• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengasuh Anak Sing Becik Menurut Masyarakat Sidowayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mengasuh Anak Sing Becik Menurut Masyarakat Sidowayah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

i

PINTAR SANGU AKIK

Mengasuh Anak Sing Becik Menurut Masyarakat Sidowayah

Dokumen ini merupakan bagian dari laporan hasil penelitian Mohammad Mahpur yang digali dari hasil-hasil Sekolah Rakyat Sangu Akik (Sekolah Ngasuh Anak Sing Becik) di Sidowayah, Sidoharjo, Jambon Ponorogo. Dokumen ini dapat dijadikan pedoman pendamping lokal. Dokumen ini hanya untuk kalangan sendiri (pendamping lokal SR Sangu Akik) dan tidak untuk dikutip atau disebarluaskan tanpa seizin peneliti dan ketua SR Sangu Akik

Mohammad Mahpur dan SR Sangu Akik Sidowayah, Sidoharjo, Jambon, Ponorogo

(2)

ii

Berpikir positif tentang pendidikan ... 4

A. Menghidupkan pemikiran positif ... 4

B. Hubungan guru/sekolah dengan orang tua ... 9

Pembiasaan ... 12

A. Jam belajar bebas televisi ... 14

B. Moralitas dan keteladanan ... 20

Memberi dorongan ... 24

A. Cita-cita dan tekad ... 25

B. Telaten mendampingi anak ... 31

Kebebasan yang terarah ... 38

A. Bertukar pendapat dan Mengarahkan anak ... 38

B. Membantu kematangan sosial anak ... 42

Mengasuh anak tanpa kekerasan ... 48

A. Menyadari mengasuh tanpa kekerasan ... 48

B. Langkah-langkah menghindari kekerasan mengasuh anak ... 54

(3)

1

TUJUAN DAN HARAPAN PENGASUHAN ANAK

Melihat harapan orang tua, telah nampak bahwa orang tua yang terlibat di Sekolah Rakyat Sangu Akik sebenarnya memiliki harapan yang positif terhadap masa depan anak-anak mereka. Berikut ini digambarkan bahwa ibu-ibu yang terlibat di SR Sangu Akik, keterlibatan mereka memiliki beberapa tujuan dan harapan.

Tujuan pengasuhan anak yang paling dominan adalah orang tua mampu mendidik mereka agar menjadi anak yang menguasai ilmu pengetahuan (pinter/pandai) dan mampu berperan positif pada kehidupannya. Gambaran ini diperoleh dari kumpulan analisis isi tulisan partisipan dan stakeholder mengenai harapan mereka terhadap Sekolah Rakyat Sangu Akik. Harapan baru ini menunjukkan jika mereka menginginkan

anak-anaknya menjadi generasi berprestasi pada

kehidupannya. Harapan tersebut kemudian dikompilasi secara tematik dan memperoleh deskripsi tematik sebagai berikut (Dok.PH).

Kecakapan hidup. Sebanyak 27 orang tua (90%) yang hadir memberikan harapan bahwa pengasuhan anak yang baik akan menjadikan anak-anak itu memiliki kecakapan hidup [N=31; 27 (90,00)]. Jika dirinci lebih mendalam kecakapan hidup itu menurut 16 orang (53.33) mencakup kemampuan menjadi anak yang memiliki prestasi akamedik, yakni sebagai anak-anak pandai atau pintar. Para orang tua (N=6; 20%) juga berharap agar anak-anak mereka sukses dalam belajarnya dan menjadi generasi yang mencintai ilmu pengetahuan. Mereka berharap anak-anaknya akan mampu memberi jaminan mendapatkan pendidikan yang baik dan melek huruf, mampu belajar dengan lancar, rajin dan tekun terhindar dari ancaman putus sekolah. Kecakapan hidup itu juga menyangkut nasib anak di masa depan. Sebanyak 3 orang tua (10%) berharap anaknya menjadi orang yang sukses (mandiri), memiliki kreatifitas dan ketrampilan positif di masa depan. Harapan lain dari dua orang tua (6.67%) mampu menyiapkan anak-anak untuk memiliki sifat positif dan tata krama tidak lagi berkata-kata kotor, lebih santun, mampu membedakan antara yang baik dan buruk.

(4)

Harapan menjadi anak religius. Forum juga berharap peningkatan pengetahuan tentang pengasuhan aka menjadikan anak berkarakter dan mempunyai sifat-sifat keagamaan. Para orang tua yang hadir berharap anak-anak mereka menjadi

anak-anak yang sholeh dan sholehah [N=31; 6 (0.20].

Ketrampilan mengasuh. Dalam konteks pengasuhan anak, ketrampilan mengasuh menjadi faktor utama untuk mencapai impian masa depan anak-anak [N=31; 20 (0.67)]. Sebagian orang tua mengatakan bahwa mengasuh anak itu terkait dengan kemampuan mereka mendidik anak secara

benar. Oleh karena itu kehadiran mereka di forum ngasuh anak

sing becik menumbuhkan harapan agar supaya orang tua mampu mendidik anak-anak mereka dengan benar dan penuh kebaikan, memiliki semangat untuk menyekolahkan anak-anak mereka sampai tinggi. Orang tua juga akan lebih fokus untuk mendidik agar anak-anaknya lebih rajin belajar, mampu mendidik dengan petunjuk yang baik agar anak-anaknya mematuhi dan menaati orang tua secara baik. Dengan demikian orang tua akan menjadi lebih bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anak.

Ketrampilan mengasuh anak juga terkait dengan harapan

bahwa keterlibatan orang tua di forum ngasuh anak sing becih

semakin banyak memberikan perhatian pada pendidikan anaknya, memberi dorongan dan mengetahui cara terbaik mengasuh anak. Harapan tersebut juga sejalan dengan kemauan agar sebagai orang tua akan memahami tugas asah, asih dan asuh anak. Dengan demikian orang tua akan mampu mengatur anak-anak mereka menjadi lebih baik dan semakin sadar untuk dapat menghilangkan kata-kata negatif terhadap anak. Secara umum orang tua berharap agar mereka memiliki pengetahuan tentang cara-cara mengasuh anak secara baik.

Generasi bermanfaat. Berdasarkan impian kecakapan hidup dan harapan peningkatan pengetahuan terkait dengan cara mendidik dan mengasuh anak, orang tua juga berharap agar anak-anaknya akan dapat mengambil peran penting di hari depan. Sebanyak 16 orang (0.53) (N=31) dalam forum tersebut menyatakan harapan masa depan anak mereka akan menjadi generasi yang bermanfaat bagi masyarakat (bangsa-negara), agama dan mampu berbakti kepada orang tua.

(5)

3

Harapan yang dibangun dalam forum ini memberikan gambaran masa depan orang tua sehingga mereka dibawa pada iklim pengasuhan yang optimistik. Optimisme ini sejalan juga dengan harapan Kepala Desa, Kamituwo dan Kordinator Sekolah Rakyat Sangu Akik. Mereka berharap forum ini menjadi langkah progresif memutus mata-rantai kampung idiot dengan menyiapkan anak-anak mereka menjadi generasi yang berprestasi. “Harapannya, anda dan saya sudah tua, sudah terlanjur goblok. Karenanya bagaimana agar kita bisa mengasuh anak yang baik agar putra-putri kita jangan sampai bodoh seperti kita” (HR1.1d), kata Kepala Desa. Oleh karena

itu, forum seperti ngasuh anak sing becik perlu diikuti sehingga

orang-orang yang hadir di forum ini dapat memahami dengan baik (HR1.1e).

Harapan tersebut menggambarkan stigma kampung idiot masih berhadapan dengan rendahnya partisipasi sekolah anak-anak. Oleh karena itu pengasuhan anak di Sidowayah tidak bisa dilepaskan dari dinamika orang tua untuk terlibat intensif dalam proses mendidik anak untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik bagi mereka. Gambaran harapan pengasuhan yang didominasi oleh kepentingan pendidikan anak-anak akan diuraikan secara lebih rinci dari hasil diskusi dan pendalaman peran pengasuhan orang tua mengenai ketrampilan pengasuhan di masing-masing keluarga.

(6)

BERPIKIR POSITIF TENTANG PENDIDIKAN

Pendidikan adalah hak semua anak (H1.193-196). Pendidikan menjadi prioritas ditengah persepsi sebagian masyarakat yang masih menganggap apa guna sekolah. Harapan anak sekolah yang tinggi juga tidak sejalan dengan kemampuan ekonomi masyarakat sehingga sebagian dari

orang tua ada yang menilai, anake wong kere ae arep dadi opo,

kok sekolah duwur-duwur, anaknya orang miskin mau jadi apa koq sekolah tinggi. Cara berpikir seperti ini menggambarkan harga diri masyarakat terbelah karena faktor kemiskinan sehingga melahirkan pemikiran pesimis mengenai pendidikan dan masa depan anak-anak. Melihat cara berpikir demikian, berpikir positif tentang pendidikan adalah salah satu cara agar orang tua tidak lagi berpikir negatif dengan semangat, meskipun miskin senyampang kita bisa mengejar ketertinggalan dalam pendidikan, mengapa semangat itu tidak dibangun sejak sekarang ? Pemikiran ini merupakan bagian dari semangat untuk tidak menyerah pada nasib. Toh, ada pendidikan gratis. Ada juga kesempatan yang bisa diperoleh dengan usaha keras, meskipun dari keluarga yang terbatas, toh ada nasib baik anak-anak Sidowayan ada yang tetap mempunyai kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih baik, entah dari hasil beasiswa, atau bantuan dari berbagai pihak.

Berpikir positif tentang pendidikan adalah salah satu cara melihat anak dengan semangat positif. Pikiran dan semangat

positif bisa menjadi yoni sekaligus doa agar anak-anak memiliki

nasib jauh lebih baik dari orang tuanya.

A. Menghidupkan pemikiran positif

Sikap tersebut membawa keprihatinan dan kesadaran bahwa kebodohan sejatinya berdampak buruk bagi generasi Sidowayah. Kilas balik ini muncul dari kesadaran bahwa orang yang bodoh itu adalah orang yang mudah dikendalikan oleh

orang pintar. “Wong bodo iku dadi dolanane wong pinter”,

Istilah lokal yang muncul menggambarkan kerugian rendahnya

(7)

5

menumbuhkan sikap komunitas jika kebodohan hanya akan menyebabkan masyarakat dibodohi oleh orang pintar yang mengambil untung. Dibohongi pun jika orang Sidowayah bodoh tetap saja percaya sehingga masyarakat sendiri selalu mengalami kerugian (ED-58).

Gambaran imajinasi manfaat pendidikan bagi masyarakat seperti dicontohkan oleh Tiar, kalau orang yang memiliki pengetahuan, meskipun kembali menjadi petani, tetapi

diibaratkan tidak hanya menjadi petani klotok (W.111102_02),

yakni petani konvensional. Oleh karena itu harapan yang diletupkan pada Sangu Akik dapat menghidupkan pikiran positif orang tua terhadap pendidikan. Iin suatu contoh, dengan sekolah, ia berharap “agar anaknya memiliki kemampuan (pengetahuan) lebih baik daripada orang tuanya”. Tukul pun berkata serupa, “meskipun orang tuanya lulus SD tetapi

janganlah anaknya menjadi orang bodoh, goblok wong tuane,

nanging anake ojo melu goblok” (T39). Orang tua yang lain seperti Natri pun memiliki semangat yang sama, meskipun nantinya anaknya tidak bisa sekolah tinggi, akan tetapi dia berharap anaknya bisa mengambil sekolah kejuruan (menjahit), namun jurusan itu pun terserah anaknya mau memilih apa. Orang tua bertugas mendukung terus pilihan anak sesuai dengan jenjang yang dipilih anaknya (BI:2a).

Harapan kesuksesan tetap menjadi bagian dari impian orang-tua, memperoleh pekerjaan serta memberikan kepastian terhadap masa depan anak-anaknya (BI.5). Para orang tua ini

telah terhindar dari perkataan yang pesimistik seperti dasare

bocah lek ra tekad, diragati koyok opo ae yo ora gelem sekolah.

Para ibu pada akhirnya tidak terjebak pada logika berpikir seperti itu, tetapi persepsi tentang masa depan pendidikan anak-anaknya untuk memperoleh dukungan yang seimbang, dan mereka berharap agar anak-anaknya mengenyam pendidikan yang tinggi.

“Kalau saya mengikuti anak. Seumpama tidak punya biaya, jika memang tekad anak mau sekolah, dengan sekuat tenaga orang tua

menuruti kemauan anaknya” (BMT 5).

Orang tua tetap mengendalikan agar tekad sekolah selalu terjaga dengan baik. Ketika anak-anak putus sekolah, tugas

(8)

orang tua membangkitkan semangat anak (BMT 2). Contoh ini terjadi pada seorang ibu yang mendorong anaknya untuk melanjutkan sekolah setelah tamat SMP. Dia meyakinkan kalau sekolah yang tinggi akan memudahkan mencari pekerjaan dan uang (BMT-39; ED-58). Meskipun orang tua tidak mempunyai biaya, namun mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan anak. Tekad ini dapat dipahami dari cerita seorang ibu,

“Saya sudah menasihati, ya jangan hanya sampai SMP, kalau bisa sekolah yang tinggi. Kalau sekolahnya tinggi nanti mencari uang kan gampang. Anaknya kemudian menjawab, saya kalau sekolah tinggi banyak biayanya bu, ngesakne aku. Yo tidak apa-apa, kan masih

bisa membiayai (ngragati)” (BMT-43).

Orang tua berkewajiban dan terus berjuang untuk mencarikan biaya bagi anak-anaknya untuk sekolah sampai tingkat tertinggi. Orang tua menjadi sosok yang mampu mengontrol kemauan dan masa depan anak-anak mereka.

Terserah anak, namun anak saya sebenarnya ingin sekolah tinggi, tetapi karena orang tuanya tidak mampu karena sudah ada tekad maka dicarikan biaya meskipun menjadi buruh, jika memang berminat ingin sekolah yang tinggi (BMT-55)

Dalam bahasa lokal orang tua tidak lagi nggelandor atau

oyeng ketika melihat anak-anak mereka surut motivasinya. Melihat respon orang tua begitu, keterlibatan mereka di SR Sangu Akik menjadi pengontrol budaya asuh yang tidak terpola pada kebiasaan berpikir negatif dan pesimistis, buat apa sekolah tinggi, toh kalau akhirnya tetap bekerja di sawah (baon). Mereka bangkit dan tidak mau terpolarisasi pada perkataan orang lain. Suara batin seorang ibu berbicara,

“Di hati tetap ingin menyekolahkan. Seandainya mempunyai biaya, ya ingin, tidak perlu mengurusi orang bilang apa. Pokoknya berminat ingin menyekolahkan anak” (BMT 3).

Orang tua semakin yakin bahwa masa depan anak selalu terkait dengan pendidikan (BMT 2). Hal ini menunjukkan orang

tua bebas dari pengaruh budaya nggelandor (lemah) atau

oyeng (labil) karena orang tua menaruh harapan positif akan masa depan anak (BMT 2). Orang tua juga sudah menumpukan bahwa anak yang memiliki pendidikan yang cukup, mereka

(9)

7

memiliki kemampuan yang lebih baik dari orang tua, pengetahuan bertambah, dan peluang mendapatkan akses pekerjaan semakin banyak (HR3.16-17; HR7.91-96; HR7.84-88; HR7.106-112).

Nilai anak direstrospeksi agar anak tidak mengulang penderitaan orang tua. Oleh karena itu pendidikan menjadi prasyarat kesejahteraan anak untuk masa depan mereka. Kesuksesan menjadi tumpuan bagi orang tua (BMT 7, 9-11). Di sinilah berpikir positif tentang pendidikan telah merekonstruksi persepsi negatif sekolah dan melihat persepsi futuristik (motivasi menjangkau masa depan) orang tua untuk percaya diri menatap masa depan anak tanpa keragu-raguan (HR7.91-94).

“Kalau bertani capeknya seperti ini. Kalau bisa jangan sampai tani

nduk. Jadi carilah jurusan yang bisa untuk menghidupimu besok.

Kalau menjadi tani rasanya seperti ini, tidak ke sawah/tegalan ya tidak makan. Jadi kalau bisa jangan sampai seperti ibu ini, hidupnya susah karena tidak sekolah. Sebenarnya tani pun tidak apa-apa. Jika tidak ada petani juga bingung, karena beraspun dari petani” (BMT-62).

Harapan tersebut mengakar pada gagasan peribahasa lokal yang disampaikan oleh Jarot dan Misrun yang termaktub

dalam ujaran “semut ireng pranakan sapi”. Meskipun

Sidowayah itu masyarakat kecil, melalui tekad dan semangat untuk mendorong anak-anak untuk berpendidikan niscaya akan melahirkan anak-anak yang sukses atau generasi besar (SR4.16.17;23:53.12Sep). Begitu juga sanepan (pribahasa) “tunggak jarak mranjak tunggak jati”. Potongan pohon jarak (tunggak) hidup menjulur di atas potongan kayu jati. Bisa juga

bekas potongan (tunggak) kayu jati mati, tunggak jarak hidup di

atas tunggak jati (mranjak) (23:53;12Sep). Peribahasa ini

sesuai dengan pemaknaan mengenai transformasi

intergenerasi yang terjadi pada keluarga Tukul. Dia mengaku tidak menjadi persoalan kalau orang tua pendidikannya rendah. Orang tua bodoh, janganlah anaknya ikut-ikutan bodoh (T39). Gambaran tersebut orang tua diibaratkan semut yang melahirkan peranakan sapi. Anak-anak akan menjadi calon generasi yang memiliki peran lebih besar daripada orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua mempunyai kewajiban

(10)

mendidik anak mereka dengan baik agar anak siap menghadapi kehidupan di kemudian hari (SR4.16.17).

Implikasi praktis peran orang tua untuk menyiapkan anak

yang diibaratkan sebagai anak-anak sapi dan tunggak jarak

mranjak tunggak jati membawa kesadaran diri orang tua yang

dimanifestasikan kedalam peribahasa kebo nusu gudel.

Peribahasa tersebut menjadi salah satu pemahaman bahwa orang tua perlu juga belajar dari anak melalui beragam realita. Sebagaimana dikatakan oleh orang tua Lola dan juga oleh keluarga Maritun, kalau dahulu anak belajar dari orang tua, tetapi sekarang orang tua juga perlu belajar pengetahuan dari anaknya (NT:95, MRT. 694-698). Dalam konteks ini orang tua dituntut belajar apa yang dipelajari anak agar orang tua mampu membantu kesulitan anak dalam belajar (NT:91,89; REF 14;18). Pengalaman itu juga terjadi pada keluarga Janem. Orang tua kadang-kadang harus bersimulasi memerankan peran anak pada situasi-situasi khusus, seperti belajar. Ibu berperan sebagai anak, anak berperan sebagai guru. Orang tua diberi

tebakan (dijedek-i) dari tema-tema tertentu terkait dengan

pelajaran sekolah.

Oleh karena itu Sekolah Rakyat Sangu Akik menjadi katalis untuk menggerakkan pikiran positif orang tua tentang persepsi negatif mengenai sekolah yang bertumpu pada pragmatisme instan dalam bentuk kerja. Pemikiran positif dipupuk untuk membangkitkan motivasi orang tua. Pikiran ini sangat bermanfaat merujuk pada dimensi-dimensi positif yang ternyata bermakna memotivasi (tekad) sekolah anak sebagaimana dialami oleh Indadi. Semangat itu didasari oleh cara keberhasilan Indadi melihat pemodelan positif sosok Misrun, seorang guru SDN 4 di Sidowayah. Indadi menyadari jikalau

orang tuanya secara ekonomi tidak memungkinkan

memberikan dukungan material untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi (SMP), tetapi sosok guru Misrun memberikan inspirasi motivasi mengatasi keterbatasan tersebut. Dia terpaksa bekerja mencari kayu bakar agar dapat mendaftar ke SMP. Setelah masuk dia mendapatkan sedikit kepedulian dari orang tuanya untuk dibantu sesuai dengan persediaan keuangan yang menurut dia juga pas-pasan. Indadi memaknai bahwa niat itu menopang motivasi dan kesungguhan hati

(11)

9

(tekad) agar tetap menempuh sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan tidak terpengaruh dengan kondisi ekonomi keluarga (IND52).

Berdasarkan dinamika berpikir positif akan lahir kemauan positif yang didorong dari tekad yang kuat. Berpikir positif tentang pendidikan adalah pendekatan yang dibangun secara kognitif agar orang tua optimis. Orang tua diajak merekonstruksi figur positif yang berdampak meningkatnya motivasi anak-anak. Cara berpikir ini mengacu pada pengalaman Indadi, bahwa untuk membangkitkan tekad sekolah, figur positif diperlukan untuk memberi gambaran ideal cita-cita anak. Selain itu pemahaman tentang ekonomi tidak seharusnya menghalang-halangi tekad anak. Pengalaman tersebut membawa kesadaran bersama pada diskusi di Sangu Akik. Ketika orang tua dalam kondisi sulit, janganlah keadaan itu menjadikan kendurnya

semangat anak. Masalah kemampuan itu urusane sing kuoso,

sudah digaris oleh yang maha Kuasa (HR7.99-103; HR3.203-205).

B. Hubungan guru/sekolah dengan orang tua

Kesadaran orang tua semakin baik ketika orang tua dan sekolah menjalin komunikasi, meskipun komunikasi itu dilaksanakan dengan sederhana. Suatu contoh saling berbagi cerita antara kondisi belajar anak di rumah dan di sekolah yang

dikemas dengan jagongan. Rileks, humor, akrab dan informatif

serta saling koreksi diri baik guru ataupun orang tua.

Momentum jagongan menjadikan komunikasi mencair.

Pertemuan ini melatih orang tua berani bicara. Begitu juga dengan guru bisa terlatih menggunakan bahasa orang tua agar informasi penting tentang sekolah dapat disampaikan dengan baik.

Oleh karena itu pertemuan orang tua-sekolah tidak hanya

dilakukan ketika menerima raport, melainkan diisi komunikasi

dalam bentuk saling bercerita untuk mendiskusikan tentang perkembangan anak-anak sehingga orang tua dan sekolah (guru) bisa saling mendukung dengan semangat (SL.147-149; SL151-154). Orang tua merasa mendapatkan informasi dari guru mengenai kondisi belajar anaknya, sehingga orang tua

(12)

lebih tahu jika ada hambatan belajar anak di sekolah (NT:13a). Guru juga demikian, merasa mendapat umpan balik positif dari orang tua (HR4.39-40).

Komunikasi interaktif dialogis ini menghasilkan beberapa kemajuan baru bagi orang tua. Ibu-ibu memperoleh informasi belajar anak di sekolah sehingga orang tua merubah cara mendampingi belajar anak di rumah dan solusi pendampingan belajar (HR4.477-481; BI:15,17). Hasil akhirnya, anak mengalami peningkatan prestasi. Pekerjaan sekolahnya selesai dan meningkat prestasinya (SR7.199). Ibu-ibu memahami bahwa pendampingan terhadap anak di rumah perlu

ditransformasi dari sok-sok (jarang) ke pendampingan yang

ajeg (rutin) (HR4.482-487).

Setelah pertemuan dengan guru maka setiap hari saya selalu mengingatkan jika ada pekerjaan rumah. Pekerjaan sekolah sudah tidak lagi kecewet (ketinggalan), dan nilainya pun ada peningkatan. Matematika dapat 100, BI dapat 92 dan agama dapat 97. (HR7.186-196). Ia berubah karena mengetahui informasi tersebut sehingga

setiap hari ajeg menunggui anak belajar di rumah (SR7.199)

Indadi juga menegaskan, hubungan komunikasi guru –

orang tua dapat berdampak pada anak. Anak akan merasa mendapat perhatian dari orang tua. Jika perlu, akan sangat baik jika orang tua diberikan materi khusus. Contohnya, tentang sekolah inklusi. Hubungan komunikasi sekolah dan orang tua

menjembatani kesalahpamahan jika inklusi itu bukan

sekolahnya anak-anak idiot, mendo, dan goblok karena ada beberapa orang tua yang tersinggung anaknya masuk program inklusi. Forum ini guru mendapat kesempatan untuk menjelaskan dengan detil bahwa inklusi adalah layanan pendidikan memanusiakan manusia, memaksimalkan kelebihan

atas keterbatasan anak yang berbeda-beda. Dengan

penjelasan yang dilakukan guru, orang tua menyadari sehingga mereka tetap berpikir positif, memperoleh pencerahan dan tetap menghargai anak untuk terus belajar, meskipun masuk program inklusi. Pemahaman ini justru mendorong peran orang tua semakin positif, menerima dan percaya diri sehingga orang tua tidak goyah semangatnya. Pertemuan ini justru dirasakan telah membuka akses orang tua terhadap sekolah semakin intensif (JNM.70-72;73-76;78-79;82;89).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil temuan penelitian ini menunjukan bahwa: (1) SOIna adalah satu-satunya organisasi di Indonesia yang menyelenggarakan pelatihan dan kompetisi olahraga bagi

Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmatNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah berupa skripsi berjudul Evaluasi

Tetapi faktor yang paling dominan mempengaruhi pemilihan profesi akuntan publik dan non akuntan publik pada mahasiswa sama dengan faktor yang paling dominan

Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Lasa tidak ditemukan pada hutan pantai sampai dengan hutan dataran rendah dengan ketinggian tempat kurang

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,

Tahap terakhir pada pengembangan instrumen dalam penelitian ini adalah pelaksanaan implementasi dengan mengukur sejauh mana kecenderungan kedisplinan belajar SMP Negeri 2

- Menurut Amin Abdullah; perkembangan ilmu agama hanya dapat dimungkinkan dengan terbentuknya kerjasama yang saling menopang antara ketiga (triadik) disiplin

Salah satu gerak yang dominan dalam permainan sepak bola adalah menendang bola. Menendang bola adalah mengoperkan bola ke teman seregu dengan tepat, sehingga bola mudah diterima oleh