• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA Letak geografis, administratif dan luas wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA Letak geografis, administratif dan luas wilayah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Wilayah Studi

2.1.1. Letak geografis, administratif dan luas wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah daerah otonomi setingkat Provinsi di Indonesia, secara geografis terletak pada 110°00’00” BT - 110°50’00” BT dan 7°3’00” LS - 8°12’00” LS. Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai batas wilayah dimana bagian selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, sedangkan bagian timur, utara dan barat dibatasi oleh Provinsi Jawa Tengah (DPU, 2009b).

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.185,80 km2 atau sekitar 0,17 persen dari luas Indonesia. Provinsi ini merupakan provinsi dengan luas wilayah terkecil kedua setelah Provinsi DKI Jakarta. Posisinya yang dikelilingi oleh Provinsi Jawa Tengah termasuk zona tengah bagian selatan dari formasi geologi Pulau Jawa. Wilayah administratif Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 1 kota, 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438 kelurahan/desa (DPU, 2009b).

Kabupaten/Kota yang terdapat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain Kota Yogyakarta (luas 32,50 km2, terdiri dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan); Kabupaten Bantul (luas 506,85 km2, terdiri dari 17 kecamatan dan 75 desa); Kabupaten Kulon Progo (luas 586,27 km2, terdiri dari 12 kecamatan dan 88 desa); Kabupaten Gunungkidul (luas 1.485,36 km2, terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa); dan Kabupaten Sleman (luas 574,82 km2, terdiri dari 17 kecamatan dan 86 desa) (DPU, 2009b).

(2)

Secara umum bentuk morfologi kawasan pantai selatan Yogyakarta memiliki garis pantai yang lurus mulai dari Parangtritis ke arah barat hingga Pantai Congot, ke arah timur hingga Teluk Sadeng, memiliki kenampakan morfologi yang membentuk teluk dan kantong pasir (pocket sand). Morfologi daratan Yogyakarta sebagian besar merupakan daratan yang tertutup oleh endapan hasil dari aktivitas Gunung Merapi dan sebagian kecil merupakan endapan

aluvium. Hal ini menjadikan sebagian besar wilayah Yogyakarta merupakan lahan pertanian berupa persawahan yang subur dan permukiman penduduk. Daerah Kulon Progo mengalami perubahan morfologi secara bertahap menjadi perbukitan dengan relief tinggi (Mustafa dan Yudhicara, 2007).

2.1.2. Kondisi fisiografi

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2009a), kawasan DI Yogyakarta secara fisiografis terdari dari empat satuan bentang alam, yaitu:

1) Gunung Api Merapi dan lereng gunung api, terletak di bagian utara DI Yogyakarta pada ketinggian ± 500 meter hingga ± 2911 meter dengan susunan fluvial gunung api.

2) Dataran aluvial, terletak di bagian tengah yang membentang ke selatan DI Yogyakarta hingga Samudera Hindia. Wilayah ini mempunyai topografi hampir datar, sehingga merupakan lahan yang baik untuk pemukiman dan pertanian.

3) Pegunungan Kulon Progo yang terletak di bagian utara Kulon Progo dengan topografi berbukit. Wilayah ini mempunyai lereng curam hingga sangat curam, sehingga proses erosi dan longsor sering terjadi.

(3)

4) Dataran Tinggi Gunungkidul merupakan kawasan perbukitan batu gamping (limestone) dan bentang alam karst yang tandus.

Kondisi fisiografi tersebut membawa pengaruh terhadap persebaran penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana wilayah, dan kegiatan sosial

ekonomi penduduk serta kemajuan wilayah tersebut. Kawasan pesisir selatan DI Yogyakarta merupakan dataran aluvial yang didominasi oleh lahan pertanian. Kawasan pesisir termasuk dalam kerentanan tinggi terhadap kenaikan muka laut, oleh karena itu perlu adanya pengembangan konsep mengenai penggunaan lahan agar dapat melindungi daratan dari pengaruh kenaikan muka laut.

2.2. Pengertian Wilayah Pesisir

Secara ekologis, wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan yang memiliki dua macam batas yang ditinjau dari garis

pantainya (coast line), yaitu batas yang sejajar dengan pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore) (Dahuri et al., 2001). Wilayah pesisir tersebut akan mencakup semua wilayah yang ke arah daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses yang berkaitan dengan laut seperti pasang surut dan instrusi air laut, dan wilayah ke arah laut yang masih

dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar.

Luas suatu wilayah pesisir sangat tergantung pada struktur geologi yang dicirikan oleh topografi dari wilayah yang membentuk tipe-tipe wilayah tersebut (Arief, 2002). Menurut Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen

(4)

P3K) (2001) ada tiga batasan pendekatan untuk mendefinisikan wilayah pesisir, yaitu:

a. Pendekatan ekologis: wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti pasang surut dan intrusi air laut; dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi dan pencemaran.

b. Pendekatan administratif: wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau kabupaten atau kota yang mempunyai laut dan ke arah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk provinsi atau sepertiganya untuk kabupaten atau kota.

c. Pendekatan perencanaan: wilayah pesisir merupakan wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya yang difokuskan pada penanganan isu yang akan dikelola secara bertanggung jawab.

Wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai potensi alam yang besar, namun juga merupakan ekosistem yang paling rentan terhadap gangguan baik dari darat maupun laut. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain ekosistem hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, delta, estuari, lagoon, dan bukit pasir (sand dune). Selain ekosistem alami, di wilayah pesisir juga terdapat ekosistem buatan yang dibuat untuk menunjang kehidupan manusia seperti tambak, sawah pasang surut, kawasan industri, kawasan pemukiman dan lain-lain (Dahuri et al., 2001).

(5)

2.3. Parameter Kerentanan Pesisir

Kerentanan wilayah pesisir merupakan suatu kondisi dimana adanya peningkatan proses kerusakan di wilayah pesisir yang diakibatkan oleh berbagai faktor seperti aktivitas manusia dan faktor dari alam. Berdasarkan penelitian Gornitz (1991) dan Thieler dan Hammar-Klose (2000) terdapat parameter-parameter yang mempengaruhi kerentanan pesisir yaitu variabel geologi (geomorfologi, perubahan garis pantai dan elevasi) dan variabel proses fisik (kenaikan muka laut, tunggang pasang surut, dan tinggi gelombang). Selain enam parameter yang dikemukakan Gornitz (1991) dan Thieler dan Hammar-Klose (2000), terdapat pula parameter tambahan yang digunakan dalam penentuan kerentanan pesisir berdasarkan penelitian Basir et al. (2010) yaitu pengamatan visual kerusakan, litologi atau material pembentuk struktur pantai, dan pengaruh angin. Selain parameter yang telah disebutkan, Krisnasari (2007) yang melakukan kajian kerentanan terhadap kenaikan muka laut di Jakarta Utara menambahkan parameter penurunan muka tanah (land subsidence) sebagai faktor yang mempengaruhi kerentanan pesisir. Pada penelitian ini, parameter kerentanan pesisir yang digunakan mengacu pada parameter yang dikemukakan oleh Gornitz (1991) dan Thieler dan Hammar-Klose (2000).

2.3.1. Geomorfologi

Geomorfologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi beserta aspek-aspek yang mempengaruhinya (Noor, 2010). Pada dasarnya geomorfologi mempelajari bentuk bentang alam atau bentuk lahan. Perkembangan teknologi penginderaan jauh baik pesawat maupun

(6)

dari satelit yang menghasilkan citra atau foto udara, dapat mempermudah untuk melihat dan menginterpretasikan kenampakan geomorfologi (Noor, 2011).

Wilayah pantai merupakan daerah yang sangat dinamis karena wilayah tersebut merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Oleh karena itu, morfologi dan bentang alam wilayah pantai yang terbentuk merupakan hasil dari hempasan gelombang air laut dan aktivitas manusia. Geomorfologi pantai dapat berupa dataran aluvial, bangunan pantai, estuari, lagoon, delta, hutan mangrove dan bangunan pantai (Noor, 2010).

Geomorfologi yang merupakan salah satu parameter dari kerentanan pantai terhadap kenaikan muka laut berpengaruh terhadap tingkat erosi relatif pada suatu bagian pantai. Menurut Gornitz (1991) pantai yang sangat rentan terhadap kenaikan muka laut adalah pantai dengan geomorfologi berupa penghalang pantai, pantai berpasir, pantai berlumpur (mudflats), dan delta. Sedangkan pantai dengan bentuk geomorfologi berupa tebing tinggi dan fjords sangat tidak rentan terhadap kenaikan muka laut.

2.3.2. Perubahan garis pantai

Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dengan posisi tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi (Triatmodjo, 1999). Garis pantai dapat berubah oleh berbagai faktor, baik faktor alam maupun manusia. Perubahan garis pantai ini banyak dilakukan oleh aktivitas manusia seperti pembukaan lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat merubah keseimbangan garis pantai melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan (Tarigan, 2007). Curah hujan

(7)

dengan intensitas tinggi juga dapat mempengaruhi perubahan garis pantai. Di sepanjang kawasan pantai terdapat segmen-segmen pantai yang mengalami erosi, disamping ada bagian-bagian yang mengalami akresi/sedimentasi dan segmen yang stabil (Dahuri et al., 2001). Perubahan garis pantai merupakan salah satu parameter dari kerentanan pantai dimana garis pantai dapat dijadikan indikator sebagai dari peningkatan permukaan air laut.

Ongkosongo (2006) dalam Tarigan (2007) mengemukakan bahwa sekitar 70% pantai terutama pantai berpasir di dunia mengalami erosi pantai. Penyebab utamanya adalah aneka ragam pengaruh manusia secara langsung maupun tak langsung yang menyebabkan berkurangnya jumlah ketersedian cadangan sedimen yang ada di pantai. Beberapa bagian pantai di dunia, erosi pantai yang terjadi telah menimbulkan kerugian yang besar berupa rusaknya daerah pemukiman, pertambakan, dan jalan raya.

Perubahan garis pantai berupa abrasi lebih dari 2 m/tahun memiliki nilai kerentanan sangat tinggi, sedangkan perubahan garis pantai akibat akresi lebih dari 2 m/tahun memiliki nilai kerentanan sangat rendah (Gornitz, 1991). Akresi akan menambah luasan dari daratan karena garis pantai yang semakin maju menuju ke arah laut sedangkan abrasi akan mengurangi luasan dari daratan.

2.3.3. Elevasi

Elevasi daerah pesisir mengacu kepada ukuran ketinggian pada daerah tertentu yang berada di atas permukaan laut rata-rata (DEPTAN, 2006). Kajian mengenai elevasi pesisir sangat penting untuk dipelajari secara mendalam untuk

(8)

mengidentifikasi dan mengestimasi luas daratan yang terancam oleh dampak kenaikan muka laut di masa yang akan datang (Kumar et al., 2010).

Wilayah pesisir yang terletak di daerah yang tinggi maka wilayah tersebut aman dari genangan akibat naiknya muka laut. Dengan mengetahui informasi elevasi suatu wilayah maka dapat diperkirakan juga jangkauan dan luas daratan yang akan tergenang akibat dari kenaikan muka laut, sehingga dapat diketahui daerah rawan genangan. Daerah pesisir dengan elevasi antara 0 sampai 5 meter dan ketinggian rata-rata muka laut memiliki resiko yang sangat rentan terhadap kenaikan muka laut. Sedangkan pantai yang sangat tidak rentan adalah pantai dengan elevasi lebih dari 30 meter (Gornitz, 1991).

2.3.4. Kenaikan muka laut

Perubahan iklim dunia akibat dari pemanasan global menyebabkan naiknya muka laut (sea level rise). Kenaikan muka laut ini akan berdampak pada keberadaan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di dunia. Kenaikan muka laut global rata-rata (global mean sea level rise) menurut data hasil perekaman satelit altimeter Topex/Poseidon (T/P), JASON 1 dan JASON 2 sekitar 3,18 mm/tahun. Kecenderungan (trend) kenaikan muka laut global rata-rata dapat dilihat pada Gambar 1.

Kenaikan muka laut relatif mengindikasikan bagaimana pengaruh

kenaikan muka air laut terhadap suatu bagian dari garis pantai. Menurut Gornitz (1991) kenaikan muka laut relatif lebih dari 4,0 mm/tahun akan sangat berbahaya bagi wilayah pesisir, sedangkan kenaikan muka laut relatif kurang dari -1,0 mm/tahun memiliki kerentanan sangat rendah bagi wilayah pesisir.

(9)

Sumber: AVISO (2007)

Gambar 1. Tren Kenaikan Muka Laut Global

Kenaikan muka laut secara global tentu saja akan mempengaruhi wilayah pesisir baik di Indonesia maupun di dunia. Dampak dari kenaikan muka laut ini akan sangat dirasakan oleh negara-negara kepulauan seperti Indonesia. Dampak kenaikan muka laut dapat dibagi menjadi empat macam kemungkinan, yaitu (Noronha, 1991 dalam Soegiarto, 1991):

1) Dampak fisik

 Berkurangnya luas daratan sebagi akibat dari invasi air laur terhadap daratan

 Invasi air laut ke daratan menyebabkan terjadinya abrasi sepanjang tepi pantai

 Abrasi pantai yang terjadi dapat diikuti oleh gejala longsoran sepanjang tebing pantai dan menyebabkan peningkatan sedimentasi

(10)

 Invasi muka laut ke arah daratan akan memperpendek aliran sungai dan mengakibatkan gradien sungai menjadi lebih besar, karena sungai menjadi lebih pendek. Hal tersebut akan mengakibatkan sedimentasi yang besar di muara sungai

 Invasi air laut ke daratan akan mengakibatkan kenaikan muka air tanah sekaligus menyebabkan intrusi air laut lebih mengarah ke daratan  Peningkatan kerusakan karena banjir dan gelombang pasang  Meningkatnya gelombang laut

 Meningkatkan penurunan permukaan tanah  Perubahan kecepatan aliran sungai

2) Dampak ekologis (lingkungan)

 Habitat terumbu karang di pantai akan tenggelam lebih dalam di bawah permukaan laut

 Intrusi air laut

 Hilangnya habitat pesisir

 Berkurangnya lahan yang dapat ditanami  Berkurangnya tanaman pesisir

 Hilangnya biomassa non-perdagangan 3) Dampak sosial-ekonomi

 Perubahan kegiatan ekonomi di wilayah pesisir

 Peningkatan kerusakan pesisir, korban mausia dan harta benda  Hilang/berkurangnya daerah rekreasi pesisir

(11)

4) Dampak kelembagaan/hukum

 Perubahan batas-batas maritim sehingga menyebabkan adanya penyesuaian peraturan perudangan

 Perubahan praktek-praktek pengelolaan wilayah pesisir  Peningkatan pajak

 Pembentukan lembaga baru untuk menangani kenaikan muka laut

2.3.5. Pasang surut

Pasang surut (disingkat pasut) adalah fluktuasi muka air laut secara berkala karena adanya gaya tarik menarik dari benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Periode pasang surut

bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit. Apabila suatu perairan mempunyai periode pasut 12 jam 25 menit, maka perairan tersebut mengalami dua kali pasang dan dua kali surut selama satu hari. Sedangkan perairan yang mempunyai periode pasut 24 jam 50 menit, maka perairan tersebut dalam satu hari mengalami satu kali pasang dan satu kali surut. Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah, sedangkan perbedaan vertikal antara pasang tinggi dan pasang rendah disebut tunggang pasang surut (tidal range) (U. S. Army Corps of Engineers, 2008).

Tipe pasut dapat diketahui dengan cara mendapatkan bilangan atau konstanta pasut (Tidal Constant/Formzhal) yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Wyrtki, 1961):

(12)

Dimana:

F = Indeks Formzhal

AK1 = amplitudo komponen pasang surut harian tunggal yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari

AO1 = amplitudo komponen pasang surut harian tunggal yang disebabkan oleh gaya tarik bulan

AM2 = amplitudo komponen pasang surut harian ganda yang disebabkan oleh gaya tarik bulan

AS1 = amplitudo komponen pasang surut harian ganda yang disebabkan oleh gaya tarik matahari

Dengan ketentuan:

F ≤ 0,25 : Pasang surut tipe harian ganda (semidiurnal tides) 0,25 < F ≤ 1,5 : Pasang surut tipe campuran dominasi ganda (mixed tide,

prevailing semi diurnal)

1,50 < F ≤ 3,0 : Pasang surut tipe campuran dominasi tunggal (mixed tide, prevailing diurnal)

F > 3,0 : Pasang surut tipe harian tunggal (diurnal tides)

Suatu perairan yang dalam sehari mengalami satu kali pasang dan satu kali surut, maka perairan tersebut dikatakan bertipe pasut harian tunggal (diurnal tides), namun jika dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, maka tipe pasutnya disebut tipe harian ganda (semidiurnal tides). Tipe pasut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda disebut dengan tipe campuran

(13)

(mixed tides) dan tipe pasut ini digolongkan menjadi dua bagian yaitu tipe campuran dominasi ganda (mixed tide, prevailing semi diurnal) dan tipe

campuran dominasi tunggal (mixed tide, prevailing diurnal). Tipe pasang surut yang yang terdapat di Selatan Jawa yaitu tipe pasut campuran dominasi ganda (Wyrtki, 1961).

Kisaran pasang surut rata-rata berkontribusi dalam bahaya penggenangan pantai dimana pasut menghasilkan perubahan permukaan secara rutin sepanjang pantai. Oleh karena itu, pasang surut mempunyai arti penting dalam kerentanan pantai. Konsentrasi dan posisi sedimen tersuspensi sangat tergantung pada variasi tinggi pasang surut dan debit sungai. Selain itu, pasang surut juga dapat

menyebabkan intrusi air asin sampai ke daratan (Triatmodjo, 1999).

Rata-rata tunggang pasang surut lebih dari 6 meter (macro tidal) akan sangat berbahaya bagi wilayah pesisir karena semakin tinggi tungang pasut maka bahaya penggenangan pantai akan semakin besar pula. Rata-rata tunggang pasut kurang dari 1 meter (micro tidal) sangat tidak rentan terhadap penggenangan di pantai (Gornitz, 1991).

2.3.6. Gelombang

Gelombang merupakan salah satu fenomena yang terdapat di laut yang dapat dilihat secara langsung. Menurut Pond dan Pickard (1983), gelombang adalah suatu fenomena naik turunnya pemukaan laut, dimana energinya bergerak dari suatu wilayah pembentukan gelombang ke arah pantai. Salah satu faktor yang dapat membangkitkan gelombang adalah angin. Philip (1957) dalam Holthuijsen (2007) menyebutkan bahwa saat permukaan air datar, maka

(14)

keberadaan angin akan menyebabkan tekanan turbulen pada permukaan air. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembangkitan gelombang adalah kecepatan angin, lamanya angin bertiup (durasi) pada satu arah dan fetch (jarak tanpa rintangan yang ditempuh oleh angin tersebut selama bertiup dalam satu arah).

Bentuk gelombang akan berubah dan akhirnya pecah ketika sampai di pantai. Hal ini disebabkan oleh adanya gesekan dari dasar laut di perairan dangkal sehingga bentuknya berubah dimana tinggi gelombang meningkat dan panjang gelombang menurun. Perubahan bentuk ini menjadi tidak stabil dan akhirnya pecah ketika sampai di pantai. Gelombang yang akan mendekati pantai akan mengalami pemusatan (convergence) apabila mendekati tanjung (head land) atau menyebar (divergence) apabila menemui teluk (bay) (Stewart, 2006).

Gelombang yang menjalar dari laut dalam menuju patai akan mengalami perubahan bentuk karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut.

Gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringannya, yaitu perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang. Kemiringan yang lebih tajam dari batas

maksimum tersebut menyebabkan kecepatan partikel di puncak gelombang lebih besar dari kecepatan rambat gelombang, sehingga terjadi ketidak-stabilan dan pecah (Farid, 2008).

Gelombang merupakan parameter utama dalam proses erosi atau

sedimentasi. Besarnya tergantung dari besarnya energi yang dihempaskan oleh gelombang ke pantai. Besarnya energi gelombang ditentukan oleh tinggi gelombang sebelum pecah. Nilai tinggi gelombang dalam kerentanan pantai dapat mempengaruhi perubahan garis pantai dan kondisi geomorfologi daerah

(15)

tersebut. Selain itu, ketinggian gelombang berkaitan dengan bahaya pengenangan air laut dan transport sedimen di pantai (Pendleton et al., 2005).

2.4. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) sering diartikan sebagai teknologi untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan objek tersebut (Noor, 2011). Saat ini teknologi

penginderaan jauh berbasis satelit menjadi sangat populer dan digunakan untuk berbagai tujuan kegiatan, salah satunya untuk mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Hal ini disebabkan teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, seperti: harganya yang relatif murah dan mudah didapat, adanya resolusi temporal (perulangan) sehingga dapat digunakan untuk keperluan monitoring, cakupannya yang luas dan mampu menjangkau daerah yang terpencil, bentuk datanya digital sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan ditampilkan sesuai keinginan (Ekadinata et al., 2008).

Pemanfaatan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) telah banyak dilakukan dalam kaitannya dengan kebutuhan pengembangan wilayah pesisir dan lautan. Penelitian yang dilakukan mulai dari pengembangan model parameter fisik perairan (suhu permukaan laut, klorofil, muatan padat tersuspensi, kecerahan perairan dan lain-lain) wilayah pesisir sampai dengan kegiatan yang bersifat aplikasi seperti monitoring dan penentuan zona potensi pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Selain monitoring dan penentuan zona potensi pengembangan wilayah pesisir, tekologi penginderaan

(16)

jauh dan SIG juga dapat menganalisis kerentanan dan identifikasi potensi bencana suatu wilayah terhadap fenomena yang terjadi.

Pemanfaatan penginderaan jauh dan SIG untuk menganalisis kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut telah banyak dilakukan. Adapun penelitian tersebut antara lain:

a. Khrisnasari (2007) yang melakukan kajian kerentanan terhadap kenaikan muka laut di Jakarta Utara. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pesisir Teluk Jakarta merupakan pesisir yang sangat rentan terhadap kenaikan muka laut karena memiliki kenaikan muka laut relatif setiap tahunnya lebih dari 4 mm.

b. Basir et al. (2010) memanfaatkan data penginderaan jauh di Pulau Bengkalis untuk memodelkan kerentanan pantai terhadap kenaikan muka air laut. Berdasarkan penelitiannya, terdapat dua desa yaitu Desa Temeran dan Desa Sekodi yang berada pada tingkat kerentanan rendah, sebelas desa pada tingkat kerentanan sedang, dua desa dengan tingkat kerentanan tinggi dan satu desa yaitu Desa Prapat Tunggal dengan tingkat kerentanan sangat tinggi.

c. Miladan (2009) mengkaji tentang kerentanan wilayah pesisir Kota Semarang terhadap perubahan iklim. Berdasarkan hasil studinya dapat disimpulkan bahwa tingkat kerentanan wilayah pesisir Kota Semarang termasuk kategori kerentanan rendah hingga sedang.

Gambar

Gambar 1.  Tren Kenaikan Muka Laut Global

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui Kualitas Pelayanan KTP, KK dan Akta Kelahiran di Kecamatan Sarolangun Kabupaten Sarolangun.Pendekatan yang digunakan dalam

(i) Seluruh aktiva tetap, kecuali aktiva tetap milik CPI dan CPJF yang dijaminkan dengan nilai buku sebesar Rp399,5 miliar dari jumlah aktiva tetap sebesar Rp820,8 miliar,

Oleh karenanya dilakukan penelitian tindkaan kelas dengan menerapkan model probing prompting yang bertujuan untuk mengetahui suasana kelas dan peningkatan hasil

Dengan demikian di kawasan wisata air terjun Sunggah potensial untuk dibangun unit pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH) dalam memenuhi kebutuhan energi kawasan wisata

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa penambahan probiotik menggunakan dosis berbeda yang diberikan pada pakan ikan, tidak memberikan

• Tarsus 4 ruas, ada yang 5 ruas • Ovipositor lebih pendek dari kepala • Pronotum memanjang ke belakang • Bersayap selaput dan keras • Sayap lebih pendek dari tubuh •

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan Analisis Perbandingan Pemodelan SAW dan Topsis Untuk Penentuan Konsumsi Dan Kualitas Pakan Ayam Broiler (Study Kasus

Berdasarkan tabel 4.7, diketahui bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara adversity quotient dengan tingkat stres akademik pada dokter muda Fakultas Kedokteran