• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN:

TINJAUAN YURIDIS-SOSIOLOGIS

1

A. Pengantar

Pada suatu pertemuan di Jakarta penulis pernah bertemu dengan seorang Hakim Pengadilan Perikanan yang bertugas di Pengadilan Perikanan Medan. Hakim tersebut bercerita bahwa Pengadilan Perikanan Medan baru saja menjatuhkan pidana denda sebesar 350 juta kepada kapal ikan yang tertangkap melakukan illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing. Sedangkan kapal ikannya sendiri, yang harganya diperkirakan sekitar 500 juta, disita untuk negara. Pidana tersebut sempat menjadi kontroversi. Di satu sisi terdapat kelompok masyarakat yang setuju dengan putusan tersebut dengan alasan agar kapal-kapal ikan tersebut jera melakukan tindak pidana IUU Fishing, namun sebagian yang lain menganggap putusan tersebut terlalu berlebihan karena dikhawatirkan akan menjadi preseden yang kurang baik dan mengancam kelangsungan usaha di bidang perikanan.

Tingginya pengenaan sanksi pidana oleh Pengadilan Perikanan sejalan dengan batas maksimum sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang mencapai 2 milyar rupiah dan pidana penjara selama 10 tahun. Para perumus undang-undang perikanan sengaja melipatgandakan sanksi pidana di bidang perikanan dengan pertimbangan agar dapat memberi efek jera bagi para

(2)

pelaku illegal fishing yang marak di perairan Indoensia yang sebelumnya kerapkali diputus oleh pengadilan dengan sanksi yang sangat rendah.2

Dari kasus di atas, pertanyaan yang kerap muncul adalah sejauhmana peran dari suatu aturan hukum dapat memberikan solusi dalam penanggulangan berbagai persoalan di masyarakat? Dengan kata lain, peran hukum pidana (termasuk di bidang perikanan) selalu diperdebatkan apakah telah menduduki peran yang semestinya dalam menegakkan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada sekaligus telah memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat? Pertanyaan ini dirasa sangat krusial mengingat banyaknya tuntutan terhadap supremasi hukum di era reformasi sekarang ini, di mana hukum dapat kembali kepada fungsinya yang ideal.

Berbicara tentang hukum pidana, termasuk hukum pidana yang terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan, tidak bisa tidak harus pula membahas aturan pokok dari hukum pidana itu sendiri sebagaimana dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan aturan induk yang timbul sebagai bagian dari gagasan kodifikasi hukum, sebagaimana yang diterapkan konkordan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan kemudian dijadikan oleh Pemerintah Indonesia ketika masa awal kemerdekaan, sebagai aturan pokok terhadap berbagai pelanggaran di bidang hukum pidana.

2 Rusmana, “Pengadilan Perikanan: Mampukah Menjadi Terobosan?”, Sinar

(3)

Dalam sudut pandang tersebut, kodifikasi merupakan gagasan idealis di bidang hukum yang hingga saat ini diakui kegunaannya dalam rangka menjunjung kepastian hukum dan ketertiban (sekaligus merupakan perwujudan cita-cita keadilan yang diyakini oleh masyarakat pendukung hukum itu sendiri). Kodifikasi memungkinkan adanya himpunan segala aturan hukum dari bahan hukum tertentu, yang disusun secara sistematis, lengkap dan tuntas (uit-puttend)3 Berkenaan dengan pengkodifikasian

ini, perlu diperhatikan pendapat S.R. Sianturi yang me nyatakan bahwa sebagian besar mated hukum pidana itu lebih tepat tersebar karena merupakan bagian yang sukar dipisahkan dari induknya yang merupakan peraturan perundang-undangan hukum administrasi, hukum pidana atau hukum tata negara. Adapun Alasan-alasan pemisahan atau penyendirian itu disebabkan oleh:

1. Lebih banyak kerugian daripada keuntungan dengan adanya pengkodifikasian, sebab akan merusak sistematika;

2. Alasan mendesaknya waktu untuk memberlakukan suatu materi hukum pidana tertentu;

3. Masa penerapannya hanya apabila diperlukan saja,

3 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal. 53.

Asas kodifikasi ini merupakan tanda ciri sistem hukum Eropa Kontinental, berbeda dengan negara-negara penganut sistem common law

(4)

kendati berlakunya undang-undang tersebut tidak menimbulkan masalah;

4. Kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut ada pada penguasa yang lebih rendah daripada pembuat undang-undang;

5. Hanya merupakan "pelengkap" dari suatu peraturan perundang-undangan di bidang hukum perdata, hukum administrasi negara atau hukum tata negara saja;

6. Merupakan bagian dari delik adat yang hanya berlaku untuk suatu golongan masyarakat tertentu.4

Dengan demikian pekerjaan untuk menyatukan semua peraturan yang beraspek pidana dalam suatu kodifikasi justru dapat mengundang masalah baru, misalnya: berkaitan dengan subjek yang diatur oleh suatu bidang hukum, asas-asas umum yang dianut suatu undang-undang perdata yang beraspek pidana, belum tentu sejalan dengan asas-asas umum hukum pidana, demikian juga pengacaraannya (hukum formilnya), dan sebagainya (meskipun harus diakui bahwa asas-asas hukum yang umum seperti asas legalitas, asas

lex spesialis, dll. berlaku pada seluruh bidang hukum tersebut).

Demikian pula halnya kelahiran UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan peraturan pelaksanaannya, tetap membuka peluang untuk menggunakan hukum pidana sebagai penguat, sehingga aturan hukum tersebut dapat dipatuhi dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya.

4 S.R. Sianturi, Hukum Pidana Khusus, diktat, Ahaem-Petehaem, Jakarta,

(5)

B. Apakah Tindak Pidana Perikanan Tindaka Pidana Khusus?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, dapat dilihat beberapa pandangan mengenai hakikat tindak pidana khusus, sebelum menentukan apakah delik perikanan merupakan tindak pidana khusus.

Prof. Sudarto dalam membedakan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan dengan yang dikodifikasikan, menyatakan bahwa hal itu hanya menyangkut bentuk legislatifhya belaka. Dalam rangka hukum pidana yang tidak dikodifikasikan perlu dilihat sifat hukum pidananya dari berbagai peraturan perundang-undangan pidana, yang dapat dibagi menurut sifatnya dalam:5

1. undang-undang pidana "dalam arti sesungguhnya," ialah "undang-undang, yang menurut tuju-annya, bermaksud mengatur hak memberi pidana dari negara, jaminan dari ketertiban hukum."

2. peraturan-peraturan hukum pidana dalam undang-undang tersendiri ialah peraturan-peraturan yang hanya dimaksudkan untuk memberi sanksi pidana terhadap aturan-aturan mengenai salah satu bidang yang terletak di luar hukum pidana. Kelompok ini dapat dimasukkan dalam pengertian "undang-undang pidana khusus."

5 Sudarto, Op. Cit., hal. 59 et seq. Pembagian lain yang dapat dilihat

selain hukum pidana dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ialah hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale). Kedua hal ini harus dibedakan dari pengertian "bagian umum" dari hukum pidana dan "bagian khusus" dari hukum pidana. "Bagian umum" dari hukum pidana me-muat ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum (algemene leerstukken),

(6)

Masih berkaitan dengan pengertian mengenai hukum pidana khusus ini, perlu diingat pendapat S.R. Sianturi yang menyatakan bahwa dalam praktiknya perkataan khusus digunakan sebagai terjemahan dari bijzondere dan ada kalanya merupakan terjemahan dari speciale. Kaitan istilah bijzondere dengan pembagian hukum pidana mempunyai arti tersendiri yang bersejarah. Menurut logika, yang umum terlebih dahulu ada daripada yang khusus, setelah itu dengan perbandingannya terhadap yang umum, lahir atau muncullah yang khusus. Namun dalam sejarah hukum pidana, justru ketentuan mengenai tindakan larangan dan keharusan beserta ancaman pidananyalah yang terbentuk sejak awal. Baru pada abad XIII oleh juris-juris Italia disusun ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh tindakan larangan dan keharusan tersebut atau setidak-tidaknya bagi sebagian besar dari padanya. Sekitar abad ke-18 hingga abad ke-19 dalam rangka kegiatan pengkodifikasian hukum pidana, ketentuan umum ini lebih dibakukan. Oleh karena yang muncul belakangan ini bersifat umum, maka ia disebut sebagai bagian umum (alge-mene deel, general provisions),

sedangkan ketentuan tentang tindakan larangan dan keharusan itu disebut bagian khusus (bijzondere deel, special provisions).6

Namun dalam kaitan istilah bijzondere atau special

dengan istilah delict, ia mempunyai pengertian yang agak berbeda. Prof. Simons7 dalam mengkaitkan bijzondere delict

(yang dapat diterjemahkan delik khusus), dengan algemene

6 S.R. Sianturi, Op.cit., hal. 2 mengutip pendapat Van Bemmelen, hal.

13.

7 Ibid, menyitir pendapat Simons, D. Leerboek van het Nederlandsch

(7)

delict (delik umum), menyandarkan pengkaitan pada kepentingan hukum atau benda hukum: orang perorangan atau ma-syarakat atau negara yang dirugikan. Dalam hal kerugian itu bertitik tolak pada orang perorangan, maka disebut sebagai delik khusus (bijzondere delict),

sedangkan jika titik berat kerugian ada pada masyarakat dan atau negara disebut sebagai delik umum (algemene delict). Dengan demikian berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa baik delik khusus maupun delik umum terdapat di KUHP maupun di luar KUHP. Dari pola pikir ini dapat disimpulkan bahwa delik khusus (bijzondere delict)

merupakan bagian dari hukum pidana bagian khusus

bijzondere deel, special provisions).

Sebaliknya Pompe8 melandaskan pengkaitan itu kepada

penyimpangan peraturan perundang-undangan pidana yang diatur di luar KUHP, baik karena ia secara khusus ditujukan kepada orang-orang tertentu atau secara khusus ada penyimpangan terhadap norma tertentu. Jadi titik beratnya ialah diatur di luar KUHP, namun ketentuan-ketentuan dalam KUHP tetap merupakan pelengkap bagi peraturan ini sepanjang tidak disimpangi. Jadi menurut pola pikir ini, delik khusus (special delict) bukan merupakan bagian dari bagian khusus KUHP (delik di KUHP). Namun pengaturan ketentuan yang menyimpang dari ketentuan umum merupakan bagian dari Hukum Pidana Khusus.

Kembali kepada pengertian Hukum Pidana Khusus, S.R. Sianturi terutama menitikberatkan pendapat atau titik tolaknya pada usaha penekodifikasian. Hal ini dapat

8 Ibid, mengambil pendapat Pompe, Handboek van het

(8)

dibandingkan dengan kegiatan para juris pada abad XVIII-XIX. Oleh karenanya yang dikodifikasikan (KUHP) disebut sebagai pidana umum. Sedangkan yang diatur di luar yang dikodifikasikan, termasuk penyimpangan terhadap ketentuan umumnya dan bahkan juga ketentuan penyimpangan terhadap pengacara-annya, disebut sebagai Hukum Pidana Khusus. Untuk tidak mengacau-kan penggunaan istilah khusus. se-baiknya KUHP disebut sebagai Hukum Pidana Umum (yang tertulis), yang terdiri dari Buku I sebagai ketentuan umum sedangkan Buku II dan Buku III sebagai delik umum. Sementara itu yang diatur di luar KUHP disebut Hukum Pidana Khusus yang terdiri dari ketentuan khusus (sebagai penyimpangan terhadap ketentuan umum) dan delik khusus. Masih dalam rangka pembedaan yang khusus dan yang umum ini ada juga yang mendasarkannya terutama kepada pengacaraannya, yaitu jika penyidikan perkara itu dilakukan oleh penyidik Polri disebut sebagai tindak pidana umum (khusus pidana umum), sedangkan jika jaksa penun-tut umum terlibat di dalamnya, disebut sebagai tindak pidana khusus. Dengan demikian maka KUHP, delik lalu lintas, dan sebagainya merupakan tindak pidana umum, tetapi tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, tindak pidana subversi (dulu) adalah tindak pidana khusus.9

Apabila ukuran untuk mengatakan tindak pidana khusus adalah semua ketentuan hukum pidana di luar KUHP dan KUHAP, maka untuk hukum pidana khusus (materialnya) dapat dibedakan antara:

1. hukum pidana khusus (material) yang murni dan

(9)

2. hukum pidana khusus (material) yang berasal dari materi hukum perdata, hukum administrasi dan hukum tata negara.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana di bidang perikanan, merupakan tindak pidana khusus yang masih memberikan tempat bagi hukum pidana untuk melakukan fungsinya sebagai ultimum remedium.

C. Tindak Pidana Perikanan

Mengamati perkembangan pemikiran tentang tindak pidana perikanan, ternyata telah terjadi perubahan terhadap pasal-pasal yang berkaitan sebagaimana diatur oleh KUHP.

Misalnya ketentuan Bab XXII (Pasal 362-367) KUHP tentang Pencurian hanya mengatur pencurian yang dilakukan oleh orang dan terhadap barang yang dimiliki oleh orang lain. Bagi tindak pidana perikanan, yang kejahatannya tidak dilakukan terhadap barang milik orang per orangan ( tidak ada pemilikan orang per orang atas ikan di laut) ketentuan KUHP tersebut tidak bisa begitu saja diterapkan, karena itu diperlukan undang-undangn yang lebih khusus sebagai lex specialis.

(10)

(natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana.10

Perubahan sanksi pidana terhadap ketentuan Pasal 362-367 KUHP menunjukkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, terdapat kumulasi atau alternatif sanksi pidana penjara dengan pidana denda dan/atau denda. Hal ini merupakan kecenderungan perkembangan hukum pidana modern yang membuka kemungkinan pengalternatifan sanksi pidana sesuai ide individualisasi pidana, sekaligus memberikan penggabungan sanksi perampasan kemerdekaan dengan denda yang dimaksudkan untuk menambah keuangan negara (yang pengancamannya pun dilakukan dengan menggunakan strafminima dan

strafmaxima).

Selain dua ketentuan di atas, masih cukup banyak perluasan rumusan tindak pidana perikanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Mengenai sanksi denda, pada prinsipnya KUHP hanya mengatur secara alternatif, bukan kumulatif dan alternative sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

Bertalian dengan topik di atas, ini, Prof. Sudarto pernah mengutarakan bahwa untuk menyaring begitu banyak perbuatan yang tercela dalam masyarakat, sebelum

10 Rusmana, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan”,

(11)

memberikan ancaman pidana harus diperhatikan empat hal sebagai berikut:11

1. Penetapan hukum pidana oleh pembuat undang-undang dan badan-badan kenegaraan lainnya harus diusahakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila; dengan demikian hukum pidana bertugas untuk menanggulangi kejahatan dan pengugeran terha-dap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah oleh hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki, yakni perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat baik.material maupun spiritual;

3. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan sarana hukum pidana hams memperhitungkan keseimbangan antara biaya dan hasil yang diharapkan akan dicapai; sebab harus diingat bahwa hukum pidana itu sendiri bersifat

criminogeen, artinya menjadi sumber timbulnya tindak pidana;

4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai ada ke-lampauan beban tugas (over-belasting)

11 Sudarto, Op. Cit., hal. 44-49. Ditambahkan bahwa dalam hal sanksi

pidana akan dijatuhkan, maka itu berarti sudah berkaitan dengan masalah pemberian pidana yang sesungguhnya mempunyai dua arti, yakni pertama,

(12)

yang akan mengakibatkan effek dari peraturan itu menjadi kurang.

Untuk mempertimbangkan apakah sanksi pidana itu sendiri efektif sesuai dengan tujuan digunakannya hukum pidana, maka Ted Honderich mengemukakan bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:12

a. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah;

b. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan;

12 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya

Bakti, Bandung,1996, hal. 38, 39. Disinggung pula pendapat Jeremy Bentham yang pernah menyatakan bahwa pidana janganlah diterapkan atau. digunakan apabila groundless, needless, Unprofitable or inefficacious.

Sejalan dengan itu Herbert L. Packer menyatakan bahwa sanksi pidana merupakan penjamin utama dan pada suatu ketika juga merupakan pengancam utama terhadap kebebasan manusia. la harus di gunakan secara hemat-cermat dan ma-nusiawi sebagai penjamin; pemakaian yang menyamaratakan dan memaksakan merupakan pengancam. (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener). (Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal yang tidak merugikan/memba-hayakan; jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan; jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri; larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah; hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik. (Vide:

(13)

c. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efek-tif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil.

Berdasarkan pendapat atau hasil penelitian berbagai pakar di bawah ini dapat diketahui lebih jauh bahwa efektivitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal masih sering dipermasalahkan.13

1. Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya apa-kah dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.

2. Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfiingsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

3. Johannes Andenaes mengatakan bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari ke-seluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan-tindakan kita.

4. Hood dan R. Sparks menyatakan bahwa beberapa aspek lain dari general prevention, seperti reinforcing social values, strengthening the common conscience, alleviating fear dan providing a sense of communal security sulit untuk diteliti.

(14)

5. Karl O. Christiansen mengemu-kakan bahwa pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur. Pengaruh general prevention itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan berbagai penamaan, misalnya pencegahan (deterrence),

pencegahan umum (general prevention), memperku-at kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (strengthening the collective solidarity), menegaskan kembali/ memperkuat rasa aman dari masyarakat (rconfirmation of the public feeling of security), mengurangi atau meredakan ketakutan (alleviation of fears),

melepaskan ketegangan-ketegangan agresi (release of aggressive tensions), dan sebagainya.

6. Brody meneliti dari sembilan pemidanaan, lima di antaranya menyatakan bahwa lamanya waktu yang dijalani di dalam penjara nampaknya tidak berpengaruh pada adanya penghukuman kembali (reconvictioh).

7. Cherif Bassiouni menegaskan bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan

(treatment) apa yang paling efektif untuk men-cegah dan memperbaiki atau tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu.

(15)

untuk melindungi korban dan kemungkinan memperbaiki dan perdamaian.14

9. Inkeri Anttila, dalam kaitan hukum pidana dan korban kejahatan menyatakan bahwa di samping pemidanaan terhadap pelaku, juga perlu dipertimbangkan kompensasi terhadap kerugian yang diderita korban sebagai pertim-bangan dalam penjatuhan pidana.15

10. Aryeh Neier berpendapat bahwa sekalipun pemidanaan merupakan alternatif terbaik untuk memidana kejahatan yang serius, kita harus membatasi penggunaan pidana dan lebih memanfaatkan pelayanan masyarakat, restitusi dan probation sebagai sarana terhadap kejahatan. Tatkala kita menggunakan pidana, kita harus meminimalkan penderitaan yang mereka alami.16

Dari uraian para pakar di atas terlihat bagaimana keterbatasan hukum pidana dari sudut terjadinya tindak pidana dan dari sudut hakikat bekerjanya sanksi pidana itu sendiri. Ditinjau dari hakikat tindak pidana sebagai masalah kemanusiaan dan masalah sosial menunjukkan bahwa penggunaannya merupakan penang-gulangan suatu gejala

(Kurieren am Symptom) dan bukan suatu penyele-saian dengan menghilangkan sebab-sebabnya. Artinya sanksi pidana bukan merupakan pengobatan kausatif, tetapi hanya

14 Irvin Waller, "Victima vs Regina vs Malefactor: Justice for the Next

100 Years," dalam van Dijk, et ai (ed.). Criminal Law in Action, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, Netherlands, 1988, hal. 430.

15 Inkeri Anttila, "From Crime Policy to Victim Policy, " dalam Ezzat A.

Fattah. From Crime Policy to Victim Policy: Reorienting the Justice System, Macmillan Press, Houndmills, Basing-stoke, Hampshire, and London, 1986, hal. 240.

16 Aryeh Neier,. Crime and Punishment: A Radical Solution, Stein and Day,

(16)

sekadar pengobatan simptomatik, yang juga masih mengandung banyak kelemahan. Sedangkan dari sudut berfungsinya, hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang banyak dan berva-riasi baik berupa perundang-un-dangan organik, instansi dan aparat pelaksananya, sarana/prasarana maupun operasionalisasi penegakan hu-kum pidana di lapangan.17

Oleh sebab itu, mencermati efektivitas sanksi pidana terhadap tindak pidana perikanan, tidaklah hanya cukup dengan mengamati perkembangan formulasi aturan yang ada dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan (sebagai lex specialis terhadap keten-tuan yang ada di KUHP sebagai lex generalis), tetapi juga harus meninjau berbagai faktor terkait lainnya.

Berdasarkan berbagai paparan di atas, dapat dicermati sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana perikanan, sebagai berikut:18

1.Sebab-sebab tindak pidana yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana. Jika diperhatikan, perkembangan hokum itu sendiri umumnya berjalan lebih lambat dari tingkat perkembangan kejahatan yang ada di masyarakat.

2.Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanu-siaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sosio-psikologis,

17 Barda N.A., Bunga Rampai... Op. Cit., hal. 44-46.

(17)

sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural, dan sebagainya). Masalah tindak pidana perikanan sebagai suatu masalah masyarakat bertalian dengan sistem politik yang berkembang, budaya masyarakat yang mengalami perubahan, dan berbagai aspek lain, termasuk ekonomi masyarakat dan psikologi masyarakat;

3.Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana hanya merupakan kurieren am symptom, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan "pengobatan simptomatik" dan bukan "pengobatan kausatif." Untuk mencegah dan mengobati akibat yang terjadi, tidak cukup hanya menjatuhkan sanksi pidana, karena akar tindak pidana perikanan itu justru tidak dapat "diobati" oleh hukum pidana, melainkan dengan melakukan upaya pembenahan secara menyeluruh dan simultan terhadap seluruh aspek terkait;

4.Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif. Itu sebabnya, sukar mengukur kadar sanksi yang tepat terhadap suatu tindak pidana, sehingga legislatif sendiri dalam menentukan sanksi pidana untuk "tindak pidana baru" tidak memiliki rambu-rambu yang baku. Dengan kata lain, apakah akan meningkatkan sanksi pidananya secara keseluruhan dibandingkan dengan apa yang diatur dalam KUHP, ataukah melihat bobot pelanggaran hukum satu persatu;

5.Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan

individual/personal, tidak bersifat

(18)

partai politik atau afiliasi seseorang terhadap suatu kelornpok, tetapi dalam banyak hal, pertanggungjawaban pidana dalam kasus tindak pidana perikanan lebih dilihat secara individual;

6.Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif. Hal ini walaupun sudah dibuat strqfininima dan

strafmaxima-nya, tetapi dengan belum jelasnya pola pemidanaan,19 hal

ini menimbulkan kesulitan tersendiri yang bahkan dapat menimbulkan masalah lain berupa disparitas pemidanaan

(disparity of sentence);

7.Bekerjanya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut "biaya tinggi," Timbul dan berkembangnya tindak pidana perikanan dapat dikatakan hanya pada masa-masa perikanan itu sendiri. Untuk memantau dan melacak berbagai jenis tindak pidana yang terjadi di seputar perikanan, tentu tidak mudah dan melibatkan berbagai institusi yang ada.20

Dengan demikian nyatalah bahwa efektivitas sanksi

19 Dalam Konsep KUHP Baru 1999/2000 di samping pedoman

pemidanaan, juga terdapat pola pemidanaan yang dapat digunakan oleh hakim dalam menjatuh-kan pidana. Dengan perhitungan yang cukup matang, pemberian pidana terhadap seorang terpidana tidak akan terpi-sah dari konsep pemikiran mengenai individualisasi pidana, bahwa pemidanaan itu disesuaikan dengan keadaan si pelaku. Oleh karena itu, disparitas pemidanaan sedapat mungkin diperkecil agar memberikan jaminan kepastian hukum dan pemenuhan rasa keadilan yang semakin baik bagi masyarakat dan pelaku itu sendiri.

20 Sebagai contoh, ketika terjadi suatu pelanggaran hukum terhadap

(19)

pidana dalam tindak pidana perikanan, masih merupakan permasalahan tersendiri untuk menilai atau mengukur apakah mampu untuk mengurangi atau mencegah timbulnya tindak pidana perikanan.

Lebih lanjut masalah itu dapat dikaitkan dengan tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, yang men-cakup:21

1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Dikatakan ada pencegahan individual atau pencegahan khusus, bilamana seorang penjahat dapat dicegah melakukan suatu kejahatan dikemudian hari apabila ia sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu membawa penderitaan baginya. Di sini pidana dianggap mempunyai daya untuk mendidik dan memperbaiki. Bentuk pencegahan yang kedua adalah pencegahan umum yang mempunyai arti bahwa penjatuhan pidana yang dilakukan oleh pengadilan dimaksudkan agar orang-orang lain tercegah untuk melakukan kejahatan. Dikaitkan dengan tujuan pemidanaan tindak pidana perikanan, bahwa dengan dipidananya pelaku agar pelaku itu sendiri tidak akan melakukan tindak pidana lagi dan calon-calon pelaku lainnya tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat.

2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan mela-lui

(20)

pemidanaan agar masyarakat terlindungi bahaya pengulangan tindak pidana. Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu.

3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan adalah untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi

(private revenge or unofficial retaliation}. Peradilan pidana merupakan pernyataan masyarakat bahwa masyarakat mengurangi hasrat yang agresif menurut cara yang dapat diterima masyarakat. Pembersihan kesalahan secara kolektif (collective cleaning of guilt) ditujukan untuk memperkuat moral masyarakat dan mengikat erat para anggotanya untuk bersama berjuang melawan para pelanggar hukum.

4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan/pengimbangan. Artinya ada kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pi-dana, dengan memperhatikan pada beberapa faktor. Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan pidana harus menyumbangkan pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general apapun.

(21)

(fundamental approach), maka fungsi hukum pidana akan oleh masyarakat dapat digunakan untuk melindungi dirinya dari perilaku yang dapat membahayakan masyarakat tersebut. Kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. Apabila pandangan fundamentalis menitikberatkan pada ancaman terhadap perasaan moral masyarakat sebagai pembenaran penggunaan sanksi pidana, maka pandangan utilitarian melihat public order sebagai sarana perlindungannya. Harus diakui bahwa dalam proses modernisasi dan perkembangan ekonomi yang semakin

22 Pandangan utilitarian ini dapat dibagi dua, yakni Utilitarisme KJasik

dan Utilitarisme Aturan. Utilitarisme Klasik dipelopori oleh David Hume, filsuf Skotlandia, kemudian dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Menurut Ben-tham, manusia menurut kodratnya di-tempatkan di bawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat: ketidakse-nangan dan kesenangan, dan pada kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Timbullah ajaran the

hedonistic calculus (felicific calculus), yang menya-takan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Sedangkan Utilitarisme Aturan menyatakan bahwa prinsip

(22)

meningkat, telah muncul perkembangan baru dalam kaitannya dengan ruang lingkup dan fungsi hukum pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana dalam hal ini digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain digunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administratif dalam pelbagai hal.

D. Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Perikanan

Membicarakan fungsi hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari perannya dalam rangka menjamin efektivitas penegakan hukum. Berbicara tentang penegakan hukum tentu saja melibatkan manusia dengan segala tingkah lakunya. Hukum tak mampu memenuhi kehendak dan tujuan yang terdapat dalam muatan hukum itu sendiri. Membahas penegakan hukum pada hakikatnya ialah berbicara mengenai penegakan ide-ide serta konsep-konsep abstrak yang terkandung dalam hukum. Dengan kata lain, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.23 Penegakan hukum adalah suatu proses

untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini adalah adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.24

23 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum. Suatu Tinjauan

Sosiologis, Si-narBaru, Bandung, 1983, hal. 15.

24 Ibid, hal. 24. Menurut Chambliss dan Seidman harus dipahami bahwa

(23)

Agar hukum benar-benar hidup dalam masyarakat ada influencing agent is based on "means-control" and, as a consequence, the influenced person conforms only under surveillance. "

2. Identification: "an acceptance of a rule not because of its intrinsic value and appeal but because of a person's desire to maintain membership in a group or relationship with the agent. The source of power is the attractiveness of the relation which the persons enjoy with the group or agent, and his conformity with the rule will be dependent upon the salience of these relationship."

3. Internalization: "the acceptance by an individual of a rule or behavior because he finds its content intrinsically rewarding ... The content is congruent with a person's values either because his values changed and adapted to the inevitable. "

4. Kepentingan-kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada.25

Dalam hukum kita diperhadapkan dengan persoalan atau keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Hukum sebagai lembaga yang saling kait mengkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat memiliki suatu segi bahwa ia harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya.

dari keadaan yang se-sungguhnya, hendaknya jangan diterima sebagai deskripsi dari kenyataan.

25 Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum Citra

(24)

Dalam dinamika yang demikian dibutuhkan kehadiran politik hukum untuk memberikan pemikiran terhadap iure constituendo (ius cons-tituendum), hukum yang seharusnya berlaku, dengan mengajukan perta-nyaan seperti; tujuan apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada, cara-cara apakah dan yang manakah yang terbaik untuk mencapai tujuan tersebut, kapankah hukum itu perlu diubah dan bagaimana seba-iknya perubahan tersebut, dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan untuk memutuskan bagaimana proses pemilihan tujuan dan cara-cara mencapai tujuan tersebut.26

Bekerjanya hukum dalam masyarakat senantiasa berupaya melakukan penyesuaian terhadap kebutuhan ma-syarakat itu sendiri, sehingga dalam proses demikian terjadi suatu dinamika yang mengarahkan pada gagasan untuk mencapai hukum yang seharusnya berlaku (ins constituen-dum).

Makna sosial diberikan kepada hukum melalui kontak-kontak dengan lingkungan sosial di mana hukum itu diterapkan. Dari pengamatan empiris, peraturan hukum yang ada tidak dapat memaksakan agar isi peraturan dijalankan secara mutlak, melainkan dalam banyak hal dikalahkan oleh struktur sosial di mana hukum itu dijalankan. Struktur

26 Satjipto Rahardjo, limit Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.

351-353. Cf. Soehardjo Sastrosoehardjo, Politik Hukum dan

Pelaksanaannya dalam Negara Republik Indonesia Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. 16, 17, menyatakan bahwa politik hukum dalam arti formal hanya terbatas pada satu tahap yaitu menuangkan kebijak-sanaan pemerintah dalam bentuk pro-duk hukum

(legislative drafting), se-dang dalam arti materiil meliputi tidak hanya

(25)

sosial menjadi faktor penentu dalam hukum dan masyarakat pun turut membentuk hukum dengan memberi makna sosial kepadanya. Harus dipahami bahwa hukum itu bukan hanya peraturan, melainkan juga perilaku (atau experience,

meminjam istilah Oliver Wendell Holmes).27

Struktur sinergis dari proses-proses dalam masyarakat sebagaimana dilukiskan oleh Parsons memperlihatkan bahwa subsistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi saling memasuki satu sama lain, sehingga dapat terjadi perbenturan kekuatan yang menimbulkan energi. Hukum sebagai subsistem sosial yang fungsinya melakukan integrasi terhadap proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat, sehingga tercapai suatu keadaan tertib tertentu. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana tempat hukum itu dalam konflik dan kerja sama antarsubsistem.28

Mengamati perkembangan sanksi pidana dalam tindak pidana perikanan, juga tidak lepas dari bagaimana per-kembangan masyarakat itu sesuai dengan subsistem budaya, sosial, politik, dan ekonominya, sehingga diperoleh suatu gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang bagaimana fenomena tindak pidana perikanan dan penyelesaiannya dari perspektif sosiologi hukum pidana. Menurut cara pandang demikian, maka hukum pidana tidak berhenti pada rumusan kaku undang-undang dan penerapannya secara ketat, melainkan juga melihat kepada bagaimana semua faktor memberikan pengaruh satu sama lain. Dari sudut ini, tidak

27 Satjipto Rahardjo, "Beberapa Pilihan Masalah," dalam Sosiologi Hukum:

Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002, hal. 108-113

(26)

sukar untuk memahami, mengapa begitu banyak pelanggaran perikanan yang tidak sampai ke pengadilan, walaupun mengandung unsur-unsur pidana.

D. Penutup

Tulisan ini tidak berupaya untuk memberikan penyelesaian secara yuridis teknis bagi tindak pidana perikanan yang diatur menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan peraturan pelaksanaannya, melainkan hanya memberikan deskripsi terhadap fenomena tindak pidana perikanan itu sendiri dan penegakan hukumnya dari segi sosiologi hukum pidana.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

———, Beberapa Aspek Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

Bertens, K., Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993

Departemen Kehakiman dan HAM RI, RUU KUHP Baru 1999/2000

Ezzat A. Fattah. From Crime Policy to Victim Policy: Reorienting the Justice System, Macmillan Press,

Houndmills, Basingstoke, Hampshire, and London, 1986

Huiberjs, Theo, Fihafat Hukum da-lam Lintasan Sejarah,

Yayasan Kan i-sius, Yogyakarta, 1982

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992

Neier, Aryeh, Crime and Punishment: A Radical Solution,

Stein and Day, Scarborough House, New York, 1978

Packer, Herbert L. The Limits of the Criminal Sanction,

Stanford University Press, Stanford, Califor-nia, 1968

Rusmana, “Pengadilan Perikanan: Mampukah Menjadi Terobosan?”, Sinar Harapan 22 Oktober 2004.

(28)

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologic, SinarBaru, Bandung, 1983

———, Ilmu Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

———, "Beberapa Pilihan Masalah, " dalam Sosiologi Hukum: Perkem-bangan, Mctode dan Pilihan Masalah, Universi'tas Muhammadiyah Surakarta, 2002

Sianturi, S.R., Hukum Pidana Khusus, diktat, Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1994

Soehardjo Sastrosoehardjo, Politik Hukum dan Pelaksanaannya dalam Negara Republik Indonesia Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1995

Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel, dapat diketahui nilai t hitung setiap variabel. 1) Pengaruh kecerdasan emosional pada mata pelajaran aqidah akhlak terhadap perilaku sopan santun

Jurnal Psikoislamika | Volume 12 Nomor 1 Tahun 2015 Halaman 13 Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kedua pendekatan yang digunakan dalam menguji alat ukur

Writing is the one of skills in English that should be mastered by student. Through writing they can express their view and thoughts that can not be

Puji syukur yang teramat dalam penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Segala, atas percikan kasih, hidayat, dan taufiq-Nya sehingga skripsi dengan judul “PENGARUH

[r]

Etika lingkungan hidup berbicara mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan

Misi penting dari inisiatif Nabi membuat Piagam Madinah adalah satu sisi Nabi berhasil menyatukan penduduk Madinah dalam perjanjian damai, sedang sisi lain menguntungkan Nabi

Maksud dari model tersebut bahwa antrian pesawat terbang yang akan mendarat di Bandara Internasional Adisutjipto-Yogyakarta mempunyai waktu kedatangan berdistribusi