• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Sapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Sapi"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Ternak Sapi

Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Kindersley (2010), sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos Spesies : Bos sp.

Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus), dan sapi Eropa (Bos taurus). Bangsa-bangsa sapi yang ada saat ini berasal dari ketiga kelompok sapi tersebut dan terdapat bangsa-bangsa sapi baru hasil persilangan antar bangsa yang merupakan bangsa ketiga sapi tersebut. Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008), ciri-ciri bangsa sapi yang berasal dari wilayah tropis yaitu memiliki gelambir, kepala panjang, dahi sempit, ujung telinga runcing, bahu pendek, garis punggung berbentuk cekung, kaki panjang, tubuh relatif kecil, dengan bobot badan 250—650 kg, tahan terhadap suhu tinggi, dan tahan terhadap caplak. Sapi yang berasal dari wilayah subtropis memiliki bentuk kepala pendek, ujung

(2)

5

telinga tumpul, garis punggung lurus, kaki pendek, bulu panjang dan kasar, tidak tahan terhadap suhu tinggi, banyak minum dan kotorannya basah, cepat dewasa kelamin, dan bentuk tubuh besar.

Sapi Peranakan Ongole (PO)

Pada tahun 1906, sapi ongole didatangkan langsung dari Madras di India ke Pulau Sumba. Selanjutnya, tahun 1916 sapi ongole yang sudah berkembang biak di sumba mulai menyebar ke tempat-tempat lain di Indonesia dengan sebutan Sumba Ongole (SO). Pada tahun 1930-an, pemerintah Hindia-Belanda dengan kebijakan di bidang pertenakan yang disebut ongolisasi mengawinsilangkan sapi SO dengan sapi Jawa, untuk memperbaiki ukuran dan bobot badan sehingga lahirlah sapi Peranakan Ongole (PO) (Murtidjo, 2012).

Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole

Sapi Peranakan Ongole memiliki bulu berwarna putih atau kelabu, bentuk kepala pendek melengkung, telinga panjang menggantung, dan perut agak besar. Pada sapi PO jantan, kadang dijumpai bercak-bercak berwarna hitam pada

(3)

6

lututnya, mata besar terang, dan dilingkari kulit berjarak sekitar 1 cm dari mata berwarna hitam. Ciri khas yang membedakan sapi PO dengan sapi-sapi lainnya adalah ponok di atas gumba, kaki panjang berurat kuat, serta ada gelambir menggelantung dari bawah kepala, leher sampai perut. Saat dewasa, jantan PO bisa mencapai bobot sekitar 600 kg dan yang betina rata-rata 450 kg. Pertambahan bobot sapi PO berkisar antara 0,4 - 0,8Kg/hari.

Sapi PO murni mulai sulit ditemukan karena telah banyak disilangkan dengan sapi brahman. Sesuai induk persilangannya, sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi pada perbedaan kondisi lingkungan, tenaga yang kuat, serta aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak.

Persilangan Sapi Ongole dengan sapi lokal Indonesia, tipe sapi pedaging dan sapi pekerja, mampu berdaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan, cepat bereproduksi, Berat badan 600 kg dengan pertambahan bobot harian 0,75 kg/ekor/hari (Murtidjo, 2012).

Sapi Simpo ( Sapi Simmental Ongole )

Sapi Simmental murni sulit ditemukan di Indonesia. Kebanyakan sapi Simmental yang ada di Indonesia merupakan sapi Simmental cross atau telah disilangkan dengan sapi lain. Salah satunya adalah hasil persilangan dengan sapi ongole yang dikenal dengan sapi Simmental Ongole (Simpo). Sapi Simpo sudah tidak memiliki gelambir dengan bulu berwarna merah bata, merah tua, hingga coklat muda.

(4)

7

Ciri khas sapi Simpo adalah adanya warna putih berbentuk segitiga diantara kedua tanduknya. Para peternak bisanya sangat menyukai sapi ini dibandingkan dengan sapi PO, karena sapi Simpo adalah sapi unggulan dimana saat memiliharanya pertumbuhan bobot harinya bisa mencapai 2kg/hari. Sapi Simpo hasil Inseminasi Buatan telah mewariskan 50% sifat dari kedua sapi ini, jika kita bandingkan sapi PO lebih tahan akan panas dibandingkan dengan sapi Simmental, sedangkan pertumbuhan bobot harian Simmental lebih tinggi dibandingkan dengan sapi Ongole (Murtidjo, 2012).

Gambar 2. Sapi Peranakan Simmental Ongole (Simpo) Sapi Limpo ( Sapi Limousin Ongole )

Persilangan sapi limousin dengan sapi ongole dikenal dengan nama sapi limousin ongole (Limpo). Sapi limpo memiliki ciri tidak berpunuk dan tidak bergelambir, serta warna bulunya hanya cokelat tua kehitaman dan cokelat muda.

Sapi Limpo merupakan sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Limousin dengan induk sapi PO, kebanyakan sapi-sapi ini merupakan hasil perkawinan IB,

(5)

8

sapi Limpo sebagai turunan sapi tipe besar sehingga secara genetic mempunyai laju pertumbuhan yang lebih besar dan lebih cepat dibanding sapi PO. Hastuti (2007) menyatakan bahwa karakteristik eksterior sapi Limpo adalah warna sekitar mata bervariasi coklat sampai hitam, moncong warna hitam dengan sebagian kecil berwarna merah.

Peternak lebih menyukai sapi jenis ini dibanding sapi lokal (sapi PO) karena berat lahir yang lebih besar, pertumbuhan lebih cepat, adaptasi baik pada lingkungan serta pakan yang sederhana, ukuran tubuh dewasa lebih besar dan penampilan yang eksotik (Anonimus, 2015).

Gambar 3. Sapi Peranakan Limousin Ongole (Limpo) Usaha ternak sapi potong di Indonesia

Salah satu faktor yang menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan daging adalah karena masih rendahnya populasi ternak sapi potong di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan masih diimpornya daging beku, bakalan atau indukan dari manca negara. Faktor penyebab lainnya adalah masih

(6)

9

rendahnya kualitas maupun kuantitas pakan ternak dan masih tingginya angka pemotongan ternak betina produktif. Sartono (2008) menyatakan bahwa semua kelemahan diatas dapat diatasi dengan berbagai cara diantaranya: 1) aspek pembibitan ternak sapi yakni dengan identifikasi plasma nutfah potensial yang prospektif untuk pengembangan ke depan dengan memperhatikan program pembibitan di daerah sumber, 2) perhatian yang intensif pada sapi utamanya sapi betina produktif.

Secara umum beberapa faktor yang mempengaruhi 8 keberhasilan usaha ternak potong adalah penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan pemberian makanan hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi persyaratan kesehatan, pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik dan pengawasan terhadap penyakit ternak (Kuswaryan dkk. 2003).

Pemeliharaan dan perawatan sapi potong yang baik harus dilakukan sebaik-baiknya agar sapi potong sehat dengan pertumbuhan yang baik. Keberhasilan pada tahap pemeliharaan diawal pemeliharaan merupakan pangkal keberhasilan pemeliharaan berikutnya. Oleh karena itu, usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda, dan sapi dewasa (finishing). Sistem pemeliharaan ternak dapat dibedakan menjadi 3 yakni sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif (Sudarmono dan Sugeng, 2008).

Secara geografis, letak astronomis Indonesia berada pada 6° LU-11°LS-95°BT- 141°BT. Indonesia memiliki dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Umumnya, suhu udara diatas 22℃ pada musim kemarau di daerah panas

(7)

10

sedangkan daerah sedang suhunya berkisar 15℃ sampai 22℃ sementara itu di daerah dingin suhunya berkisar 11℃ ke bawah (Anonimus, 2013).

Faktor iklim setempat tidak bisa dipisahkan dengan usaha pengembangan ternak sapi. Sebab iklim yang meliputi keadaan suhu, curah hujan, kelembapan, tekanan, dan gerakan udara, serta cahaya yang tidak sesuai bagi kehidupan sapi merupakan beban berat bagi hewan. Misalnya iklim yang terlalu kering menyebabkan rumput tidak bisa tumbuh subur, energi ternak terlalu banyak terbuang, kulit terbakar, dan sebagainya. Akibatnya konfersi pakannya rendah dan tidak efisien. Adanya suhu udara yang tinggi akan memperlambat metabolisme (Sudarmono dan Sugeng, 2008).

Suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum. Apabila kondisi tersebut terus berlangsung maka akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi dari sapi (Williamson and Payne, 1993).

Skor Kondisi Tubuh (SKT) Sapi Potong

Cadangan energi tubuh dapat dinilai dengan metode penilaian visual yang dikenal sebagai Body Condition Score (BCS) atau Skor Kondisi Tubuh (SKT). Skor relatif yang didapatkan dari metode BCS membantu peternak dalam memperoleh gambaran mengenai level cadangan otot dan lemak tubuh dari setiap ekor ternak sapi. Susilorini, Sawitri dan Muharlien (2007) yang disitasi oleh Budiawan dkk. (2015) mengemukakan bahwa Body Condition Score (BCS) adalah metode untuk memberi nilai kondisi tubuh ternak baik secara visual maupun dengan perabaan

(8)

11

pada timbunan lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung dan pinggul.

BCS digunakan untuk mengevaluasi manajemen pemberian pakan, menilai status kesehatan individu ternak dan membangun kondisi ternak pada waktu manajemen ternak yang rutin. BCS telah terbukti menjadi alat praktis yang penting dalam menilai kondisi tubuh ternak karena BCS adalah indikator sederhana terbaik dari cadangan lemak yang tersedia yang dapat digunakan oleh ternak dalam periode apapun.

Pendugaan Skor Kondisi Tubuh (SKT)

Menurut Santosa (2006) pendugaan kondisi tubuh ternak sapi dengan cara perabaan tulang belakang adalah berdasarkan perabaan dan penekanan daerah pinggang, yakni di bagian tulang belakang setelah rusuk terakhir dan diperkuat dengan penampakan tonjolan tulang belakang tersebut.

Tabel 1. Tampilan skor kondisi tubuh (Kellog, 2008)

Skor Kondisi Deskripsi Tampilan

1 Sangat kurus

Pangkal ekor tidak berlemak. Bagian coxae

tak berlemak. Tulang belakang terlihat jelas.

2 Kurus Pangkal ekor sedikit berlemak. Tulang belakng

(9)

12

3 Optimum Pangkal ekor berlemak. Bagian tulang belakang sampai bagian coxae

berlemak.

4 Gemuk Pangkal ekor tertutup lemak. Tulang Pelvis dan

coxae tertutup lemak.

Tulang belakang hampir tidak terlihat.

5 Sangat gemuk

Pangkal ekor sangat tertutup lemak. Tulang

pelvis tidak terlihat.

Menurut Kellog (2008) sapi dengan BCS 1 tampak tubuh sangat kurus dengan tulang hook dan pin yang sangat menonjol, thurl terlihat sangat dalam, tulang belakang tajam tanpa lemak, tulang rusuk juga terlihat sebagai tulang yang berdiri sendiri, dan pada pangkal ekor cekung dan berongga dengan vulva yang menonjol. Sapi dengan BCS 2 terlihat dengan kondisi tubuh kurus, tulang punggung yang masih mudah terlihat tapi sudah tidak terlalu menonjol sebagai tulang yang berdiri sendiri, tulang hook dan pin masih sangat menonjol dengan thurl yang sangat cekung karena tidak terdapat bentalan lemak, rusuk sudah tidak berdiri sendiri tetapi masih terdapat cekungan yang cukup dalam, pangkal ekor masih

(10)

13

berongga dan belum terisi oleh lemak tetapi lebih baik dari BCS 1. Sapi dengan BCS 3 terlihat sedang dan lebih gemuk dari sapi BCS 2, tulang belakang terlihat mulai membulat karena mulai tertutup oleh bantalan lemak. Tulang rusuk juga mulai tertutup sehingga tidak terlihat sebagai tulang yang berdiri sendiri, hook dan pin sudah tidak bersudut meski masih teraba jika dilakukan tekanan pada saat palpasi, thurl sedikit cekung tetapi lebih baik apabila dibandingkan dengan sapi BCS 1 dan BCS 2, pangkal ekor terlihat tidak terlalu cekung dan sudah terisi oleh bantalan lemak.

Sapi dengan BCS 4 terlihat gemuk dengan tulang punggung sudah tertutup oleh otot yang mencukupi dan tulang tidak terlihat sebagai tulang yang berdiri sendiri, tulang hook dan pin sudah membulat dan memiliki bantalan lemak yang jelas sehingga jika dilakukan palpasi tulang sudah tidak dapat teraba lagi, daerah pangkal ekor sudah tertutup oleh bantalan lemak sehingga sudah terlihat rata jika dibandingkan dengan BCS 3. Sapi dengan BCS 5 adalah sapi dengan kondisi tubuh sangat gemuk, sapi ini terlihat dengan keadaan tulang belakang dan tulang rusuk tidak terlihat karena sudah penuh tertutup oleh bantalan lemak dan tulang rusuk sudah tertutup penuh oleh otot, thurl sudah datar tanpa membentuk cekungan, hook dan pin berisi timbunan lemak sehingga apabila dilakukan palpasi pada kedua tulang tersebut sudah tidak dapat teraba. Pangkal ekor terisi penuh oleh lemak sehingga tampak menonjol (Kellog, 2008).

Diagram sistem BCS menggunakan angka skala 1 sampai 5 (1= sangat kurus, 2= kurus, 3= sedang, 4= gemuk, 5= sangat gemuk), dengan nilai 0,25 atau 0,50 angka diantara selang itu. Penilaian BCS berdasarkan pada pendugaan baik

(11)

14

secara visual maupun dengan perabaan terhadap 8 bagian tubuh ternak. Bagian tubuh tersebut antara lain pada bagian processus spinosus, processus spinosus ke

processus transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks), antara tuber coxae dan

tuber ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri, pangkal ekor tuber 6

ischiadicus (Edmonson dkk. 1989). Penilaian titik orientasi BCS sapi disajikan

dalam Gambar 4.

Gambar 4. Penilaian skor kondisi tubuh (Edmonson dkk. 1989) Reproduksi Ternak Sapi

Body Condition Score memiliki hubungan dengan reproduksi ternak,

seperti kesuburan, kebuntingan, proses kelahiran, laktasi, semua akan mempengaruhi sistem reproduksi. Berbagai kelompok hewan bentuk tubuh (ukuran), usia, jenis kelamin dan keturunan juga akan memiliki pengaruh yang kuat pada sistem reproduksi, apabila ternak mempunyai bobot badan yang melebihi bobot badan ideal, ternak tersebut akan mengalami gangguan reproduksi dan

(12)

15

penyakit metabolisme, sebaliknya apabila ternak memiliki bobot badan kurang dari ideal akan berdampak pada sistem reproduksi (Budiawan dkk. 2015).

Tabel 2. Karakteristik reproduksi sapi potong (Ismaya, 2014) Reproduksi Sapi Potong

Parameter Karakteristik

Umur pubertas (bulan) 18 (12-30)

Siklus estrus (hari) 15 (10-24)

Lama estrus (jam) 21 (14-29)

Tipe ovulasi Polyestrous

Waktu ovulasi (jam) 30 (18-48)

Jumlah telur diovulasikan 1

Korpus luteum bertahan (hari) 16

Lama hidup ovum (jam) 20-24

Lama bunting (hari) 280 (278-293)

Umur beranak pertama (bulan) 30 (24-36) Masa involusi uterus (hari) 45 (32-50) Estrus sesudah beranak (hari) 30 (10-110)

Jarak beranak (bulan) 13 (12-14)

Siklus Birahi (Estrus)

Lama siklus estrus pada sapi sekitar 21 hari (Hunter, 1995). Siklus estrus dapat dibagi menjadi rangkaian tahapan yang khas. Tahap-tahap ini mencerminkan apa yang terjadi pada ovari pada saat folikel berkembang, matang, robek, dan kemudian digantikan oleh korpus luteum. Tahap-tahap siklus estrus pada hewan betina yang bersiklus dan tidak bunting meliputi empat tahap: proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Arman, 2014).

Proestrus adalah periode perkembangan folikel pada ovari. Selama tahap ini, folikel mulai berkembang dan tumbuh. Ketika ukuran folikel meningkat, produk yang dihasilkannya berupa estrogen juga meningkat kira-kira pada hari ke-18 sampai ke-20 dari siklus estrus, sehingga menimbulkan banyak

(13)

perubahan-16

perubahan fisik dalam upaya mempersiapkan saluran reproduksi lainnya untuk ovulasi dan perkawinan (Arman, 2014).

Estrus adalah periode birahi atau periode penerimaan seksual pada betina. Ini terjadi ketika kadar estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel yang matang mencapai puncaknya. Kadar estrogen yang tinggi ini menyebabkan perubahan-perubahan fisik dan perilaku, pertanda bahwa hewan betina ingin dan siap dikawini oleh hewan jantan (Arman, 2014). Menurut Feradis (2010) berahi pada sapi betina ditandai dengan gelisah, sering berteriak, suka menaiki dan dinaiki sesamanya, vulva bengkak, berwarna merah, bila diraba terasa hangat (3A: Abang, Abuh,

Anget), dari vulva keluar lendir yang bening dan tidak berwarna, dan nafsu makan

berkurang. Lama estrus pada sapi 12-18 jam, waktu ovulasi 12-15 jam sesudah akhir estrus, dan anjuran untuk dikawinkan 4-8 jam sebelum akhir estrus (Arman 2014).

Metestrus adalah periode sesudah ovulasi ketika korpus luteum berkembang dan mulai menghasilkan progesteron, kira-kira hari kedua sampai kelima pada sapi (Arman, 2014). Setelah kawin, saluran reproduksi secara khusus dipersiapkan di bawah pengaruh progesteron ovarium, agar dapat memberi makan dan menunjang embrio yang sedang berkembang. Sel-sel granulosa yang tertinggal dalam folikel yang kini kosong mulai memperbanyak diri di bawah rangsangan terus menerus LH. Sel-sel tersebut dengan segera menghasilkan struktur yang padat, korpus luteum (badan kuning) yang ukurannya kira-kira sebesar folikel matang terdahulu (Arman, 2014).

(14)

17

Diestrus adalah tahap ketika korpus luteum telah mencapai ukuran maksimum dan sangat aktif memproduksi progesteron. Jika hewan kawin dan berhasil bunting maka estrus berikutnya dihambat, dan korpus luteum menerima sinyal endokrin dari embrio yang sedang berkembang agar terus mempertahankan keberadaanya dengan baik selama kebuntingan (Arman, 2014).

Deteksi Berahi

Untuk mengetahui gejala-gejala berahi ternak betina sapi potong, peternak harus melakukan deteksi berahi dua sampai tiga kali sehari, yaitu pada pagi, siang, dan sore hari, selam 30 sampai 60 menit tergantung jumlah ternak yang dipelihara. Bila deteksi berahi dilakukan 2, 3, dan 4 kali sehari, maka tingkat ketelitian dengan deteksi 3 dan 4 kali sehari meningkat 10% dan 20% dibanding bila deteksi berahi hanya dilakukan 2 kali sehari (Ismaya, 2014). Menurut Feradis (2010) keadaan yang panas selama siang hari cenderung menekan tanda-tanda berahi, hasil yang baik didapatkan apabila sapi betina diamati pada udara yang sejuk, sepanjang pagi atau malam.

Masalah Reproduksi Sapi Potong Berahi Tanpa Ovulasi atau Berahi Tenang

Pemisahan antara berahi perilaku dan terjadinya proses ovulasi mungkin terjadi dalam keadaan tertentu, yang mengakibatkan terjadinya berahi tanpa ovulasi atau sebaliknya berahi “diam”. Ambang yang berbeda dari umpan balik estrogen yang berasal dari folikel graff yang menjadi masak tampaknya diperlukan untuk memicu perilaku berahi di satu pihak dan pelonjakan praovulasi dari gonadotrofin di lain pihak. Masalah berahi diam lebih umum terjadi dan dirujuk dalam bagian

(15)

18

mengenai anestrus musiman. Tidak adanya pengaruh progesteron dari korpus luteum yang beregresi pada pusat perilaku di hipotalamus sebagian dapat menjelaskan kegagalan menunjukkan tanda berahi (Hunter, 1995).

Kawin Berulang

Kawin berulang adalah induk hewan yang mempunyai siklus birahi yang normal dan gejala birahi yang jelas, tetapi bila dikawinkan dengan pejantan yang subur atau di inseminasi buatan dengan air mani yang bermutu tinggi berulang-ulang, tidak pernah menjadi bunting. Kondisi tubuh induk normal dan kesehatannya juga baik tanpa gejala klinis penyakit yang terlihat. Induk yang demikian digolongkan menderita gangguan reproduksi karena mengakibatkan penurunan efisiensi reproduksi dan merugikan pemilik ternak.

Hunter (1995) melaporkan bahwa sapi yang menderita kawin berulang, kebuntingan hanya mencapai 26,4% pada sapi dara dan 22,2% pada sapi induk. Menurut peneliti ini, kegagalan bunting dapat disebabkan oleh kelainan alat kelamin. Pada sapi dara kelainan itu mencapai 13,5% dan pada sapi induk mencapai 39,5%. Sementara itu, sapi yang menderita kawin berulang, angka pembuahan bervariasi antara 50-72%. Kawin berulang dapat terjadi pada ternak betina yang masih dara atau induk yang sudah beberapa kali melahirkan. Kawin berulang juga dapat terjadi pada hewan betina yang mempunyai alat kelamin yang normal atau alat kelamin yang tidak normal (Hardjopranjoto, 1995).

Hipofungsi Ovarium

Terjadinya penurunan kadar FSH dan LH di dalam darah, mengakibatkan tidak bekembangnya folikel pada ovarium. Penurunan kadar LH saja, tanpa diikuti

(16)

19

oleh penurunan kadar FSH dalam darah dapat diikuti oleh pertumbuhan folikel yang tidak sempurna dan cenderung berubah menjadi kista. Ovarium yang pada permukaannya terdapat kista disebut kista ovarium. Kadar hormon FSH dan LH yang rendah dalam darah menyebabkan terjadinya hipofungsi ovarium, yaitu ovarium yang permukaannya licin karena tidak terjadinya pertumbuhan folikel dan korpus luteum, walaupun besarnya tidak berubah (artinya ovarium ukurannya normal). Kasus hipofungsi ovarium mencapai 48,5% dari seluruh kasus gangguan reproduksi yang ada di Indonesia (Hardjopranjoto, 1995).

Inseminasi Buatan (IB)

Inseminasi Buatan (IB) adalah usaha manusia memasukan sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan menggunakan peralatan khusus. IB berbeda dengan kawin alam dalam pengertian bahwa ejakulasi semen pejentan tidak didepositkan langsung dalam vagina betina, tetapi ke dalam vagina buatan. Semen diproses dan dikemas dalam bentuk straw serta pada akhirnya dimasukan ke sejumlah betina. Setelah semen masuk ke saluran reproduksi betina, proses biologis, perkembangan embrio, dan kelahiran ternak sama seperti pada kawin alam (Feradis, 2010).

Tujuan IB dikemukakan oleh Feradis (2010) yaitu: 1) memperbaiki mutu ternak; 2) meningkatkan angka kelahiran pada ternak; 3) mengurangi biaya untuk perkawinan sapi; 4) mencegah terjadinya serta tersebarluasnya penyakit kemajiran. Dibandingkan dengan kawin alam, IB memiliki keuntungan dalam hal penggunaan pejantan unggul, menghemat tenaga, menghemat biaya, mencegah penyakit menular, dan memperpendek calving interval (Toelihere, 1993).

(17)

20

Pada waktu diinseminasi, ternak harus dalam keadaan berahi, karena pada saat itu liang leher rahim (cervix) pada posisi terbuka. Sapi betina yang sudah birahi biasanya akan diam apabila dinaiki oleh betina yang lain (standing heat). Menandakan bahwa sapi betina tersebut sudah siap untuk dikawinkan. Pada umumnya waktu IB yang baik adalah 16-20 jam setelah standing heat dimulai, untuk itu diperlukan pengalaman dalam menentukan waktu standing heat dimulai. Berikut adalah tabel patokan pelaksanaan IB menurut Feradis (2010).

Tabel 3. Patokan pelaksanaan IB Pertama kali terlihat

tanda-tanda birahi Harus diinseminasi pada Terlambat Pagi Hari yang sama Hari berikutnya Sore Hari berikutnya (pagi dan

paling lambat siang hari)

Sesudah jam 15.00 besoknya

Penilaian Hasil Inseminasi Buatan (IB)

Keberhasilan usaha perkembangbiakan sangat terkait dengan tingkat produktifitas dan reproduksi. Banyak faktor yang mempengaruhi reproduksi diantaranya adalah angka kawin per kebuntingan atau Service per Conception (S/C), jarak beranak atau Calving Interval (CI) dan penilaian kondisi tubuh atau

Body Condition Score (BCS) (Budiono dkk. 2015).

Mempertahankan tingkatan fertilitas yang tinggi adalah dasar dan tujuan setiap program peternakan, kapan dan dimanapun. Makin banyak hewan betina yang kawin berulang (repeat breeders) akan sangat merugikan bagi pelaksana IB dan terutama bagi peternak. Ukuran yang pasti mengenai keberhasilan inseminasi hanyalah kelahiran anak yang sehat. Akan tetapi untuk menunggu sampai terjadinya kelahiran akan memakan waktu yang cukup lama. Untuk memperoleh informasi

(18)

21

secepat mungkin perlu digunakan teknik-teknik penentuan fertilitas yang walaupun kurang sempurna, tetapi telah terbukti dapat memberi gambaran umum untuk penilaian pelaksanaan IB (Feradis, 2010).

Angka perkawinan (Service/Conception)

Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) adalah untuk membandingkan efisiensi reletif dari proses reproduksi di antara individu-individu sapi betina yang subur, sering dipakai penilaian atau penghitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi (Feradis, 2010). Menurut Ismaya (2014) angka perkawinan (service per conception, S/C), yaitu jumlah perkawinan yang diperlukan oleh seluruh induk dibagi dengan jumlah induk yang bunting. Angka perkawinan sebaiknya 1 sampai 2. Kalau sudah 3 atau lebih, induk harus diperiksa kesehatan reproduksinya.

Persentase kelahiran dari 1 kali IB (Calving Rate)

Calving Rate (CR) adalah persentase jumlah anak yang lahir dari hasil satu

kali inseminasi. Nilai reproduksi yang mutlak dari seekor betina baru dapat ditentukan setelah kelahiran anaknya yang hidup dan normal kemudian dibuat analisa inseminasi-inseminasi berturut-turut yang menghasilkan kelahiran dalam satu populasi ternak.

Dalam populasi besar dari sapi betina fertil dan diinseminasi dengan semen yang fertil pula maka calving rate dapat mencapai 62% untuk satu kali inseminasi, bertambah 20% dengan dua kali inseminasi, dan seterusnya. Besarnya nilai calving rate tergantung pada efisiensi kerja inseminator, kesuburan jantan, kesuburan betina

(19)

22

waktu inseminasi dan kesangupan menerima anak dalam kandungan sampai lahir (Feradis, 2010).

Jarak beranak (Calving Interval)

Jarak beranak (calving interval, CI), yaitu lama waktu yang diperlukan dari sejumlah induk sejak beranak pertama hingga beranak berikutnya dibagi jumlah induk. Pada sapi jarak beranak diharapkan 12 bulan, jadi seharusnya didapatkan satu anak/satu induk sapi/tahun (one calf per cow per year). Ada dua komponen yang mempengaruhi jarak beranak: (1) waktu kosong (days open), yaitu periode waktu sejak induk beranak sampai terjadi kebuntingan lagi, sekitar 85-105 hari sejak beranak, 80-85 hari (Peters dan Ball, 1995), dan (2) lama waktu bunting

(gestration period), yaitu waktu yang diperlukan sejak terjadi fertilisasi (bunting)

sampai induk melahirkan, biasanya diperlukan waktu 270-290 hari atau rata-rata 280 hari, 280-285 hari (Peter dan Ball, 1995). Oleh karena itu, untuk membuat jarak beranak maksimal 12 bulan, jika lama bunting 9 bulan 10 hari (280 hari), maka maksimal 85 hari sejak beranak induk harus sudah bunting lagi (Ismaya, 2014).

Pengaruh SKT terhadap Kinerja Reproduksi pada Keberhasilan IB Dikemukakan oleh Budiawan dkk. (2015) bahwa Body Codition Score

(BCS) / Skor Kondisi Tubuh (SKT) memiliki hubungan dengan reproduksi ternak,

seperti kesuburan, kebuntingan, proses kelahiran, laktasi, semua akan mempengaruhi sistem reproduksi. Berbagai kelompok hewan bentuk tubuh (ukuran), usia, jenis kelamin, dan keturunan juga akan memiliki pengaruh yang kuat pada sistem reproduksi, apabila ternak memiliki bobot badan yang melebihi bobot badan ideal, ternak tersebut akan mengalami gangguan reproduksi dan penyakit

(20)

23

metabolisme, sebaliknya apabila ternak memiliki bobot badan kurang dari ideal akan berdampak pada sistem reproduksi.

Putro (2005) yang disitasi oleh Santosa dkk. (2012) menyatakan bahwa performan reproduksi sapi dipengaruhi oleh skor kondisi badan, berat badan, serta perubahan-perubahan berat badan. Penurunan berat badan akan diikuti dengan gejala anestrus. Pulihnya kembali siklus estrus pasca beranak ada hubungannya dengan perubahan berat badan pada akhir kebuntingan dan kondisi badan saat melahirkan. Sapi dengan kondisi badan bagus (sekitar 3,00) akan kembali estrus dalam waktu minimal, kurang dari skor itu akan membutuhkan waktu pulihnya siklus lebuh lama. Skor kondisi tubuh terlalu rendah (< 2,00) cenderung akan menimbulkan keadaan yang menyebabkan hipofungsi ovaria, dimana ovaria akan mengecil, permukaan halus (tanpa folikel / corpus luteum) serta uterus tidak bertonus dengan konsistensi lembek.

Dikemukakan oleh Jamaludin dkk. (2016) bahwa Body Condition Score (BCS) dapat digunakan sebagai penduga angka kebuntingan (Conception Rate) dimana hasil penelitian menunjukan bahwa kenaikan 1 nilai BCS akan diikuti peningkatan angka kebuntingan sebesar 4,623%. Hal itu terjadi karena nilai BCS memegang peranan penting dalam pendeteksian birahi. Nilai BCS yang ideal untuk keberhasilan IB yaitu 3 dan 4. Sedangkan nilai BCS yang kurang baik saat melakukan IB adalah nilai 1,2 dan 5. Dengan melihat Skor Kondisi maka dapat diketahui baik buruknya manajemen pemeliharaan yang telah dilakukan peternak. BCS yang terlalu rendah atau terlalu gemuk dapat mempengaruhi pendeteksian birahi pada sapi potong.

Gambar

Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole
Gambar 2. Sapi Peranakan Simmental Ongole (Simpo)  Sapi Limpo ( Sapi Limousin Ongole )
Gambar 3. Sapi Peranakan Limousin Ongole (Limpo)
Tabel 1. Tampilan skor kondisi tubuh (Kellog, 2008)
+3

Referensi

Dokumen terkait

TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RUAS JALAN KRASAK – PRINGAPUS)..

Kendala dalam Model Pengembangan Modal Sosial melalui Peran dan Partisipasi POT ( Paguyupan Orang Tua) untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan di SDI

Oleh sebab itu kebiasaan yang dibawanya sejak kecil, nilai yang dianut, sikap bawaan seseorang sangat mempengaruhi motivasinya; (b) Tingkat Pendidikan; guru yang

PERBANDINGAN KANDUNGAN ASAM SINAMAT DAN ASAM BENZOAT DALAM KEMENYAN (Styrax benzoin) KUALITAS I, III DAN V YANG DIPEROLEH DARI DAERAH TAPANULI UTARA DENGAN METODE..

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh rotasi pekerjaan terhadap kinerja pegawai pada 4 obyek perusahaan impor yang diteliti dan pengaruh

Pengurai, perombak, atau “decomposer”, yaitu organisme heterotrofik yang menguraikan bahan organic yang berasal dari organisme mati (bahan organisme kompleks),

Berdasarkan pengolahan data statistik, ekstrak daun salam yang memiliki kadar flavonoid tertinggi dan nilai IC 50 terendah adalah kondisi ekstraksi sonikasi

LAPORAN WISUDA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ANDALAS PERIODE 4 TAHUN 20151. Laporan Data Peserta Wisuda