• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Islam Integratif_Tugas Kuliah_Resume.rar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Studi Islam Integratif_Tugas Kuliah_Resume.rar"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ISLAM INTEGRATIF

1. M. Amin Abdullah (Agama, Filsafat dan Ilmu): Psikologi InterKONektif: P-IKON a. Teologi (Kalam), Filsafat (Proses), dan Ilmu Empiris

Tahun 1992, dalam sebuah seminar internasional, untuk pertama kaliya M. Amin Abdullah memperkenalkan istilah triadik antara Teologi, Filsafat, dan Ilmu Empiris, yaitu dalam artikelnya yang berjudul: “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi Ilmu dan Budaya”. Satu tahun kemudian, yaitu tahun 1993, artikel tersebut dimuat di dalam Jurnal Ulum al-Quran (rubrik “Ilmu dan Teknologi”) dengan judul yang telah direvisi menjadi: “Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya: Tentang Klaim Kebenaran dan Masa Depan Ilmu Agama”. Judul artikel tersebut (“Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi Ilmu dan Budaya”) telah menampakkan adanya hubungan triadik antara Teologi, Filsafat, dan Ilmu. Dalam bahasa Barbour, hubungan triadik tersebut dikenal dengan istilah Religion, Philosophy, dan Science. Menurut Barbour, sebagaimana yang dikutip oleh Amin, bahwa biasanya para ilmuwan (scientist) dan ahli-ahli teologi (teolog) mencoba menghubungkan ilmu pengetahuan dan agama secara langsung sehingga terasa kurang matang dan tidak mendalam. Baik scientist maupun teolog, kedua-duanya melupakan sumbangan filsafat dalam membuat klarifikasi tentang duduk perkara persoalan yang sedang diperbincangkan. Namun, Barbour segera pula mencatat bahwa para failasuf yang professional seringkali juga tidak mempunyai hubungan yang erat dengan kelompok-kelompok masyarakat beragama maupun masyarakat ilmuwan. Rumusan sumbangan pemikiran mereka yang abstrak hanya mempunyai sedikit titik singgung dengan apa yang sebenarnya dikerjakan oleh para ilmuwan dan para ahli teologi.

Dari uraian ringkas tersebut di atas, menurut Amin, tergambar remang-remang bahwa perlu adanya usaha untuk merekonstruksi hubungan serta kerjasama yang erat antara teologi, filsafat, dan studi agama empiris. Agama dan perkembangan ilmu agama hanya dapat dilihat lewat spectrum sejauh mana ketiga corak pendekatan tersebut melakukan kerjasama dan menjalin hubungan baik dalam penelitian, penulisan teks book maupun artikel-artikel lepas. Ilmu teologi yang berdiri sendiri ternyata sulit untuk menyesuaikan “bahasa”-nya dengan perkembangan ilmu dan budaya kontemporer. Begitu juga filsafat dan ilmu-ilmu agama.

Perbedaan antara konsep “scientific-cum-doctriner”-nya antara Mukti Ali (diadik: hubungan antara religion [doctrine] dan science scientific) dan “integrasi-interkoneksi’-nya Amin Abdullah (triadik: hubungan antara religion, philosophy and science) dan Barbour (Teolog dan Fisikawan) yaitu :

- Menurut Amin Abdullah; perkembangan ilmu agama hanya dapat dimungkinkan dengan terbentuknya kerjasama yang saling menopang antara ketiga (triadik) disiplin (Teologi, filsafat, studi (empiris) agama) baik dalam fungsinya sebagai “filter” (internal) terhadapa ekses-ekses globalisasi ilmu dan budaya maupun sebagai “guilding principle” (eksternal) ke arah mana-masa depan PTAI harus dibawa.

Hubungan triadik antara Teologi (kalam), Filasafat (Proses), dan Ilmu (Agama) Empiris, meniscayakan adanya penjelasan pada tiap-tiap item di atas. Menurut Amin, terkait dengan dimensi Teolog (kalam), misalnya, ada tiga aspek yang terkait dengan reformulasi ilmu kalam, yaitu:

1. Struktur fundamental pola piker atau logika akidah (deductive, inductive, dan abductive)

2. Teks-teks atau nas-nas keagamaan adalah terbatas, sedang peristiwa-peristiwa alam, budaya, dan social terus menerus berkembang (dari yang tersurat sampai yang tesirat)

3. Masa depan pendekatan dalam pengkajian ilmu Kalam, kerjasama antar berbagai metodologi keilmuan (dari aliran ilmu kalam [Islamic studies] ke aliran-aliran teologi [religious studies]).

(2)

penafsiran seseorang, kelompok, mazhab pemikiran atau organisasi keagamaan terhadap seperangkat system of belief yang dimiliki oleh agama. Teologi adalah dinamis, memotivasi dan menggerakkan kehidupan, dan bukannya statis, melemahkan, mendiamkan persoalan.

Sedang terkait dengan filsafat-dalam trilogi teologi, filsafat, dan ilmu empiris-, yang dimaksud oleh Amin adalah filsafat sebagai “proses”, bukan filsafat sebagai “produk”; filsafat sebagai ilmu, bukan filsafat sebagai “isme-isme. Filsafat sebagai salah satu bentuk metodologi pendekatan keilmuan, seringkali dikaburkan dengan paham aliran-aliran filsafat tertentu (rasionalisme, eksistensialisme, pragmatism, dan seterusnya). Filsafat yang dimaksud oleh Amin adalah filsafat sebagai keilmuan (Filsafat Ilmu), bukan sebagai ideologi (isme-isme).

Menurut Amin, filsafat sebagai metodologi keilmuan, ditandai dengan tiga ciri, yaitu:

1. Pendekatan (approaches), kajian atau telaah filsafat selalu terarah kepada pencarian dan perumusan ide-ide atau gagasan-gagasan yang bersifat mendasar dalam berbagai persoalan. Pemikiran fundamental biasanya sangat umum atau general dan abstrak.

2. Pengenalan dan pendalaman persoalan-persoalan serta isu-isu fundamental dapat membentuk cara berpikir yang bersifat kritis

3. Kajian dan pendekatan filsafat yang bersifat demikian, secara otomatis akan membentuk mentalitas, cara berpikir dan kepribadian yang mengutamakan kebebasan intelektual, sekaligus mempunyai sikap toleran terhadap berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbebas dari dogmatism dan fanatisme.

Ilmu Empiris menurut Amin dalam trilogi Teologi, Filsafat, dan Ilmu Empiris, adalah studi empiris yang mulai berkembang terhadap agama, dengan mulai diperkenalkannya dalam wilayah studi Comparative Religions seperti yang pernah diperkenalkan oleh Mukti Ali, bedakan dengan istilah Religious Studies atau Studi Agama yang digunakan oleh M. Amin Abdullah-pada abad ke-19, dengan bermunculannya disiplin-disiplin baru yang lebih bersifat empiric, seperti sosiologi (Agama), Antropologi (Agama), Sejarah (Agama), Psikologi (Agama), Penomenologi (Agama), untuk menyebut diantaranya.

b. Linguistic-Historical, Theological-Philosopical, and Socio-Anthropological

Selain menggunakan istilah Teologi, Filsafat, dan Ilmu Empiris dalam hubungan triadik, Amin juga menggunakan istilah triadik antara Linguistic-Historical, Theological-Philosopical, dan Socio-Anthropological. Munculnya konsep triagle antara Linguistic-Historical, Theological-Philosopical, dan Socio-Anthropological untuk pertama kalinya termuat dalam artikel M. Amin Adbullah yang berjudul Preliminary Remarks on The Philosophy of Islamic Religious Science - judul artikel ini mengisyratkan hubungan triadik antara “Islamic Religious”, “Philosophy”, dan “Science” -. Artikel ini kemudian dimuat di Jurnal al-jami’ah No. 61 Tahun 1998, halaman 1-26.

Menurut Waryani Fajar Riyanto artikel itu seperti sebuah “telur” yang telah siap menetaskan paradigma keilmuan Integrasi-Interkoneksi-nya. Berikut isi abstraksi makalahnya;

“Dari sudut pandang Filsafat Ilmu, penerapan istilah “science” dalam Islamic religious science merupakan hal yang dapat diperdebatkan, bahkan cukup controversial. Sebagai langkah awal, perdebatan filosofis antara tiga pakar Filsafat ilmu, yaitu Karl R. Popper, Thomas Kuhn, dan Imre Lakatos atau bisa disebut dengan istilah “PKL Programme” tentang konsep “science” diangkat, untuk selanjutnya dilihat relevansinya bagi Islamic religious science (ilmu-ilmu keislaman).

(3)

yang mencemaskan apakah mereka mengadakan studi keislaman atau sesuatu yang lain.

Sosok Islamic religious science yang baru (setelah dihubungkan dengan philosophy dan sociology of knowledge) harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh tiga dimensi pendekatan atas agama Islam, yaitu: Linguistic historical, theological-philosophical, dan socio-antropological. Sebagai kesimpulan, ilmu keislaman yang kritis hanya dapat dikonstruksikan secara sistematis lewat model pendekatan tiga dimensi yang bersifat sirkular dalam mana setiap dimensi dapat berhubungan dan berkomunikasi dengan yang lain sehingga konteks penemuan dalam Islamic religious science dapat berkembang dan konsteks justifikasinya dapat ditekan serendah mungkin”.

Menurut Amin, belum ada satupun dari generasi pemikir-pemikir Islam saat ini (saat itu tahun 1998) yang mencoba menjelaskan relevansi penerapan teori-teori dan metodologi-metodologi ilmiah, yang merupakan intisarinya filsafat ilmu, pada wacana ilmu-ilmu keislaman dalam rangka mengkritisi seluruh konstruksi ilmu-ilmu keislaman dan pemikiran Islam yang begitu luas. Ada tiga tahapan dalam progress of science yang disebutkan oleh Amin, yaitu – “PKL Programme”:

1. Falsifikasi Karl Popper. Tahapan ini adalah mengeliminasi (T1-T2) atau mengakumulasi (T1+T2) teori-teori yang sudah ada. Tahapan ini hanya menghasilkan single theory;

2. Shifting Paradigm Thomas Kuhn. Tahapan ini disebut dengan istilah shift atau pergeseran. Pada tahapan ini yang terjadi adalah perpaduan teori (T1+T2+T3) satu dengan teori yang lain (Multy Theory). Satu teori dipertahankan dan teori lain dikembangkan;

3. Research Programme Imre Lakatos. Pada tahapan ini sudah dimasukkan persentuhan dengan science (T1 [“religion”]+ T2 [“philosophy”] + T3 [“science”]).

Bangunan baru ilmu-ilmu keislaman, setelah diperkenalkan dan dihubungkan dengan wacana filsafat ilmu, Amin kemudian menawarkan perlu dipertimbangkannya penggunaan sebuah pendekatan dengan tiga dimensi untuk melihat fenomena agama Islam, yaitu pendekatan yang berunsur linguistic-historis, teologis-filosofis, dan sosiologis-antropologis pada saat yang sama. Dua prinsip triangle tersebut, yaitu kata linguistic-historis dan sosiologis-antropologis, dipinjamkan oleh Amin dari pemikiran Arkoen. Menurut Amin setidaknya ada empat pendekatan, menurut Arkoen, yang patut dipertimbangkan untuk digunakan dalam studi kebudayaan dan peradaban Islam era sekarang khususnya dan studi agama pada umumnya. Pendekatan tersebut adalah pendekatan sejarah, Antropologi, sosiologi dan bahasa (linguistic)-Linguistik-Historis (bahasa dan sejarah) dan Sosiologis-Antropologis (sosiologi dan antropologi)

c. Doktrinal-“Teologis”, Kritis-Filosofis, dan Kultural-Historis

Untuk pertama kalinya, Amin menggunakan istilah triadik antara doctrinal-teologis,kritis-filosofis, dan cultural-historis, adalah pada artikelnya yang ditulis pada tahun 1996 dengan judul: “Pentingnya filsafat dalam memecahkan persoalan-persoalan keagamaan”. Menurut Amin hubungan ketiganya harus bersifat sirkular. Pada tahun 1997 artikel tersebut telah dikembangkan oleh Amin dengan judul: “Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium ketiga: Mempertimbangkan Kembali Metodologi dan Filsafat Keilmuan Agama dalam Upaya Memecahkan Persoalan Keagamaan Kontemporer”, dimuat di Jurnal Ulum al-Quran.

(4)

Terkait dengan model hubungan tiga macam pendekatan di atas, Amin kemudian menawarkan model sirkular, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam studi agama-agama memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya sendiri. Corak hubungan yang bersifat sirkular tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusivitas, karena finalitas untuk kasus-kasus tertentu hanya mengantarkan seseorang ataupun kelompok pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar umat beragama, karena menurut Amin, pemecahan persoalan pluralitas keagamaan adalah ibarat mencari jarum yang jatuh ditengah kegelapan malam.

Tahun 2006, Amin kembali mengembangkan materi pidato pengukuhan guru besarnya yang telah disampaikannya pada tahun 2000, dalam sebuah artikel. Dalam artikel tersebut Amin mencoba mengkombinasikan antara fenomenologi agama (Richard C. Martin) dan hermeneutika keagamaan (Khaled Abou Fadl). Fenomenologi Agama digunakan untuk melihat general pattern dari religiusitas kemanusiaan dan manifestasi particular pattern dalam dimensi sejarah. Sedangkan religious hermeneutic digunakan untuk melihat “proses” dinamik dan proses negosiasi antara religious text dan interpretasinya dalam konteks sejarah tertentu.

d. Dari diadik Normativitas-Historisitas ke Triple Hadarah

Pemahaman terhadap keislaman selama ini dipahami sebagai dogma yang baku dan menjadi suatu norma yang tidak dapat dikritik dan dijadikan sebagai pedoman mutlak yang tidak saja mengatur tingkah laku manusia, melainkan sebagai pedoman untuk menilai dogmatika yang dimiliki orang lain. Kecenderungan salah penafsiran terhadap norma mengakibatkan truth claim, dimana klaim mengasumsikan bahwa tidak ada kebenaran dan keselamatan manusia kecuali dalam agamanya. Sehingga norma dan tingkah laku umat beragama terkotak-kotak. Agama yang pada esensinya sebagai bentuk ekspresi religiousitas, berubah menjadi sumber konflik atas nama Tuhan. Dari sini M. Amin Abdullah berusaha merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama itu sendiri, dan di sisi lain mampu menjawab tuntutan zaman, dimana yang dibutuhkan adalah kemerdekaan berfikir, kreativitas dan inovasi yang terus menerus dan menghindarkan keterkungkungan berfikir. Keterkungungan berfikir itu salah satu sebabnya adalah paradigma deduktif. Amin kemudian menawarkan pendekatan integrative-interkonektif yang muncul dari sebuah “kegelisahan” Amin terkait dengan tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesatnya yang dihadapi oleh umat Islam saat ini.

Jika selama ini terdapat sekat-sekat yang sangat tajam antara “ilmu” dan “agama” maka tawaran paradigma integrative-interkoneksi berupaya mengurangi ketegangan-ketegangan (tensions) tersebut tanpa meleburkan satu sama lain tetapi berusaha mendekatkan dan mengaitkannya sehingga menjadi “bertegur sapa” satu sama lain.

Bentuk pemikiran Amin Abdullah tentang pendekatan integrasi-interkoneksi, ternyata berasal dari pendekatan historisitas dan normativitas yang pernah digagasnya. Sisi historisitas merupakan bentuk sejarah bagaimana dogmatika itu muncul, sedangkan normativitas adalah aturan baku itu sendiri, yang mana tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tentangnya.

Kata normative sendiri berarti norma, ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan terma history(sitas), dalam kamus umum bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadaminta mengatakan history atau sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi. Amin memberikan makna “historisitas” sebagai “menyejarah” yang lebih menekankan pada materi peristiwanya tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya.

(5)

wahyu dan Islam sebagai produk sejarah. Islam sebagai wahyu yakni wahyu ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, untuk kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan Islam Historis atau Islam sebagai produk sejarah adalah Islam yang dipahami dan Islam yang dipraktikan kaum muslim di seluruh penjuru dunia, mulai dari masa Nabi Muhammad saw sampai sekarang.

Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan metode diadik antara studi Islam normative dan studi Islam historis menjadi tiga wilayah (domain), yaitu:

1. Wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu al-Quran dan as-Sunnah Nabi Muhammad saw yang otentik.

2. Pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (al-Quran dan as-Sunnah Nabi Muhammad saw).

3. Praktik yang dilakukan kaum muslim. Praktik ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang social (konteks). Contohnya praktik sholat di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada.

Sementara Abdullah Saeed menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan formulasi yang berbeda:

1. Nilai pokok/dasar/asas, kepercayaan, ideal dan institusi-institusi.

2. Penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai dasar tersebut dapat dilaksanakan/dipraktikan.

3. Manifestasi atau praktik berdsarakan pada nilai-nilai dasar tersebut yang berbeda antara satu Negara dengan Negara lain, bahkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan terjadi karena perbedaan penafsiran dan perbedaan konteks dan budaya.

Pada level teks (hadarah an-nas), Islam didevinisikan sebagai wahyu. Pada dataran ini Islam identik dengan nas wahyu atau teks yang ada dalam al-Quran dan as-Sunnah Nabi Muhammad saw. Pada teks ini Islam adalah nas dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

1. Nas prinsip atau normative-universal

Nas ini merupakan prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah diformatkan dalam bentuk nas praktik di masa pewahyuan ketika Nabi Muhammad saw masih hidup.

2. Nas praktis-temporal.

Sebagian ilmuan menyebut nas ini dengan nas kontekstual, yaitu nas yang turun (diwahyukan) untuk menjawab secara langsung (respon) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat muslim Arab ketika pewahyuan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang dilakukan Ella dan Musfiari (2017) ialah audit delay, dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh terhadap voluntary auditor switching, sedangkan pergantian

Cara menggunakan fitur tersebut adalah dengan melakukan ketuk dan tahan ( touch and hold ) pada kalimat yang ingin ditandai. Penelitian ini menetapkan fitur

Akan tetapi, masih banyak aplikasi mobile yang rancangan antarmukanya belum mendukung tingkat usability dari aplikasinya sendiri sehingga diperlukan metode tersendiri untuk

Penetapan roadmap pengembangan KIID dan IUP melalui SK Menteri: Masih banyak terdapat roadmap yang dikirim dari daerah belum sesuai dengan draft SK Menteri; Penyusunan

Tampilan pada Gambar 5.c , merupakan lembar post test atau ujian peserta, caranya dengan memilih jawaban yag benar dengan meng-klik pilihan yang dianggap benar, kemudian klik button

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa karakter- karakter yang memiliki hubungan linier antara lain tinggi tanaman saat vegetatif awal, tinggi tanaman hingga malai

47 Dengan demikian, sebenarnya bukan agama yang menyebabkan tindakan kekerasan, namun motif-motif non- agamawi tersebut yang bertanggung jawab atas kekerasan dan

( ؿا دلا فإ significant كأ signifier ) توصلا لثم لقعلا وب كسيد ءيش وى .كلذ لىإ امك ةيئربؼا روصلاك دلا فإ ( ؿا significant كأ signifier ) هذى بُ دوصقبؼا