• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk, 2010). Pola konsumsi pangan berfungsi untuk mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional dapat memenuhi kaidah mutu, keanekaragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan, di samping juga untuk efisiensi makan dalam mencegah pemborosan. Pola konsumsi pangan juga mengarahkan agar pemanfaatan pangan dalam tubuh (utility food) dapat optimal, dengan peningkatan atas kesadaran pentingnya pola konsumsi yang beragam, dengan gizi seimbang mencakup energi, protein, vitamin dan mineral serta aman (Badan Ketahanan Pangan, 2012).

Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, lauk-pauk, buah-buahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan kebutuhan. Pola makan yang baik dan jenis hidangan yang beraneka ragam dapat menjamin terpenuhinya kecukupan sumber tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang, sehingga status gizi seseorang akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Baliwati, dkk, 2010). 2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan dibentuk oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Secara umum adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan tersebut adalah :

(2)

1. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi jumlah dan pembagian ragam pangan yang dikonsumsi dalam keluarga. Semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang terutama pada keluarga dengan ekonomi lemah (Suhardjo, dkk,1986).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fransiska (2013) tentang analisis diversifikasi konsumsi pangan beras dan pangan non beras, dijumpai bahwa jumlah anggota rumah tangga berpengaruh nyata dan positif terhadap konsumsi pangan rumah tangga.

Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bangun (2013) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata dengan tingkat konsumsi beras dimana semakin banyak anggota keluarga semakin banyak beras yang dikonsumsi.

2. Pendidikan

Menurut Husaini (1989) dalam penelitian Ampera dkk perilaku konsumsi pangan seseorang atau keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau pengetahuan tentang pangan itu sendiri, dalam satu keluarga biasanya ibu yang bertanggung jawab terhadap makanan keluarga. Karena pengetahuan gizi bertujuan untuk mengubah perilaku konsumsi masyarakat kearah konsumsi pangan yang sehat dan bergizi.

Penelitian yang dilakukan oleh Mapandin (2005) dalam tesisnya yang berjudul hubungan faktor-faktor sosial budaya dengan konsumsi makanan pokok rumah tangga pada masyarakat di kecamatan Wamena, kabupaten

(3)

Jayawijaya didapatkan bahwa kontribusi energi makanan pokok dengan kategori pada rumah tangga dengan ibu rumah tangga berpendidikan dasar jauh lebih besar dibandingkan pada rumah tangga dengan ibu rumah tangga berpendidikan lanjut.

3. Budaya

Kebudayaan juga menentukan kapan seseorang boleh atau tidak boleh memakan suatu makanan (tabu), walaupun tidak semua tabu rasional, bahkan banyak jenis tabu yang tidak masuk akal. Oleh karena itu kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis pangan, serta persiapan serta penyajiannya (Siregar, 2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mapandin (2005) ditemukan bahwa faktor budaya juga sangat berperan dalam konsumsi makanan pokok rumah tangga beragam. Semakin kuat faktor budaya yang dianut, semakin sedikit jenis makanan pokok yang dikonsumsi.

4. Lingkungan

Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, serta adanya promosi melalui media elektronik maupun cetak (Handayani, 2012).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebayang (2012) tentang gambaran pola konsumsi makanan mahasiswa di Universitas Indonesia dijumpai bahwa 90,6% responden memiliki pengaruh yang kuat dari teman sebaya dalam hal

(4)

konsumsi makanan dan sisanya memiliki pengaruh yang lemah terhadap pola konsumsi.

5. Peraturan/program pemerintah

Adanya dukungan baik berupa peraturan ataupun program pemerintah dapat menyebabkan kepatuhan peserta program (Nahampun, 2009), sehingga akan membantu masyarakat atau peserta dari program tersebut untuk memperbaiki pola konsumsinya menjadi lebih baik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sihotang (2008) diketahui bahwa semakin keluarga sadar gizi maka status gizi balita baik. Terlihat dari persentase status gizi balita dimana pada keluarga yang telah melaksanakan indikator sadar gizi, balita dengan status gizi baik adalah 100%. Sementara keluarga yang tidak sadar gizi masih ditemukan status gizi kurang dan status gizi buruk.

2.3 Pola Pangan Harapan

Penilaian keberhasilan upaya percepatan penganekaragaman pola konsumsi pangan memerlukan suatu parameter. Parameter yang digunakan adalah PPH. Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan sehingga mampu mencukupi kebutuhan konsumsi pangan penduduk sekaligus mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung dengan citarasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas dan kemampuan daya beli masyarakat (Baliwati,dkk, 2010).

(5)

Pola Pangan Harapan mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan berdasarkan skor pangan dari sembilan bahan pangan. Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang cukup dan hanya terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Selanjutnya pola konsumsi pangan rumah tangga akan berpengaruh pada komposisi konsumsi pangan (Depkes RI, 2010).

Tiap negara mempunyai potensi dan sosial budaya yang berbeda-beda. Bagi Indonesia menurut hasil Workshop on Food and Agriculture Planning for Nutritional Adequacy di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989 direkomendasikan sebagai berikut: kelompok padi-padian sekitar 50%, makanan berpati sekitar 5%, pangan hewani sekitar 15-20%, minyak dan lemak lebih dari 10%, kacang-kacangan sekitar 5%, gula 6-7%, buah dan sayur 5% (FAO-MOA, 1989). Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VII tahun 2004, susunan PPH nasional yang telah disepakati terdapat pada Table 2.1 dengan target pencapaian energi sebesar 2000 kkal/kapita/hari.

(6)

Tabel 2.1. Pola Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi dan Berimbang Nasional

No Kelompok

Pangan

Pola Pangan Harapan Nasional Porsi

(gram)

Konsumsi Energi

(kkal)

% AKE Bobot Skor Mutu

(PPH) 1 Padi-padian 275 1,000 50,0 0,5 25,0 2 Umbi-umbian 100 120 6,0 0,5 3, 0 3 Pangan hewani 150 240 12,0 2,0 24,0 4 Minyak dan lemak 20 200 10,0 0,5 5,0 5 Biji berminyak 10 60 3,0 0,5 1,5 6 Kacang-kacangan 35 100 5,0 2,0 10,0 7 Gula 30 100 5,0 0,5 2,5

8 Sayur dan buah 250 120 6,0 5,0 30,0

9 lain-lain 60 3,0 0,0 0,0

Jumlah 2,000 100,0 100,0

Sumber: Pusat Penganekaragaman Konsumsi Dan Keamanan Pangan, 2013

Pada konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh, pembobot pada kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya 0,5 karena pangan tersebut hanya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia. Sebaliknya pangan hewani dan kacang-kacangan sebagai sumber protein yang berfungsi sebagai pertumbuhan dan perkembangan manusia mempunyai pembobot 2 dan sayur/buah sebagai sumber vitamin dan mineral, serat, dan lain-lain mempunyai pembobot 5. Dengan mengkalikan proporsi energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan diperoleh skor sebesar 100. Dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai konsep PPH harus mempunyai skor 100 (Ariani, 2005).

(7)

Penilaian untuk keberhasilan penganekaragaman (diversifikasi) konsumsi pangan berdasarkan skor mutu PPH yang dicapai dibagi dalam 3 (tiga) kategori sebagai berikut (Suhardjo dalam Sembiring (2002)) :

a. Segitiga perunggu

Skor mutu pangan kurang dari 78, dengan ciri-ciri antara lain :

- Energi dari padi-padian dan umbi-umbian masih tinggi diatas norma PPH - Energi dari pangan hewani, sayur dan buah serta kacang-kacangan masih

rendah dibawah norma PPH

- Energi dari minyak dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH b. Segitiga Perak

Skor mutu pangan 78-87, dengan ciri-ciri antara lain :

- Energi dari padi-padian dan umbi-umbian makin menurun, namun masih diatas norma PPH

- Energi dari pangan hewani, sayur dan buah serta kacang-kacangan masih rendah masing- masing antara 8-12% dan 4-5%

- Energi dari minyak, kacang-kacangan dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH

c. Segitiga Emas

Skor mutu pangan 88 keatas dengan ciri-ciri antara lain :

- Energi dari padi-padian sedikit diatas norma PPH atau relatif sama

- Energi dari pangan hewani diatas 12% atau relatif sama dengan norma PPH

(8)

Penelitian yang dilakukan oleh Rosida tentang pola konsumsi pangan keluarga dan pola pangan harapan (PPH) di Desa Kampong Jeumpa Kecamatan Glumpang Tiga Kabupaten Pidie ditemukan bahwa rata-rata konsumsi energi penduduk Desa Kampong Jeumpa sebesar 2045 kalori lebih tinggi dari kecukupan energi yaitu 2000 kalori. Komposisi pangan yang dikonsumsi belum berimbang antar kelompok pangan dan gizi, dimana konsumsi padi-padian dan pangan hewani cukup tinggi sebesar 67,2% dan 15,5% sedangkan, kelompok pangan lain sangat rendah dibanding PPH Nasional yang telah ditetapkan. Komposisi pangan yang tidak seimbang tersebut menyebabkan skor mutu PPH menjadi rendah yaitu 68,2. Hal ini mengindikasikan bahwa sekalipun kecukupan energi terpenuhi tidak menjamin skor mutu PPH menjadi lebih baik.

2.4 Angka Kecukupan Gizi

Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) adalah banyaknya masing- masing zat essensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada masing-masing orang per hari bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan keadaan fisiologis individu tersebut (Almatsier, 2005).

Tubuh manusia membutuhkan aneka ragam makanan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi tersebut. Kekurangan atau kelebihan zat gizi tersebut akan menyebabkan kelainan atau penyakit bagi tubuh. Oleh karena itu, perlu diterapkan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang seimbang sejak usia dini dengan jumlah yang sesuai untuk mencukupi kebutuhan masing-masing individu, sehingga tercapai kondisi kesehatan yang prima (Sebayang, 2012).

(9)

2.5 Penganekaragaman Pangan

Penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal (UU RI No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan). Penganekaragaman konsumsi pangan selama ini sering diartikan terlalu sederhana, berupa penganekaragaman konsumsi pangan pokok, terutama pangan non beras. Penganekaragaman konsumsi pangan seharusnya mengonsumsi aneka ragam pangan dari berbagai kelompok pangan, baik pangan pokok, lauk pauk, sayuran maupun buah dalam jumlah yang cukup. Tujuan utama penganekaragaman konsumsi pangan adalah untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan (Baliwati, dkk, 2010).

Menurut Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Pola makan yang bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya diversifikasi pangan dalam menu sehari-hari. Pangan yang beranekaragam sangat penting karena tidak ada satu jenis panganpun yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap. Melalui konsumsi pangan yang beranekaragam maka kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi oleh gizi dari pangan yang lain. Kecuali Air Susu Ibu (ASI) untuk bayi baru lahir sampai berusia enam bulan. Hal ini disebabkan karena ASI dapat mencukupi kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang dengan optimal, serta sesuai dengan kondisi fisiologis pencernaan dan fungsi lainnya dalam tubuh bayi.

(10)

Pada sisi lain, kesadaran akan pentingnya konsumsi pangan beranekaragam menyebabkan ketergantungan terhadap satu jenis pangan dapat dicegah sehingga akan memantapkan ketahanan pangan rumah tangga (Khomsan, 2012). Semakin banyak jenis pangan yang dikonsumsi, semakin kuat ketahanan pangan (Khaeron, 2012).

Penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan terbagi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu (Cahyani, 2008) :

1. Diversifikasi horizontal merupakan upaya penganekaragaman produk yang dihasilkan (dari sisi penawaran) dan produk yang dikonsumsi (dari sisi permintaan) pada tingkat individu, rumah tangga maupun perusahaan. Secara prinsip diversifikasi horizontal adalah pengekaragaman antar komoditas. 2. Diversifikasi vertikal merupakan upaya pengembangan produk pangan pokok

menjadi produk baru untuk keverluan pada tingkat konsumsi. Secara prinsip diversifikasi pangan vertikal adalah upaya pengembangan produk setelah panen didalamnya termasuk kegiatan pengolahan hasil dan limbah pertanian. Diversifikasi vertikal ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas pangan agar lebih berdaya guna bagi kebutuhan manusia.

3. Diversifikasi regional merupakan diversifikasi antara wilayah dan sosial budaya yaitu upaya penganekaragaman pangan yang dikonsumsi berdasarkan potensi pangan lokal.

2.6 Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

Pelaksanaan kegiatan P2KP merupakan implementasi dari Rencana Strategis Kementerian Pertanian yaitu Empat Sukses Pertanian. Salah satu dari Empat Sukses

(11)

tersebut adalah Peningkatan Diversifikasi Pangan, yang merupakan salah satu kontrak kerja antara Menteri Pertanian dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2009-2014. Tujuannya adalah untuk meningkatkan keanekaragaman pangan sesuai dengan karakteristik wilayah. Kontrak kerja ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal, yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Peraturan tersebut kini menjadi acuan untuk mendorong upaya penganekaragaman konsumsi pangan dengan cepat melalui basis kearifan lokal serta kerja sama terintegerasi antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Di tingkat provinsi, kebijakan tersebut telah ditindaklanjuti melalui surat edaran atau Peraturan Gubernur (Pergub), dan di tingkat kabupaten/kota ditindaklanjuti dengan surat edaran atau Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwalikota) (Badan Ketahanan Pangan, 2014).

2.6.1 Ruang Lingkup Kegiatan P2KP

1. Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan melalui Konsep KRPL

Optimalisasi pemanfaatan pekarangan merupakan upaya pemberdayaan wanita dalam mengoptimalkan pekarangan sebagai sumber pangan. Upaya ini dilakukan dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman sesuai kebutuhan keluarga seperti aneka sayuran, buah serta budidaya ternak dan ikan sebagai tambahan untuk ketersediaan sumber karbohidrat, vitamin, mineral dan protein bagi keluarga di kawasan perumahan/warga yang berdekatan. Dengan demikian akan terbentuk sebuah kawasan yang kaya akan sumber pangan. Pendekatan

(12)

pengembangan ini dilakukan dengan mengembangkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), antara lain dengan membangun kebun bibit dan mengutamakan sumber daya lokal disertai dengan pemanfaatan pengetahuan lokal (local wisdom),sehingga kelestarian alampun tetap terjaga. Implementasi kegiatan ini disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (Badan Ketahanan Pangan, 2014).

Kelompok sasaran kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan adalah kelompok wanita yang beranggotakan minimal 30 rumah tangga yang berdomisili berdekatan dalam satu desa sehingga membentuk kawasan. Setiap anggota wajib memanfaatkan pekarangan dengan menanam tanaman sumber pangan (sayur, buah, umbi) ataupun memelihara ternak dan ikan. Tujuannya adalah mencukupi ketersediaan pangan dan gizi di tingkat rumah tangga. Hasil dari usaha pekarangan ini diutamakan untuk dikonsumsi oleh rumah tangga bersangkutan dan apabila berlebih dapat dibagikan/disumbangkan kepada anggota kelompok atau secara bersama-sama dijual oleh kelompok (Badan Ketahanan Pangan, 2014).

Adapun kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh calon kelompok ini yaitu : a. Kelompok wanita yang beranggotakan minimal 30 rumah tangga yang

berdomisili berdekatan dalam satu kawasan, sehingga dapat membentuk kawasan pekarangan dengan konsep KRPL.

b. Bukan kelompok penerima bansos lainnya ditahun berjalan. c. Memiliki struktur organisasi yang jelas dan diketahui kepala desa.

d. Mampu menyediakan lahan untuk kebun bibit (bukan menyewa lahan) dan memeliharanya untuk kepentingan anggota kelompok dan masyarakat desa lainnya (surat pernyataan).

(13)

e. Mampu mengelola keuangan kelompok dan melaksanakan kegiatan secara berkesinambungan (surat pernyataan).

f. Khusus untuk daerah yang sulit memenuhi jumlah anggotanya dapat mengambil anggota kelompok dari desa terdekat dan nama desa yang ditetapkan sebagai penerima manfaat adalah desa dengan jumlah anggota rumah tangga terbanyak.

Kelompok wanita pelaksana optimalisasi pemanfaatan pekarangan dengan konsep KRPL ini diberikan dana bantuan sebesar Rp. 47.000.000,- (empat puluh tujuh juta rupiah) yang dimanfaatkan untuk pengembangan pekarangan anggota dan demplot, kebun bibit, pengembangan kebun sekolah, serta pengembangan menu B2SA dari hasil pekarangan. Apabila kelompok tidak dapat memanfaatkan bantuan sosial ini maka pemberi bantuan berhak mencabut seluruh dana tersebut secara sepihak.

Rincian kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok ini adalah :

1. Melaksanakan sosialisasi optimalisasi pemanfaatan pekarangan oleh penyuluh pendamping kepada kelompok penerima manfaat melalui metode Sekolah Lapangan (SL).

2. Melaksanakan pengembangan demplot pekarangan sebagai Laboratorium Lapangan (LL) sekaligus sebagai pekarangan percontohan.

3. Mengembangkan kebun bibit kelompok yang diarahkan untuk menjadi cikal bakal kebun bibit desa

(14)

4. Mengembangkan pekarangan milik anggota kelompok penerima manfaat sesuai hasil musyawarah anggota sesuai dengan potensi wilayah maupun kebutuhan anggota.

5. Setiap desa P2KP harus membina satu sekolah untuk mengembangkan kebun sekolah dengan tanaman sayuran, buah-buahan dan umbi-umbian. 6. Tanaman yang dibudidayakan adalah sayur, buah maupun umbi-umbian

dengan memperhatikan sistem rotasi tanaman. 7. Membudidayakan unggas atau ternak kecil.

8. Mengenalkan beberapa organism pengganggu tanaman.

9. Melakukan pertemuan kelompok secara periodik minimal satu kali sebulan.

10. Melakukan penyuluhan tentang pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

11. Demonstrasi penyiapan pangan dan penyiapan menu makanan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman.

2. Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L).

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengembangkan pangan lokal sumber karbohidrat selain beras dan terigu yang secara khusus dipersiapkan untuk mendukung pelaksanaan program pangan bersubsidi bagi keluarga berpendapatan rendah. Kegiatan ini dilaksanakan melalui kerja sama dengan perguruan tinggi dan berbagai instansi terkait yang bertujuan untuk (Badan Ketahanan Pangan, 2014): a. Mengembangkan beras/nasi “non beras” sumber karbohidrat yang dapat

(15)

b. Mengembalikan kesadaran masyarakat untuk kembali pada pola konsumsi pangan pokok asalnya melalui penyediaan bahan pangan non-beras/non-terigu dari sumber pangan lokal;

c. Perbaikan mutu konsumsi pangan masyarakat melalui penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok selain beras yang diimbangi dengan konsumsi pangan hewani serta sayur dan buah.

3. Sosialisasi dan Promosi P2KP

Kegiatan Sosialisasi dan Promosi P2KP dimaksudkan untuk memasyarakatkan dan membudayakan pola konsumsi pangan B2SA kepada masyarakat melalui upaya-upaya penyebarluasan informasi, penyadaran sikap dan perilaku serta ajakan untuk memanfaatkan pangan lokal sebagai sumber gizi keluarga demi terciptanya pola hidup yang sehat, aktif dan produktif (Badan Ketahanan Pangan, 2014)

2.6.2 Tujuan Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Secara umum tujuan program P2KP adalah untuk memfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan masyarakat yang B2SA yang diindikasikan dengan meningkatnya skor PPH (Badan Ketahanan Pangan, 2014).

Adapun tujuan khusus program P2KP adalah untuk (Badan Ketahanan Pangan, 2014):

a. Meningkatkan kesadaran, peran, dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pola konsumsi pangan yang Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA) serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok beras;

(16)

b. Meningkatkan partisipasi kelompok wanita dalam penyediaan sumber pangan dan gizi keluarga melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai penghasil sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral untuk konsumsi keluarga; dan

c. Mendorong pengembangan usaha pengolahan pangan skala Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sumber karbohidrat selain beras dan terigu yang berbasis sumber daya dan kearifan lokal.

(17)

2.7 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori Lawrence Green (1980)

Sebagaimana kita ketahui bahwa pola makan adalah perilaku yang ditempuh seseorang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makanan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup. Perilaku sangat

Faktor Predisposisi (Predisposing factors) : Jumlah anggota keluarga Pendidikan Faktor Pendukung (Enabling Factors) : Lingkungan Perilaku (Pola Konsumsi) Faktor pendorong (Reinforcing Factors) : Undang-Undang Peraturan pemerintah Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan

(18)

mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku. Menurut Green dalam Notoadmodjo (2005), perilaku dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu :

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yaitu : Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat, seperti : umur, pengetahuan, pengalaman, pendidikan, sikap, keyakinan, jumlah anggota keluarga dan lain sebagainya.

2. Faktor Pendukung (enabling factors), yaitu : faktor yang mendukung timbulnya perilaku seperti lingkungan fisik, dana dan sumber daya yang ada di masyarakat. 3. Faktor Pendorong (reinforcing factors), yaitu : faktor yang memperkuat atau

mendorong seseorang untuk berperilaku. Kadang-kadang sekalipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Sehingga harus didorong dengan adanya tokoh masyarakat, peraturan, undang-undang, surat keputusan dari para pejabat pemerintahan pusat atau daerah, didalam hal ini adalah Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan merupakan faktor penguat perilaku pola konsumsi.

(19)

2.8 Kerangka konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini diambil dari skema Green (1980) seperti yang dapat dilihat dibawah ini :

Gambar 2.2 Kerangka konsep

Kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa program P2KP dengan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan dengan konsep kawasan rumah pangan lestari dapat mempengaruhi pola konsumsi yang meliputi jenis, jumlah dan frekuensi. Pola konsumsi dapat mempengaruhi tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein dan tingkat keragaman konsumsi pangan.

Pola Konsumsi: - - Jenis - - Jumlah - - Frekuensi Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan: - Optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep KRPL - Tingkat kecukupan energi - Tingkat kecukupan Protein - Tingkat Keragaman Konsumsi Pangan

Gambar

Tabel 2.1. Pola Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi dan Berimbang Nasional
Gambar 2.1 Kerangka Teori Lawrence Green (1980)
Gambar 2.2 Kerangka konsep

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengambilan keputusan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode Electre (Elimination and Choice Translation Reality), yang diharapkan dapat

Analisis statistik daya sebar sediaan sebelum dan sesudah penyimpanan dipercepat menunjukkan bahwa data signifikan dari daya sebar (p > 0,05) yang menyatakan bahwa

Pengujian detektor plagiarisme Deimos akan dilakukan dengan menggunakan data uji dari source code hasil pengumpulan kelas IF1282 Dasar Pemrograman yang diselenggarakan pada

4) Unsur lingkungan naon baé anu nyampak dina kandaga kecap pakakas tradisional Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya ditilik tina

terdapat pengaruh yang signifikan antara kebiasaan membaca dengan kemampuan menulis siswa, sehingga berdasarkan penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan

Yang dimaksud dengan RAKERNAS SPKEP SPSI (Rapat Kerja Nasional Serikat Kimia, Energi dan Pertambangan SPSI) adalah forum konsultasi, informasi dan evaluasi secara

Kesaksian Hidup   Pergumulan Berkhotbah Alkitabiah di Era Posmo   Oleh Ayub Wahyono   Zaman sudah berubah. Jemaat kini