sitokin yang dihasilkan dalam jumlah banyak mengakibatkan gejala-gejala seperti toxic shock syndrome(TSS)(Todar, 2005).

Enterotoksin bersifat tahan terhadap pemanasan dan tahan terhadap enzim protease seperti pepsin yang terdapat dalam saluran pencernaan. Karakter SE yang tahan terhadap panas tersebut menjadi perhatian utama dalam keamanan pangan karena toksin yang dihasilkan oleh bahan makanan seperti susu yang mengandung enterotoksin akan tetap bertahan meskipun dilakukan pemasakan atau pemanasan (Balaban dan Rassoly, 2000). Berbagai macam jenis enterotoksin S.aureus telah teridentifikasi antara lain Staphylococcal enterotoxin A (SEA).B (SEB),C (SEC), D (SED), E (SEE), G (SEG), H (SEH), I (SEI), J (SGJ), K (SEK), L (SEL), M (SEM, N (SEN), (SEO), P (SEP), Q (SEQ), R (SER), S (SES), T (SET), U (SEU), dan V (SElV) dengan menggunakan metode konvensional PCR (Tseng dkk., 2004; Argudin dkk., 2010; Vasconcelos dan Cunha, 2010). Dari berbagai jenis enterotoksin yang ada, terdapat beberapa tipe yang paling sering muncul dan tinggi tingkat kejadiannya pada kasus bovine mastitis yaitu Staphylococcal

(4)

enterotoxin Gdan Iyang jika dibandingkan dengan jenis enterotoksin yang lain tipe G dan I ini mempunyai potensi yang besar dalam menimbulkan efek muntah atau emesis pada individu yang mengkonsumsi susu sapi dengan cara merangsang nervus vagus pada viscera abdominal yang akan mentransmisikan sinyal ke pusat muntah (Munson dkk., 1998; Akineden dkk., 2001; Peacock dkk., 2002; Zschok dkk, 2005; Hu, dkk., 2007), selain itu kedua gen tersebut juga dilaporkan sebagai penyebab diare kronis yang berhubungan dengan kasus enterophaty pada dua bayi yang mengalami malnutrisi (Naik, dkk., 2008).

Informasi mengenai keberadaan Staphylococcal enterotoxin sebagai penyebab keracunan makanan akibat konsumsi susu menggunakan teknik konvensional PCR sudah pernah dilakukan di Indonesia (Salasia dkk., 2011; Sugiyono, 2008), akan tetapi belum ada yang mengidentifikasi gen penyandi enterotoksin dengan metode multiplex PCR.Multiplex PCR merupakan salah satu varian dari teknik PCR yang mana satu atau lebih jenis gen mampu diamplifikasi dalam satu reaksi yang sama (Henegariu dkk., 1997).

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah metodemultiplex PCR dengan rancangan primer sendiri dapat digunakan untuk mendeteksi secara cepat dan spesifik gen penyandi enterotoksin G dan I isolat S. aureus asal susu?

(5)

2. Apakah terdapat perbedaan distribusi gen seg dan sei S.aureus yang diisolasi pada ketiga wilayah tersebut?

3. Apakah gen enterotoksin dapat ditemukan pada berbagai status susu (normal, mastitis subklinis, dan mastitis klinis) atau hanya ditemukan pada satu jenis status susu saja?

Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, antara lain:

1. Mendeteksi keberadaan gen penyandi enterotoksin G dan I pada susu yang berasal dari Boyolali, Ponorogo dan Pacitan, dengan menggunakan teknik multiplex PCR dengan primer yang didesain sendiri.

2. Mengetahui pola distribusi gen enterotoksin G dan I dari ketiga wilayah. 3. Mengetahui pola distribusi gen penyandi enterotoksin G dan I pada

berbagai status susu.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi informasi tentang jenis gen penyandi enterotoksin yang diproduksi oleh S. aureus yang berasal dari susu di daerahBoyolali, Pacitan dan Ponorogo. Memberikan informasi tentang pola distribusi gen seg dan seipada ketiga wilayah dan pada berbagai status susu (normal, mastitis klinis, dan mastitis subklinis). Manfaat yang lain yaitu dengan metode multiplex PCR ini diharapkan dapat memberikan pilihan dan metode baru

(6)

dalam mendeteksi enterotoksin secara cepat dan akurat pada kasus enterotoksikosis.

Keaslian Penelitian

Penelitian tentang keberadaan gen penyandi enterotoksin sudah pernah diteliti baik di Indonesia maupun di negara lain. Penelitian oleh Zschock dkk (2000), berhasil mendeteksi keberadaan gen enterotoksin (ent) dan gen penyandi toxic shock syndrome toxin-1 (tsst-1) isolat S. aureus asal susu sapi mastitis dengan menggunakan metode PCR. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 94 isolat S. aureus yang diteliti, 18 isolat mengandung satu jenis toksin dan16 isolat mengandung dua jenis toksin. Selanjutnya pada penelitian tersebut, tiga isolat lapangan menghasilkan enterotoksin A (sea), dua isolat menghasilkan enterotoksin B (seb), 22 isolat menghasilkan enterotoksin C (sec), empat isolat menghasilkan enterotoksin D (sed).

Penelitian lain dilakukan oleh Silva, dkk (2005), mendeteksi gen enterotoksin A, B, dan C isolat susu kambing dan sapi dengan menggunakan teknik multiplex PCR. Metodeini menggunakan 2 macam set multiplex, yaitu set pertama antara gen sea dan seb, dan set kedua antara gen sec dan FemA. Siklus amplifikasi yang digunakan adalah 25 siklus, dan agarose gel dengan konsentrasi 3,5%.

Penelitian dengan metode multiplex PCR pada enterotoksin pernah juga dilaporkan oleh Gencay dkk. (2010) yang mendeteksi beberapa gen penyandistaphylococcal enterotoxin dengan isolat yang berasal dari makanan seperti daging sapi, daging ayam, dan makanan siap saji.Ahmady dkk (2013) juga

(7)

melakukan penelitian mengenai deteksi keberadaan gen penyandiseidan sejisolat S.aureus dari susu sapi mastitis menggunakan metode PCR. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa dari 25 isolat yang ada 7 isolat terdeteksisei dan tidak ada satupun isolat yang terdeteksi adanya gen sej, dan dinyatakan bahwa sebagian besar gen penyandi enterotoksin yang terdapat pada kasus mastitis adalahsei. Berdasarkan penelitian terdahulu, dapat diketahui ratio munculnya gen seg dan seiyaitu 1:4 (Salasia, dkk., 2011).

Dalam penelitian ini akan diidentifikasi 2 jenis gen penyandi enterotoksin yang diproduksi oleh S.aureus yang berasal dari susu mastitis klinis, subklinis dan normal, yaitu enteroksin G dan I dengan menggunakan metode multiplex PCR. Primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil desain sendiri yang diolah dengan software online MP Primer Output dengan data GenBank sebagai dasarnya. Penyusunan primer diawali dengan penetuan panjang product size untuk masing-masing gen, penetuan Tm antar primer, dan analisa ada atau tidaknya primer dimer. Metode multiplex PCR yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan mampu mendeteksi dua jenis gen penyandi Staphylococcal enterotoxin sekaligus dalam satu reaksi dan mampu digunakan untuk deteksi secara cepat adanya enterotoksin.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kewirausahaan ( entrepreneurship) merupakan persoalan penting di dalam perekonomian suatu bangsa yang sedang berkembang. Kemajuan atau kemunduran ekonomi suatu

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan hutan tropis dataran rendah yang memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi, dimana di dalamnya terdapat fauna seperti badak bercula

Pancasila dalam mengembangkan sikap sosial siswa di SMA Negeri 4 Bandar Lampung maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas nilai Pancasila telah berjalan dengan baik

Ladder frame adalah bingkai yang digunakan pada susunan puncak dari scaffolding. Ladder frame terpasang hanya pada kedua sisi dari scaffolding yang berfungsi sebagai pembatas

memungkinkan pemerintah pemerintah untuk untuk mengarahkan mengarahkan langsung langsung sumber sumber daya daya agar agar dibebaskan dibebaskan dari dari biaya

Abu al-Hassan 'Ali Muhammad Habib al-Basri al-Baghdadi al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir , juz.. Artinya: Imam Syafi`i berkata Fi Sabilillah diberikan kepada orang yang

Hasil penelitian ini ternyata mayoritas responden di SMAN 6 Depok yang berusia ≥ 16 tahun lebih banyak berperilaku pacaran yang sehat, namun tidak menutup