• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencabutan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Untuk Kepentingan Umum. Artikel Dalam Mata Kuliah Hukum Agraria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pencabutan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat Untuk Kepentingan Umum. Artikel Dalam Mata Kuliah Hukum Agraria"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pencabutan Tanah Ulayat Masyarakat

Hukum Adat Untuk Kepentingan Umum

Artikel Dalam Mata Kuliah Hukum Agraria

Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

(2)

2

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah Negara hukum ,amanat konstitusi Undang Undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 tahun 1945 pasal 1 ayat 3 yaitu Negara Indonesia adah Negara hukum. Konsekuensi dari bentuk Negara hukum ini bahwa dalam segala bentuk tindakan pemerintahan haruslah berdasar atas hukum termasuk dalam memberikan hak dan mencabut hak masyarakatnya, hak ulayat adalah suatu kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adattersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ini lazim di miliki oleh masyarakat adat di indoensia sebagai konsekuensi konstritusi Undang undang dasar republik indoensia tahun 1945 pasal 18 b yang mengakui kesatuan masyarakat hukum adat.

Penghapusan hak ulayat bagi masyarakat hukum adat menjadi suatu hal yang harus di kaji secara mendalam karena berhubungan dengan persatuan bangsa indoensia secara umum. Latar belakang masyarakat yang berbeda beda tentu akan menimbulkan polemic dari penjabutan hak ini. Pengaturan perundang undangan yang ada dirasa harus sejalan dengan kebutuhan masyarakat termasuk masyarakat hukum adat. Penghapusan hak ulayat ini menjadi suatu pertentangan dalam masyarakat, di salah satu sisi menyatakan bahwa penghapusan hak ulayat ini adalah hak pemerintah guna kepentingan yang lebih luas dan di sisi lain ada yang berpendapat bahwa penghapusan hak ulayat adalah kemunduran dari sisi penghormatan Negara terhadap masyarakat adat. lalu berdasarkan pancasila dan konstitusi Undang undang dasar Negara Indoensia 1945 serta tinjauan peraturan lainnya sebenarnya seperti apa mekanisme penghapusan hak ulayat.

(3)

3

Rumusan masalah

1. Bagaimana sebenarnya penerapan penghapusan hak atas tanah di indonesia?

2. Seperti apa perundang undangan memandang penghapusan hak ulayat ?

3. Apakah mungkin penghapusan hak ulayat di lakukan dalam masyarakat hukum adat ?

II . TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Pengertian Hak Ulayat

Menurut UU No 21 Tahun 2001, Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Boedi Harsono, Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya, yang sebagai telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidup dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa. Sebagaimana telah kita ketahui, wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata. yaitu yang berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya. Hak Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak ada tanah sebagai “res nullius’’. Umumnya, batas wilayah Hak Ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti.

Selanjutnya Maria S. W. Soemardjono mengatakan, hak ulayat menunjukan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subyek hak) dan tanah atau wilayah tertentu (obyek hak). Hak ulayat tersebut berisi wewenang untuk:

A. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk permukiman, bercocok

tanam, dan lain-lain), persediaan (pembuatan permukimanTahun persawahan baru dan lain-lain), dan pemeliharaan tanah;

B. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan

(4)

4

C. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan

perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual-beli, warisan, dan lain-lain).

Secara umum, hak atas tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indoensia dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu: "hak ulayat" dan "hak pakai". Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai. Sebidang tanah bagi kepentingannya biasanya terhadap tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama1

Sementara Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu: hak persekutuan atau pertuanan, hak perorangan, dan hak memungut hasil tanah. Perbedaannya adalah sebagai berikut:2

1. Hak persekutuan atau hak pertuanan mempunyai akibat ke luar dan ke dalam. Akibat ke dalam antara lain memperbolehkan anggota persekutuan (etnik, sub etnik, atau fam) untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di atasnya, misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun menggembalakan ternak. Izin hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Akibat keluar ialah larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie), serta larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orangorang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.

1

Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), Hlm. 16

2 Merza Gamal, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan Kesejahteraan Berkeseimbangan dan

(5)

5

2. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat (inland bezitrecht), dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan.

3. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) dan hak menarik hasil. Tanah ini secara prinsip adalah milik komunal kesatuan etnik, namun setiap orang dapat memungut hasil atau mengambil apapun yang dihasilkan tanaman di atas tanah tersebut.

II.2. Fungsi tanah ulayat

Adapun fungsi dari hak ulayat dapat dibedakan menjadi dua garis besar, yaitu : a. Persona

b. Publik

Persona adalah hak ulayat yang dimaksud sebagai hak tanah komunal itu berfungsi untuk memberinya manfaat dari tanah, hutan, air, dan isinya kepada individu yang tergabung kedalam hak ulayat tersebut. Ia dapat mengelola tanah itu, menjadikannya sebagai mata pencarian (Berkebun atau bertani).

Publik adalah hak ulayat yang dimaksudkan sebagai hak atas tanah komunal yang berfungsi sebagai pengendali sosial, keakraban, serta kekeluargaan. Maksudnya, mereka yang tergabung kedalam hak ulayat tentu akan berinteraksi antar sesama anggota, interaksi tersebut tentu didasari pada hukum adat yang tidak tertulis, selanjutnya, mereka akan senantiasa berpikir dan bertindak sesuai dengan peraturan yang mengikat antar anggota tersebut.

Adapun contoh dari hak ulayat adalah keberadaan hak ulayat di kabupaten Simalungun. Merujuk kepada tesis yang ditulis oleh Rosnidar Sembiring, mahasiswa ilmu hukum pasca-sarjana Universitas Sumatera Utara, didalam tesis itu menceritakan tentang eksistensi hak ulayat –yang dibuktikan dengan adanya obyek hak ulayat seperti; Juma na bolak sawah na bolak di kecamatan Purba.

(6)

6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pencabutan Hak Atas Tanah

Pencabutan tanah bukan hal baru yang tiba-tiba muncul dalam Perpres No. 36/2005. Praktek ini sudah lama dikenal, bahkan mendapatkan payung hukum dalam konstitusi. Pasal 26 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), dan Pasal 27 UUD Sementara 1950 memuat kemungkinan pencabutan hak milik atas tanah demi kepentingan umum. Syaratnya: harus ada ganti rugi yang layak, dan pencabutan itu dilakukan atas dasar ketentuan undang-undang. Untuk melegitimasi kewenangan pencabutan hak atas tanah itu, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 20 Tahun 1961. Isinya mengatur tentang Pencabutan Hak Tanah oleh Pemerintah untuk Kepentingan Umum. Perbedaannya, peraturan ini memperlihatkan langkah hati-hati dari pemerintah. Terbukti, sebagaimana dikutip Kalo dari pakar hukum pertanahan Prof. AP Parlindungan(almarhum)bahwa sejak diundangkan hingga tahun 1995, undang-undang No. 20 Tahun 1961 tidak pernah in action, dalam arti belum pernah dipergunakan untuk pencabutan hak atas tanah.3

Meskipun demikian, keberadaan pijakan hukum bukan berarti menyelesaikan masalah dalam pembebasan tanah. Keberadaan peraturan demi peraturan di bidang pertanahan tidak menjamin perlindungan bagi rakyat dari kesewenang-wenangan aparat pemerintah yang selalu membawa jargon "pembangunan dan kepentingan umum".

Dalam praktik pembebasan tanah, perangkat hukum pertanahan cenderung diterapkan secara silogisme dengan logika deduktif semata tanpa mempertimbangkan pengaruh faktor dan proses sosial yang ada. Ini merupakan akibat pengaruh aliran positivisme dalam sistem hukum Indonesia. Kaedah hukum yang dibuat penguasa lewat undangundang harus ditaati masyarakat tanpa memperhitungkan apakah kaedah itu benar dan adil, atau malah sebaliknya. Dalam proses pembebasan dan pencabutan hak atas tanah, para pihak memang berusaha mencari jalan tengah. Sikap serupa akan ditunjukkan pemerintah dalam kasus pembebasan lahan oleh swasta. Tetapi kalau jalan tengah tak tercapai, sengketa warga dengan pengembang terus berlanjut, pemerintah cenderung selalu memihak swasta dibanding kepentingan

3 S. Kalo, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press,

(7)

7

masyarakat. "Tidak jarang dilakukan dengan unsur-unsur paksaan agar warga masyarakat terpaksa meninggalkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak layak".Sementara, perkara pertanahan yang berujung ke pengadilan tidak membawa hasil baik bagi rakyat kecil. Di mana, hakim cenderung mementingkan "fakta atau peristiwa" ketimbang "hukumnya".

B. Pandangan undang undang mengenai hak ulayat dan pencabutannya

Negara indonesia mengakui segala hak dan keberadaan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang di tegaskan dalam pasal 18 B yang berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur damam undang-undang dengan di akuinya masyarakat hukum adat ini maka juga di akui salah satu hak mereka yaitu salah satunya hak ulayat, yang dalam Peraturan menteri Agraria dan kepala pertanahan nasional Nomor 5 tahun 1999 dinyatakan bahwa

“Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adattersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.

Bahwa menurut Prof Maria Sumardjono dalam bahasa sederhananya untuk melihat kriteria penentu diakui dan dihormatinya masyarakat hukum adat dan identitas serta hak-halnya adalah dari4:

1. adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat;

2. adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang hidup) yang merupakan objek hak ulayat;

4

(8)

8

3. adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakantindakan

tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alamlain serta perbuatan-perbuatan hukum;

Dalam hal ini hak ulayat dapat berdiri dalam suatu bidang tanah yang dimana tanah itu dinamakan tanah ulayat, tanah ulayat dapat berbentuk tanah ulayat yang bersifat ekonomis dan tanah ulayat yang bersifat penggunaan komunal atau kebudayaan. Berdasarkan Putusan MKNomor 35/PUU-X/2012 P Bahwa yang menjadi objek dari hak masyarakat hukum adat adalah hak atas wilayah adatnya (hak ulayat) yang meliputi air, tumbuh-tumbuhan (pepohonan), dan binatang, bebatuan yang memiliki nilai ekonomis (di dalam tanah), bahan galian, dan juga sepanjang pesisir pantai, juga di atas

permukaan air, di dalam air, maupun bagian tanah yang berada dialamnya Kekuasaan atas tanah ulayat ini sepenuhnya adalah kekuasaan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam hal bahwa timbulnya keuntungan dan kerugian terhadap tanah ulayat ini adalah milik masyarakat hukum adat tersebut. Lalu bagaimana dengan jika suatu ketika di atas tanah ulayat ini pemerintah ingin mendirikan suatu yang sifatnya untuk kepentingan umum.

Dalam pasal 5 undang undang pokok agrarian di sebutkan bahwa Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini, konsekuensinya bahwa sesungguhnya setiap hal mengenai tanah dan pertanahan termsuk tanah ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara. Kepentingan umum selanjutnya dapat di lihat pada Pasal 1 ayat 6 undang undang 2 tahun 2012 yaitu bahwa Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka landas yuridis dari pencabutan hak ulayat atas sebidang tanah harus menggunakan alasan ini.

Mekanisme penggantian dari pada tanah ulayat ini sebenernya juga telah di akomodir dalam uu nomer 2 tahun 2012 tentang engadaan tanah untuk kepentingan umum, karena dalam

(9)

9

penjelasan umum Undang undang ini di cantumkan bahwa Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Tanah pengganti yaitu tanah dengan luasan yang sama dengan tanah yang dipergunakan, selanjutnya pemukiman kembali adalah tentang jika tanah tersebut adalah tanah pemukiman pemerintah berkewajiban untuk merelokasi pemukiman tersebut ke wilayah lain dengan fasilitas yang sama, atau dengan penggantian yang disetujui oleh masyarakat hukum adat dan pemerintah. Fungsi tanah ulayat secara umum di bagi atas dua yaitu fungsisnya ke dalam dan fungsinya ke luar, fungsi ke dalam di maksudkan untuk komunitas hukum adat tersebut, sedangkan untuk fungsi ke luar adalah untuk masyarakat secara luas, maka fungsi ke luar ini lah yang enjadi salah satu landasan dasar dari dapat di cabutnya hak atas tanah ulayat dari masyarakat hukum adat.

Sebenarnya pencabutan hak ulayat atas tanah ulayat ini juga sejalan secara konstitusional dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dijalaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar keakmuran rakyat.” Dengan tegas pasal ini mengatur bahwa segala bumi dan air serta SDA harus di pergunakan untuk sebesar besarnya kepentingan rakyat. Maka jika suatu masyarakat hukum adat tidak memberikan tanah ulayatnya untuk pembangunan yang bersifat umum maka secara tidak langsung ia telah melawan kostitusi. Sejalan dengan UUD 1945 Peneliti Masalah-masalah Tanah Hak Ulayat Bismark Sanusi menyatakan tak dapat dibenarkan, jika di masa kini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-akan ia terlepas dari hubungannya dengan masyarakat hukum dan daerah lainnya di lingkungan negara kesatuan. "Sikap demikian dalam

prakteknya menghambat usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya.

Korelasi yang tidak dapat terpisah dari kesatuan masyarakat hukum adat dengan masyarakat secara umum ini lah yang juga menjadi suatu dasar dari pencabutan hak ulayat atas suatu tanah.

Salah satu contoh pencabutan hak ulayat masyarakat adat terhadap tanah ulayatnya di sampaikan oleh I Dewa gede putra joni dharmawan K., S.H dalam tesisnya5 mengambi contoh kasus di provinsi bali yaitu di kecamatan dawan kabupaten klungkung provinsi bali tentang Kasus Pembuatan Jalan By Pass Tohpati-Kusamba yang mengakibatkan digusurnya

5I Dewa gede putra joni dharmawan, hak ulayat masyarakat adat Studi Kasus Pembuatan Jalan By Pass

(10)

10

tanah ulay milik warga yang dalam hal ini adalah pura, masyarakat adat di sana dalam menyerahkan tanah ulayatnya tidak keberatan dan tidak menterjadi suatu masalh, dan sampai pada akhirnya pemberian ganti rugi juga tidak menimbulkan polemik di dalam masyarakat, hal ini disebabkan karena tanah yang dilepaskan adalah tanah milik Pura atau masyarakat adat

keseluruhan dan menurut mereka pertanggung jawabannya ada kepada yang diatas (Ida Sang

Hyang Widi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa). Jadi masyarakat tidak mempersoalkan terlalu panjang selama diberi lahan pengganti. Kasus ini jelas memberikan suatu contoh keberhasilan dan penerapan dari undang undang 2 tahun 2012 tentang pembebasn lahan untuk kepentingan umum.

C. Hubungan tanah ulayat dan masyarakat adat dan pencabutannya

Dalam pengertian hak ulayat jelas di katakana bahwa hak ini timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Suatu syarat dari di akuinya suatu hak ulayat adalah adanya hubungan lahiriyah dan batiniah antar tanah tersebut dan dengan masyarakat adat itu. Jika kita tinjau dari sini makan pengaturan dalam undang undang 2 tahun 2012 tentang pembebasn lahan untuk kepentingan umum tentang mekanisme pencabutan hak ulayat serta mekanisme penggantiannya adalah tidak tepat, karena hanya memikirkan penggantian yang sifatnya lahiriyah yaitu dengan tanah pengganti dan pemukiman pengganti, tetapi melupakan keterkaitan secara Batiniah.

Hubungan batiniah masyarakat ini tidaklah dapat di putus bagaimana pun caranya. Nilai hubungan batiniah ini berkaitan dengan kaitan masyarakat itu dengan nilai historis tempat yang bersangkutan, contohnya pada masyarakat hukum adat badui dan hak ulayatnya yang di pertegas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, masyarakat adat baduy ini percaya bahwa tanah ulayat yang merak tinggali adalah tanah yang dimana manusia pertama dalam hal ini mereka meyakini nabi adam menginjakan kakinya pertama di bumi. Dalam hal ini dapat di bayangkan keterikatan batin ini tidak lah mungkin bias sekalipun di gantikan adalah sutu hal yang mustahil jika harus mengulang suatu kejadian masa lalu, terlebih suatu kejadian itu bersifat magis, perlu di ingat masyarakat hukum adat ini memiliki bentuk masyarakat yang bersifat magis relegius, bukan manusia modern seperti kebanyakan masyarakat di perkotaan.

(11)

11

Kembali dalam substansi mendasar dari hak ulayat, bahwa tidak lah mungkin suatu hukum dapat menghapuskan hak ulayat dari masyarakat adat ini jika di korelasikan dengan hubungan yang bersifat magis religious tadi.

Selain hubungan antar masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya tadi yang bersifat magis religious kita juga harus mempertimbangkan aspek yang sifatnya social kebudayaan, sutu tanah ulayat yang notabennya adalah tanah yang telah di turun temurunkan memiliki kemungkinan besar untuk menyimpan benda yang bersifat kebudayaan masa lampau, mana mungkin kita dapat menggadikan sebuah kebudayaan dan kebesaran abngsa di masa lalu jika untuk suatu yang di sebut kepetingan umum, lalu di mana kepetingan kita sebagi penurus kebudayaan bangsa kita. Sebuah tanah ulayat yang ingin di bangun sebuah banguna di atsnya tentu juga harus memperhatikan aspek ini.

Lalu perlu menjadi suatu pertimbangan lain ialah bahwa tanah ulayat ini biasanya adalah suatu lahan yang keberadannya masih asri dan terjaga secara lingkungan dimana ini juga di tegaskan dalam Undang undang pelingdungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasl 1 angka 31 yaitu Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,

adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup. Dalam pasal ini jelas di kemukakan

bahwa masyarakay hukum adat dan wilah tempat tingganya dalam hal ini tanah ulayat adalah hal yang dekat dengan lingkungan hidup. Dapat di bayangkan jika nantinya tanah ulay ini yang notabennya adalah tanah dengan korelasi lingkungan di alih fungsi pastinya akan menjadi masalah yang cukup serius.

(12)

12

BAB III

PENUTUP

Hak ulayat masyarakat hukum adat di dalam UUPA diakui sepenuhnya dan dalam eksistensinya masih menunjukkan jatidirinya sebagai ciri khas hukum adat dalam keagrariaan yang memandang komunalisme dan kebersamaan dalam rangka kesejahteraan anggota masyarakat adat setempat dengan segala konsekuensinya. Ini berarti keberadaan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat sepenuhnya dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri adanya perubahan yang revolutif dari kepemilikan bersifat komunal dalam masyarakat hukum adat bias berubah kepada kepemilikan yang bersifat perorangan atau privat. Mendaftarkan tanah adat berdasar peraturan perundangan dengan memperhatikan hukum tanah adat yang berlaku secara nasional, sebenarnya hal ini merupakan suatu penandaan kepada tanah itu, mana yang bisa dialihkan, serta mana yang bisa diwariskan. Dengan kata lain, pendaftaran tanah adat sesuai ketentuan BPN merupakan upaya untuk menjaga jangan sampai ada penyimpangan dari ketentuan adat yang berlaku di bidang tanah, dimulai dengan surat tanda bukti penguasaan dan pemilikan tanah

kesimpulkan beberapa aspek dari sebuah gagasan utama penghapusan hak ulayat untuk kepentingan umum yaitu,:

1. bahwa pengaturan mekanisme pencabutan hak ulayat yang terdapat pada tanah ulayat

adalah telah di atur dalam undang undang 2 tahun 2012 tentang pembebasn lahan untuk kepentingan umum. Yang mekanismenya dilakukan dengan musyawarah dan diberikan penggantian dengan tanah sebanding, pemukiman kembali atau hal yang di sepakat. Dan jika di pandang dengan undang undang pokok agraria yang memiliki asas kepentingan umum maka hal mengenai pencabutan hak ulay untuk kepentingan umum dapat di lakukan.

2. Jika di tanjau dari aspek social kemasyarakatan dengan di haruskannya terdaoat sebuah hubungan secara lahiriah dan batiniah dari masyarakat hukum adat dan tanah ulayat maka pencabutan hak ulayat tidak lah dapat di lakukan, karena sifat keterikatan tanah adat tidak lah dapat di putus da di gantikan, di tambah lagi bagimana dengan kearifan local yang juga akan terlanggar dari pencabutan hak ulayat ini.

(13)

13

Dengan ini kami dapat simpulkan bahwa pencabutan hak ulayat seyogjanya masih dapat di lakukan dengan mekanisme undang undang nomer 2 tahun 2012 tapi harus dengan mekanisme yang ketat dan juga harus memerhatikan hak dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan juga mempertimbangkan nilai nilai budaya serta lingkungan hidup. Tetapi sebelum itu kami member saran bagi pemrintah agar jika merencanakan suatu pembangunan untuk kepentingan umum sebisa mungkin tidak melewati tanah ulayat.

(14)

14

DAFTAR PUSTAKA

Dharmawan, I Dewa gede putra joni,2012 hak ulayat masyarakat adat Studi Kasus Pembuatan Jalan By Pass Tohpati-Kusamba tesis dalam magister kenotariatan universitas dipengoro.

Gamal, Merza, 2006, Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam: Pembangunan

Kesejahteraan Berkeseimbangan dan Berkeadilan, Pekanbaru: Badan Penerbit Universitas Riau (Unri Press)

Kalo S., 2004, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Jakarta: Pustaka Bangsa Press

Purnadi, Purbacaraka, Ridwan Halim 1993, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Jakarta: Ghalia Indonesia, ,

Sumardjono, maria, 2001, kebijakan pertanahan, Jakarta, Kompas media nusantara,

Peraturan perundang undangan

Undang Undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945

Peraturan menteri Agraria dan kepala pertanahan nasional Nomor 5 tahun 1999 undang undang 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum

undang undang nomer 32 tahun 2009 tentang pelindungan dan pengeolaan lingkungan hidup Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas air menunjukkan jumlah air di dalam pangan yang digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Mikroba mempunyai kebutuhan aktivitas air minimal yang

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Sejarah berdirinya negara Iran dan sistem politik kekuasaan Iran hampir seperti sistem monarki mulai dari Persia, dinasti Safawiyah hingga rezim Qajar, kemudian berlanjut

Program ini merupakan penerus dari Program Karya Alternatif Mahasiswa yang dibentuk pada tahun 1997, yang lalu berganti menjadi Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2001

Studi mengenai kinerja perusahaan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan berbagai ukuran rasio keuangan maupun model analisis yang dapat digunakan dalam

“Waha i Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi, maka jalankanlah hukum di antara manusia dengan (hukum syariat) yang benar (yang diwahyukan

Petir/kilat merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer Bumi yang tidak dapat dicegah (Pabla, 1981 dan Hidayat, 1991) yang terjadi akibat lepasnya muatan listrik baik

Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan subkutan biasanya disebabkan oleh inasi bakteri melalui suatu area yang robek pada